Pendahuluan
Secara etimologis kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan ethikos, ethos
yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang baik. Ethikos berarti susila, keadaban,
atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Kata “etika” dibedakan dengan kata “etik” dan “etiket”.
Kata etik berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Adapun kata etiket berarti tata
cara atau adat, sopan santun dan lain sebagainya dalam masyarakat berada dalam memelihara
hubungan baik sesama manusia. Menurut Hill dan Jones etika bisnis merupakan suatu ajaran
untuk membedakan antara salah dan benar guna memberikan pembekalan pada setiap
pemimpin perusahaan ketika mempertimbangkan untuk mengambil keputusan strategis terkait
dengan masalah moral yang kompleks. Teori etika digunakan sebagai dasar dalam menilai
apakah tindakan seseorang secara moral dinyatakan benar atau salah. Seiring berkembangnya
teori etika, terdapat dua pendekatan dasar moral reasoning, yaitu teori deontologi dan teori
teleologi. Didalam berbisnis tidak hanya mengutamakan keuntungan saja namun harus
memperhatikan kepentingan pihak-pihak lain yang ikut berperan dalam kegiatan bisnis tersebut
atau terkena dampak dari kegiatan bisnis, dalam menjalankan kegiatan bisnis shareholders
harus memperhatikan nilai moral dan sosial pada setiap kegiatan bisnis yang dilakukan, serta
bisa mempertanggung jawabkannya, agar bisnis bisa berjalan sesuai dengan fungsi dan
tujuannya.
2. Hakikat Bisnis
3. Karakteristik bisnis
1.Etika Normatif
Etika Normatif adalah etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal
dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan
tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma
yang da-pat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan meng-hindarkan hal-hal yang
buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.
Atas dasar itu maka etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan
baik, dan watak yang kuat dari pelaku.Seperti yang dikatan Immanuel Kant (1734-
1804), kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun
juga.Maka, dalam menilai seluruh tindakan, kemauan baik harus selalu dinilai paling
pertama dan menjadi kondisi dari segalanya.
1.Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan
kewajiban.
2.Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari
tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang
untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah
dinilai baik.
3.Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang
niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral
universal.
Hak-hak yang dimiliki oleh setiap individu tidak mudah dilangggar dengan alasan
apapun. Memberikan kepada seseorang apa yang menjadi Haknya akan menyangkut aspek
keadilan (moral justice), sehingga juga menjadi perhatian dalam pendekatan deontologi.
Keadilan harus diberikan kepada semua orang tanpa memperhatikan siapa orangnya. Terdapat
3 (tiga) unsur hakiki dalam pengertian keadilan,yaitu (1) keadilan tertuju pada orang lain; (2)
keadilan merupakan kewajiban dan harus dilaksanakan, karena berkaitan dengan hak orang
lain; dan (3) keadilan menuntut peramaan (equality). Menurut De George ada berbagai jenis
keadilan (Satyanugraha, 2003:82), yaitu :
Teleologi berasal dari bahas kata Yunani telos, yang berarti akhir, tujuan,
maksud, dan logos, perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala
sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Etika teleologi mengukur baik
dan buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan
itu atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Artinya, teleologi bisa
diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan yang
dilakukan. Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu
bukan ukuran yang terakhir. Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat. Walaupun
sebuah tindakan dinilai salah menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat
baik, maka tindakan itu dinilai baik. Namun dengan demikian, tujuan yang baik tetap
harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum. Menurut Kant, setiap norma
dan dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi. Jadi,
sejalan dengan pendapat Kant, etika teleologi lebih bersifat situasional karena tujuan
dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
Tujuan, hasil, sasaran, atau akibat bisa dilihat dari dua segi, yaitu apa dan untuk
apa tujuan, hasil, sasaran, atau akibat tersebut. Dari sudut pandang apa terdapat dua
versi teleogi, yaitu hedonisme (hedone, dalam bahasa Yunani berarti kenikmatan) dan
eudainonisme (daimon, berarti kebahagiaan) (Magnis, 1975:80;Bertens, 1997:235-
242).Dalam pembahasan tentang eudainonisme, Aristoles menyatakan bahwa setiap
tindakan manusia mempunyai tujuan, yaitu tujuan yang dicari demi tujuan selanjutnya
(tujuan antara) dan tujuan demi tujuan itu sendiri, misalkan orang belajar mengemudi
agar dapat mengendarai kendaraan ittu sendiri.
Jika dilihat dari sudut pandang sudut pandang untuk apa hasil dan akibat itu,
makan hedonisme dan eudaimonisme tergolong egois, sehingga disebut juga egoisme
etis. Dalam hubungan ini egosime ada dua yakni, egoisme hedonistik yang berlaku
kaidah “bertindaklah sedemikian rupa sehingga mencapai kenikmatan yang paling
besar bagimu atau menghindari emua ketidaknikmatan” dan egoisme eudaimonistik
ang berlaku kaidah “bertindaklah sedemikian rupa sehingga mencapai kebahagiaan
terbesar bagimu”. Selain itu egoisme juga dapat dibedakan menjadi egoisme yang
mencolok atau egoisme psikologis yang hanya melihat kepentingan/kenikmatan diri
sendiri; egoisme kelompok yang hanya melihat kepentingan/kenikmatan kelompok;
dan egoisme yang dicerahi (enlightened egoism) yang mengikuti standar moral yang
didasarkan pada pengejaran kepentingan diri sendiri dan kepentingan pihak lain melalui
negoisasi untuk kepentigan bersama (Pratley, 1997:180-202).
Pandangn egoisme yang dicerahi dianggap lebih tepat sebagai moral bisnis
karena menghargai hak-hak pihak luar yang berkepentingan. Secara spesifik, egosime
ini menuntut pelaku bisnis mengikuti standar moral yang didasarkan ata pengejaran
kepentingan diri sendiri dan pihak lain melalui negosiasi. Jadi transaksi yang dapat
diterima secara moral tidak hanya mengoptimalkan hasil untuk para pihak yang
bernegosiasi secara langsung, tetapi juga memperhitungkan kepentingan pihak lain,
sperti pemegang saham dan pekerja.
2. Hakikat Bisnis
Keuntungan atau profit hanya muncul dalam kegiatan ekonomi yang memakai
sistem keuangan. Dalam bisnis modern untung diekspresikan dengan uang. Pada
pertukaran barang dengan barang (barter) tidak diperoleh profit, walaupun para pihak
memperoleh manfaat. Bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan khusus
memperoleh keuntungan finansial. Profit yang dihasilkan dalam kegiatan bisnis bukan
diperoleh secara kebetulan, tetapi melalui upaya-upaya khusus.
Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam sistem ekonomi pasar bebas para
pengusaha memanfaatkan sumber daya yang langka untuk menghasilkan barang dan
jasa yang berguna bagi masyarakat. Produsen akan berusaha meningkatkan penjualan
sedemikian rupa sehingga hasil bersih yang diperoleh akan mengimbangi bahkan
melebihi biaya produksi. Para pemilik perusahaan mengharapkan laba yang bisa
dipakai untuk ekspansi atau tujuan lainnya. Hasil maksimal akan dicapai dengan
pengeluaran minimal. Atau dengan kata lain efisiensi merupakan kata kunci dalam
bisnis. Maksimisasi keuntungan sangat ditekankan dalam bisnis.
Dipandang dari sudut ekonomis, good business atau bisnis yang baik adalah
bisnis yang membawa banyak untung. Oleh karena itu dapatlah dimengerti apabila
pertimbangan ekonomis menjadi satu-satunya alasan dalam berbagai pengambilan
keputusan bisnis.
Dengan tetap mengakui peran sentral dari sudut pandang ekonomis dalam
bisnis, perlu ditambahkan sudut pandang lain dalam bisnis, yaitu moral. Mengejar
keuntungan adalah hal yang wajar, asalkan tidak mengorbankan/merugikan pihak lain.
Kepentingan dan hak orang lain harus diperhatikan demi kepentingan bisnis itu sendiri.
Perilaku etis penting dalam bisnis untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan
posisi finansial bisnis itu sendiri. Dari sudut pandang moral, bisnis yang baik bukan
saja bisnis yang menguntungkan, melainkan juga bisnis yang baik secara moral.
Perilaku yang baik dalam bisnis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma
moral.
1. Hati nurani.
Suatu perbuatan dikatakan baik jika dilakukan sesuai dengan hati nurani. Tindakan
yang bertentangan dengan hati nurani dapat menghancurkan integritas pribadi. Hati
nurani merupakan norma moral yang penting tetapi sifatnya sangat subjektif,
sehingga tidak terbuka bagi orang lain. Hati nurani hanya bisa dijadikan pegangan
kalau terbentuk dengan baik. Tidak semua yang dikatakan hati nurani bisa
diandalkan dari segi moral. Oleh karena itu, penilaian tidak dapat hanya dilakukan
dari sudut hati nurani saja, melainkan harus dilakukan bersamaan dengan norma-
norma lain.
2. Kaidah emas.
Cara yang lebih objektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah Kaidah
Emas yang secara positif berbunyi: “Hendaklah memperlakukan orang lain
sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan.” Atau bila dirumuskan secara
negatif akan menjadi: “Janganlah lakukan terhadap orang lain apa yang Anda
sendiri tidak ingin dilakukan orang lain terhadap Anda.” Misalnya, kalau tidak
ingin ditipu, janganlah menipu orang lain.
3. Penilaian masyarakat.
Cara lain yang paling ampuh digunakan untuk menilai perilaku moral adalah
dengan menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini disebut
juga audit sosial. Audit sosial menuntut adanya keterbukaan atau transparansi.
Perilaku yang kurang etis biasanya sengaja disembunyikan. Tingkah laku yang baik
secara moral, tidak akan takut dengan transparansi.Namun, sikap bisnis belum
terjamin etis, bila hanya dibatasi pada hukum saja.
Baru belakangan ini bisnis dianggap sebagai sebuah profesi. Profesi dirumuskan
sebagai pekerjaan yang dilakukan untuk nafkah hidup dengan menggunakan keahlian dan
keterampilan dengan melibatkan komitmen pribadi dalam melakukan pekerjaan tersebut.
Bisnis modern mensyaratkan dan menuntut para pelaku bisnis untuk menjadi orang yang
profesional. Orang yang profesional umumnya adalah orang yang dapat dipercaya oleh
masyarakat untuk melakukan pekerjaan yang menjadi profesinya. Semakin tajam persaingan,
semakin dituntut sikap profesional untuk membangun citra bisnis yang baik melalui pelayanan
kepada masyarakat. Bisnis merupakan kegiatan menjual citra kepada masyarakat dengan cara
memenuhi kebutuhan mereka secara prima, baik, dan jujur melalui penawaran barang dan jasa
yang bermutu dan harga yang wajar. Oleh karena itu, perlu dibangun citra bisnis sebagai suatu
profesi yang diperlukan dan dihargai.
Menurut Keraf (dalam Rindjin, 2004:63) suatu profesi yang diperlukan dan dihargai
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Keompok primer terdiri dari pemilik modal atau saham (stockholders), kreditur,
pegawai, pemasok, konsumen, penyalur, pesaing atau rekanan. Yang paling penting
diperhatikan dalam suatu kegiatan bisnis tentu saja adalah kelompok primer karena
hidup matinya atau berhasil tidaknya bisnis suatu perusahaan sangat ditentukan oleh
relasi yang saling menguntungkan yang dijalin dengan kelompok primer tersebut. Demi
keberhasilan dan kelangsungan bisnis, perusahaan tidak boleh merugikan satupun
kelompok stakeholders primer diatas. Dengn kata lain, perusahaan harus menjalin relasi
bisnis yang baik dan etis dengan kelompok tersebut, seperti jujur dan bertanggung
jawab dalam penawaran barang dan jasa, bersikap adil terhadap mereka, dan saling
memahami satu sama lain. Disinilah kita menemukan bahwa prinsip etika menemukan
tempat penerapannya yang paling konkret dan sangat sejalan dengan kepentingan bisnis
untuk mencari keuntungan.
Dalam situasi tertentu kelompok sekunder bisa sangat penting bahkan bisa jauh lebih
penting dari kelompok primer, karena itu sangat perlu diperhatikan dan dijaga kepentingan
mereka. Misalnya, kelompok sosial semacam LSM, baik dibidang lingkungan hidup,
kehutanan maupun hak masyarakt lokal. Demikian pula pemerintah nasional mupun asing.
Juga, media massa dan masyarakat setempat.
Jika ingin berhasil dan bertahan dalam bisnisnya, mka perusahaan harus pandai
menangani dan memperhatikan kepentingan kedua kelompok stakeholders tersebut secara
berimbang. Perusahaan dituntut untuk tidak hanya memperhatikan kinerja dari aspek keuangan
semata, melainkan juga dari aspek – aspek lin secara berimbang. Balanced Scorecard yang
dkemukakan oleh Kaplan & Kaplan pada tahun 1970-an merupakan salah satu pendekatan
yang kini banyak digunakan dalam melakukan perencanaan strategi bisnis dan evaluasi kinerja
perusahaan. Balanced Scorecard menekankan perhatian secara berimbang antara kinerja dari
aspek internal dan eksternal, serta aspek finansial dan nonfinansial. Implementasi pendekatan
ini menunjukkan wujud nyata kesadaran bisnis akan pentingnya perhatian terhadap
stakeholders.
5. Tanggung Jawab Moral dan Sosial Bisnis
Tanggung jawab perusahaan ( CSR ) yang baik CSR yang baik (good CSR)
memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency,
accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara
keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat
shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham
perusahaan.
Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang
saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat
dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan
kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.
Tanggung jawab sosial perusahaan hanya dinilai dan diukur berdasarkan sejauh
mana perusahaan itu berhasil mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya (Milton
Friedman,The Social Responsibilities of Business to Increase Its Profits, New York
Times Magazine,13-09-1970)
2. Keuntungan ekonomis
Dengan demikian dengan konsep tanggung jawab social dan moral perusahaan
mau dikatakan bahwa suatu perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan dan
kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat,
serta lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi.
Argument ini kembali menegaskan mitos bisnis amoral yang telah kita
lihat. Dengan argument ini mau dikatakan bahwa para pemimpin perusahaan
tidak professional dalam membuat pilihan dan keputusan moral. Mereka hanya
professional dalam bidang bisnis dan ekonomi. Karena itu, perusahaan tidak
punya tenaga terampil yang siap untuk melakukan kegiatan-kegiatan social
tertentu.
Saat ini sudah banyak perusahaan yang menerapkan program program tanggung
jawab sosial. Mulai dari perusahaan yang terpaksa menjalankan program tanggung
jawab sosial-nya karena peraturan yang ada, sampai perusahaan yang benar-benar
serius dalam menjalankan program tanggung jawab sosial dengan mendirikan yayasan
khusus untuk program program tanggung jawab sosial mereka. Berdasarkan konsep
Triple Bottom Line (John Elkington, 1997) atau tiga faktor utama operasi dalam
kaitannya dengan lingkungan dan manusia (People, Profit, and Planet), program
tanggung jawab sosial penting untuk diterapkan oleh perusahaan karena keuntungan
perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan.
III.Simpulan
http://julia.staff.ipb.ac.id/2013/01/11/kode-etik-bidang-information-teknologi-etika-
profesi/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/kode-etik-berbagai-macam-profesi/
Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana. 2009. Etika Bisnis dan Profesi: Tantangan
Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta : Salemba Empat.
Dewi, Sutrisna. 2011. Etika Bisnis : Konsep Dasar Implementasi & Kasus. Denpasar :
Udayana University Press.
TEORI ETIKA DAN PROFESI BISNIS
NAMA: NIM:
1. MADE DITA DESI ARISTA 1607532007
2. KADEK SASWATA ABHIMANA NEGARA 1607532008
JURUSAN AKUNTANSI
PROGRAM STUDI NON REGULER