Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KAIDAH HUKUM ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

STUDI HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu.

Binti Kholifatur rosyidah Sh. Mh

Di Susun Oleh;

Nila Rizkia

FAKULTAS HUKUM

PRODI AHWALUL SHAYAKSHIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM HIDAYATUT THULLAB

KEDIRI

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan segala nikmat, taufik dan
karunia-Nya kepada umat seluruh alam yang mana dengan tanpa pertolongan-
Nya makalah ini pastinya tidak akan dapat terselesaikan. Sholawat dan salam
semoga tetap tercurahkan kepada promotor kebangkitan umat islam Nabi
Agung Muhammad SAW, dengan perjuangan beliaulah kita semua dapat
merasakan indahnya islam dan mendapat syafa’atnya kelak di hari kiamat
Aamiin.

Selanjutnya kami mengucapkan ribuan terima kasih kepada para guru


khususnya ibu Binti kholifatu rosyidah sebagai dosen mata kuliah Studi hukum
islam . Dengan segala keterbatasan penyusun membuat makalah ini , tegur
sapa dan kritik membangun dari para pembaca sangatlah kami harapkan demi
perbaikan makalah ini selanjutnya, Semoga makalah ini dapat bermanfa’at
bagi penyusun khususnya dan umumnya bagi pembaca Amiinn.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................I

DAFTAR ISI..........................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................1

C. Tujuan Masalah..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................4

A. Qowaid fiqhiyah ............................................................................................4

B.Al Qowaid al khimsah ....................................................................................9

C Qowaid ussuliyyah..........................................................................................9

BAB III PENUTUP................................................................................................10

A. Kesimpulan..................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Di dalam syariat Islam dikenal istilah kaidah, yang berfungsi untuk

meringkas berbagai macam permasalahan syariat sehingga dengan kaidah


tersebut kita akan dimudahkan untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan agama yang beraneka ragam. Khususnya pembahasan fiqih, para
ulama telah menetapkan berbagai kaidah sebagai patokan untuk menyelesaikan
kasus-kasus fiqih tersebut.

Ada tiga kaidah utama dalam syariat islam yang pertama, kaidah

fiqihiyyah. Yang kedua, kaidah ushuliyah. Dan yang ketiga kaidah dhabith

fiqihiyyah. Namun pada pembahasan nanti, penulis hanya akan berfokus


kepada 2

kaidah saja, yaitu kaidah fiqihiyyah dan kaidah ushuliyyah.

B. Rumusan Masalah

1. pengertian qaidah hukum islam?

2. pembagian qoidah hukum islam?

C. Tujuan Masalah

1. mengetahui pengertian hukum islam

2. membahas beberapa koidah dalam hukum islam


BAB II

PEMBAHASAN

A.Qawaid Fiqhiyyah

Pengertian Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari


dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian
tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah, jamaknya qawaid, yang berarti; asas,
landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau
inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non
materi dan non indrawi

seperti ushuluddin (dasar agama);Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti

kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti,

patokan; dalil

Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi terdapat

dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 127 :

yang artinya “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-


dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah
daripada kami sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”.

Begitu pula terdapat dalam al-Qur’an surah al-Nahl ayat 26:

Yang artinya; "Sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan


tipu daya, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari
pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan siksa itu
datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka sadari.”

Sedangkan Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh ditambah dengan ya


nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi
fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan
dan perkataannya.
Al-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-

Taubah ayat 122 :

Yang artinya; “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid


fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan,
dasar-dasar bagi fiqh. Sedangkan secara terminologi, ustad firanda andirja
mengatakan “

Kaidah fiqhiyyah (kaidah fiqih) adalah kaidah yang merupakan


kesimpulan dari

banyak permasalahan fiqih yang memiliki hukum-hukum yang sama sehingga

muncullah kaidah yang mewakili persamaan tersebut.”3 Selanjutnya dia

memberikan gambaran seorang ahli fiqih dihadapkan dengan ratusan

permasalahan fiqih;Setelah dia menelaahnya, dia mendapatkan adanya


kesamaan

di dalam semua permasalahan tersebut, kesamaan itulah yang kemudian

disimpulkan menjadi kaidah fiqih.

Misalnya, setelah menelaah banyak permasalahan fiqih maka diperoleh

kesimpulan bahwa kemudharatan itu harus dihilangkan, dibuatlah kaidah ad-

dhararu yuzaalu (kemudharatan harus dihilangkan) atau dalam kesempatan lain

diperoleh kesimpulan bahwa sesuatu yang sudah diyakini hukumnya maka dia
tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan yang datang setelah
itu,dibuatlah kaidah keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan (al-
yaqinu laa yazuulu bisy syak)

B. Al-Qawa’id Al-Khamsah (Lima Kaidah Asasi)

Pada dasarnya qawaid fiqhiyyah yang dibuat para ulama berpangkal


dan menginduk kepada lima qaidah asasiyyah (qawaid asasiyyah alkhamsah).
Kelima qaidah pokok ini melahirkan bermacam-macam qaidah yang bersifat
cabang. Sebagian ulama menyebut kelima qaidah asasiyyah ini dengan qawaid
al-kubra.

Adapun qawaid asasiyyah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Al-Umuru bi maqashidiha (Segala perkara tergantung kepada tujuannya.)

Kaidah ini terdapat di salah satunya di Al-Qur’an yakni diayat al-


Baqarah ayat 225:

yang artinya; "Allah tidak menghukum kamu karena sumpahmu yang tidak
kamu sengaja, tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung
dalam hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.”

Dan juga dari hadis Rasulullah SAW. a. Hadis riwayat Muslim dari Umar bin
Khattab r.a. Rasulullah bersabda:

“Bahwasanya setiap perbuatan (amal) tergantung kepada niatnya. Setiap orang

mendapatkan apa yang diniyatkannya. siapa yang berhijrah karena Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya tersebut karena Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang
berhijrah karena ingin memperoleh harta dunia atau karena perempuan yang
akan dinikahinya, maka hijrahnya tersebut karena hal tersebut.’’

2. Al-Yaqinu la yuzalu bi al-Syakk (Keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan


keraguan.)

Adapun dalil Al-Qur’an yang membahas ini salah satunya di surat yusuf

ayat 36:
yang aratinya"Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan.
Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Sejumlah pertanyaan yang diungkapkan pada ayat sebelumnya, sebagian

ada yang dijawab oleh orang-orang kafir dan sebagiannya ada yang tidak
mereka jawab. Dan kebanyakan mereka orang-orang kafir itu hanya mengikuti
dugaan bahwa sembahan mereka dapat memberi manfaat, menolak mudarat
dan dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Sesungguhnya dugaan itu tidak
sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran yang datang dari Allah.
Sungguh, Allah Maha

Mengetahui apa yang mereka kerjakan dan akan memberi balasan kelak di
Hari Kemudian

3. Al-Masyakkatu Tajlibu al-Taisir (Kesulitan itu menimbulkan adanya


kemudahan.)

ialah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan

atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum), maka

syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu

mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan

kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir menunjukkan fleksibilitas

hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit
atau sukar tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai

permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu

kaidah asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang

kondisional dan situasional pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih

Adapun dalil dari Al-Qur’an yaitu di QS. An-Nahl ayat 7:


Yang artinya; “Dan ia mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu
tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sungguh, Tuhanmu
Maha Pengasih, Maha Penyayang.”Yang dimaksud ialah kelonggaran atau
keringanan hukum yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai
pengecualian dari pada kaidah hukum.

Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung


unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya
pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer.
Sedangkan al-taisir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam
hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:

“Agama itu mudah, tidak memberatkan”

4. Al-Dhararu yuzalu (Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan.)

Dharurat bermakna sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika

ditinggalkan sekiranya tak ada sesuatu lain yang dapat menempati posisinya.

Sebagian ulama berargumen bahwa hal yang dapat menyebabkan hilangnya

nyawa atau hilangnya anggota tubuh. Sedangkan kebutuhan ialah sesuatu

bahayayang menimpa manusia jika ditinggalkan namun posisinya masih dapat

diselesaikan dengan hal lain. Namun yang perlu diperhatikan adalah syarat -

syarat untuk memenuhi kaidah ini karena banyak orang yang mengambil

dispensasi dari kaidah ini tanpa memperhatikan syaratnya. Diantaranya :


Pertama, dharurat dapat dihilangkan dengan melakukan yang dilarang. Kedua,
tidak menemukan solusi lain. Ketiga, yang dilarang lebih kecil ( resikonya )
daripada dharurat.

5. Al-‘Adatu al-Muhkamah (Adat kebiasaan dijadikan hukum.)


Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam
bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-
‘adat dan al-‘urf.

Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan
oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau

mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan


dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah
sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.11
Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa
yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al- ‘adaal‘aammah)
yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. 12‘ Urf
ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih
ialah apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil
syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang
wajib.13Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat
kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau
membatalkan yang wajib.1

Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Tidak bertentangan dengan syari'at.

2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan

C . QAWAID USHULIYAH

Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl

dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik
yang bersifat materi ataupun bukan”. Sedangkan secara terminologi, kata ashal

mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama : Dalil (landasan

hukum), seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya
shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul. Kedua :
Qaidah (dasar, fondasi), yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi
Muhammad SAW :

”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”. Ketiga : Rajih (yang

terkuat), yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih :
”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.

Keempat : Far’un ( cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah

cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali). Kelima : Mustashab


(memberlakukan hukum yang adasejak semula, selama tidak ada dalil yang
mengubahnya). Misalnya, seseorang yanghilang, apakah ia tetap mendapatkan
haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya?

Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang
kematiannya. Iatetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris,
begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.

Dari kelima pengertian ashal di atas, yang biasa digunakan adalah dalil,
yakni dalildalil fiqih. Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat
menyeluruh,universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah
merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum

Dari pengertian ushul fiqih terkandung pengertian bahwa objek kajian


ushul fiqih itu antara lain adalah kaidah-kaidah penggalian hukum dari
sumbernya. Dengan demikian kaidah ushuliyah adalah sejumlah proporsi/
pernyataan/ ketentuan dalam menggali hokum islam dari sumber-sumbernya
yaitu al-Quran dan as-sunnah. Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk
menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumberhukum.

Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk


mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang
dihadapinya.Ruang Lingkup Qawaidul Ushuliyah

1. Amr dan Nahi


Amar adalah tuntutan melakukan pekerjaan dari orang yang derajatnya
lebih tinggi kepada orang yang derajatnya lebih rendah.

Adapun kaidah-kaidah amr adalah :

-Asal dalam perintah menunjukan arti wajib` kecuali ada dalil yang
memalingkanya.

-Asal dalam perintah tidak menghendaki pengulangan

-Perintah kepada sesuatu menjadi perintah pada perantaranya. Dan perantara


itu hukumnya sama dengan yang dimaksud

-Perintah terhadap sesuatu merupakan larangan dari sebaliknya.

Nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih
tinggiderajatnya kepada yang rendah.

Adapun kaidah-kaidah nahi adalah :

-Asal pada larangan menunjukan arti haram

‫ دــضــب رــم أ ئـيــشــل ا نـع ىــهــنــل اه‬

Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya.

‫ ـقــلــطــم د اــســفــل ا ىـضــتــقــي ىــهــنــل ا ىـف لــص أل اا‬

Asal larangan akan mengakibatkan kerusakan secara mutlak

‫ر ا رــكـتــــل ا ىـضــتــقــي ىـهــنــل ا ىـف لــص أل ا‬

‫اــقــلــــطـم‬

Asal dalam larangan menghendaki adanya pengulangan sepanjang masa.

2.Am (umum) dan Khas (khusus)

‘Am adalah lafal yang menujukan pengertian umum yang mencakup


satuan-

satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.
Menurut jumhur ulama, ‘am dibangun dari khas. Oleh karena itu khas lebih
kuat dari‘am. Maka ‘am dapat digugurkan ketika ditemukan khas. Sedangkan
khas tidak dapat digugurkan dengan adanya ‘am.

Menurut jumhur ulama, ‘am dibangun dari khas. Oleh karena itu khas
lebih kuat dari‘am. Maka ‘am dapat digugurkan ketika ditemukan khas.
Sedangkan khas tidak dapat digugurkan dengan adanya ‘am.

Kaidah-kaidah ‘Am :

‫ م تكــح أل ا ر وـصتـي ال م وـمـعـل ا‬

Keumuman itu tidak mengambarkan suatu hukum.

‫ بــبـســل ا ص وـصـخــب ال ظـــفـلـل ا م وـمـعـب ة رـبـعـل ا‬

Suatu ungkapan itu berdasarkan keumuman lafal, bukan kekhususan sebab.

‫ال صــصّ ــخـمـل ا نـع ثـحـبـل ا لـبـق م اــعــل اـب لـمـعــل ا‬

‫ ز وـجـي‬

Mengamalkan lafal yang bersifat umum sebelum ada pengkhususan tidaklah

diperbolehkan.

ّ ‫دــب قــلــطــمــل ا م وـمـع و‬


‫ي ــل وــمــس م اـعــل ا م وـمــع‬

‫يــل‬

Keumuman itu bersifat menyeluruh, sedangkan keumuman mutlak itu bersifat

mengganti atau mewakili.

‫ ب اـطـخ م وـمـع ىف لـخ دـي بـط اـخـمـل ا‬

Orang yang memerintahkan sesuatu masuk ke dalam pemerintah tersebut.

Khas ( Khusus ) : Lafal yang menunjukan makna tertentu.

3.Mutlaq dan Muqoyyad


Mutlaq adalah suatu lafadz tertentu yang tidak terikat oleh batasan
lafadz yang mengurangi keumumannya. Muqayyad adalah lafadz tetentu yang
dibataasi

oleh batasan lafadz lain yangmengurangi keumumannya.Kaidah-kaidahnya:

‫دــيــقــت ىلـع لـيــل د مـقــي مـل اـم هــقـلــط ا ىلـع قـلـطـمـل اه‬

Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang

membatasinya.

‫ا ىلــع لــيـل د مـقــي مـل اـم ه دـيــيــقــت ىلـع ق اـب دـيــقـمــل ا‬

‫ــق الــطه‬

Lafal muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang

memutlakannya

‫لـيـــل د م وـقـي ا ذ ا هــق الــط ا ىلـع ىـقـبــي ال قـلــطــمــل ا‬

‫دـيـيــقــت ىلــعه‬

Lafal mutlak tidak boleh dinyatakan mutlak jika telah ada yang membatasinya.

‫ا ىلـع لـيـــل د م وـقـي ا ذ ا ه دـيـيـقـت ىلـع ىـقـبـي ال دـيــقـمــل ا‬

‫هــق الـــط‬

Muqayyad tidak akan tetap dikatakan muqayyad jika ada dalil lain yang

menunjukan kemutlakannya.

‫ مــكـحــل ا و بـبــســل ا ىف اـقــفــ‬..............

Mutlak dibawa ke mukoyyad jika sebab dan hukumnya sama.

‫ىف فـلــتــخ ا ا ذ ا دــيــقــمــل ا ىلـع لـمــحــي ال قــلــطــمـل ا‬

‫مـكــحــل ا‬

Mutlak itu tidak dibawa ke mukoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya
4.Mantuq (yang tersurat) dan Mafhum (yang tersirat)

Mantuq adalah lafal yang kandungan hukumnya tersurat di dalam apa

yang diucakan. Mafhum adalah lafal yang kandungan hukumnya ada dibalik
arti mantuq.

Mafhum terbagi dua :

-Mafhum muwafaqoh yaitu menetapkan hukum dari maknanya yang sejalan


atau sepadan dengan makna yang tersurat. Contoh: Khomar itu haram maka
semua yang memabukan hukumnya haram.

Mafhum Muwafaqoh terbagi 2 :

Pertama: FahwalKhitab yaitu apabila yang tersirat lebih utama dari yang

tersurat. Contoh: Jangan mendekati zina. (Mafhum muwafaqoh fahwal khitab


nya adalah mendekati zina saja diharamkan, apalagi melakukannya).

Kedua: Lahnul Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan (tersirat) sama

hukumnya dengan yang diucapkan (tersurat). Contoh:memakan harta anak


yatim haram. (Mafhum muwafaqoh lahnul khitab nya contoh dengan
membakar, atau merusaknya maka juga haram).

- Mafhum Mukhalafah adalah menetapkan hukum kebalikan dari hukum

mantuqnya

Mafhum Mukhalafah terbagi tiga: 21

Pertama: Mafhum dengan sifat.

Contoh:

haditszakat kambing, maka mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang

dikandangin,diberi makan tidak wajib zakat.


Kedua: Mafhum dengan ghoyah.

Mafhum Mukhalafahnya apabila fajar datang, maka hentikan makan dan


minum,atinya puasa dimuali.

Ketiga: Mafhum dengan syarat. Mafhum

mukhalafahnya dalah jika istri yang ditalak tidak hamil, maka mantan suami
tidakharus memberi nafkah.

5.Mujmal dan Mubayyan

Mujmal adalah lafal yang mencakup kemungkinan segala keadaan dan hukum

yang terkandung di dalam lafal tersebut. Ia bersifat global dan menyeluruh

sehinga membingungkan dan tidak dapat diketahui secara jelas maksudnya


tanpa danya mubayyan (penjelas).

Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Mujmal adalah lafadz yang

sighotnya tidak menunjukan apa yang dimaksud (tidak jelas). Dan Mubayyan

adalah lafadz yang sighotnya jelas menunjukan apa yang dimaksud.26

Adapun kaidah-kaidahnya adalah : 22

‫ ز وــجــي ال ةـج اــحــل ا تـــق و نــع ن اــيـــبـل ا رــيــخ أــت‬

Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan.

‫ ز وــجــي ب اــطــخـــل ا تـــق و نــع ن اــيـــبـل ا رــيــخ أــت‬

Mengkahirkan penjelasan pada saat diperintahkan hukumnya boleh.

6. Muradif (sinonim) dan Musytarak (homonim)

Murodif adalah dua kata atau lebih, satu arti. Contohnya : Qur’an adalah

mukjizat,baik dari sudut lafazd maupun maknanya , karena itu tidak

diperbolehkan mengubahnya. Bagi Mālikiah menyatakan bahwa takbir shalat


tidak diperbolehkan kecuali “Allahu Akbar”, sedang Imam Syāfi’i hanya

memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu


Hanifah memperbolekan semua lafaz yang semisal dengannya, “ Allahul
A’dham” “Allahul Ajal” dsb.

Lafadz musytarak adalah satu lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih

dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan artinya secara


gantian. Artinya lafadz itu bisa menunjukkan arti ini dan itu. Seperti lafadz a’in
, menurut bahasa bisa berarti mata, sumber mata air, dan mata-mata ia karena
lapar.

8. Ditangguhkan bahaya khusus demi menolak bahaya umum. Contoh:


Pembunuh harus dibunuh mengamankan jiwa-jiwa yang lain. Tangan pencuri
dipotong demi menyelamatkan harta manusia.

9. Yang lebih ringan diantara dua bahaya bisa dilakukan demi menjaga yang
lebih membahayakan. Contoh: Seorang istri boleh ditalak karena bahaya, dan
suami tidak perlu memberi nafkahah kepadanya.

10. Menolak bahaya didahulukan dari pada menarik keuntungan. Contoh:


Orang puasa, makruh berkumur dan menghisap air kedalam hidung secara
berlebihan.

11. Keterpaksaan dapat diperkenankan melakukan hal-hal yang dilarang.


Contoh: Orang yang sangat lapar terpaksa harus memakan bangkai , kalau
tidak membahayakn orang lain.

12. Kesulitan menuntut adanya kemudahan. Contoh: Semua rukhsoh dari Allah
untuk membuat seorang dan meringankan beban mukalaf dengan adanya tujuh
sebab: 1. Bepergian 2. Sakit 3. Paksaan 4. Lupa 5. Tidak tahu 6. umumul bala
(ganguan umum) 7. Kekurangan.

. 9.Kaidah Istishab :

1. Apa yang ditetapkan oleh sesuatu yang meyakinkan, maka tidak dapat
dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan

2. Asal sesuatu adalah ketepan yang telah ada menurut keadaan semula
sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya.

3.  Hukum sesuatu pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang

mengharamkannya. 

4. An niyatu sartun lisairil ‘amal biha sholaku wal fasadu lil’amal. Niat itu
adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui baik
& buruknya amalan.Fungsi Kaidah Ushuliyyah Fungsi utama dari kaidah
Ushuliyah menurut Amin Darmah adalah untuk mengangkat ketentuan-
ketentuan hukum islam yang terpapar dalam al-Qur’an danalSunnah, sehingga
setiap orang mukallaf dapat mengetahuinya dengan baik, dan

menerimanya sebagai ketentuan syara’ baik secara yakin maupun dzan.24

Para ulama menempuh langkah-langkah kreatif menurut norma-norma

hukum itu yang terpapar secara acak dalm al-Qur’an dan al-Sunnah dalam
bentuk kalam-kalam yang tertulis, dan mereka tidak berjumpa langsung
dengan rasulullahsebagai orang yang menyampaikan kalam tersebut dan
mampu menjelaskannya dengan baik.29 Dengan demikian, kaidah ushulliyyah
ini hanya merupakan metodelogi kajian hukum dari nash-nash al-Quran dan al-
Sunnah yang berfungsi mengangkat ketentuan-ketentuan hukum islam, untuk
kemudian menjadi pedomanbagi orang-orang mukallaf dalam menjalani
kehidupan ini.

Perbedaan antara Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah

Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perbedaan antara qawaid fiqhiyyah

dengan qawaid ushuliyyah adalah sebagai berikut: 25

a. Ilmu ushul fiqih merupakan parameter (tolak ukur) cara berinstinbat fikih
yang benar. Kedudukan ilmu ushul fiqih (dalam fiqih) ibarat kedudukan ilmu
nahwu dalhal pembicaraan dan penilisan, qawaid fiqhiyyah merupakan
wasilah, jembatan penghubung, antara dalil dan hukum. Tugas qawaid
fiqhiyyah adalah mengeluarkan hukum dari fdalildalil yang tafshili (terperinci).
Ruang lingkup qawaid ushuliyyah adalah dalil dan hukum seperti amr itu
menunjukan wajib, nahyi menunjukan haram, dan wajib mukhayar bila telah
dikjerjakan sebagaian orang, maka yang lainya bebas dari tanggung jawab.
Qawaid fiqhiyyah adalah

qaidah kulliyah atau aktsariyah (mayoritas) yang juz’i-juz’inya


(farsialfarsialnya) beberapa masalah fiqih dan ruang lingkupnya selslu
perbuatan orang mukalaf

b. Qawaid ushuliyyah merupakan qawaid kulliyah yang dapat diaplikasikan


pada seluruh juz’i dan ruanglingkupnya. Ini berbeda dengan qawaid fiqhiyyah
yang merupakan kaidah aghlabiyah (mayoritas) yang dapat diaplikasikan pada

sebagaian juz’i-nya, karena ada pengecualiannya.

c. Qawaid ushuliyyah merupakan dzari’ah (jalan) untuk mengeluarkan hukum

syara’ amali. Qawaid fiqhiyyah merupakan kumpulan dari hukum-hukum


serupa yang mempunyai ‘illat yang sama, dimana tujuannya untuk menekatkan
berbagai persoalan dan mempermudah mengetahuinya.

d. Eksistensi qawaid fiqhiyyah baik dalam teori maupun realitas lahir setelah

furu’, karena berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan dan


mengalokasikan makna-maknanya. Adapun ushul fiqih dalam teori ditunut
eksistensinya sebelum eksistensinya furu’, karena akan menjadi dasar seorang
fakih dalam menetapkan hukum. Posisinya seperti al-Qur’an terhadap sunah
dan nash al-Qur’an lebih kuat dari zahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’.
Posisinyaseperti anak terhadap ayah, buah terhadap pohon, dan tanaman
terhadap benih.

e. Qawaid fiqhiyyah sama dengan ushul fiqih dari satu sisi dan berbeda dari
sisi yang lain. Adapun persamaannya yaitu keduannya sama-sama mempunyai
kaidah yang mencakuip berbagai juz’i, sedangkan perbedaannya yaitu kaidah
ushul adalah masalah-masalah yang dicakup oleh bermacam-macam dalil
tafshily yang dapat mengeluarkan hukum syara’. Kalau kaidah fiqih adalah
masalah-masalah yang mengandung hukumhukum fiqih saja. Mujtahid dapat
sampai kepadanya dengan berpegang kepada masalah-masalah yang
dijelaskan ushul fiqih.

Kemudidan bila seorang fakih mengapllikasikan hukum-hukum tersebut


terhadap hukum-hukum farsial, maka itu bukanlah kaidah, namun, bila ia
menyebutkan hukum-hukum tersebut dengan qaidah-qaidah kuliyyah
(peristiwa-peristiwa universal)yang dibawahanya terdapat berbagai hukum
juz’i maka itu disebut kaidah. Qawaid kuliyyah dan hukum-hukum juz’i benar-
benar masuk dalam madlul (kajian) fikih, keduanya menunggu kajian mujtahid
terhadap ushul fiqih yang membangunnya.
BAB III

KESIMPULAN

Kaidah ushuliyyah atau kaidah ushul fiqih adalah kaidah yang membahas

seputar penggunaaan lafadz atau bahasa. Dengan kaidah-kaidah tersebut,


seorang alim dapat menyimpulkan makna dari sebuah lafadz bahasa Arab.
Misal lafadz perintah asalnya menunjukkan akan wajibnya hal tersebut atau
kaidah lafadz pelarangan asalnya menunjukkan akan haramnya hal tersebut).
Kedua kaidah tersebut disebut kaidah ushuliyyah yang ditemukan dalam
pembahasan ushul fiqih.

Adapun kaidah fiqhiyyah (kaidah fiqih) adalah kaidah yang merupakan

kesimpulan dari banyak permasalahan fiqih yang memiliki hukum-hukum


yang sama sehingga muncullah kaidah yang mewakili persamaan tersebut.
Sebagai gambaran, seorang ahli fiqih dihadapkan dengan ratusan permasalahan
fiqih.

Setelah dia menelaahnya, dia mendapatkan adanya kesamaan di dalam


semua permasalahan tersebut, kesamaan itulah yang kemudian disimpulkan
menjadi kaidah fiqih.
Daftar Pustaka

Admin. “Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Kubra – Muqaddimah & Kaidah

1.” UstadZ FIiranda Andirja Ofiicial Site.

https://firanda.com/2367-qawaid-fiqhiyyah-al-kubra-

muqaddimah-kaidah-1.html.

Aldi. “QAWAID FIQHIYAH DAN QAWAID USHULIYAH.”

https://ia601506.us.archive.org/35/items/TugasIslamicLawAldi/T

ugas Islamic Law Aldi.pdf.

Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. April, 2015.

Berutu, Ali Geno. “Qawa ’ Id Fiqhiyyah Asasiyyah,” no.

13200101010016 (2014): 1–11.

Anda mungkin juga menyukai