Anda di halaman 1dari 4

Mata Kuliah Etika

Hari/Tanggal: Sabtu 04 Juni 2022-06-04


Pukul: 10.00-11-50
Pertemuan: X

PERTEMUAN X

2.1.7.1. Cara Deontologis


2.1.7.1.1. Pengertian Deontologis
Etika deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang
berarti kewajiban dan ‘logos’ berarti ilmu atau teori. Mengapa perbuatan ini baik dan
perbuatan itu harus ditolak sebagai keburukan, deontologi menjawab, ‘karena perbuatan
pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Dalam deontologi,

kita akan melihat sebuah prinsip benar dan salah. Suatu tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban karena bagi etika
deontologi yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Dengan kata lain
suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga
merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Dan, Immanuel Kant termasuk pengikut
aliran deontologi. Menurut Immanuel Kant bahwa tindakan karena kehendak baik akan selalu
baik dan tidak pernak menjadi buruk. Tindakan yang dipengaruhi kehendak moral rasional
dengan maksud untuk melakukan kewajiban dan melakukan apa yang benar maka tindakan
itu adalah tindakan moral, meskipun nantinya tindakan itu menghasilkan sesuatu yang buruk
sebagai akibat kemungkinan- kemungkinan yang tidak tepat yang berada diluar kehendak
pelaku ( Gordom Graham, 2014:148.).
Deontologi adalah teori etika yang menggunakan aturan untuk membedakan yang
benar dan yang salah. Deontologi sering dikaitkan dengan filsuf Immanuel Kant. Kant
percaya bahwa tindakan etis mengikuti hukum moral universal, seperti “Jangan berbohong.
Jangan mencuri. Jangan curang. Deontologi mudah diterapkan. Itu hanya mengharuskan
orang untuk mengikuti aturan dan melakukan tugas mereka. Pendekatan ini cenderung cocok
dengan intuisi alami kita tentang apa yang etis atau tidak. Etika di masyarakat dalam
kehidupuan sehari-hari adalah suatu bagain dari deontolog. Deontologi adalah pendekatan
terhadap etika yang senantisa berfokus pada kebenaran serta kesalahan atas tindakan yang
dilakukan, proses bertentangan dengan kebenaran atau kesalahan ini sendiri dari tindakan
tersebut (konsekuensial) atau dengan karakter dan kebiasaan pelaku (etika kebajikan).
2.1.7.1.2. Teori Deontologis
Teori Deontologi diperkenalkan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Tulisan Kant yang
berkaitan dengan moral bisa ditemukan antara lain dalam karyanya yang berjudul Groundwork
of the Metaphisics of Moral (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan The Metaphisycs of
moral (1797). Kant berpendapat bahwa yang dapat disebut baik dalam arti yang sesungguhnya
hanyalah kehendak yang baik. Bagi Kant, suatu perbuatan dinilai baik manakala dilakukan
atas dasar kewajiban, yang disebutnya sebagai perbuatan berdasarkan legalitas, tidak penting
untuk tujuan apa perbuatan itu dilakukan. Ajaran ini menekankan bahwa seharusnya kita
melakukan “definisi kewajiban” karena itu merupakan “kewajiban” kita, dan untuk itu alasan
(reason) tidak diperlukan sehingga perbuatan itu dilakukan. Hal-hal yang lain seperti
kekayaan, intelegensia, kesehatan, kekuasaan dan sebagainya disebut sebagai kebaikan yang
terbatas, yang baru memiliki arti manakala ia dipakai oleh kehendak baik manusia (Bertens,
254). Kant menolak pandangan moral kaum utilitarianism yang mengedapankan tujuan yang
ingin dicapai sebagai landasan moral dari suatu perbuatan. Suatu perbuatan pasti memiliki
konsekuensi masing-masing, dalam hal ini konsekuensi suatu perbuatan tidak boleh menjadi
pertimbangan. Suatu perbuatan akan menjadi baik tidak dilihat dari hasilnya tapi karena
perbuatan tersebut wajib dilakukan.
Sebagai cabang dari teori etika normatif, Deontologi dapat dibagi menjadi dua jenis utama:
1. Teori Deontologi Tindakan
a. Etika Situasional, dan
b. Eksistensialisme
2. Teori Deontologi Peran
a. Teori Imperatif Kategorikal (yaitu, moralitas Kantian) dan
b. Perintah Ilahi/Teori Hukum Alam

2.1.7.1.3. Ciri-ciri Deontologis


Ciri utama dari teori deontologis adalah: bagaimana seseorang harus bertindak didefinisikan
secara independen dari kebaikan (moral). Teori-teori deontologis selalu menghasilkan
“imperatif kategoris” (yaitu, tugas-tugas yang terlepas dari teori kebaikan apa pun). Di sini,
penekanan pada tindakan daripada (seperti dalam utilitarianisme) pada hasil.
Dalam etika ini, kita tidak dapat membenarkan tindakan dengan menunjukkan bahwa
tindakan itu menghasilkan konsekuensi yang baik, itulah sebabnya kadang-kadang disebut
‘non-Konsekuensial’. Sebuha tindakan yang dilakukan oleh banyak orang dan bisa dikatakn
baik atau tidak.
Masalah utama untuk teori deontologis adalah mendefinisikan benar tanpa menarik kebaikan.
Contoh cara mengatasi masalah ini:
1. Benar adalah apa yang diperintahkan Tuhan (Teori Perintah Ilahi)
2. Benar adalah apa yang diperintahkan masyarakat (Relativisme Moral)
Etika deontologis (berbasis tugas) menekankan terhadap apa yang dilakukan (tindakan)
orang, bukan dengan konsekuensi dari tindakan mereka: Lakukan hal yang benar; Lakukan
karena itu hal yang benar untuk dilakukan; Jangan lakukan hal yang salah; Hindari itu karena
salah.

Contoh : 

Jika seseorang diberi tugas dan melaksanakannya sesuai dengan tugas maka itu dianggap
benar, sedang dikatakan salah jika tidak melaksanakan tugas. Artinya jangan melanggar,
tetapi bertindak sesuai aturan yang sudah ditentukan.Apapun konsekuensinya tindakan itu
harus dilakukan dan tidak perlu pertimbangan.

2.1.7.2. Cara Etis Teologis


2.1.7.2.1. Pengertian

Etika teleologi berasal dari bahas kata Yunani telos (τ?λος), yang berarti akhir, tujuan,
maksud, dan logos (λ?γος), perkataan. Teologi adalah ajaran yang menerangkan segala
sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Etika teleologi mengukur baik dan
buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Artinya, telologi bisa diartikan
sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan yang dilakukan. Telologi
mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir.
Walaupun sebuah tindakan dinilai salah menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan
berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik. Namun dengan demikian, tujuan yang baik
tetap harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum.

Contoh : Seorang anak mencuri untuk membeli obat ibunya yang sedang sakit. Tindakan ini
baik untuk moral dan kemanusiaan tetapi dari aspek hukum tindakan ini melanggar hukum
sehingga etika teleologi lebih bersifat situasional, karena tujuan dan akibatnya suatu tindakan
bisa sangat bergantung pada situasi khusus tertentu.
2.1.7.2.2. Implikasi

Implikasi etis yaitu kesanggupan mempertanggungjawabkan imannya atau dengan


setia berusaha dan dengan kerendahan hati dapat melakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dan juga berusaha dengan setia mempercayai apa yang diimani dan melakukan isi dari kitab-
kitab serta dogma-dogma yang diimani.
Contoh: jangan paksakan dogma mu kepada orang yang tidak seiman denganmu. Tetapi
tunjukkanlah dogma imanmu dalam kehidupanmu sehari-hari.
Cerita di kost2an Yogyakarta : salah sati sekte yang memaksa orang lain untuk percaya
kepada Yesus
Dengan kata lain, implementasi etis itu dimana individu dapat mempertanggungjawabkan
dari sudut kenyataan empiris. Artinya individu berusaha untuk menangkap dan
memperhitungkan kenyataan yang paling dalam dibalik kompleksitas masalah-masalah
ekonomi. Dengan perkataan lain, pandangan yang hendak dikemukakan dapat
dipertanggungjawabkan baik dari sudut ortodoksi, maupun dari sudut relevansi. Jika hal itu
diperhitungkan secara adil dan seimbang, maka kita dapat berbicara tentang etika yang dapat
dipertanggungjawabkan. Karena itu memperhitungkan ortodoksi, ia dapat disebut sebagai
seorang beriman, atau seorang Kristen, atau memiliki kepercayaan yang benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan.
Teologi fundamentalisme sangat menekankan ortodoksi, lalu kehilangan relevansi.
Sedangkan teologi pembebasan sangat menekankan relevansi, namun mengabaikan ortodoksi
(Darmaputra, Phil Eka:1995).

Anda mungkin juga menyukai