Anda di halaman 1dari 23

ASAL-USUL DAN PERAN ETIKA DALAM MASYARAKAT

Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis

Kelompak I :
Anis Husnul Khusnul D2D005212
Eko Adhi Jatmiko D2D005222
Elif Ardianto D2D005223
Gatruh Gumilang D2D005227

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI BISNIS


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2009
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Berbagai kekuatan dan dorongan mempengaruhi perilaku manusia, diantaranya
kekuatan dan dorongan yang datang dari luar dirinya (negara, masyarakat, kelompok,
pribadi), dan kekuatan dan dorongan yang timbul dari alam (cuaca, keadaan alam, polusi
udara), serta kekuatan dan dorongan yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri
(sifat azasi, mental, spiritual).
Kekuatan yang mempengaruhi perilaku manusia dari luar dirinya diantaranya
adalah sistem hukum, yang dengan disertai ancaman berupa sanksi yang akan dijatuhkan
oleh pihak penguasa, berupa paksaan bagi manusia untuk mengikuti standar-standar
perilaku tertentu dalam rangka membentuk suatu tatanan dan ketertiban dalam hubungan
antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Beberapa ahli menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang demokratis,
kekuasaan memaksa yang mempunyai otoritas atas pihak lain (misalnya ketentuan-
ketentuan hukum) adalah berasal dari dan didasarkan pada kemauan yang datang dari
pihak yang dikuasai. Pandangan-pandangan tersebut berasal dari teori-teori kontrak
sosial.
Selanjutnya, di antara hal-hal yang secara internal mempengaruhi perilaku
manusia pribadi adalah opini manusia terhadap dirinya sendiri, baik yang timbul dari diri
sendiri maupun opini yang diterima dari orang lain. Di dalam kategori orang lain
termasuk orang tua, anak-anak, keluarga, teman dan semua orang lain yang tidak
terdefinisikan, oleh karena itu kadang-kadang banyak orang yang memandangnya sebagai
sesuatu yang mencemaskan. Sebagian besar opini tersebut terbentuk dari suatu sistem
yang membimbing manusia dalam menilai suatu hubungan atau tindakan, sistem inilah
yang disebut dengan “etika”. Dari pemaparan di atas maka penting kita tahu tentang asal-
asul dan peran etika dalam masyarakat.
1.2. MASALAH
Untuk mempermudah pembahasan permasalahan, maka dapat dirumuskan dalam
sebagai berikut :
1. Bagaimana praktek bisnis masih mengabaikan etika
2. Apa masalah etika dalam bisnis
3. Masalah lingkungan hidup yang berkaitan dengan etika
1.3. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini adalah melingkupi praktik
etika bisnis dan lingkungan hidup yang berkaitan dengan etika.
1.4. TUJUAN
• Mengetahui praktek bisnis yang masih diabaikan etika
• Mengetahui masalah etika dalam bisnis
• Mengetahui masalah lingkungan hidup yang berkaitan dengan etika
BAB II
PENJABARAN TEMA

2.1. PENGERTIAN ETIKA


Kata Etika berasal dari bahasa Yunani Ethos, yang berarti karakter. Etika adalah
satu set kepercayaan, standar, atau pemikiran yang mengisi suatu individu, kelompok
atau masyarakat. Semua individu bertanggung jawab kepada masyarakat atas prilaku
mereka. Masyarakat dapat berupa suatu kota,negara atau profesi. Tindakan kita juga
diarahkan oleh etika. Tidak seperti moral, etika dapat sangat berbeda dari satu masyarakat
ke masyarakat lain.
Menurut Kamus Besar Bhs. Indonesia (1995) Etika adalah Nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Etika adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban
moral
Menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma
atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang
harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau
profesi”
Dari asal usul kata, Etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’ yang berarti adat
istiadat/ kebiasaan yang baik. Perkembangan etika yaitu Studi tentang kebiasaan manusia
berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan
perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya
Etika di dalam entrepreneur.gunadarma.ac.id merupakan ilmu yang mendalami
standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana
standar-standar diaplikasikan dalam kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal
atau tidak masuk akal – standar, yaitu apakah didukung dengan penalaran yang bagus
atau jelek.
Etika merupakan penelaahan standar moral, proses pemeriksaan standar moral
orang atau masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak
untuk diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral
adalah mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk dianut.
Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah
menentukan standar yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan
dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar benar
dan salah, dan moral yang baik dan jahat.
Etika menurut Dalimunthe adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan
dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Kata
etik juga berhubungan dengan objek kelakuan manusia di wilayah-wilayah tertentu,
seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain.
Disni ditekankan pada etika sebagai objek perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam
pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari
perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good) atau buruk (bad)”. Catatan tanda
kutip pada kata-kata baik selalu berubah. Akhirnya, keputusan bahwa manajer membuat
tentang pertanyaan yang bekaitan dengan etika adalah keputusan secara individual, yang
menimbulkan konskuensi. Keputusan ini merefleksikan banyak faktor, termasuk moral
dan nilai-nilai dan buruk, yang berarti menekankan bahwa penentuan baik dan buruk
adalah suatu masalah individu dan masyarakat.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang
tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-
hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan.etika bisnis
sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya.
Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum
sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain (Dalimunthe, 2004).
2.2. Teori Etika
Banyak teori dan pelajaran tentang etika (contohnya adalah filsafat terapan) yang
mengevaluasi masalah-masalah moral. Di antaranya adalah teori-teori Aristotelianisme,
consequentialisme, instrumentalisme, hedonisme, egoisme, altruisme, utilitarianisme,
deontologisme, dan etika Kantian.
Teleological ini dianut oleh pengikut utilitarianisme, di antara para pemukanya
terdapat Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1973). Termasuk pula
di dalam analisis teleological ini adalah pandangan dari filsuf kontemporer John Rawls
yang dinamakan “veil of ignorance”, didasarkan kepada prinsip distributive justice.
Ahli fisafat terapan yang mengadopsi pendekatan Kantian menganut pandangan
Deontological, yaitu pandangan yang berbasis proses pengambilan keputusan dalam
menentukan suatu perbuatan. Pemukanya di antaranya adalah filsuf Jerman Immanuel
Kant (1724-1804)
Secara praktis, pandangan-pandangan ini berhubungan dengan kegiatan dalam
menguji suatu perbuatan dengan hati-hati. Banyak ahli yang percaya bahwa kedua
pendekatan ini dapat digunakan sebagai analisis pemecahan problem moral.
Banyak orang yang mungkin secara tidak sadar mempraktekkan pendekatan
teleological terhadap etika dalam memutuskan dilema moral. Utilitarianisme adalah
bentuk etika teleological yang lebih familiar dikenal oleh pelaku-pelaku bisnis yang
memusatkan pandangannya terhadap masalah “the bottom line”. Keputusan-keputusan
bisnis diambil dengan pandangan yang dipusatkan kepada akibat yang mungkin timbul
atau konsekuensi apabila terjadi pertentangan di antara keputusan-keputusan itu,
pertanyaan yang selalu diajukan adalah tentang “apa yang terbaik bagi perusahaan?”
Jika pelaku bisnis, yang merupakan suatu badan hukum yaitu perusahaan,
mempertimbangkan hanya bagaimana agar suatu tindakan akan memberikan keuntungan
yang besar, maka hal ini adalah merupakan pandangan utilitarianisme. Utilitarianisme
dalam hal ini dikenal sebagai salah satu dari pandangan dengan analisis laba-rugi (cost-
benefit).
Menurut pandangan utilitarianisme, kerangka yang harus digunakan dalam rangka
mempertimbangkan suatu tindakan yang akan diambil, harus didasarkan pada
perhitungan atas akibat atau konsekuensi dari tindakan itu. Tujuannya adalah untuk
memilih alternatif yang menghasilkan “yang paling baik bagi kelompok terbesar.” Akan
tetapi, pandangan ini dihadapkan kepada dua pertanyaan yang sangat penting, yaitu untuk
mencapai tujuan, seseorang harus mampu untuk mengidentifikasi apa yang paling “baik”
dan siapa yang merupakan kelompok “terbesar” dalam setiap transaksi termasuk pula
akibat setiap pemutusan kontrak bisnis terhadap karyawannya yang kemungkinan akan
kehilangan pekerjaan atau setidaknya kekurangan penghasilan karena berkurangnya
produksi dan seterusnya mempertimbangkan akibat tersebut terhadap keluarga karyawan.
Pemikiran etika yang berbasis kewajiban adalah deontology, yaitu suatu pandangan
dimana keputusan tentang suatu tindakan harus diambil dengan dasar adanya kewajiban,
bukan dengan dasar akibat atau konsekuensi dari keputusan itu. Pendekatan ini sering
pula dinamakan pendekatan “kewajiban demi kepentingan kewajiban“. Para penganut
pandangan ini harus menerapkan keahlian dan pemikiran untuk menemukan bentuk
bahasan tentang kewajiban tersebut dan mengidentifikasi manfaatnya.
Kant mengemukakan anggapan bahwa tidak ada satupun di dunia ini - tentunya
juga tidak ada di luar dunia - yang dapat dibentuk sesuatu yang dinamakan baik tanpa
kualifikasi yang lain daripada ‘itikad baik’. Dalam pandangannya itikad baik adalah niat
yang rasional, dan niat yang rasional adalah sesuatu yang bekerja secara konsisten dan
tidak mengalami kontradiksi. Prinsip konsistensi ini menghasilkan suatu ujian yang
dapat mengenali kewajiban seseorang yaitu kategori imperatif atau hukum yang
universal. Menurut kategori imperatif ini, kewajiban seseorang dalam suatu keadaan
tertentu akan menjadi jelas bila seorang bertanya: apakah keputusan seseorang dapat di
jadikan universal tanpa ada kontradiksi apabila di adopsi oleh orang lain dalam situasi
yang sama tanpa membuat suatu pengecualian.
Bagi penganut pendekatan Kantian perilaku membuat janji palsu adalah
pelanggaran terhadap hukum umum yang telah diakui secara universal. Secara rasional
seseorang tidak boleh menginginkan untuk dapat secara bebas membuat janji palsu.
Keadaan ini tidak dapat dijadikan kaedah yang universal, dan seseorang tidak dapat
membuat suatu pengecualian khusus bagi dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, mengambil
milik orang lain meskipun dalam situasi seperti itu adalah berarti mengancam pemilik
barang tersebut dan tidak menghargai kehormatan pemiliknya.
Kaum Utilitarian mengemukakan alasan bahwa hal yang baik yang dapat diikuti
mungkin adalah apa yang dapat merupakan kesempatan agar bisnis berjalan lancar dan
para pekerja yang membutuhkan dapat dipekerjakan. Hal yang buruk adalah bila
perusahaan tidak mendapat pembayaran, para pekerjanya akan menderita, dan, bila
pengamatnya adalah seorang Utilitarian, akibat buruk akan datang dari pihak lain yang
menganggap bahwa seseorang dapat membuat janji palsu dengan tidak melakukan
pembayaran.
Seorang filsuf modern, W.D Ross, memberikan suatu versi deontology yang
mendefinisikan kewajiban sebagai suatu tindakan mengambil tanggungjawab atas kedua
kewajiban yang murni dan kewajiban-kewajiban untuk menghasilkan akibat yang terbaik.
Ross mengenali bahwa suatu hubungan tertentu adalah lebih penting daripada yang
lainnya dan bahwa suatu akibat tertentu akan lebih utama dari yang lainnya. Dalam hal
terjadi pertentangan kewajiban, Ross menganjurkan untuk menilai konsekuensi dan
membuat prioritas dari kewajiban-kewajiban untuk mengantisipasinya.
2.3. PERAN ETIKA
Fungsi Etika
1. Sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang
membingungkan.
2. Etika ingin menampilkan ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk
berargumentasi secara rasional dan kritis.
3. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana
pluralisme
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Praktik Bisnis Masih Abaikan Etika


Rukmana (2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih
cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis
tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di
masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas sampai ke
daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang
sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah bentuk
moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di
sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam
cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan
kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah
pemahaman, implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku
bisnis dan para elit politik.
Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman
para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih cenderung pada sisi
"emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks bisnis itu sendiri. Padahal
segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun
asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak "mengenal"
sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis
tersebut, Rukmana mengakui beberapa pelaku usaha memang sudah ada yang mampu
menerapkan etika bisnis tersebut.
Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika
bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula, Keberadaan
etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang sangat tergantung pada
kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya. Walaupun seseorang atau
sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan kualitas etika dan moral mereka, tetapi
sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem
kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-
waktu dapat berubah.
Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis
sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral,
masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru
sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan
menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan
antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral
adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah
wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan
tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di
Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum
seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan antara
perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan
perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali
tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral.
Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati
secara hukum. Demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran
lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
3.2. Masalah etika dalam bisnis
Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu:
Suap (Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft),
Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination). Yang masing-masing dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Suap (Bribery),
adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima, atau meminta sesuatu
yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam
melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang
dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat dilakukan baik dengan membayarkan
sejumlah uang atau barang, maupun 'pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana.
Suap kadangkala tidak mudah dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat
dengan mudah dimasukkan sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu
dapat disebut sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh
pemberi hadiah.
2. Paksaan (Coercion),
adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan
jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan
jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu.
3. Penipuan (Deception),
adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan
atau melakukan kebohongan.
4. Pencurian (Theft),
adalah merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau
mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut
dapat berupa property fisik atau konseptual.
5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination),
adalah perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang
disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk
memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan
antara mereka yang 'disukai' dan tidak.
• Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis
agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus
ditempuh?. Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan
segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi
pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi
pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi.
Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan
kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark
up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak
memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan
segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis. Sebagai
bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada
masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu
membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara
sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan
langsung maupun tidak langsung. Dengan memetakan pola hubungan dalam
bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam
satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu
negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan
perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa
perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya,
kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari
pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha
dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia
usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti
hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang
seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah
dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni
menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar internasional.
Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena
pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam
yang sangat berharga. Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses
jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku
untuk kedua perspektif, baik lingkup makro maupun mikro, yang akan dijelaskan
sebagai berikut:
Perspektif Makro.
Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebih
efektif dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa.
Beberapa kondisi yang diperlukan market system untuk dapat efektif, yaitu: (a) Hak
memiliki dan mengelola properti swasta; (b) Kebebasan memilih dalam perdagangan
barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan
jasa Jika salah satu subsistem dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis,
maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan
sistem secara makro. Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :
a. Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan memilih
dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.
b. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan ancaman
atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
c. Deceptive information
d. Pecurian dan penggelapan
e. Unfair discrimination.
Perspektif Bisnis Mikro.
Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam
Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier,perusahaan, konsumen, karyawan
saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap
mata rantai penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang
mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik. Standar moral merupakan tolok
ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan.
Etika bisnis cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip
yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu:
(1) Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang
berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau
tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak
konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturan
yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan
alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang
berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip
Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran, dan kesamaan.
Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan distributive, yaitu
keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota
kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit
terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban
terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social; (2) Keadilan retributive, yaitu
keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan
tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang
dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan
kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang
dirugikan.
Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang
penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian,
misalnya kehilangan nyawa manusia. Apabila moral merupakan suatu pendorong orang
untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang
merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis
yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang
menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu
dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan
anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi
dan dilaksanakan.
Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada
dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk
mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua
pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya
satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang
mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui
adanya moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan
pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis
yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu
pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak
merugikan siapapun dalam perekonomian. Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe
(2004) menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
• Pengendalian Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk
tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku
bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan
pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh
merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan
kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etik".
• Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya
dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks
lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual
pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi
perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini
untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand
pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung
jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk
kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan,
pemberian latihan keterampilan, dll.
• Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis.
Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi,
tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian
bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya
tranformasi informasi dan teknologi.
Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi
persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan
yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan
perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap
perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-
kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
• Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi
perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini jelas
pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang
semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang
walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak
akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk
permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama
bangsa dan negara.
7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit
(sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan
"katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah.
Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi"
kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha
Untu menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap saling percaya
(trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga
pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah
besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat,
saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk
berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana
apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa?
Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha
sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi
kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Memelihara Kesepakatan
Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa
Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika
bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu
ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang
menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum
dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga
dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat
diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi
dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran
semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi.
Ahli pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa mempraktikkan
bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan santun
sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling menghormati. Etiket berbisnis
diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan
sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum -- sebagai apresiasi
yang tulus dan terima kasih, tidak menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas
tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan
kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa
saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan
perusahaan. Sedangkan berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan
umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak
sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara
umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan
beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya,
pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan
tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri
untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi.
3.3. MASALAH LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN
ETIKA
Masalah kerusakan lingkungan hidup dan akibat-akibat yang ditimbulkan
bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga kita. Dengan mudah dan sistematis kita
dapat menunjuk dan mengetahui apa saja jenis kerusakan lingkungan hidup itu dan apa
saja akibat yang ditimbulkanya. Misalnya; dengan cepat dan sistematis kita dapat
mengerti bahwa eksploitasi alam dan penebangan hutan yang terlalu berlebihan dapat
menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih; membuang
limbah industri ke sungai dapat menyebabkan kematian ikan dan merusak habitatnya;
penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut
dan masih banyak lagi daftar sebab akibat yang biasa terjadi dalam lingkungan hidup
kita. Yang menjadi masalah adalah, bahwa pengetahuan yang sama atas pengenalan
kerusakan lingkungan hidup dan akibat yang ditimbulkan tersebut tidak terjadi
pemeliharaan dan perawatan lingkungan hidup. Pertanyaanya sekarang adalah benarkah
kita sudah tidak dapat berpikir secara logis dan sistematis lagi sehingga tindakan kita
untuk mengeksploitasi lingkungan hidup hanya berhenti pada tahap pengeksploitasian
semata tanpa diikuti proses selanjutnya yaitu tanggungjawab untuk merawat dan
memilihara?
Lemahnya kesadaran kita terhadap lingkungan hidup juga terjadi karena adanya
anggapan yang memandang bahwa pemanfaat alam bagi manusia itu adalah hal yang
“wajar”. Menebang pohon guna kebutuhan manusia adalah hal yang sangat lumrah,
misalnya. Membuang sampah sembarangan di mana pun sepertinya adalah suatu hal yang
juga wajar, belum ada aturan yang ketat untuk itu. Dengan kata lain, proses kerusakan
lingkungan hidup dapat digambarkan seperti seorang pecandu rokok atau minuman keras.
In common sense, seorang pecandu pastilah tahu bahwa rokok atau minuman keras dapat
merusak tubuh dan kesehatan mereka. Namun, mereka toh tetap menikmatinya.
Mungkin, mereka baru benar-benar akan sadar terhadap dampak negatif rokok atau
minuman keras ketika telah mengalami sakit keras. Proses yang sama kiranya juga terjadi
atas sikap kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Kita tahu bahwa menebang pohon
seenaknya atau membuang sampah sembarangan adalah suatu hal yang jelas-jelas salah,
tapi kita tokoh tetap melakukannya berulang-ulang, sebab kita diuntungkan, tidak
menjadi repot dan itu adalah hal yang sudah biasa dan mungkin kita menikmatinya.
Barangkali kita baru akan benar-benar tersadar ketika terjadi bencana besar menimpa
hidup kita atau sesama kita. Pertanyaannya adalah bukankah hal tersebut sama dengan
para pecandu yang tidak segera berhenti merokok atau peminum yang tidak berhenti
mabuk jika belum menghadapi sakit keras?
Jika saja memang terjadi bahwa ada banyak orang memiliki pengetahuan dan
kesadaran yang begitu rendah dan lamban seperti yang telah kita gambarkan di atas,
betapa akan lebih cepat kerusakan lingkungan hidup kita. Hal tersebut tentunya tidak
boleh terjadi, sebab kita semua tidak dapat hidup jika tidak ada lingkungan hidup yang
menopang dan menjamin kehidupan kita. Dalam kerangka yang lebih luas, kita tentunya
tahu bahwa hanya ada satu bumi—tempat dimana kita hidup dan tinggal. Jika kerusakan
lingkungan hidup berarti sama dengan kerusakan bumi, maka sama artinya dengan
ancaman terhadap hidup dan tempat tinggal kita. Dengan kata lain, tugas untuk merawat
dan memelihara lingkungan hidup, bumi serta segala isinya adalah tanggung jawab kita
semua. Lingkungan hidup bumi serta segala isinya adalah “milik” kita.
Masalah lingkungan hidup menjadi masalah etika karena manusia seringkali
“lupa” dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam. Karena “lupa” dan
kehilangan orientasi itulah, manusia lantas memperlakukan alam secara tidak
bertanggungjawab. Dalam keadaan seperti itu, mereka juga tidak lagi menjadi kritis. Oleh
karena itulah pendekatan etis dalam menyikapi masalah lingkungan hidup sungguh
sangat diperlukan. Pendekatan tersebut pertama-tama dimaksudkan untuk menentukan
sikap, tindakan dan perspektif etis serta manejemen perawatan lingkungan hidup dan
seluruh anggota ekosistem di dalamnya dengan tepat. Maka, sudah sewajarnyalah jika
saat ini dikembangkan etika lingkungan hidup dengan opsi “ramah” terhadap lingkungan
hidup.
Teori etika lingkungan hidup sendiri secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah
usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral
yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan
ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. Paling tidak pendekatan etika lingkungan
hidup dapat dikategorikan dalam dua tipe yaitu tipe pendekatan human-centered
(berpusat pada manusia atau antroposentris) dan tipe pendekatan life-centered (berpusat
pada kehidupan atau biosentris). Teori etika human-centered mendukung kewajiban
moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk
menghargai sesama sebagai manusia. Sedangkan teori etika life-centered adalah teori
etika yang berpendapat bahwa kewajiban manusia terhadap alam tidak berasal dari
kewajiban yang dimiliki terhadap manusia. Dengan kata lain, etika lingkungan hidup
bukanlah subdivisi dari etika human-centered.
Pada umumnya, paling tidak semenjak jaman modern, orang lebih suka
menggunakan pendekatan etika human-centered dalam memperlakukan lingkungan
hidup. Melalui pendekatan etika ini, terjadilah ketidakseimbangan relasi antara manusia
dan lingkungan hidup. Dalam kegiatan praktis, alam kemudian dijadikan “obyek” yang
dapat dieksploitasi sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan manusia.
Sangat disayangkan bahwa pendekatan etika tersebut tidak diimbangi dengan usaha-
usaha yang memadai untuk mengembalikan fungsi lingkungan hidup dan makhluk-
makhluk lain yang ada di dalamnya. Dengan latar belakang seperti itulah kerusakan
lingkungan hidup terus-menerus terjadi hingga saat ini. Pertanyaanya sekarang adalah
apakah pendekatan etika human-centered tersebut tetap masih relevan diterapkan untuk
jaman ini?
Menghadapi realitas kerusakan lingkungan hidup yang terus terjadi, rasanya
pendekatan etika human-centered tidak lagi memadai untuk terus dipraktekkan. Artinya,
kita perlu menentukan pendekatan etis lain yang lebih sesuai dan lebih “ramah” terhadap
lingkungan hidup. Jenis pendekatan etika yang kiranya memungkinkan adalah
pendekatan etika life-centered yang tadi sudah kita sebutkan. Pendekatan etika ini
dianggap lebih memadai sebab dalam praksisnya tidak menjadikan lingkungan hidup dan
makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya sebagai obyek yang begitu saja dapat
dieksploitasi. Sebaliknya, pendekatan etika ini justru sungguh menghargai mereka
sebagai “subyek” yang memiliki nilai pada dirinya. Mereka memiliki nilai tersendiri
sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Nilai mereka tidak ditentukan dari sejauh
mana mereka memiliki kegunaan bagi manusia. Mereka memiliki nilai kebaikan
tersendiri seperti manusia juga memilikinya, oleh karena itu mereka juga layak
diperlakukan dengan respect seperti kita melakukanya terhadap manusia.

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
• Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum
seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan
antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan
moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum.
• Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori
yaitu: Suap (Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian
(Theft), Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination).
• Masalah lingkungan hidup menjadi masalah etika karena manusia
seringkali “lupa” dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam. Karena
“lupa” dan kehilangan orientasi itulah, manusia lantas memperlakukan alam
secara tidak bertanggungjawab.
• Kesadaran akan etika sebenarnya sudah ada pada pelaku bisnis di
Indonesia, tetapi praktiknya etika tersebut sering dikesampingkan, perlu adanya
perubahan pendekatan untuk menerapkan etika dalam berbisnis.

4.2. Rekomendasi
• Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kehidupan sehari-hari
maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan ke dalam
manajemen korporasi, denagn cara:
o Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik
o Memperkuat sistem pengawasan
o Menyelenggarakan pelatihan pada karyawan dan manajemen secara terus-
menerus.
• Adanya enforcement dari kebijakan pemerintah mengenai penerapan etika bisnis.
• Penanaman pentingnya nilai-nilai etika bisnis sejak dini.
DAFTAR PUSTAKA

http://entrepreneur.gunadarma.ac.id/elearning/attachments/040_etika%20bisnis%20dan
%20kewirausahaan.pdf.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/(12)%20soca-
anderson-etika%20bisnis(1).pdf.
http://herwanparwiyanto.staff.uns.ac.id/files/2009/03/herwnlingkungan-dlm-kajian-etika-dan-
moral.doc.
http://widyo.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/5562/Modul_ke_5_sim_ptik.doc.

Anda mungkin juga menyukai