Anda di halaman 1dari 2

Teori Etika dan Prinsip Etis dalam Bisnis Oleh Pajaruddin Ibrahim (13/MPA-XXVIIC/90) Kasus kasus kecurangan seperti

i Enron dan WorldCom telah mendorong perkembangan etika bisnis. Kebutuhan mempelajari etika oleh akuntan dikarenakan kompleksitas dari dunia akuntansi yang kemudian menghasilkan dilema etika (Duska, 2011:47). Untuk menghadapi dilema etika ini maka diperlukan pengetahuan tentang etika berkaitan aturan dan penilaian sehingga akuntan dapat menghasilkan keputusan yang tepat. Diharapkan pengetahuan etika ini dapat bernilai positif sehingga permasalahan kecurangan dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Menurut Brooks (2008:180) Etika sendiri adalah cabang dari filsafat yang menyelidiki penilaian normative tentang apakah perilaku ini benat atau apa yang seharusnya dilakukan. Definisi lain menjelaskan etika adalah pemikiran dan pertimbangan moral memberikan dasar bagi seorang maupun sebuah komunitas dalam melakukan sebuah tindakan. Etika sendiri menurut saya adalah ilmu untuk mempelajari aturan yang digunakan untuk menilai baik dan buruknya suatu perbuatan. Etika sering disamakan dengan moral dari sisi etimologi. Walaupun keduanya berkaitan erat tetapi moral lebih menekankan pada aspek perbuatan yang didorong oleh kewajibannya sebagai manusia. Etika lebih banyak dikaitkan dengan prinsip prinsip moral yang menjadi landasan bertindak. Relativitas moral terjadi akibat perbedaan budaya antara satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan pandangan atau penilaian moral di antara bangsa dan dan kebudayaan yang berbeda macam ini, orang sering langsung menarik kesimpulan bahwa norma moral itu bersifat relatif dan tergantung pada suatu kesepakatan sosial dalam lingkungan budaya tertentu. Dalam teori etika terdapat dua bagian utama yaitu aliran kognitivisme yang lebih menonjolkan logika dan non kognitivisme yang menonjolkan nilai spritual. Menurut Ludigdo (2007:30) Kognitivisme sendiri terbagi menjadi dua aliran besar yaitu teleologi dan deontologi. Teleologi sendiri yang dipopulerkan oleh John Stuart Mill berfokus pada konsekuensi atau hasil dari sebuah perbuatan. Teleologi sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu egoism (berpusat pada diri sendiri) dan utilitiarisme (berpusat pada orang banyak). Deontologi dipopulerkan oleh Imanuel Kant berfokus pada proses dalam perbuatan yang sesuai dengan prinsip bukan hasil dari perbuatan tersebut. Salah satu bentuk cabang dari deontologi adalah teori hak yang menekankan bahwa hak orang lain tidak boleh dikorbankan untuk mencapai suatu tujuan hal ini sangat kontras dengan prinsip utilitiarisme. Selain dua teori utama (Teleologi & Deontoligi) diatas berkembang juga teori etika lain yaitu teori keutamaan yang tidak berfokus pada perbuatan (what should he/she do?) tetapi berfokus pada karakter manusia (what kind of person should he/she be?) (Bertens, 2000:73). Teori non kognitivisme (religius) lebih memperlihatkan nilai spiritual dalam penilaian etika. Dalam perspektif religius pemikiran etika cenderung melepaskan kepelikan dialektika dan metodelogis sehingga menjadikan agama/kepercayaan sebagai standar. Teori ini menjelaskan bahwa etika yang didasarkan pada agama/kepercayaan mendorong manusia bertindak atau berprilaku atas dasar Tuhan sebagai tujuan akhir. Dengan adanya pemikiran tentang etika bisnis maka lahirlah prinsip dalam proses bisnis seperti kejujuran, kewajaran, kepercayaan, integritas dan keuletan. Lahirnya prinsip seperti ini merupakan buah integrasi etika kedalam aktivitas bisnis untuk menghasilkan praktik bisnis yang lebih baik.

Untuk menilai etika Duska (2011:42) memberikan beberapa pertanyaan antara lain: Apakah tindakan ini baik atau buruk bagi saya dan masyarakat? Apakah perbuatan ini adil? Apakah menyakiti orang lain? Apakah memiliki komitmen secara explicit atau implicit?. Jika perbuatan kita memberikan jawaban yang baik dari pertanyaan diatas dan memenuhi unsure maka dapat dikatakan kita telah beretika.

Anda mungkin juga menyukai