Anda di halaman 1dari 3

ETIKA KRISTEN

JENIS-JENIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS

Disusun oleh. :

NAMA: DIANE VIEN SAPULETTE


NPM: 121132011200018
KLS: A

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU


FAKULTAS KESEHATAN
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
2021
Jenis-jenis pengambilan keputusan etis.

1. Deontologis : cara berpikir etis yang mendasarkan diri kepada prinsip,


hukum, norma obyektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi
dan kondisi apapun juga. Etika deontologis berbicara mengenai apa yang
benar dan apa yang salah dan dilakukan dengan tegas. Cara berfikir ini juga
meletakan hukum Allah sebagai satu-satunya norma yang tidak dapat
ditawar-tawar. Dengan demikian menurut cara berpikir deontologis tindakan
dapat dibenarkan apabila sesuai atau sejalan dengan hukum Allah. Dengan
cara berfikir seperti ini memiliki keuntungannya yaitu dapat memberikan
pegangan etis yang tegas dan juga jelas, dengan begitu maka tentu orang
tidak perlu lagi bingung tentang apa yang benar dan apa yang salah yang
terpenting ialah hukumannya jelas. Namun , disisi lain terdapat juga hal yang
tidak menguntungkan dalam cara berfikir deontologis sebab melihat
kehidupan manusia yang kompleks dan dinamis sehingga mustahil untuk
mempunyai hukum yang jelas bagi setiap kemungkinan. Misalnya saja dalam
10 hukum ada satu larangan untuk “Jangan membunuh”, perintah ini sudah
sangat jelas. Tetapi bagaimana dengan realisasinya ke dalam konteks
sekarang ini, sebab apakah hukuman mati adalah salah? Dan apakah
membunuh untuk membela diri adalah hal yang salah?. Maka terlebih dahulu
yang dilakukan ialah merincikan hukum itu sedemikian rupa sehingga dapat
menjawab setiap kemungkinan yang terjadi. Filsuf Jerman , Imanuel Kant
mengatakan bahwa ada dua ukuran objektif untuk mengatakan suatu
tindakan itu secara etis “benar” atau “salah”. Pertama bagi Kant,
“Bertindaklah atas dahlil, bahwa apa yang dilakukan itu dapat berlaku hukum
yang bersifat universal.” Artinya jika apa yang kita lakukan itu “benar” apabila
yang kita lakukan juga dilakukan oleh siapapun. Dan yaang kedua, apa yang
“benar” adalah apabila memperlakukan manusia bukan sukan sebagai tujuan
dan bukan sebagai alat”. Artinya bahwa suatu tindakan sudah pasti “Salah”
apabila memperlakukan manusia sebagai objek dan bukan subjek.

2. Teologis : Cara berfikir teleologis ini bukan tidak mengacuhkan hukum tetapi
ia tahu betul apa yang benar dan apa yang salah, tetapi itu bukanlah ukuran
yang terakhir atau final sebab yang terpenting adalah tujuan dan akibatnya.
Menurut salah seorang filsuf Inggris, Jhon Stuard Mill,m engusulkan sebuah
dahlil: “ The Greatest Good for the Greatest number” Menurut Mill sebuah
tindakan dapat dikatakan “baik” apabila tujuannya baik dan membawa
“kebaikan yang paling besar bagi banyak orang”. Namun cara berfikir ini juga
memiliki kelemahan sebab dengan cara berpikir seperti akan membuat orang
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Bagaimanapun secara etis
kita harus mengatakan bahwa bukan hanya tujuan dan akibat yang penting,
tetapi yang harus dilihat adalah jika tujuannya dicapai dengan baik maka
tentu harus dengan cara yang benar. Bahaya yang kedua atau bisa dikatakan
kelemahan yang kedua dari cara berpikir seeperti ialah cara hidup yang
hedonisme artinya lebih mengutamakan kenikmatan sebagai tujuan utama di
dalam hidup. Sebab jika yang “baik” untuk saya akan berakibat atau berujung
pada yang paling “nikmat”, yang paling “gampang”, yang paling
“menguntungkan” bagi “saya”. Persoalan Etis disini ialah apa yang paling
nikmat, gampang dan menguntungkan bagi saya tidak selalu berarti demikian
untuk yang lain. Untuk yang lain barangkali merupakan tindakan yang sama
itu justru merugikan san mencelakakan, dari hal inilah yang menimbulkan
kekacauan etis.

3. Kontekstual : Dalam cara berpikir ini konteks situasi dan kondisi tertentu
haruslah diperhitungkan secara seksama untuk mengambil keputusan.
Dalam cara berpikir ini menuntut agar orang-orang yang bersangkutan harus
mengambil keputusan sendiri: apa yang paling bertanggung jawab dalam
situasi dan kondisi khusus itu. Namun kelemahan terbesar dari etika
kontekstual adalah mudahnya terjebak menjadi etika yang situasional. Etika
yang tanpa prinsip, sebab situasi menjadi pertimbangan pokok. Adapun jugaa
bahaya Relativisme atau menganggap semuanya bersifat relatif dan tidak
ada lagi norma-norma yang berlaku mutlak namun tergantung pada situasi
dan kondisi. Bahaya yang kedua adalah subjektivisme artinya semua menjadi
tergantung dari pertimbangan dan keputusan sih pelaku.

Anda mungkin juga menyukai