Anda di halaman 1dari 11

DAFTAR ISI

BAB 1.........................................................................................................................................2
PENDAHULUAN......................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................3
1.3 Tujuan Pembahasan.....................................................................................................3
BAB 2........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
2.1 Pengertian Etika Deontologis.....................................................................................4
2.2 Prinsip dan Penilaian Moral dalam Etika Deontologis....................................................5
2.3 Kekuatan dan Kelemahan Etika Deontologis..................................................................6
2.4 Kasus dan Penerapan Etika Deontologis dalam Kehidupan............................................7
1. Bidang Ketenagakerjaan..............................................................................................8
2. Bidang Pendidikan (Lingkungan Sekolah dan Kampus).............................................9
3. Bidang Ketatanegaraan................................................................................................9
BAB 3.......................................................................................................................................11
PENUTUP................................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan................................................................................................................11

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etika memberikan batasan ataupun suatu patokan untuk mengatur bagaimana cara
seseorang berinteraksi atau bertindak kepada sesamanya.1 Sebagian besar tindakan manusia
berkaitan dengan hal baik maupun hal buruk. Namun, disamping hal tersebut terdapat pula
tindakan yang netral bila dipandang dari segi etis.2 Etika merupakan sebuah ilmu
pengetahuan. Sebagai sebuah ilmu, etika mempunyai objek penelitian, baik itu material
maupun formal. Objek material etika adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
tingkah laku manusia yang menyangkut nilai-nilai moral.

Terdapat beberapa pendekatan ilmiah yang digunakan untuk mempelajari


tindakan manusia, salah satunya adalah etika normatif. Etika normatif merupakan
bagian terpenting dari etika, di mana dalam etika normatif berlangsung diskusi yang menarik
terkait dengan masalah moral. Dalam etika normatif, ahli yang bersangkutan melibatkan diri
dengan memberikan penilaian langsung tentang perilaku manusia.3 Etika normatif
melepaskan sikap netral dengan melandaskan pendirian pada norma. Maka dari itu
dilakukan pula pemeriksaan terhadap norma-norma baik atau buruk dalam penilaian
yang dilakukan terhadap tindakan manusia. Hal yang sama dapat dirumuskan juga
bahwa etika normatif tidak menggambarkan tindakan manusia melainkan menentukan
kebenaran tingkah laku manusia atau anggapan moral.

Etika normatif akan memberikan pendapat atau alasan apakah suatu tindakan itu dapat
dikatakan baik dan patut untuk dilakukan atau tindakan itu dikatakan buruk dan tidak patut
untuk dilakukan. Dalam hal ini tindakan baik merupakan sebuah kewajiban sedangkan
tindakan buruk menjadi sebuah larangan. Dengan demikian, adanya etika normatif
dapat dirumuskan prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dalam sistem filsafat, ukuran baik buruknya suatu tindakan akan dipandang secara umum
atau dapat dikatakan berlaku bagi semua manusia tanpa terkecuali. Sistem filsafat ini
menekankan pada aspek tujuan dari pelaku tindakan dan sistem ini dapat disebut pula
dengan etika deontologis atau etika kewajiban. Seseorang diwajibkan untuk bertindak atas
dasar kebaikan moral.

2
1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan beberapa rumusan masalah


yaitu: 1. Apa pengertian etika deontologis?

2. Bagaimana sudut pandang penilaian moral dalam etika deontologis?

3. Bagaimana kekuatan dan kelemahan pada etika deontologis?

4. Bagaimana penerapan etika deontologis dalam kehidupan?

1.2 Tujuan Pembahasan

Berkaitan dengan rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, berikut


beberapa tujuan yang ingin dicapai:

1. Mengetahui dan memahami konsep etika deontologis.

2. Mengetahui prinsip dan penilaian moral dalam etika deontologis.

3. Mengetahui kekuatan dan kelemahan sudut pandang etika deontologis.

4. Memahami penerapan etika deontologis dalam kehidupan sehari-hari.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

1.3 2.1 Pengertian Etika Deontologis

Istilah deontologi diambil dari kata Yunani, yakni deon yang memiliki makna
“kewajiban”. Teori ini dicetuskan oleh seorang filsuf terkemuka yaitu Immanuel Kant.
Pendekatan secara deontologis dalam etika menganggap moralitas sebagai kewajiban (duty)
atau sebuah peraturan moral yang seharusnya diikuti oleh seseorang. Etika deontologis
membahas mengenai norma-norma universal yang harus diikuti dan menjadi penentu
terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang. Etika deontologis juga membahas
mengenai bagaimana perilaku seseorang yang seharusnya, serta berbicara mengenai apa
yang benar dan apa yang salah. Dengan kata lain, etika deontologis tidak melihat
akibat atau konsekuensi yang ditimbulkan, melainkan mengedepankan moralitas prinsip.

Dalam teori ini tindakan tidak pernah dinilai menjadi baik karena dampak yang
dihasilkan baik, melainkan karena tindakan tersebut merupakan kewajiban. Oleh karena
itu, dapat dimengerti bahwa deontologi menjelaskan suatu perbuatan tidak dibenarkan
karena tujuannya. Meskipun suatu tindakan yang dilakukan itu tujuannya baik, namun jika
cara untuk melakukan tindakan tersebut salah maka tujuan dari tindakan tersebut
dianggap tidak baik. Secara sederhananya, teori ini menegaskan baik buruk atau salah dan
benarnya suatu tindakan itu tidak dilihat maupun dinilai berdasarkan akibat yang
ditimbulkannya, melainkan sebagai sebuah kewajiban yang dimiliki individu tersebut.
Sebagai contohnya, kita sebagai seorang anak memiliki kewajiban untuk membantu
orang tua dan sebagai warga negara Indonesia kita memiliki kewajiban untuk membayar
pajak.

Deontologi terletak pada akal budi manusia karena akal dianggap sebagai
sumber dari berbagai aturan moral. Selanjutnya, hal tersebut dapat diekspresikan oleh
manusia melalui kehendak. Dimana setiap tindakan yang dilakukan dikatakan benar jika
didasarkan pada kehendak baik. Sehingga dengan melakukan kehendak baik tersebut,
seseorang dianggap telah melakukan kewajibannya terlepas dari akibatnya. Immanuel Kant
juga berpendapat bahwa tindakan yang baik merupakan tindakan yang sesuai dengan
kewajiban, dimana tindakan tersebut berasal dari kehendak sendiri dan bukan bersifat
paksaan.

4
Singkatnya, teori etika ini menyatakan bahwa tindakan yang bermoral tidak
dinilai dari akibatnya. Karena akibat maupun dampak yang ditimbulkan tidak bisa kita
kontrol. Maka dari itu, teori ini menganggap bahwa dampak yang ditimbulkan
merupakan sesuatu yang tidak perlu dipertimbangkan. Melainkan niat atau kehendak baik
dalam melakukan suatu kewajiban tersebut yang dianggap memiliki nilai moral. Sehingga
secara substansial, teori ini berpandangan bahwa perilaku bermoral itu harus melibatkan
kesadaran diri pelaku, yakni menekankan sifat perilaku manusia.7 Dimana dalam setiap
tindakan tersebut dilakukan secara sadar dan berasal dari kehendak setiap individu.

1.4 2.2 Prinsip dan Penilaian Moral dalam Etika Deontologis

Etika deontologis menilai suatu tindakan baik atau buruk berdasarkan kesesuaian
tindakan tersebut dengan kewajiban. Secara tidak langsung, etika deontologis seperti
mengharuskan kita untuk melakukan kewajiban berbuat baik. Di dalam etika deontologi,
terdapat tiga prinsip yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Agar tindakan memiliki nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan
kewajiban.
2. Nilai-nilai moral dari suatu tindakan, tidak dapat ditentukan berdasar tercapainya
tujuan suatu tindakan, melainkan ditentukan oleh kehendak baik yang membuat
seseorang mau melakukan tindakan tersebut. Maka walaupun tujuan tidak tercapai,
tindakan itu sudah dinilai baik.
3. Kedua prinsip tersebut memberi pengaruh bahwa tindakan yang dilakukan
berdasarkan pada sikap patuh dan hormat kepada hukum moral secara universal
merupakan suatu kewajiban.

Dengan kata lain, etika deontologis mengartikan suatu tindakan baik berdasarkan
tindakan yang dilakukan berdasarkan moral yang baik dan keinginan kita. untuk melakukan
kewajiban kita untuk berbuat baik. Hukum moral biasanya berlaku bagi semua orang di
segala waktu dan seluruh tempat. Hukum moral dapat diartikan sebagai perintah tak
bersyarat, hal ini merupakan perintah yang dilaksanakan tanpa memperdulikan apakah
akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak. Maka dari itu, etika
deontologis tidak memperhatikan hasil atau akibat dari suatu tindakan.

5
1.5 2.3 Kekuatan dan Kelemahan Etika Deontologis

Etika deontologis mengedepankan pertimbangan atas kewajiban di mana baik


buruknya suatu tindakan diperhatikan dari kesesuaian tindakan tersebut atas kewajiban
tindakan moral kita sebagai sesama manusia yang berakal budi. Saat melakukan suatu
tindakan atas dasar kewajiban, maka dapat dikatakan bahwa disini terdapat kehendak yang
baik. Akan tetapi, apabila hal ini ditinjau lebih jauh lagi maka akan menghadapi kondisi
dilematis dan memunculkan beberapa pertimbangan karena situasi yang dihadapi
terkadang tidak mudah untuk diselesaikan hanya dengan satu sudut pandang saja. Dalam hal
ini, sudut pandang yang dibahas yaitu etika deontologis. Maka dari itu, perlu adanya kajian
akan kekuatan dan kelemahan dalam menggunakan sudut pandang berdasar pada etika
deontologis.

Terdapat beberapa kekuatan dalam etika deontologis. Pertama, memperkuat


penilaian objektif terhadap suatu tindakan manusia yang berdasar pada rasionalitas dan
kesadaran moral. Immanuel Kant mengatakan bahwa kewajiban tidaklah bergantung pada
perasaan, gerak hati atau kecenderungan, akan tetapi semata-mata hubungan antar makhluk-
makhluk rasional. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, etika deontologis ini
terfokus perihal akal dan kewajiban. Maka dari itu hal ini membuat penilaian akan
tindakan manusia dalam bermasyarakat semakin objektif karena penilaian berdasar pada
rasionalitas serta kesadaran moral manusia sebagai makhluk yang berakal budi.

Kedua, etika deontologis sangat membantu dalam penilaian moralitas tindakan


manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa suatu tindakan dinilai benar
secara moral harus berdasar pada prinsip yang berlaku untuk semua orang pada umumnya,
bukan hanya pada individu tertentu. Oleh karena tindakan yang dilakukan sudah berlaku
secara umum menjadi suatu kewajiban dan memang harus dilakukan antar manusia,
maka penilaian baik buruk tindakan secara umum akan lebih mudah dipertimbangkan.

Ketiga, mengedepankan otonomi dan martabat manusia sebagai makhluk berakal.


Pada sudut pandang etika deontologis, hak manusia dalam menentukan tindakan dan
juga kewajiban untuk menggunakan akal budi dalam menentukan atau menilai tindakan
berfungsi secara penuh. Dengan ini, dapat ditunjukkan bahwa akal budi merupakan dasar
hukum yang mutlak dalam teori etika deontologis. Sehingga etika deontologis memiliki

6
kekuatan dalam mengedepankan otonomi dan martabat manusia sebagai makhluk yang
berakal.

Selain kekuatan yang dimiliki oleh etika deontologis, terdapat pula beberapa
kelemahan dalam etika deontologis. Pertama, tidak luwes dan terlalu kaku terhadap
suatu kewajiban. Hal ini memiliki maksud bahwa terkadang berbuat baik dalam sudut
pandang etika deontologis hanya terkesan dilakukan sebagai kewajiban dan melawan impuls
kita menanggapi sesuatu hal berkaitan dengan moral. Sehingga mungkin tindakan yang
didasarkan pada rasa kasih sayang antar manusia tidak diindahkan di sini tetapi, lebih kepada
seberapa penting dan wajib tindakan itu dilakukan oleh kita sebagai manusia berakal.

Kedua, munculnya masalah karena konsekuensi atau akibat atas tindakan dalam sudut
pandang ini dikesampingkan. Terkadang masalah yang dihadapi juga membutuhkan
pertimbangan lain. Misalkan dihadapkan dengan suatu masalah yang menuntut kita untuk
berbohong dan menutupi masalah demi menjaga kesehatan orang tua. Jika diselesaikan dalam
sudut pandang deontologis, maka hal tersebut merupakan hal yang salah. Alasannya yaitu
karena menurut Kant, wajib untuk mengatakan kebenaran. Namun pada praksisnya, tidak
dapat dihindari bahwa konsekuensi atau akibat dari tindakan perlu masuk dalam
pertimbangan terhadap penilaian tindakan yang dilakukan. Baik buruknya suatu tindakan
tidak serta merta hanya bergantung pada wajib tidaknya suatu tindakan dilakukan namun
juga perlu memperhatikan situasi kondisi serta konsekuensi untuk penilaian tindakan
tersebut. Inilah titik di mana etika deontologis menemukan kelemahannya karena etika
deontologis cenderung menghindari penilaian subjektif dan juga berkaitan dengan hati.
Lebih jauh lagi hal ini juga dapat memicu persepsi berbeda-beda dalam menilai suatu
tindakan.

Ketiga, solusi atas masalah moral menemukan titik buntunya atau


memungkinkan keputusan yang kurang tepat apabila dihadapkan dengan permasalahan
dilema konflik moral. Hal ini terjadi karena etika deontologis hanya fokus terhadap
bertindak sesuai wajib tidaknya tindakan tersebut dilakukan. Sehingga hal ini akan menjadi
masalah apabila dihadapkan dengan dua pilihan yang menuntut sebuah kewajiban untuk
dilakukan dengan setara, sedangkan kita harus memilih salah satu dari kewajiban tersebut.
Maka dari itu, jika hanya menggunakan sudut pandang etika deontologis, hal ini
menemui jalan buntunya atau dengan kata lain etika deontologis tidak banyak membantu
dalam hal ini.

7
1.6 2.4 Kasus dan Penerapan Etika Deontologis dalam Kehidupan

Etika Deontologis pastinya sering kita jumpai di manapun kita berada. Hal ini
dikarenakan definisi dari etika deontologis sendiri adalah sistem filsafat yang menilai
tindakan seseorang baik atau tidaknya dengan atau atas dasar kewajibannya. Oleh
karena itu, inti dari etika deontologis adalah sebuah kewajiban dan kewajiban pastinya sering
kita temui setiap hari dalam kehidupan sehari-hari. Dalam 1 hari (24 jam) pastinya
manusia melakukan kewajiban. Kemudian, kewajiban tersebut disebut dengan kewajiban
moral. Hal ini dikarenakan Immanuel Kant mengatakan bahwa suatu perbuatan atau
tindakan bersifat moral jikalau hormat atau tunduk pada hukum moral. Oleh karena itu,
dapat kita simpulkan bahwa tindakan bermoral adalah bentuk dari kewajiban moral.
Kewajiban moral ini bersifat universal karena hukum moral adalah perintah tanpa syarat.
Berikut adalah contoh penerapan etika deontologis:

2. Bidang Ketenagakerjaan

Tindakan atau sikap pekerja (karyawan) yang bertanggung jawab penuh atas setiap
pekerjaan yang dipilihnya. Misal: seorang sekretaris bekerja di suatu perusahaan.
Dikarenakan posisi ia sebagai sekretaris maka ia harus bertanggung jawab atau
memiliki kewajiban untuk bekerja sebagai sekretaris sesuai dengan kode etik profesi
sekretaris, yaitu menyusun jadwal, mengolah informasi dan menerima informasi,
menjadi perantara bagi pihak-pihak yang akan berhubungan dengan pimpinan,
memegang rahasia perusahaan, melakukan surat menyurat, dan tugas atau kewajiban lainnya.
Tindakan tersebut jelas merupakan contoh penerapan etika deontologis karena
merupakan kewajiban moral seorang sekretaris yang mana bersifat universal atau tanpa
syarat dalam pelaksanaan kewajiban tersebut secara masing-masing. Hal ini dikarenakan
etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat baik atau buruk dari tindakan
tersebut. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas
moral suatu tindakan. Jadi tidak ada perintah tanpa syarat. Si pemimpin dalam kasus ini
tidak memberikan syarat dalam pengerjaan masing-masing kewajiban tersebut. Pada intinya
si pemimpin hanya menunggu hasilnya saja tanpa memberi syarat dalam prosesnya.

Sebagai contohnya misal dalam hal surat menyurat, si pemimpin hanya


memerintah atau menyuruh untuk mengirimkan surat kepada PT X. Beliau tidak
memberikan syarat dalam pengiriman surat tersebut harus bagaimana, cara

8
pengirimannya dibebaskan tergantung pilihan sekretaris. Dengan demikian, fokus disini
hanya pada kewajiban sekretaris dalam perihal surat menyurat dan sekalipun sekretaris
tidak melakukan kewajibannya sebagai sekretaris demi perihal yang baik atau demi suatu
kebaikan (misalnya beliau tidak bisa bekerja karena harus mengantarkan anaknya sekolah),
ia tetap dicap melakukan tindakan yang salah menurut etika deontologis.

3. Bidang Pendidikan (Lingkungan Sekolah dan Kampus)

Dalam bidang pendidikan, etika deontologis diterapkan dalam kehidupan sehari-


hari baik di sekolah maupun di sekolah tinggi atau kampus. Di dalam lingkungan pendidikan
tersebut pastinya ada aturan yang berisi tata tertib sekolah atau tata tertib kampus. Tata tertib
kampus diterbitkan melalui Surat Keputusan Rektor Universitas. Sebagai contoh yaitu tata
tertib kampus yang ditujukan bagi seluruh mahasiswa/i. Tata tertib ini lahir dari suatu
perikatan atau kontrak antara mahasiswa dengan pihak kampus. Selain itu, tata tertib ini
juga merupakan suatu kewajiban bagi mahasiswa/i karena telah menjadi bagian dari kampus
tersebut. Salah satu contoh aturan tata tertib di UNPAR adalah mahasiswa dilarang
berlaku tidak jujur seperti mencontek dalam tugas/karya akademik, misalnya secara
langsung menyalin tugas mahasiswa lain, atau bekerja sama dengan sesama mahasiswa dalam
upaya meningkatkan nilai mata kuliah seseorang. Aturan tersebut berasal dari Surat
Keputusan Rektor Universitas Katolik Parahyangan.

Larangan tersebut merupakan kewajiban yang harus dipatuhi atau ditaati oleh setiap
mahasiswa. Kemudian, tindakan jujur tersebut merupakan kewajiban moral di area kampus.
Jika kita menaati aturan kampus yang berisi larangan tidak jujur tersebut, maka kita dapat
dinilai sebagai orang baik. Sebaliknya jika kita melanggar aturan tersebut, maka kita
dinilai buruk di depan umum. Sekalipun kita berbohong demi kebaikan, tetapi menurut
etika deontologis itu merupakan tindakan yang buruk karena melawan suatu kewajiban yang
seharusnya dipenuhi.

4. Bidang Ketatanegaraan

Dikarenakan tindakan seseorang baik atau tidaknya dengan atau atas dasar
kewajibannya, maka membayar pajak merupakan hal yang wajib bagi semua
masyarakat. Setiap warga negara Indonesia wajib membayar pajak. Mengapa hal
demikian harus dilakukan? Sebab kontribusi warga negara dalam membayar pajak

9
sangat berpengaruh pada pendapatan negara. Menurut Rochmat Sumitro dalam Ahmad
Tjahyono dan M. Fakri Husein, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Kemudian, aturan wajib pajak juga diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
544/KMK.04/2000. Di dalam Keputusan Menteri tersebut dijelaskan kriteria wajib pajak
yang dimaksud.

Jika dikaitkan dengan teori etika deontologis, kegiatan wajib membayar pajak sesuai
dengan ajaran teori etika deontologis. Hal ini dikarenakan tindakan baik seorang warga
negara didasarkan pada kewajiban. Jika seorang warga negara membayar pajak, ia melakukan
tindakan terpuji. Begitupun sebaliknya. Membayar pajak sudah menjadi suatu kewajiban
moral yang bersifat universal. Oleh karena itu, siapapun yang tidak membayar pajak demi
suatu kebenaran, menurut etika deontologis tindakan tersebut tetap salah atau dinilai sebagai
suatu tindakan buruk.

10
BAB 3

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dalam teori etika dijumpai banyak teori yang menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau
objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. Melalui
pendekatan etika deontologis, baik atau buruknya suatu tindakan harus diperhatikan dari
kesesuaian tindakan tersebut terhadap kewajiban tindakan moral kita sebagai sesama manusia
yang berakal budi. Tindakan itu tidak boleh dilakukan atas dorongan dari luar diri
manusia, entah itu kebahagiaan, politik, ekonomi, maupun faktor-faktor yang
mempengaruhi lainnya. Etika deontologis menitikberatkan pada kehendak baik dan
menurut Kant kehendak menjadi baik apabila bertindak berdasar pada kewajiban.

Kekuatan etika deontologis yaitu mengedepankan pertimbangan atas kewajiban di


mana baik buruknya suatu tindakan diperhatikan dari kesesuaian tindakan tersebut atas
kewajiban tindakan moral manusia. Dengan etika deontologis, tindakan yang dilakukan
sudah berlaku secara universal sehingga menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan
manusia. Kelemahan etika deontologis terletak pada dikesampingkannya pertimbangan
atas konsekuensi dan akibat dari suatu tindakan, karena etika deontologis cenderung kaku
terhadap kewajiban. Etika deontologis secara singkat seperti mengharuskan kita untuk
melakukan kewajiban dalam berbuat kebaikan.

11

Anda mungkin juga menyukai