Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH TEORI ETIKA BISNIS, INDIKATOR

ETIKA BISNIS , MODEL ETIKA DALAM BISNIS

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1


1. Diko Gusti Sandiko Sujak /141210055
2. Poppy dwintadiva n / 141190244
3. Manuhul Pardamean Naibaho /141210005
4. Helena Talutu /141210019
5. Matias Lintang Rajendra P /141210025

Dosen Pengampuh : Herlina Dyah Kuswanti, SE, M.Si.


PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI BISNIS
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN"
YOGYAKARTA
2022/2023
Kata Pengantar
Puji Syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , atas kasih dan
penyertaanya kami boleh menyelesaikan makalah yang berjudul “ TEORI ETIKA
BISNIS, INDIKATOR ETIKA BISNIS , MODEL ETIKA DALAM BISNIS “
pada mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi.
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca tentang Teori Etika Bisnis, Indikator Etika Bisnis,Model Etika
Dalam Bisnis Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Tuhan
karuniai kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun melalui beberapa
sumber yakni melalui kajian pustaka maupun melalui media internet.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas
makalah ini. Dosen Pembimbing kami, Ibu Herlina Dyah Kuswanti, SE, M.Si.
dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai
hal. Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Tuhan
Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang
membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan, atau pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada
makalah ini, kami mohon maaf. Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-
luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada
kesempatan berikutnya.

Yogyakarta, 20 Februari
2023
Penulis, Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………. 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………….4
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………4
1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………..4

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori-Teori Etika……………………………………………………….5
2.2 Indikator Etika Bisnis………………………………………………….18
2.3 Model Etika Dalam Bisnis……………………………………………..21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………….24
3.2 Daftar Pustaka………………………………………………………….24
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keputusan moral yang diambil bisa menjadi beralasan ( memiliki
moralreasoning ) berdasarkan suatu Teori Etika . Namun sering terjadi
benturan – benturan yang diakibatkan karena pada kenyataanya banyak
terdapat teori etika, yang mengakibatkan penilaianberbeda – beda sebagai
akibat dari tidak adanya kesepakatan oleh semua orang.
Teori Deontologi sering disebut sebagai etika kewajiban karena
berpendapat bahwa tugas
merupakan moral dasar dan tidak tergantung pada konsekuensi yang
ditimbulkan, yang terdiri
dari teori hak ( rights) Keadilan ( Justice ), perhatian ( care ), dan keutamaan
(Virtue). Teori
Teleologi berpandangan bahwa suatu tindakan benar atau salah tergantung
pada konsekuensi
yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Teori ini sering juga disebut dengan
pendekatan
konsekuensialis. Teori Etika utlitiarianisme berakar dari teori Teleologi dan
sering digunakan
untuk menilai kebijakan pemerintah dan komoditas public.

1.2 Rumusan Masalah


1. Teori – Teori apa saja yang ada pada Etika ?
2. Bagaimana Indikator Etika Bisnis ?
3. Bagaimana Model Dalam Etika Bisnis ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui macam-macam teori Etika Bisnis
2. Untuk Mengetahui Indikator Etika Bisnis
3. Untuk Mengetahui Model dalam Etika Bisnis
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori-Teori Etika
A. Teori Deontologi
a. Pengertian Deontologi
Deontologi adalah pendekatan terhadap etika yang senantisa
berfokus pada kebenaran serta kesalahan atas tindakan yang
dilakukan, proses bertentangan dengan kebenaran atau kesalahan ini
sendiri dari tindakan tersebut (konsekuensial) atau dengan karakter
dan kebiasaan pelaku (etika kebajikan).
Jadi dalam hal ini bagi seorang deontolog, apakah situasi itu baik
atau buruk tergantung pada apakah tindakan yang menyebabkannya
benar atau salah. deotolog biasanya dapat dilihat dari tata perilaku
kehidupan sehari-hari oleh masyarakat.
b. Pengertian Deontologi Menurut Para Ahli
Adapun definisi deontologi yang dikemukakan oleh para ahli, antara
lain adalah sebagai berikut;
1. Ethics Unwrapped
Deontologi adalah teori etika yang menggunakan aturan untuk
membedakan yang benar dan yang salah. Deontologi sering
dikaitkan dengan filsuf Immanuel Kant. Kant percaya bahwa
tindakan etis mengikuti hukum moral universal, seperti “Jangan
berbohong. Jangan mencuri. Jangan curang. ”
Deontologi mudah diterapkan. Itu hanya mengharuskan orang
untuk mengikuti aturan dan melakukan tugas mereka. Pendekatan
ini cenderung cocok dengan intuisi alami kita tentang apa yang etis
atau tidak. Etika di masyarakat dalam kehidupuan sehari-hari aldaah
suatu bagain dari deontolog.
Tidak seperti konsekuensialisme, yang menilai tindakan
berdasarkan hasilnya, deontologi tidak perlu mempertimbangkan
biaya dan manfaat dari suatu situasi. Ini menghindari subjektivitas
dan ketidakpastian karena seseorang hanya harus mengikuti aturan
yang ditetapkan.
2. Encyclopedia Britannica
Etika deontologis, dalam filsafat, merupakan teori-teori etis yang
menempatkan penekanan khusus pada hubungan antara tugas dan
moralitas tindakan manusia. Dalam etika deontologis suatu
tindakan dianggap baik secara moral karena beberapa karakteristik
dari tindakan itu sendiri, bukan karena produk dari tindakan itu baik.
Etika deontologis menyatakan bahwa setidaknya beberapa tindakan
wajib secara moral terlepas dari konsekuensinya bagi kesejahteraan
manusia. Maka dari itu pernyataan tentang deontolog harus
memberikan konsekuensi yang lebih jelas.
3. Stanford Encyclopedia Of Philosophy
Dalam filsafat moral kontemporer, deontologi adalah salah satu dari
jenis teori normatif mengenai pilihan mana yang secara moral
diperlukan, dilarang, atau diizinkan. Dengan kata lain, deontologi
berada dalam domain teori-teori moral yang memandu dan menilai
pilihan kita tentang apa yang harus kita lakukan (teori deontik).
c. Macam Deontologi
Dalam sistem moral ‘Deontologis’ konsekuensi dari suatu tindakan
biasanya dianggap tidak relevan dengan penilaian moral (misalnya,
“tujuan tidak pernah membenarkan cara”). Sebagai cabang dari teori
etika normatif, Deontologi dapat dibagi menjadi dua jenis utama:
1. Teori Deontologi Tindakan
Yang termasuk dalam teori deontologi tindakan, antara lain adalah
sebagai berikut;
1. Etika Situasional,
2. Eksistensialisme
2. Teori Deontologi Peran
Yang termasuk di dalam teori deontologi peran, diantaranya;
1. Teori Imperatif Kategorikal (yaitu, moralitas Kantian)
2. Perintah Ilahi/Teori Hukum Alam
d. Ciri Deontologi
Ciri utama dari teori deontologis adalah: bagaimana seseorang harus
bertindak didefinisikan secara independen dari kebaikan (moral).
teori-teori deontologis selalu menghasilkan “imperatif kategoris”
(yaitu, tugas-tugas yang terlepas dari teori kebaikan apa pun). di sini,
penekanan pada tindakan daripada (seperti dalam utilitarianisme)
pada hasil.
Dalam etika ini, kita tidak dapat membenarkan tindakan dengan
menunjukkan bahwa tindakan itu menghasilkan konsekuensi yang
baik, itulah sebabnya kadang-kadang disebut ‘non-Konsekuensial’.
Sebuha tindakan yang dilakukan oleh banyak orang dan bisa
dikatakn baik atau tidak.
Masalah utama untuk teori deontologis adalah mendefinisikan benar
tanpa menarik kebaikan. Contoh cara mengatasi masalah ini:
1. Benar adalah apa yang diperintahkan Tuhan (Teori Perintah
Ilahi)
2. Benar adalah apa yang diperintahkan masyarakat (Relativisme
Moral)
Etika deontologis (berbasis tugas) menekankan terhadap apa yang
dilakukan (tindakan) orang, bukan dengan konsekuensi dari
tindakan mereka: Lakukan hal yang benar; Lakukan karena itu hal
yang benar untuk dilakukan; Jangan lakukan hal yang salah; Hindari
itu karena salah.
e. Dampak Deontologi

Deontologi mengajarkan agar hidup dalam semesta sesuai aturan


moral, seperti: Membunuh orang yang tidak bersalah adalah salah;
Mencuri itu salah; Berbohong itu salah; Menepati janji adalah benar.
Seseorang yang mengikuti etika berbasis kewajiban harus
melakukan hal yang benar, bahkan jika itu menghasilkan lebih
banyak kerugian (atau kurang baik) daripada melakukan hal yang
salah.
Bagaimanapun, deontologi tetap memiliki dampak yang baik dan
buruk baik kehidupan. Adapun dampak baik atau poin-poin yang
baik dari etika berbasis kewajiban ini diantarnya yaitu:
1. Menekankan nilai setiap manusia
2. Sistem etika berbasis kewajiban cenderung fokus untuk
memberikan penghormatan yang sama kepada semua manusia.
Akan tetapi di dalam kehidupan masyarakat mempunyai strata
sosial atau biasa disebut piramida sosial.
3. Prinsip ini memberikan dasar untuk hak asasi manusia – itu
memaksa dengan pertimbangan diberikan untuk kepentingan satu
orang bahkan ketika itu bertentangan dengan kepentingan
kelompok yang lebih besar.
4. Etika berbasis kewajiban dari Kantian mengatakan bahwa beberapa
hal tidak boleh dilakukan, apa pun konsekuensi baiknya yang
mereka hasilkan. Ini sepertinya mencerminkan cara sebagian
manusia berpikir baik atau benar.
5. Etika berbasis tugas Rossian memodifikasi ini untuk
memungkinkan berbagai tugas agar diseimbangkan, yang dapat
diperdebatkan, bahkan lebih cocok dengan cara kita berpikir.
6. Memberikan ‘kepastian’ karena teori-teori etis konsekuensialis
membawa ketidakpastian pada pengambilan keputusan etis, dalam
hal tidak ada yang bisa memastikan tentang konsekuensi apa yang
akan dihasilkan dari tindakan tertentu, karena masa depan tidak
dapat diprediksi. Beragam jenis etika berbasis kewajiban tidak
bermasalah dengan hal tersebut karena mereka peduli dengan
tindakan itu sendiri jika suatu tindakan adalah tindakan yang benar,
maka seseorang harus melakukannya, jika itu tindakan yang salah
mereka seharusnya tidak melakukannya.
7. Berkaitan dengan niat dan motif. Teori konsekuensialis tidak
memperhatikan langsung apakah suatu tindakan dilakukan dengan
niat baik atau buruk; kebanyakan orang berpikir ini sangat relevan
dengan penilaian moral. Etika berbasis kewajiban setidaknya dapat
mencakup niat dalam 2 cara, yaitu: Jika seseorang tidak berniat
melakukan tindakan yang salah, itu mungkin kecelakaan-maka dari
sudut pandang deontologis kita mungkin berpikir bahwa mereka
tidak melakukan sesuatu yang pantas dikritik.
Sedangkan dampak negatif atau poin-poin yang buruk etika berbasis
kewajiban, antara lain:
1. Absolut
Etika berbasis kewajiban menetapkan aturan absolut. Satu-satunya
cara untuk menangani kasus-kasus yang tampaknya tidak cocok
adalah dengan membuat daftar pengecualian untuk aturan tersebut.
Setelah menulis tersebut maka harus dipatuhi.
2. Memungkinkan tindakan yang membuat dunia menjadi tempat yang
kurang baik
Karena etika berbasis kewajiban tidak berorientasi pada hasil, maka
dapat mengarah pada tindakan yang menghasilkan pengurangan
kebahagiaan dunia secara keseluruhan. Pada hasi lini lebih
mementingkan prosesnya daipada hasilnya.
3. Sulit untuk merekonsiliasi tugas yang saling bertentangan
Contoh etika berbasis kewajiban tidak berurusan dengan kasus-
kasus di mana kewajiban-kewajiban bertentangan.
f. Contoh Deontologi
Adapun untuk contoh penerapan dalam deontologi antara lain sebagai
berikut;
1. Demokrasi
Pertimbangkan misalnya hak untuk memilih. Dalam pengertian
demokrasi, pemungutan suara dianggap sebagai hak. Tetapi
bagaimana dengan orang yang tinggal di komunitas terpencil?
Membutuhkan uang untuk mendirikan tempat pemungutan suara,
dan jika kita hanya memikirkan hasil, argumen dapat dibuat bahwa
suara mereka tidak masalah. Tidak ada pemerintah yang terpilih
karena segelintir orang di komunitas kecil memilih mereka.
Demokrasi adalah dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat.
Jadi mengapa mereka memilih? Akan lebih masuk akal, dari sudut
pandang hasil, hanya untuk memberi tahu mereka “Anda tidak
masalah jika tidak memilih,” dan menghabiskan waktu & uang
untuk sesuatu yang lebih berguna.
Tapi orang yang menganut etika deontologi tidak melakukannya.
Mereka menganggap pemungutan suara sebagai definisi HAK, dan
karenanya setiap sistem pemerintahan memiliki kewajiban untuk
memastikan setiap orang memiliki kesempatan untuk memilih.
Itulah deontologi yang sedang beraksi
Dari penjelasan yang dikemukakan, dapatlah dikatakan bahwa
setiap kali kita menjalankan kewajiban atau prinsip, tanpa
memperhatikan hasil, kita mengadopsi pendekatan deontologis yang
luas.
Sehingga dalam hal inilah setidaknya mencerminkan bahwa
deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena
tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik.
Dalam hal ini kita tidak diperbolehkan melakukan suatu kejahatan
agar sesuatu yang dihasilkan itu baik, sebab dalam teori deontologi
kewajiban tidak bisa ditawar lagi karena ini adalah suatu keharusan.
Contohnya saja kita tidak boleh mencuri, berbohong kepada orang
lain melalui ucapan dan perbuatan.tindakan yang kurang baik untuk
dipandang jangan sesekali untuk dilakukan.
Bahkan kadang-kadang deontologi digambarkan sebagai etika
“berbasis tugas” atau “berdasarkan kewajiban“, karena Deontologi
percaya bahwa aturan etika mengikat orang pada tugas mereka.
Istilah “deontologi” berasal dari bahasa Yunani “deon” yang berarti
“kewajiban” atau “tugas“, dan “logo” yang berarti “berbicara” atau
“belajar”, dan pertama kali digunakan dengan cara ini pada tahun
1930, dalam buku “Five Types of Ethical Theory “oleh CD Broad
(1887 – 1971).
2. Jika seseorang diberi tugas dan melaksanakannya sesuai dengan
tugas maka itu dianggap benar, sedang dikatakan salah jika tidak
melaksanakan tugas

B. Teori Teleologi
”teleologi” berasal dari kata Yunani telos, yang berarti tujuan, dan logos
berarti ilmu atau teori. Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi
menjawab pertanyaan bagaimana bertindak dalam situasi konkret tertentu
dengan melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Dengan kata lain,
etika teleologi menilai baik-buruk suatu tindakan berdasarkan tujuan atau
akibat dari tindakan tersebut. Suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan
baik dan mendatangkan akibat baik. Jadi, terhadap pertanyaan, bagaimana
harus bertindak dalam situasi konkret tertentu, jawaban etika teleologi
adalah pilihlah tindakan yang membawa akibat baik.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa etika teleologi lebih bersifat


situasional dan subyektif. Kita bisa bertindak berbeda dalam situasi yang
lain tergantung dari penilaian kita tentang akibat dari tindakan tersebut.
Demikian pula, suatu tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan
norma dan nilai moral bisa dibenarkan oleh etika teleologi hanya karena
tindakan itu membawa akibat yang baik.
Persoalannya, tujuan yang baik itu untuk siapa? Untuk kita pribadi,
untuk pihak yang mengambil keputusan dan yang melaksanakan
keputusan atau bagi banyak orang? Apakah tindakan tertentu dinilai baik
hanya karena berakibat baik untuk kita, atau baik karena berakibat baik
bagi banyak orang? Berdasarkan jawaban atas pertanyaan ini, etika
teleologi bisa digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan
utilitarianisme.
Egoisme etis menilai suatu tindakan sebagai baik karena berakibat
baik bagi pelakunya. Kendati bersifat egoistis, tindakan ini dinilai baik
secara moral karena setiap orang dibenarkan untuk mengejar kebahagiaan
bagi dirinya. Oleh karena itu, setiap tindakan yang mendatangkan
kebahagiaan bagi diri sendiri akan dinilai baik secara moral. Sebaliknya,
buruk kalau kita membiarkan diri kita menderita dan dirugikan.

Utilitarianisme menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan


akibatnya bagi banyak orang. Etika utilitarianisme ini pertama kali
dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan yang
dihadapi oleh Bentham dan orang-orang sezamannya adalah bagaimana
menilai baik-buruk suatu kebijakan sosial, politik, ekonomi dan legal
secara moral. Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijakan publik.
Apa kriteria dan dasar obyektif yang dapat dipakai sebagai pegangan
untuk mengambil dan menilai sebuah kebijakan publik sebagai benar
secara moral? Ini penting terutama karena kebijakan publik sangat
mungkin diterima oleh kelompok yang satu, tetapi ditolak oleh kelompok
yang lain karena merugikan.
Dalam mencari dasar obyektif tersebut, Bentham menemukan
bahwa dasar obyektif itu dengan melihat apakah suatu kebijakan atau
tindakan publik membawa manfaat atau akibat yang berguna, atau
sebaiknya kerugian bagi orang-orang terkait. Jadi, suatu kebijakan atau
tindakan publik tidak dinilai sebagai baik atau buruk berdasarkan nilai
kebijakan atau tindakan itu sendiri sebagaimana dalam teori deontologi.
Bagi Bentham dan para penganut teori utilitarianisme, dasar
obyektif itu adalah manfaat yang ditimbulkan oleh kebijakan atau tindakan
tersebut bagi banyak orang. Secara lebih terinci, kita dapat merumuskan
dasar obyektif itu dalam tiga kriteria berikut. Kriteria pertama adalah
manfaat, yaitu kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat tertentu.
Jadi, kebijakan atau tindakan baik adalah kebijakan atau tindakan yang
menghasilkan hal baik. Sebaliknya, akan dinilai buruk secara moral kalau
mendatangkan kerugian atau hal buruk.
Kritena kedua adalah manfaat terbesar, yaitu kebijakan atau
tindakan tersebut mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar
dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan alternatif lain, atau dalam
situasi di mana semua alternatif yang ada ternyata sama-sama
mendatangkan kerugian, tindakan yang baik adalah tindakan yang
mendatangkan kerugian terkecil.
Kriteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin
orang. Artinya, suatu kebijakan atau tindakan dinilai baik kalau manfaat
terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang. Semakin banyak
orang yang menikmati akibat baik tadi, Semakin baik kebijakan atau
tindakan tersebut.

Maka, di antara tindakan yang sama-sama mendatangkan manfaat, pilih


yang manfaatnya terbesar dan di antara yang manfaatnya terbesar, pilih
yang manfaatnya dinikmati paling banyak orang.
Secara singkat, prinsip yang dianut etika utilitarianisme adalah
bertindaklah sedemikian rupa agar tindakanmu itu mendatangkan manfaat
sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang (the greatest good for the
greatest number). Tidak usah bersusah payah mencari norma dan nilai
moral yang menjadi kewajiban kita. Yang perlu kita lakukan hanya
menimbang-nimbang akibat dari suatu tindakan untuk melihat apakah
bermanfaat atau merugikan.
Etika utilitarianisme mempunyai tiga keunggulan sebagai berikut.
Pertama, kriterianya rasional. Maksudnya, utilitarianisme mendasarkan
penilaian dan pertimbangan moral pada kriteria rasional. Ketiga kriteria
obyektif utilitarianisme tersebut di atas bisa diterima masuk akal oleh
siapa saja yang berhadapan dengan dilema dan pilihan moral yang sulit.
Dalam situasi dilematis, ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, kita
diberi kriteria rasional dan jelas. Ada pegangan yang membuat kita
mengambil keputusan moral secara lebih mudah. Ada dasar rasional
mengapa kita memilih alternatif yang satu dan mengabaikan yang lain.
Kedua, etika utilitarianisme menghargai kebebasan setiap individu
dalam menentukan sikap moral, dalam mengambil keputusan dan
tindakan. Maksudnya, kita tidak dibebani begitu saja oleh norma dan nilai
moral yang sudah umum berlaku, tetapi dibiarkan untuk memilih sendiri
tindakan yang kita nilai benar berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Kita
tidak lagi dipaksa untuk sekadar mematuhi norma dan nilai tertentu (tetapi
mengapa saya harus mematuhinya?) Kita melakukan tindakan tertentu
(yang sesuai dengan norma dan nilai moral tertentu) karena memang
tindakan itu dalam pertimbangan kita mendatangkan manfaat terbesar bagi
banyak orang. Kita mempunyai kebebasan untuk memutuskan sendiri
sekaligus mempertanggungjawabkan mengapa kita memilih tindakan
tersebut.

Ketiga, unsur positif yang lain adalah bahwa utilitarianisme lebih


mengutamakan kepentingan banyak orang daripada kepentingan sendiri
atau segelintir orang. Maksudnya, dasar pertimbangan mengapa suatu
tindakan dipilih dan bukan yang lainnya karena tindakan tersebut
membawa manfaat bagi banyak orang. Oleh karena itu, utilitarianisme
tidak bersifat egoistis. Semakin banyak orang memperoleh manfaat dari
suatu kebijakan atau tindakan, semakin baik kebijakan atau tindakan
tersebut. Utilitarianisme tidak

mengukur baik-buruknya suatu tindakan berdasarkan kepentingan pribadi


dan kelompok.
Ketiga keunggulan ini yang menyebabkan etika utilitarianisme
banyak dipakai-secara sadar ataupun tidak-dalam berbagai kebijakan dan
tindakan publik. Idealnya, suatu kebijakan publik membawa manfaat atau
menguntungkan bagi semua orang dan pihak terkait. Dalam banyak kasus,
ini tidak mungkin karena semua orang mempunyai kepentingan yang
berbeda. Secara moral, suatu kebijakan akan dinilai benar secara moral,
kalau memenuhi ketiga kriteria tersebut. Ketika kita tidak bisa memuaskan
semua orang, kebijakan tersebut dinilai sebagai baik secara moral, kalau
paling tidak sebagian terbesar orang atau pihak terkait diuntungkan
dengan kebijakan tersebut.
Hanya saja, etika utilitarianisme pun tidak luput dari kelemahan.
Walaupun sepanjang sejarahnya merupakan sebuah teori etika yang sangat
populer dan banyak digunakan, utilitarianisme tidak luput dari berbagai
kritik. Pertama, kritik yang paling keras adalah utilitarianisme
membenarkan ketidakadilan. Maksudnya, dengan membenarkan suatu
kebijakan atau tindakan hanya karena membawa manfaat bagi sebagian
besar orang, utilitarianisme telah membenarkan kebijakan atau tindakan
tersebut merugikan kepentingan sebagian kecil orang yang tidak
mendapatkan manfaat dari kebijakan atau tindakan tadi. Kendati ada
segelintir orang yang haknya dirugikan, kebijakan tersebut dianggap benar
hanya karena membawa manfaat bagi lebih banyak orang. Jelas ini tidak
adil. Ia membenarkan adanya tumbal. Pertanyaannya, apakah kita mau
menerima kenyataan itu, kalau kita sendiri termasuk di dalam kelompok
sebagian kecil yang dirugikan?Tentu tidak. Lalu mengapa kebijakan itu
dibenarkan hanya karena ada sebagian besar orang diuntungkan?
Kedua, manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas,
sehingga dalam kenyataan praktis menimbulkan kesulitan. Susahnya,
lebih sering manfaat tersebut dilihat dalam kerangka kuantitas
materialistis. Sering kali kita membenarkan suatu kebijakan atau tindakan
hanya karena kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat material.
Manfaat non-material seperti nama baik, kesehatan, hak, dan semacamnya
sering tidak diperhitungkan.
Ketiga, sering kali beberapa variabel sulit di kuantifikasi sehingga
tidak mudah untuk menentukan manakah manfaat terbesar dibandingkan
dengan yang lainnya. Keselamatan kerja, lingkungan hidup, rusaknya
hutan, rusaknya terumbu karang, polusi udara dan seterusnya sulit di
kuantifikasi
untuk menentukan manfaat terbesar. Dalam hal ini, etika utilitarianisme
sangat membenarkan pelepasan tanaman transgenik, misalnya, hanya
karena mendatangkan manfaat ekonomis material yang besar. Atau,
pengerukan pasir akan dibenarkan karena manfaat ekonornis-material
yang besar.
Keempat, manfaat yang dimaksudkan oleh etika utilitarianisme
sering dilihat dalam jangka pendek. Padahal, dalam menilai akibat suatu
tindakan kita harus melihatnya dalam jangka panjang. Ini sangat penting,
khususnya yang berkaitan dengan kebijakan dan tindakan di bidang
lingkungan. Manfaat dan kerugian lingkungan tidak selalu bisa dilihat dan
diukur dalam jangka pendek. Apalagi dalam perspektif etika, banyak
dampak yang berkaitan dengan nilai moral baru bisa dilihat jauh setelah
kebijakan atau tindakan dilaksanakan.
Kelima, utilitarianisme tidak menganggap serius nilai suatu
tindakan, atau lebih tepat lagi nilai sebuah norma atau kewajiban
melainkan hanya memperhatikan akibatnya. Dengan begitu,
utilitarianisme sangat mungkin membenarkan peredaran narkoba dan
perdagangan perempuan, misalnya, karena tindakan itu mendatangkan
manfaat besar. Padahal, jelas-jelas melanggar norma dan nilai moral. Itu
sebabnya mengapa Kant beranggapan bahwa kalau akibat menjadi tolok
ukur penilaian moral atas suatu tindakan, hilanglah universalitas moral,
karena setiap tindakan bisa mendapat penilaian moral yang berbeda
berdasarkan akibat yang ditimbulkan. Demikian pula utilitarianisme tidak
pernah menganggap serius motivasi yang ada di balik tindakan itu.
Keenam , seandainya ketiga kriteria tersebut saling bertentangan,
ada kesulitan dalam menentukan prioritas di antara ketiganya. Misalnya
saja, tindakan A mempunyai manfaat 40 persen, tetapi dinikmati oleh 60
persen orang. Tindakan B membawa manfaat 60 persen, tetapi dinikmati
oleh 40 persen orang. Manakah yang harus diprioritaskan: manfaat
terbesar atau jumlah orang paling banyak yang menikmati manfaat
tersebut kendati manfaatnya lebih kecil?.
Para filsuf penganut etika utilitarianisme menyadari kelemahan-
kelemahan etika ini. Oleh karena itu, salah satu jalan keluar yang
disodorkan adalah, dengan membedakan dua tingkatan etika
utilitarianisme: utilitarianisme aturan dan utilitarianisme tindakan.
Dengan pembedaan ini, maka, pertama, harus dicek terlebih dahulu
apakah kebijakan dan tindakan itu sejalan dengan aturan atau norma moral
yang ada atau tidak. Kalau tidak sejalan, kebijakan atau tindakan itu
ditolak, kendati membawa manfaat yang
besar. Kasus seperti peredaran narkoba dan perdagangan perempuan harus
ditolak kendati membawa manfaat besar, karena bertentangan dengan
norma dan nilai moral. Sebaliknya, kalau tidak bertentangan dengan
norma atau nilai moral tertentu, kita dapat menggunakan ketiga kriteria
tersebut untuk menentukan apakah kebijakan atau tindakan itu dipilih atau
ditolak. Dengan jalan ini, norma dan nilai moral tidak diabaikan begitu
saja hanya karena suatu kebijakan atau tindakan membawa manfaat
terbesar.
Kedua, dalam menilai suatu kebijakan dan tindakan berdasarkan
akibatnya, kita jangan hanya melihat akibat material fisik melainkan juga
perlu memperhitungkan akibat non-material, termasuk kerusakan mental
dan moral, serta kehancuran lingkungan. Demikian pula, manfaat tersebut
jangan hanya dilihat dalam kerangka jangka pendek melainkan juga
jangka panjang. Kendati dalam jangka pendek suatu kebijakan atau
tindakan ternyata menuntut biaya tinggi, tetapi ternyata dalam jangka
panjang jauh lebih menguntungkan: bukan hanya dari segi ekonomi
melainkan juga dari segi kesehatan, lingkungan, mental, moral, budaya.
Hal itu harus dinilai positif dan dipilih daripada kebijakan dan tindakan
yang membawa manfaat jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang jauh
lebih merugikan.
Ketiga, dalam kasus ketika kita terpaksa mengambil kebijakan dan
tindakan yang tidak bisa menguntungkan semua pihak, dan terpaksa-
karena tidak ada alternatif lain yang lebih baik mengorbankan kepentingan
segelintir orang, jalan keluar yang paling baik adalah, dengan pendekatan
pribadi untuk bisa memberi kesempatan kepada pihak yang dikorbankan
untuk menyampaikan aspirasi. Mereka perlu didengar dan berusaha
mencari jalan keluar, termasuk kompensasi yang mungkin tidak maksimal,
tetapi bisa diterima. Dalam hal ini, penting sekali pendekatan yang
memperlihatkan bahwa kita tidak bermaksud mengabaikan hak dan
kepentingan mereka, bahkan sangat menghargai mereka, termasuk
aspirasi, hak dan kepentingan mereka. Namun, tidak ada alternatif
kebijakan lain yang lebih baik. Dengan komunikasi, dengan kompensasi
yang bisa di terima, secara moral kita berusaha memperkecil kerugian
material, mental, dan moral yang dialami pihak yang terpaksa
dikorbankan. Dengan cara itu, kita telah memenuhi salah satu hukum
universal Kant, yaitu memperlakukan orang lain sesuai dengan harkat dan
martabat luhur yang tidak boleh diperalat bagi kepentingan orang lain.
Dengan jalan itu, kita memperlihatkan sikap hormat kita kepada
kepentingan mereka, yang sesungguhnya tidak ingin kita korbankan, tetapi
apa boleh buat karena tidak ada cara lain maka dengan sangat terpaksa kita
korbankan, tetapi dengan kompensasi yang memuaskan mereka.
C. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah
pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik
buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak merupakan suatu aspek
dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan
kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas
martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak
sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Contoh : asisten
rumah tangga yang mempunyai hak untuk mendapatkan gaji bulanannya
setelah ia melakukan kewajibannya mengurus rumah dan sebagainya.
Teori etika ini memecahkan dilema-dilema moral dengan terlebih dahulu
menentukan hak dan tuntutan moral mana yang terlibat di dalamnya,
kemudian dilema-dilema itu dipecahkan dengan berpegang pada hierarki
hak-hak. Yang terpenting dalam pendekatan ini bahwa tuntutan-tuntutan
moral seseorang yaitu haknya ditanggapi dengan serius. Dalam teori ini
dibahas tentang sesuatu yang menjadi hak seseorang, dan bagaimana hak
tersebut dihargai. Memang setiap orang memiliki hak atas dirinya, dan
orang lain juga harus bersedia menghargai hak setiap orang. Dalam realita
penafsiran hak ini menjadi bersifa subjektif, terutama unutk melihat mana
yang menjadi hak dan yang tidak menjadi hak. Memang dalam ilmu sosial
pandangan dan pemikiran sering bersifat subjektif, karena ia berbeda
dengan bidang ilmu kuantitatif yang berisi formula-formula dan angka-
angka yang harus dimasukkan hingga diperoleh hasil. Pendekatan formula
dengan berbagai turunannya tidak akan diperoleh secara maksimal pada
analisis bidang etika bisnis.namun inilah yang menarik dari ilmu sosial,
ukuran dan penjelasan dilakukan dengan pengkajian serta perdebatan yang
panjang termasuk memasukkan referensi filsafat di dalamnya.
Secara realita disebutkan bbahwa setiap manusia yang lahir di atas muka
bumiini memiliki hak. Dan hak tersebut layak untuk diperoleh dan
diperjuangkan. Diantara hak yang harus diperjuangkan adalah hak untuk
mendapatkan penghidupan yang layak, eperti memperoleh pendidikan,
kesejahteraan, pelayanan kesehatan, sama di mata hukum, dan lain
sebaginya. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak wajar oleh sebuah
perusahaan atau dirugikan maka ia layak utnuk menunutk haknya. Baik itu
secara jalur nonformal hingga formal.
Teori hak merupakan aspek dari pendekatan deontology, karena hak selalu
berkaitan dengan kewajiban manusia dalam kehidupannya memiliki
berbagai macam hak, yang diantaranya:
• Hak moral atau asasi yang mengidentifikasikan seluruh aktivitas
atau keinginan yang dapat secara bebas dilakukan tanpa dibatasi
oleh norma hukum. Misalnya hak untuk hidup.
• Hak legal yang bersumber dari norma hukum dan dilindungin dalam
lingkungan yurisdiksi suatu system hukum.
• Hak warganegara, yaitu hak-hak yang dapat dinikmati sebagai
warga negara seperti hak memilih, dan dipilih.

D. Teori Keutamaan
Memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu
perbuatan Tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya.
Keutamaan bisa didefinisikan Sebagai berikut: disposisi watak yang telah
diperoleh seseorang dan memungkinkan dia Untuk bertingkah laku baik
secara moral.
Contoh keutamaan:
a. Kebijaksanaan.
b. Keadilan.
c. Suka bekerja keras.
d. Hidup yang baik.
Keutamaan-keutamaan yang dimilliki manajer dan karyawan sejauh
mereka
Mewakili perusahaan, adalah: Keramahan, Loyalitas, Kehormatan dan
Rasa malu. Keramahan merupakan inti kehidupan bisnis, keramahan itu
hakiki untuk setiap hubungan Antar manusia, hubungan bisnis tidak
terkecuali. Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak Bekerja semata-mata
untuk mendapat gaji, tetapi juga mempunyai komitmen yang tulus dengan
perusahaan. Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan
menjadi peka Terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan
perusahaan. Rasa malu membuat Karyawan solider dengan kesalahan
perusahaan.

Contoh:
a. Kebijaksanaan: Seorang pemimpin yang memiliki sifat bijaksana
dalam segala urusan.
b. Keadilan: Mampu bersifat adil dalam menentukan pilihan.
c. Suka bekerja keras: Mau terus berjuang dalam bekerja, sehingga
pada akhirnya dapat Menikmati hasil jerih payahnya yang baik.
d. Hidup yang baik: Tidak pernah melakukan hal-hal yang dapat
merugikan sekitarnya,Dapat menikmati hidup dengan tenang,
nyaman dan damai.

2.2 Indikator Etika Bisnis


Kehidupan bisnis modern menurut banyak pengamat cenderung
mementing-kan keberhasilan material. Menempatkan material pada urutan
prioritas utama, dapat mendorong para pelaku bisnis dan masyarakat
umum melirik dan menggunakan paradigma dangkal tentang makna dunia
bisnis itu sendiri. Sesungguhnya dunia bisnis tidak sesadis yang
dibayangkan orang dan mate¬rial bukanlah harga mati yang harus
diupayakan dengan cara apa dan bagaimanapun. Dengan paradigma sempit
dapat berkonotasi bahwa bisnis hanya dipandang sebagai sarana meraih
pendapatan dan keuntungan uang semata, dengan mengabaikan
kepentingan yang lainnya. Organisasi bisnis dan perusahaan dipandang
hanya sekedar mesin dan sarana untuk memaksi-malkan keuntungannya
dan dengan demikian bisnis seuu^u-mata berperan sebagai jalan untuk
menumpuk kekayaan dan bisnis telah menjadi jati diri tidak lebih dari
mesin pengganda modal atau kapitalis.
Untuk itu diperlukan pemahaman yang ideal tentang bisnis dalam nuansa
paradigma baru dan kata ideal itu tentunya mengacu kepada nilai-nilai
filosofis dari bisnis itu sendiri. Paradigma baru dalam bisnis penuh dengan
nilai-nilai positif, didukung oleh nilai-nilai moralitas yang tinggi dan dapat
dipertanggungjawabkan kini dan akan datang. Pertanggungjawaban itu
tidak saja bagi sesama manusia selama hidup di dunia, tetapi juga kepada
Yang Menciptakan Manusia Allah Azza Wajalla.
Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang baru, bahkan
secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena
pertama, secara moral keuntungan memungkinkan organisasi/ perusahaan
untuk bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa
memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal (investor) yang bersedia
menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas
yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan
tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat
menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik.
Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan (ekspansi)
perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru (Eldine,
2008).
Nilai-nilai etika yang positif hams menjadi referensi bagi pelaku usaha dan
partisipannya dalam penyelenggaraan bisnisnya. Pelaku bisnis seyogianya
menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis
yang digelutinya. Sementara itu tugas pelaku bisnis adalah berorientasi
pada norma-norma dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari sehingga
pekerjaannya tetap berada dalam sebutan etis dan tidak merugikan
siapapun secara moral.
Penerapan dan penyampaian nilai moral dalam etika bisnis adalah suatu
kewaj iban. Dalam arti bahwa pebisnis mengemban misi untuk
menyampaikan informasi moral, baik secara formal maupun informal
dalam lingkungan perusahaannya. Disadari atau tidak, prosesi
penyampaian informasi moral ini sebenarnya telah berlangsung lama di
luar kemauan dan hajat suatu organisasi/perusahaan. Prosesi penyampaian
informasi tersebut berasal dari berbagai sumber dan sebagian perusahaan
dan pelaku bisnis telah memperlakukan atau menyeleggarakannya dengan
baik.
Sumber inier'nasi moral adalah orang tua, kerabat, lingkungan setempat,
tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, baik dengan lisan maupun
tertulis, yang berintikan ajaran moral. Bentuk-bentuk informasi moral
tersebut dapat berupa nasehat (advis), lagu-lagu, permainan, tarian, pantun,
pepatah, dongeng (mitos) dan sebagainya.
Ditilik dari dimensi waktu, prosesi penyampaian dan sosialisasi informasi
nilai moral itu ternyata telah berlangsung lama dan terus menerus.
Walaupun demikian tidak semua nilai moral yang ada diterima dan
dipraktikkan oleh pengelola organisasi/perusahaan. Keterbatasan manusia
sebagai pelaku bisnis memiliki nurani dan moral, maka nilai kebajikan dan
kebenaran itu akan diterima dengan tulus, tentu setelah melalui suatu
proses yang panjang dan berbagai upaya melalui berpikir.
Moral agama sangat penting kedudukan dan peranannya dalam
pembentukan perilaku seseorang. Ada pengaruh signifikan antara
pengajaran moral agama semasa kecil dengan perilaku seseorang tatkala
dia dewasa, sehingga berpengaruh pula terhadap tindakan atau kebijakan
bisnis yang dikelolanya. Membentuk atau menanam moral bukanlah
persoalan mudah. Prosesi itu memerlukan pengorbanan waktu, metode
yang tepat dan dilakukan dengan penuh kearifan dan kesabaran. Untuk
keefektifan prosesi pembentukan moral atau akhlak diperlukan
pemahaman watak dan karakter manusianya. Hal ini merupakan persoalan
berat dan membutuhkan perjuang-an panjang. Nabi saja di utus Allah
untuk kepentingan perbaikan akhlak manusia. Tuhan Pencipta manusia
mengutus Nabi Muhammad SAW untuk memperbaiki etika (bahasa Arab:
identik dengan akhlak) manusia (Innama Buistu Liutammima makarimal
Akhlaq).
Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap
personal menurut bidang tugas yang diembannya. Dengan kata lain
mengikat manajer, pimpinan unit kerja dan kelembagaan perusahaan.
Semua anggota organisasi/ perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen
dan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan sempit suatu perusahaan
dianggap sudah melaksanakan etika bisnis bilamana perusahaan yang
bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung
jawab sosial itu timbul sebagai akibat adanya eksternalitas yang negatif dan
perusahaan harus membayar biaya sosialnya (social cost). Dari berbagai
pandangan tentang etika bisnis, beberapa indikator yang dapat dipakai
untuk menyatakan apakah seseorang dan suatu perusahaan telah
melaksanakan etika bisnis dalam kegiatan usahanya antara lain adalah:
Indikator ekonomi; indikator peraturan khusus yang berlaku; indikator
hukum; indikator ajaran agama; indikator budaya dan indikator etik dari
masing-masing pelaku bisnis.
1. Indikator Etika bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan
atau pebisnis telah melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan
sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan masyarakat lain.
2. Indikator etika bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku.
Berdasarkan indikator ini seseorang pelaku bisnis dikatakan
beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing pelaku bisnis
mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya
3. Indikator etika bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator
hokum seseorang atau suatu perusahaan dikatakan telah
melaksanakan etika bisnis apabila seseorang pelaku bisnis atau
suatu perusahaan telah mematuhi segala norma hukum yang berlaku
dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
4. Indikator etika berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggap
beretika bilamana dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk
kepada nilai- nilai ajaran agama yang dianutnya
5. Indikator etika berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku bisnis baik
6. secara individu maupun kelembagaan telah menyelenggarakan
bisnisnya dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat
istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan
suatu bangsa.
7. Indikator etika bisnis menurut masing-masing individu adalah
apabila masing-masing pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak
mengorbankan integritas pribadinya.dikator Etika Bisnis
2.3 Model Etika Dalam Bisnis
Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito dan Famiola (2007:49) membagi tiga
tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika
dalam bisnisnya.
1. Immoral Manajemen Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah
dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis.
Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali
tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam
internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas
bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya
memanfaatkan kelemahan-kelemahan dalam komunitas untuk kepentingan
dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka.
Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika.
Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan
bisnisnya.
2. Amoral Manajemen Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas
dalam manajemen adalah amoral manajemen. Ada dua jenis lain
manajemen tipe amoral ini, yaitu : Pertama, manajer yang tidak sengaja
berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para
manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis
yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan
efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya
tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika
atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka
tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah
merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih
berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum
sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja
berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada
aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja
melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan pertimbangan bisnis
mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer
tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan
pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis
berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
3. Moral Manajemen Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau
moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen,
nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari
segala bentuk perilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk
dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku
namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam
kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini
menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang
dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam
komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi
hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika
yang harus mereka patuhi, sehingga aktivitas dan tujuan bisnisnya akan
diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum.
Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip
etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule)
sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perilaku etis dalam kegiatan berbisnis adalah sesuatu yang penting demi
kelangsungan hidup bisnis itu sendiri. Bisnis yang tidak etis akan merugikan
bisnis itu sendiri terutama jika dilihat dari perspektif jangka panjang. Bisnis yang
baik bukan saja bisnis yang menguntungkan, tetapi bisnis yang baik adalah selain
bisnis tersebut menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral. Perilaku yang
baik, juga dalam konteks bisnis, merupakan perilaku yang sesuai dengan nilai-
nilai moral.

3.2 Daftar Pustaka


https://pt.scribd.com/embeds/274037124/content?start_page=1&view_mode=sc
roll&access_key=key-fFexxf7r1bzEfWu3HKwf
https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awrx.xShDvRjhNUiMMrLQwx.;_ylu=Y29sb
wNzZzMEcG9zAzEEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1676967713/RO=10/
RU=https%3a%2f%2fdosenppkn.com%2fdeontologi%2f/RK=2/RS=5vBmrAv
Z_4amnD0FcnY2QyHG2J8-
Bertens. (2013). Pengantar Etika Bisnis.Yogyakarta : Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai