Anda di halaman 1dari 90

YAYASAN PENDIDIKAN KOPERASI (Yapenkop)

STIE SEMARANG
Jl. Menoreh Utara Raya 11
Telp/Fax. 024-8506802
www.stiesemarang.ac.id

MODUL
BUSINESS ETHICS

Compiled By
Yovita M. Hartarini, SPd, MHum

Materi Kuliah Program Studi


Manajemen ( S 1 )
Semester VI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) SEMARANG
2017

Bab 1
PENGANTAR ETIKA BISNIS
 
A. Ikhtisar Etika Bisnis
Etika berasal dari dari kata Yunani ‘Ethos’ (jamak – ta etha), berarti adat istiadat. Etika
berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada
suatu masyarakat. Etika berkaitan dengan nilai-nilai, tatacara hidup yg baik, aturan hidup
yg baik dan segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang
lain atau dari satu generasi ke generasi yg lain. Etika mempelajari dan menentukan
apakah suatu tindakan bernilai baik atau buruk dan tindakan apa yang seharusnya
dilakukan dengan benar atau tidak benar (salah).
Peranan etika adalah sebagai tolok ukur kesadaran manusia untuk melakukan
tindakan yang bertanggung jawab sedangkan manfaat etika yaitu mengajak orang
bersikap kritis, rasional dan otonom menuju suasana tertib, damai dan sejahtera.
Etika bisnis adalah penerapan prinsip-prinsip etika yang umum pada wilayah pelaku
manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan bisnis. Secara konkret etika sering
terfokuskan pada perbuatan. Bisa dikatakan juga bahwa teori etika membantu kita untuk
menilai keputusan etis. Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral
yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana
diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis (Velasquez, 2005).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan tentang cara ideal pengaturan dan
pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara
universal serta implementasi norma dan moralitas untuk menunjang maksud dan tujuan
kegiatan bisnis.
B. Pengertian Etika = Moralitas
 Moralitas berasal dari kata Latin Mos (jamak – Mores) berarti adat istiadat atau
kebiasaan. Pengertian harfiah dari etika dan moralitas, sama-sama berarti sistem nilai
tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah
diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola
perilaku yang ajeg dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana laiknya
sebuah kebiasaan.
Kemudian Etika mempunyai fungsi dan peran sebagai Refleksi dari pemikiran moral
maupun krisis rasional yang meneropongi dan merefleksi kehidupan manusia dg
mendasarkan diri pada norma dan nilai moral yg ada di satu pihak dan situasi khusus dari
bidang kehidupan dan kegiatan khusus yg dilakukan setiap orang atau kelompok orang
dlm suatu masyarakat.
Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dari khususnya
tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi
menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang. Etika dalam arti ini dapat dijalankan
pada taraf populer maupun ilmiah.
C. Etika sebagai Filsafat Moral
Etika sebagai filsafat moral tidak langsung memberi perintah konkret sebagai
pegangan siap pakai. Etika  dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional
mengenai nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik
sebagai manusia serta masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai
dan norma moral yang umum diterima.
Etika, sebagai sebuah ilmu yang menitikberatkan refleksi kritis dan rasional,
mempersoalkan apakah nilai dan norma moral tertentu memang harus dilaksanakan
dalam situasi konkret terutama yang dihadapi seseorang, atau apakah suatu tindakan
yang kelihatan bertentangan dengan nilai dan norma moral tertentu harus dianggap
sebagai tindakan yang tidak etis dan karena itu dikutuk atau justru sebaliknya?
Sehingga muncullah konflik batin para pemikir kritis: Apakah dalam situasi konkret
yang saya hadapi saya memang harus bertindak sesuai dengan norma yang ada dalam
masyarakatku ataukah justru sebaliknya saya dapat dibenarkan untuk bertindak
sebaliknya yang bahkan melawan nilai dan norma moral tertentu.
Etika sebagai Ilmu menuntut orang untuk berperilaku moral secara kritis dan
rasional. Dengan menggunakan bahasa Nietzsche (1844-1900), etika sebagai ilmu
menghimbau orang untuk memiliki moralitas tuan dan bukan moralitas hamba. Dalam
bahasa Kant (1724-1804), etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk
bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Etika bermaksud membantu
manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggungjawabkan. 
D. Konsepsi Etika
Terminologi etika berasal dari bahasa Yunani “ethos”. Artinya: “custom” atau
kebiasaan yang berkaitan dengan tindakan atau tingkah laku manusia. Etika berbeda
dengan etiket. Jika etika berkaitan dengan moral, etiket hanya bersentuhan dengan
urusan sopan santun. Belajar etiket berarti belajar bagaimana bertindak dalam cara-cara
yang sopan; sebaliknya belajar etika berarti belajar bagaimana bertindak baik (Fr.
Yohanes Agus Setyono CM).
Kata etiket berasal dari kata Perancis etiquette yang diturunkan dari kata Perancis
estiquette (= label tiket ; estiqu [ I ] er = melekat). Etiket didefinisikan sebagai cara-cara
yang diterima dalam suatu masyarakat atau kebiasaan sopan-santun yang disepakati
dalam lingkungan pergaulan antar manusia. Etiket yang menyangkut tata cara
kenegaraan disebut protokol (protocol [ Prancis ] ; protocollum [ Latin ]). Etiket antara lain
menyangkut cara berbicara, berpakaian, makan, menonton, berjalan, melayat, menelpon
dan menerima telepon, bertamu, dan berkenalan (Mintarsih Adimihardja). Konsep-konsep
dasar etika antara lain adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia dan
azas-azas akhlak (moral) serta kesusilaan hati seseorang untuk berbuat baik dan juga
untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap
orang lain (Bertens, 2002).
E. Perkembangan Etika Bisnis
Berikut perkembangan etika bisnis menurut Bertens (2000):
1.  Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki
bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan
membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
2.  Masa Peralihan: tahun 1960-an
Ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi
mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan).
Hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu
dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and
Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social responsibility.
3.  Etika Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an
Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis
dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang
sedang meliputi dunia bisnis di AS.
4.  Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an
Di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun
kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah
bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).
5.  Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an
Tidak terbatas lagi pada dunia Barat, etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh
dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics, and
Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.
F. Klasifikasi Etika
1. Etika Normatif
Etika normatif merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan
pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak
secara etis. Dengan kata lain, etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau
keputusan etis. Di samping itu, etika normatif berhubungan dengan pertimbangan-
pertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus dijalankan agar satu
tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2).
Dalam etika normatif ini muncul teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika
deontologis, etika kebajikan dan lain-lain. Suatu teori etika dipahami bahwa hal
tersebut mengajukan suatu kriteria tertentu tentang bagaimana sesorang harus
bertindak dalam situasi-situasi etis (Williams, 2006, 72). Dalam pengajukan kriteria
norma tersebut, teori etika akan memberikan semacam pernyataan yang secara
normatif mengandung makna seperti “Wulan seharusnya melakukan X” atau “Wulan
seharusnya tidak melakukan X”.
2. Etika Terapan
Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik
kepada topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang,
hak-hak binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi menjadi
etika profesi, etika bisnis dan etika lingkungan. Secara umum ada dua fitur yang
diperlukan supaya sebuah permasalahan dapat dianggap sebagai masalah etika
terapan.
Pertama, permasalahan tersebut harus kontroversial dalam arti bahwa ada kelompok-
kelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral. Masalah
pembunuhan, misalnya tidak menjadi masalah etika terapan karena semua orang
setuju bahwa praktik tersebut memang dinilai tidak bermoral. Sebaliknya, isu kontrol
senjata akan menjadi masalah etika terapan karena ada kelompok yang mendukung
dan kelompok yang menolak terhadap isu kontrol senjata.
3. Etika Deskriptif
Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap ‘etis’ oleh individu
atau masyarakat. Dengan begitu, etika deskriptif bukan sebuah etika yang mempunyai
hubungan langsung dengan filsafat tetapi merupakan sebuah bentuk studi empiris
terkait dengan perilaku-perilaku individual atau kelompok. Tidak heran jika etika
deskriptif juga dikenal sebagai sebuah etika komparatif yang membandingkan antara
apa yang dianggap etis oleh satu individu atau masyarakat dengan individu atau
masyarakat yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan masa
sekarang. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk menggambarkan tentang apa yang
dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis
yang digunakan untuk menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000:3).
4. Metaetika
Metaetika berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adalah arti
atau makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain,
metaetika merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Artinya, pertanyaan yang
diajukan dalam metaetika adalah apa makna jika kita berkata bahwa sesuatu itu baik?
Metaetika juga bisa dimengerti sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi
pernyataan-pernyataan etika, dalam arti bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk dari
pernyataan-pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan
sebagai sesuatu yang bermakna.
Perkembangan metaetika awalnya merupakan jawaban atas tantangan dari
Positivisme Logis yang berkembang pada abad 20-an (Lee, 1986:8). Kalangan
pendukung Positivisme Logis berpendapat bahwa jika tidak bisa memberikan bukti
yang menunjukkan sebuah pernyataan itu benar, maka pernyataan itu tidak bermakna.
Ketika prinsip dari Positivisme Logis juga diujikan kepada pernyataan-pernyataan etis,
maka pernyataan-pernyataan itu harus berdasarkan bukti. Ringkasnya, jika tidak ada
bukti, maka tidak ada makna.
Di sini kata kuncinya adalah apa yang dikenal dengan “naturalistic fallacy“, yaitu
dianggap akan melakukan kesalahan jika kita menarik suatu pernyataan tentang apa
yang seharusnya dari pernyataan tentang apa yang ada. Kesulitan dari bahasa etika
adalah penyataan-pernyataannya tidak selalu berupa fakta. Di sinilah peran sentral
dari metaetika yang mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan apa yang
dimaksud dengan bahasa etika dengan intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis
punya makna. Dalam pembahasan ini metaetika biasanya terbagi menjadi dua, yaitu
realisme etis dan nonrealisme etis.
G. Sasaran Dan Ruang Lingkup Etika Bisnis
1. Etika bisnis sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi dan masalah
yang terkait dengan praktek bisnis yang baik. Etika bisnis berfungsi menggugah
kesadaran moral pelaku bisnis agar berperilaku baik dalam menjalankan usahanya
demi nilai luhur tertentu (agama, budaya) dan demi kelanjutan bisnisnya.
2. Menyadarkan masyarakat (stake holder) yang terdiri dari konsumen (end user),
karyawan, pemasok/mitra bisnis, investor dan lingkungan (penduduk di sekitar lokasi
usaha) akan hak mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis.
3. Menilai apakah sistem ekonomi di suatu wilayah sesuai dengan etika bisnis apakah
masih ada praktek monopoli, oligopoli, money laundring, insider trading, black market,
dsb.
H. Faktor Pendukung Implementasi Etika Bisnis
1) Adanya kepedulian terhadap mutu kehidupan kerja oleh manajer atau peningkatan
“Quality of Work Life”.
2) Adanya “Trust Crisis” dari publik kepada perusahaan.
3) Mulai diterapkan punishment yang tegas terhadap skandal bisnis oleh pengadilan.
4) Adanya peningkatan kekuatan control dari LSM.
5) Tumbuhnya kekuatan publisitas oleh media.
6) Adanya transformasi organisasi dari “transaction oriented” menjadi “relation oriented”.
I. Prinsip Umum Etika Bisnis
1.  Otonomi = mandiri.
Sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak
berdasarkan kesadaran dan bertanggung jawab (dalam bidang bisnis).
2.  Kejujuran.
Menghindari praktek bisnis curang.
3.  Keadilan.
Setiap orang diperlakukan sama dan adil sesuai kriteria rasional, objektip dan
bertanggung jawab.
4.  Manfaat bersama (mutual benefit principle).
Dalam persaingan bisnis tidak boleh terjadi upaya saling mematikan.
5.  Integritas moral menjadi tuntunan internal agar tetap menjaga nama baik industri.
J. Etos Bisnis
Etos bisnis merupakan suatu kebiasaan atau budaya moral menyangkut kegiatan
bisnis yang dianut oleh satu perusahaan atau group usaha. Penerapan nilai atau norma
bisnis yang lebih baik yang dianut oleh pebisnis untuk meningkatkan image perusahaan
dengan mengutamakan pelayanan prima dan produk prima.
K. Pendekatan Stake Holder
Stake holder terdiri dari semua pihak yang berkaitan dengan berdirinya suatu usaha
dan kelanjutan usahanya, yaitu:
1. Negara sebagai penguasa sumber daya alam yang terdiri dari:
1) Kepala negara (presiden)
2) Kepala daerah (sultan/bupati/walikota)
2. Pemerintah sebagai penguasa sumber daya manusia yang terdiri dari :
1) Pemerintah pusat (kabinet)
2) Pemerintah daerah dekonsentrasi (gubernur)
3) Pemerintah daerah otonom (bupati , walikota)
3. Komunitas sebagai lingkungan hidup atau budidaya yang terdiri dari :
1) Investor (share holder)
2) Manajemen (pebisnis)
3) Pekerja
4) Mitra usaha (lembaga keuangan, konsultan, pemasok distributor, agen dan
pengecer)
5) Pembeli (end user)
6) Penduduk di sekitar lingkungan usaha.
Bisnis masa lalu lebih banyak mengutamakan pendekatan share holder yaitu kepentingan
utama sipemilik /penyandang dana daripada kepentingan stake holder. Dalam era
globalisasi pebisnis dituntut untuk melakukan bisnis dengan mengutamakan etika bisnis
yaitu menjalankan suatu usaha yang saling bermanfaat bagi semua pihak yang terkait
dalam bisnisnya.
L. Moral Dan Etika dalam Dunia Bisnis
1. Moral dalam Dunia Bisnis
Sejalan dengan berakhirnya pertemuan para pemimpin APEC di Osaka Jepang dan
dengan diperjelasnya istilah untuk menjadikan Asia Pasifik di tahun 2000 menjadi
daerah perdagangan yang bebas sehingga batas dunia akan semakin “kabur”
(borderless word). Hal ini jelas membuat semua kegiatan saling berpacu satu sama lain
untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadangkala
untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan, memaksa orang untuk menghalalkan
segala cara mengindahkan ada pihak yang dirugikan atau tidak.
Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan semakin berpacu dengan
waktu serta negara-negara lainnya agar terwujud suatu tatanan perekonomian yang
saling menguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan apakah yang diharapkan oleh
pemimpin APEC tersebut dapat terwujud manakala masih ada bisnis kita khususnya dan
internasional umumnya dihinggapi kehendak saling “menindas” agar memperoleh tingkat
keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan tantangan bagi etika bisnis kita.
Jika kita ingin mencapai target pada tahun 2000-an, ada saatnya dunia bisnis kita
mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat
perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah
dan pengusaha golongan keatas. Apakah hal ini dapat diwujudkan?
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan
budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran
serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan
pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan
mendapatkan keuntungan dalam ber-“bisnis”. Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu
yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya,
dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekuen, jelas kedua
belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada
akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat saling menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar
menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen. Kenapa hal perlu
ini dibicarakan?
Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa
diimbangi dengan dunia bisnis yang ber “moral”, dunia ini akan menjadi suatu rimba
modern yang di kuat menindas yang lemah sehingga apa yang diamanatkan UUD 1945,
Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan pemerataan tidak akan pernah
terwujud.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya.
Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga
dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki
moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam
berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan
oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan
ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
M. Etika dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan
kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan
secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan
mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis
yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu
harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok
yang terkait lainnya.
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan
pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam
hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan
antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar
jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak
kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak
mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh
kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan
suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedu`lian antara satu pihak dan
pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu
aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
N. Relevansi Etika Bisnis
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain
ialah:
1) Pengendalian diri.
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri
mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam
bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan d
dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan
tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi
penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah
etika bisnis yang “etis”.
2) Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility).
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya
dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih
kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis
untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand
harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak
memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi,
dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan
memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3) Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh
pesatnya perkembangan informasi dan teknologi.
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi
dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan
yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi
informasi dan teknologi.
4) Menciptakan persaingan yang sehat.
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi
persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat
jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah,
sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread
effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan
perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5) Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”.
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang,
tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan di masa mendatang.
Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-“ekspoitasi” lingkungan dan
keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan
dan keadaan di masa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk
memperoleh keuntungan besar.
6) Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi).
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan
terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk
permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan
nama bangsa dan negara. 
7) Mampu menyatakan yang benar itu benar.
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai
contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan “katabelece”
dari “koneksi” serta melakukan “kongkalikong” dengan data yang salah. Juga jangan
memaksa diri untuk mengadakan “kolusi” serta memberikan “komisi” kepada pihak
yang terkait.
8) Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan
golongan pengusaha ke bawah.
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang “kondusif” harus ada saling percaya (trust)
antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar
pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang
sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak
golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada
pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9) Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama.
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila
setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa?
Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada “oknum”, baik
pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan “kecurangan”
demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan “gugur” satu semi
satu.
10)Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah
disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu
ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis. Perlu adanya sebagian etika bisnis
yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-
undangan. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti
“proteksi” terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah
dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya
perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam
dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang
itu akan dapat diatasi, serta optimis salah satu kendala dalam menghadapi tahun
2000 dapat diatasi.
O. Alasan Perlunya Etika dalam Bisnis (business ethics rationale):
1) Kinerja bisnis tidak hanya diukur dari kinerja manajerial / finansial saja tetapi juga
berkaitan dengan komitmen moral, integritas moral, pelayanan, jaminan mutu dan
tanggung jawab sosial.
2) Dengan persaingan yang ketat, pelaku bisnis sadar bahwa konsumen adalah raja
sehingga perusahaan harus bisa merebut dan mempertahankan kepercayaan
konsumen.
3) Perusahaan semakin menyadari bahwa karyawan bukanlah tenaga kerja yang siap
untuk dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Karyawan
adalah subyek utama yang menentukan keberlangsungan bisnis sehingga harus
dijaga dan dipertahankan.
4) Perlunya menjalankan bisnis dengan tidak merugikan hak dan kepentingan semua
pihak yang terkait dengan bisnis.
P. Tantangan Manajer dalam Dunia Bisnis
Di era demokratisasi usaha, seorang dewasa berhak untuk memilih upaya
mendapatkan biaya hidup keluarga dengan memilih profesi sebagai pekerja, pekerja
mandiri, pebisnis atau investor.
Seorang manajer dikualifikasikan sebagai pebisnis yaitu seorang yang menjual
kemampuan manajerial (kemampuan memimpin perusahaan) dengan memperoleh imbal
jasa berupa “manajemen fee”.
Tantangan yang dihadapi oleh majemen perusahaan dapat berupa intrik politik,
persaingan tidak sehat maupun kehilangan kepercayaan stake holder.
Konsep risk management digunakan untuk menanggulangi resiko usaha sedangkan
konsep etika bisnis digunakan untuk meningkatkan image perusahaan.
Suatu kontrak hanya akan tidak bermasalah apabila:
1) Pihak pihak mampu secara sadar bertindak secara bertanggung jawab dan bebas
dalam pengambilan langkah langkah yang dianggap tepat = mandiri
2) Pihak pihak telah dewasa dan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya secara
mandiri dan taat kepada norma moral dan etika = sopan
3) Hak dan kewajiban pihak pihak seimbang = adil
2) Didasari kesungguhan, keterbukaan dan kejujuran = baik
3) Didasari itikad baik dan hubungan yang serasi = santun
Q. Bisnis dan Etika dalam Dunia Modern
Bisnis modern merupakan realistas yang amat kompleks. Banyak faktor yang
mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Guna menjelaskan kekhususan aspek
etis ini, dalam suatu pendekatan pertama kita membandingkan dulu dengan aspek-aspek
lain, terutama aspek ekonomi dan hukum. Sebab, bisnis sebagai kegiatan social dapat
disoroti sekurang kurangnya dari tiga sudut pandang yang berbeda tetapi tidak selalu
mungkin dipisahkan dari: sudut pandang ekonomi, hukum, dan etika.
1. Sudut pandang ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar-
menukar, jual-beli, memproduksi, memasarkan, bekerja-mempekerjakan, dan
berinteraksi dengan orang lain lainnya, dengan maksud memperoleh untung.
Dipandang dari sudut ekonomis, good bussines atau bisnis yang baik adalah bisnis
yang membawa banyak untung. Orang bisnis selalu akan berusaha membuat bisnis
yang sehat (dalam arti itu).
2. Sudut pandang moral
Di samping aspek ekonomi dari bisnis, di sini tampak aspek lain yaitu aspek moral.
Selalu ada kendala etis bagi perilaku kita, termasuk juga perilaku ekonomis. Tidak
semuanya bisa kita lakukan untuk mengejar tujuan kita (di bidang bisnis : mencari
keuntungan) boleh kita lakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak
orang lain. Bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang baik secara
moral.
3. Sudut pandang hukum
Tidak diragukan, bisnis terikat juga oleh hukum. “Hukum dagang” atau “Hukum bisnis”
merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dari segi norma, hukum lebih
jelas dan pasti dibandingkan etika. Karena hukum dituliskan hitam atas putih dan ada
sanksi tertentu, bila terjadi pelanggaran. Hukum dan etika kerap kali tidak bisa
dilepaskan satu sama lain. Memang benar, ada hal-hal yang diatur oleh hukum tidak
mempunyai hubungan langsung dengan etika. Tetapi ada juga ada perilaku dalam
segi moral penting, tetapi tidak diatur menurut hukum.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting. Bisnis harus menaati hukum dan
peraturan yang berlaku. “Bisnis yang baik” antara lain berarti juga bisnis yang patuh
pada hukum. Di samping hukum, kita membutuhkan etika juga. Kita memerlukan
norma moral yang menetapkan apa yang etis dan tidak etis untuk dilakukan. Pada
taraf normative, etika mendahului hukum. Jika secara moral suatu perilaku ternyata
salah, kemungkinan besar (walaupun tidak pasti) perilaku itu melanggar hukum juga.
4. Tolok ukur untuk tiga sudut pandang ini
Dapat disimpulkan, supaya patut disebut good bussines, tingkah laku bisnis harus
memenuhi syarat-syarat dari semua sudut pandang tadi. Memang benar bisnis yang
ekonomis tidak baik (jadi, tidak membawa untung) tidak pantas disebut bisnis yang
baik. Bisnis tidak pantas disebut good business kalau tidak baik dari sudut pandang
etika dan hukum juga. Dalam hal ini penting aspek hukum lebih mudah diterima,
sekurang-kurang pada taraf teoritis (walaupun dalam praktek barangkali sering
dilanggar).

Bab 2
TEORI ETIKA
 
A. Garis Besar Etika
Etika dalam bahasa Yunani kuno yaitu “ethikos“ yang berarti “timbul dari kebiasaan”
yang kemudian berkembang menjadi adat-istiadat/tradisi/budaya. Secara garis besar,
etika adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang
mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.
Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar-salah, baik-buruk dan
tanggung-jawab.
St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian
filsafat praktis (practical philosophy). Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-
unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita
rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat
orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai
etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi.
Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah
tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga
tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat
dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Etika terbagi menjadi tiga bagian
utama yaitu meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika),
dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
B. Pandangan Tradisional 
a. Etika Teleologi
1. Berasal dari kata Yunani, telos = tujuan,  yaitu mengukur baik buruknya suatu
tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan
akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Etika Teleologi adalah etika yang diukur dari apa tujuan yang dicapai oleh para pelaku
kegiatan. Aktivitas akan dinilai baik jika bertujuan baik. Artinya sesuatu yang dicapai
adalah sesuatu yang baik dan mempunyai akibat yang baik. Baik ditinjau dari
kepentingan pihak yang terkait, maupun dilihat dari kepentingan semua pihak. Dalam
etika ini dikelompokkan menjadi dua macam yaitu : (1) Egoisme ialah etika yang baik
menurut pelaku saja, sedangkan bagi yang lain mungkin tidak baik, dan (2)
Utilitarianisme ialah etika yang baik bagi semua pihak, artinya semua pihak baik yang
terkait langsung maupun tidak langsung akan menerima pengaruh yang baik.
Dua aliran etika teleologi :
a. Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya
bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya
tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan
memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung
menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan
semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.
b. Norma
Norma merupakan sebuah aturan atau ukuran mengenai bagaimana manusia hidup
dan bertinda dengan baik dan menjadi dasar baik buruknya suatu perilaku /
tindakan. Norma dibagi menjadi:
a. Norma Umum
Norma-norma Umum lebih bersifat umum dan sampai pada tingkat tertentu boleh
dikatakan bersifat universal.
b. Norma Khusus : aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan khusus / tertentu,
contoh: aturan pendidikan.
c. Norma Sopan-Santun
Norma Sopan-Santun / Norma Etiket adalah norma yang mengatur pola perilaku
dan sikap lahiriah dalam pergaulan sehari-hari. Etika tidak sama dengan Etiket.
Etiket hanya menyangkut perilaku lahiriah yang menyangkut sopan santun atau
tata karma.
d. Norma Moral
Norma Moral, yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai
manusia. Norma moral ini menyangkut aturan tentang baik buruknya, adil
tidaknya tindakan dan perilaku manusia sejauh ia dilihat sebagai manusia.
Dasar moral:
1) Semua orang adalah manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang
sama dan karena itu harus diperlakukan secara sama.
2) Semua orang adalah warga negara yang sama status dan kedudukannya,
bahkan sama kewajiban sipilnya. Perlakuan yang tidak sama hanya bisa
dibenarkan melalui pertanggungjawaban yang terbuka berdasar prosedur legal
yang berlaku.
e. Norma Hukum
Norma Hukum adalah norma legal yang dituntut keberlakuannya secara tegas
oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan
kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Norma hukum ini
mencerminkan harapan, keinginan dan keyakinan seluruh anggota masyarakat
tersebut tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik dan bagaimana
masyarakat tersebut harus diatur secara baik.
Konsekuensi legal dan moral yang mendasar:
1)  Semua orang harus secara sama dlindungi oleh hukum negara.
2)  Tidak ada orang yang akan diperlakukan secara istimewa oleh hukum atau
negara.
3)  Negara/pemerintah tidak boleh mengeluarkan hukum atau produk hukum apapun
yang secara khusus dimaksudkan demi kepentingan kelompok atau orang
tertentu dengan tanpa merugikan kepentingan pihak lain. 
4) Semua warga tanpa perbedaan apapun harus tunduk dan taat kepada hukum
yang berlaku karena hukum tersebut melindungi hak dan kepentingan semua
warga.
C. Teori Etika Modern
1. Utilitarisme
“Utilitarisme” berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini
suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus
menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Dapat dipahami pula utilarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi
perbuatan dalam menilai baik buruknya suatu perbuatan.
Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu
perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan
terbesar dari jumlah orang yang terbesar. Teori ini cocok sekali dengan pemikiran
ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-Benefit Analysis. Manfaat yang
dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung sama seperti kita m
enghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.
Utilitarianisme, dibedakan menjadi dua macam :
1) Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianism)
Prinsip dasar utilitarianisme ialah manfaat terbesar  bagi jumlah orang yang terbesar
pula dan diterpakan pada perbuatannya.
2) Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianism)
Utilitarianisme aturan membatasi diri pada justifikasi aturan-aturan moral sehingga
memang dapat menghindari kesulitan dari utilitarisme perbuatan.
2. Deontologi
Istilah Deontologi (deontology) ini berasal dari kata Yunani deon yang berarti
kewajiban. ‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai
buruk’, deontologi menjawab: ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan
karena perbuatan kedua dilarang’ yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah
kewajiban. Maka deontology melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi
perbuatan. Utilitarisme mementingkan konsekuensi perbuatan, sedangkan deontology
konsekuensi perbuatan tidak berperan sama sekali. Dalam suatu perbuatan pasti ada
konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi
pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena
perbuatan tersebut wajib dilakukan. 
Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang
baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu
perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik, karena dalam Teori Deontologi
kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini merupakan suatu keharusan.
Contoh : kita tidak boleh mencuri, berbohong kepada orang lain melalui ucapan dan
perbuatan.
Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan
juga salah satu teori etika yang terpenting.
Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :
1) Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan
kewajiban;
2) Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan
itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah
dinilai baik;
3) Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari
tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sbg perintah tak bersyarat (imperatif
kategoris), yg berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi
dan tempat.
Jenis Hukum Moral antara lain:
c. Perintah Bersyarat adalah perintah yg dilaksanakan kalau orang menghendaki
akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu mrpkn hal yg diinginkan dan
dikehendaki oleh orang tsb.
d. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yg dilaksanakan begitu saja tanpa
syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa
mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tsb atau
tidak.
3. Etika Relatifisme
Etika relatifisme adalah etika yang dipergunakan di mana mengandung perbedaan
kepentingan antara kelompok pasrial dan kelompok universal atau global. Etika ini
hanya berlaku bagi kelompok passrial, misalnya etika yang sesuai dengan adat
istiadat lokal, regional dan konvensi, sifat dan lain-lain. Dengan demikian tidak berlaku
bagi semua pihak atau masyarakat yang bersifat global.
4. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang
paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau
perilaku. Sebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori dentiologi, karena
berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang
sama.  Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama.
Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
5. Teori Keutamaan (Virtue)
Apa yang dimaksud dengan keutamaan? Keutamaan bisa didefinisikan sebagai
berikut: disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk
bertingkah laku baik secara moral berarti memandang sikap atau akhlak seseorang.
Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan
sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak  yang telah
diperoleh  seseorang dan memungkinkan  dia untuk bertingkah  laku baik secara
moral.
Contoh keutamaan :
1) Kebijaksanaan
2) Keadilan
3) Suka bekerja keras
4) Hidup yang baik
Ada banyak keutamaan dan semua keutamaan dan semua keutamaan untuk setiap
orang dan untuk setiap kegiatan. Di antara keutamaan yang harus menandai pebisnis
perorangan bisa disebut: kejujuran, fairness, kepercayaan, dan keuletan.
1. Kejujuran
Secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus
dimiliki oleh pelaku bisnis. Orang yang mempunyai keutamaan kejujuran tidak akan
berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis, bahkan kalau penipuan sebenarnya
gampang. Perlu diakui, tentang keutamaan kejujuran kadang-kadang ada kesulitan
juga. Garis perbatasan antara kejujuran dan ketidakjujuran tidak selalu bisa ditarik
dengan tajam.
2. Fairness
Kata inggris ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kerap kali diberi
terjemahan “keadilan” dan memang fairness dekat dengan paham “keadilan” tapi
tidak sama juga. Barangkali terjemahan yang tidak terlalu meleset adalah: sikap
wajar. Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada
semua orang dengan semeua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa yang
bisa disetujui oleh semua orang yang terlibat dalam suatu transaksi.
3. Kepercayaan (trust)
Adalah keutamaan yang penting dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus
ditempatkan dalam relasi timbal balik. Ada beberapa cara untuk mengamankan
kepercayaan. Salah satu cara ialah memberi garansi atau jaminan purna jual.
4. Keuletan (Solomon menggunakan kata toughness).
Pebisnis harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup
mengadakan negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang
bernilai besar. Ia harus berani juga mengambil risiko kecil ataupun besar, karena
perkembangan banyak faktor tidak bisa diramalkan sebelumnya.
Di sisi lain, kelompok keutamaan lain hendaknya dimiliki manajer dan karyawan
yang dianggap menandai bisnis pada taraf perusahaan sejauh mereka mewakili
perusahaan. Kelima keutamaan ini adalah: keramahan, totalitas, loyalitas,
kehormatan, dan rasa malu.
Keutamaan sebenarnya lebih cocok untuk digambarkan secara konkret daripada
diuraikan pada taraf teoritis. Dalam filsafat dewasa ini dikenal pendekatan yang
sering disebut “naratif”. Artinya, kebenaran filosofis yang mau dibicarakan, tidak
diuraikan secara teoretis, melainkan dikisahkan dalam suatu contoh atau kasus
konkret. Dibandingkan dengan teori-teori lain, teori keutamaan mempunyai
kelebihan lagi, karena memungkinkan untuk mengembangkan penilaian etis yang
lebih etis. Teori-teori yang didasarkan atas aturan, pada umumnya cenderung
menilai perbuatan-perbuatan dari segi negative, artinya mereka terutama menyoroti
yang tidak etis.
D. Ciri Bisnis yang Beretika
Suatu kegiatan usaha komersial atau bisnis dianggap beretika apabila:
1. Tidak merugikan siapapun;
2. Tidak menyalahi aturan-aturan dan norma yang ada;
3. Tidak melanggar hukum;
4. Tidak menjelek-jelekan saingan bisnis;
5. Mempunyai surat izin usaha.
E. Manfaat Etika dalam Bisnis
Alasan mendasar yang menjadikan etika bisnis saat ini diperlukan karena :
1. Para Pelaku Bisnis dituntut professional;
2. Persaingan semakin tinggi;
3. Kepuasan konsumen faktor utama;
4. Perusahaan dapat dipercaya dalam jangka panjang;
5. Mencegah jangan sampai dikenakan sanksi-sanksi pemerintah akibat kelalaian
produksi misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan
beroperasi dan lain sebagainya, akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai
perusahaan.
F. Aktualisasi Etika dalam Bisnis
Idealism sikap bisnis oleh para pebisnis ditunjukkan dalam hal:
1) Integrity : Bertindak jujur & benar
2) Manner : Tidak Egois
3) Personality : Kepribadian
4) Appearance : Penampilan
5) Consideration : Memahami sudut pandang lain dalam berfikir selama berbicara.
G. Etika Bisnis dalam Penggunaan Hak Milik Intelektual
Setiap hasil bisnis yang menunjukkan identitas asli / ciri khas dari pembuatnya berhak
menentukan:
1. Hak Cipta diterima oleh Pencipta : penerima hak untuk mengumumkan ciptaannya.
2. Hak Paten diterima oleh Negara : identitas kebudayaan, penemuan teknologi
3. Hak Merek berupa Tanda : gambar (logo, symbol, ikon), tulisan (slogan, tagline, jingle),
pembeda barang & jasa.
H. Jenis Masalah dalam Etika Bisnis
Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan
memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra
produktif, Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis, pada
umumnya termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi
pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya
diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Perlu dipahami, karyawan yang
berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu,
perusahaan harus semaksimal mungkin harus mempertahankan karyawannya.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-
nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan ke dalam manajemen
korporasi yakni dengan cara :
1) Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct);
2) Memperkuat sistem pengawasan;
3) Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
Ada 3 jenis masalah yang dihadapi dalam Etika yaitu:
1. Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang
muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya di mana
bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang
dalam perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan
tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan
individual sebagai keseluruhan.
3. Individu
Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul seputar
individu tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang
moralitas keputusan, tindakan dan karakter individual.
I. Contoh Kasus Pelanggaran Etika
”Pelanggaran etika perusahaan terhadap pelanggannya di Indonesia merupakan
fenomena yang sudah sering terjadi. Contoh terakhir adalah pada kasus
Ajinomoto. Kehalalan Ajinomoto dipersoalkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
akhir Desember 2000 setelah ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk
proses fermentasi tetes tebu (molase), mengandung bactosoytone (nutrisi untuk
pertumbuhan bakteri), yang merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai terhadap
biokatalisator porcine yang berasal dari pankreas babi,”.
Kasus lainnya, terjadi pada produk minuman berenergi Kratingdeng yang sebagian
produknya diduga mengandung kafein lebih dari batas yang diizinkan oleh Badan
Pengawas Obat dan Minuman. ”Oleh karena itu perilaku etis perlu dibudayakan melalui
proses internalisasi budaya secara top down agar perusahaan tetap survive sehingga
dapat meningkatkan kinerja pemasarannya,”.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K. 2009. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.
Dr. H. Budi Untung. 2012. Hukum dan Etika Bisnis. Yogyakarta : CV Andi Offset.
Fauzan dan Ida N. 2014. Jurnal : Pengaruh Penerapan Etika Bisnis Terhadap Kepuasan
Pelanggan Warung Bebek H. Slamet Di Kota Malang. Malang.

Bab 3
BISNIS DAN ETIKA
A. Bisnis sebagai Sebuah Profesi
Hal yang harus diperhatikan dalam berbisnis adalah norma dan moralitas yang berlaku di
dalam masyarakat yang otomatis turut menerapkan etika. Di samping itu etika bisnis juga
bisa diterapkan dan dimunculkan dalam perusahaan sendiri karena memiliki keterkaitan
dengan profesional bisnis.
Perusahaan menyakini prinsip bisnis yang baik adalah yang memperhatikan etika-etika
yang berlaku, seperti menaati hokum dan peraturan yang berlaku. Karena bisnis
beroperasi dalam rangka suatu sistem ekonomi, maka sebagian dari tugas etika bisnis
hakikatnya mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang sistem ekonomi yang umum
dan khusus, dan pada gilirannya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang tepat atau
tidaknya pemakaian bahasa moral untuk menilai sistem-sistem ekonomi, struktur bisnis.
Bisnis dapat menjadi sebuah profesi etis bila ditunjang oleh sistem politik ekonomi yang
kondusif dengan aturan yg jelas dan fair, terdapat kepastian keberlakuan aturan tersebut,
maupun aturan hukum yg mengatur kegiatan bisnis melalui sistem pemerintahan–
kementrian yang berwenang–yg adil dan efektif.
B. Prinsip-Prinsip Etis untuk Berbisnis yang Baik
1. Etika Terapan
Secara umum kita dapat membagi etika menjadi etika umum dan etika khusus.
Etika umum berbicara mengenai norma dan nilai moral, kondisi-kondisi dasar bagi
manusia untuk bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis,
teori-teori etika, lembaga-lembaga normative, dan semacamnya. Etika umum sebagai
ilmu atau filsafat moral dapat dianggap sebagai etika teoritis, kendati istilah ini
sesungguhnya tidak tepat karena bagaimanapun juga etika selalu berkaitan dengan
perilaku dan kondisi praktis dan actual dari manusia dalam kehidupannya sehari-hari
dan tidak hanya semata-mata bersifat teoritis.
Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar
dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam hal ini, norma dan prinsip moral
diteropongi dalam konteks kekhususan bidang kehidupan manusia yang khusus
tertentu. Dengan kata lain, etika sebagai refleksi kritis rasional meneropongi dan
merefleksi kehidupan manusia dengan mendasarkan diri kepada norma dan nilai moral
yang ada di satu pihak dan situasi khusus dari bidang kehidupan dan kegiatan khusus
yang dilakukan setiap orang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat. Dalam hal
ini etika tidak lagi sekedar meneropong perilaku dan kehidupan manusia sebagai
manusia begitu saja, melainkan meneropong perilaku dan kehidupan manusia sebagai
manusia dalam bidang kehidupan dan egiatan khusus tertentu. Etika khusus dibagi lagi
menjadi tiga, yaitu etika individual, etika sosial, dan etika lingkungan hidup.
2. Etika Bisnis
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada tiga
taraf : taraf makro, meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga kemungkinan
yang berbeda untuk menjalankan kegitan ekonomi dan bisnis.
1) Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi
sebagai keseluruhan.
2) Pada taraf meso (madya atau menengah), etika bisnis menyelidiki masalah etis di
bidang organisasi. Organisasi di sini terutama berarti perusahaan, tapi bisa juga
serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi dan lain-lain.
3) Pada taraf mikro, yang difokuskan adalah individu dalam hubungan dengan ekonomi
atau bisnis. Di sini dipelajari tanggung jawab etis dari karyawan dan majikan,
bawahan dan manajer, produsen dan konsumen, pemasok dan investor.
Jadi Etika Bisnis adalah penerapan prinsip-prinsip etika yang umum pada wilayah
pelaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan bisnis. Secara konkret etika
sering terfokuskan pada perbuatan. Bisa dikatakan juga bahwa teori etika membantu
kita untuk menilai keputusan etis.
3. Etika Profesi
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan
dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah
tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Etika
merupakan sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral
yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk
menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Berdasarkan
pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa etika profesi dalah keterampilan seseorang
dalam suatu pekerjaan utama yang diperoleh dari jalur pendidikan atau pengalaman
dan dilaksanakan secara kontinu yang merupakan sumber utama untuk mencari
nafkah.
C. Menuju Bisnis sebagai Profesi Luhur
Sesungguhnya bisnis bukanlah merupakan profesi, kalau bisnis dianggap sbg pekerjaan
kotor, kendati kata profesi, profesional dan profesionalisme sering begitu diobral dlm
kaitan dg kegiatan bisnis. Namun dipihak lain tdk dapat disangkal bahwa ada banyak
orang bisnis dan jg perusahaan yg sangat menghayati pekerjaan dan kegiatan bisnisnya
sbg sebuah profesi. Mereka tdk hanya mempunyai keahlian dan ketrampilan yg tinggi tapi
punya komitmen moral yg mendalam. Karena itu, bukan tdk mungkin bahwa bisnis pun
dapat menjadi sebuah profesi dlm pengertian sebenar-benarnya bahkan menjadi sebuah
profesi luhur.
1. Pandangan Praktis-Realistis
Pandangan ini bertumpu pada kenyataan yg diamati berlaku dlm dunia bisnis dewasa
ini. Pandangan ini didasarkan pada apa yg umumnya dilakukan oleh orang-orang
bisnis. Pandangan ini melihat bisnis sbg suatu kegiatan di antara manusia yg
menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh
keuntungan.
Bisnis adalah suatu kegiatan Profit Making. Dasar pemikirannya adalah bahwa orang
yg terjun ke dlm bisnis tdk punya keinginan dan tujuan lain selain ingin mencari
keuntungan. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan kegiatan sosial.
Karena itu, keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis. Tanpa keuntungan
bisnis tidak bisa jalan.
2. Pandangan Praktis-Realistis
Asumsi Adam Smith :
a) Dlm masyarakat modern telah terjadi pembagian kerja di mana setiap orang tdk
bisa lagi mengerjakan segala sesuatu sekaligus dan bisa memenuhi semua
kebutuhan hidupnya sendiri.
b) Semua orang tanpa terkecuali mempunyai kecenderungan dasar untuk membuat
kondisi hidupnya menjadi lebih baik.
3. Pandangan Ideal
Disebut pandangan ideal, karena dlm kenyataannya masih merupakan suatu hal
yg ideal mengenai dunia bisnis. Sbg pandangan yg ideal pandangan ini baru dianut
oleh segelintir orang yg dipengaruhi oleh idealisme tertentu berdasarkan nilai tertentu
yg dianutnya.
Menurut pandangan ini, bisnis tidak lain adalah suatu kegiatan di antara manusia
yg menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dasar pemikirannya adalah pertukaran timbal balik secara fair di antara pihak-
pihak yg terlibat. Maka yg mau ditegakkan dlm bisnis yg menyangkut pandangan ini
adalah keadilan komutatif, khususnya keadilan tukar atau pertukaran dagang yg fair.
Menurut Adam Smith, pertukaran dagang terjadi karena satu orang memproduksi
lebih banyak barang tertentu sementara ia sendiri membutuhkan barang lain yg tidak
bisa dibuatnya sendiri.
Menurut Matsushita (pendiri perusahan Matsushita Inc di Jepang), tujuan bisnis
sebenarnya bukanlah mencari keuntungan melainkan untuk melayani kebutuhan
masyarakat. Sedangkan keuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercayaan
masyarakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan. Artinya, krn masyarakat merasa
kebutuhan hidupnya dipenuhi secara baik mereka akan menyukai produk perusahaan
tsb yg memang dibutuhkannya tapi sekaligus juga puas dengan produk tsb.
Dengan melihat kedua pandangan berbeda di atas, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa citra jelek dunia bisnis sedikit banyaknya disebabkan oleh
pandangan pertama yg melihat bisnis sekadar sbg mencari keuntungan.
Atas dasar ini, persoalan yg dihadapi di sini adalah bgmn mengusahakan agar
keuntungan yg diperoleh ini memang wajar, halal, dan fair. Terlepas dari pandangan
mana yg dianut, keuntungan tetap menjadi hal pokok bagi bisnis. Masalahnya adalah
apakah mengejar keuntungan lalu berarti mengabaikan etika dan moralitas? Yg
penting adalah bgmn keuntungan ini sendiri tercapai.
Salah satu upaya untuk membangun bisnis sbg profesi yg luhur adalah dg
membentuk, mendukung dan memperkuat organisasi profesi. Melalui organisasi
profesi tsb bisnis bisa dikembangkan sbg sebuah profesi dlm pengertian sebenar-
benarnya sebagaimana dibahas disini, kalau bukan menjadi profesi luhur.
D. Menuju Bisnis sebagai Profesi Luhur
Berdasarkan pengertian profesi yang menekankan pada keahlian dan ketrampilan
yang tinggi serta komitmen moral yang mendalam, maka jelas kiranya bahwa pekerjaan
yang kotor tidak akan disebut sebagai profesi. Karena itu sesungguhnya bisnis bukanlah
merupakan profesi, kalau bisnis dianggap sebagai pekerjaan kotor, kendati kata profesi,
professional, dan profesionalisme sering begitu diobral dalam kaitan dengan kegiatan
bisnis.
Namun pihak lain tidak dapat disangkal bahwa ada banyak orang bisnis dan juga
perusahaan yang sangat menghayati pekerjaan dan kegiatan bisnisnya sebagai sebuah
profesi dalam pengertiannya sebagaimana kita jelaskan diatas. Mereka tidak hanya
mempunyai keahlian dan ketrampilan yang tinggi tapi punya komitmen morak yang
mendalam. Karena itu, bukan tiddak mungkin bahwa bisnis pun dapat menjadi sebuah
professi dalam pengertiannya yang sebenar-benarnya bahkan menjadi sebuah profesi
luhur.
E. Mitos Bisnis Amoral
Mitos bisnis amoral mengungkapkan suatu keyakinan bahwa antara bisnis dan
moralitas atau etika tidak ada hubungan sama sekali. Bisnis tidak punya sangkut paut
dengan etika dan moralitas. Keduanya adalah dua bidang yang terpisah satu sama lain.
Etika justru bertentangan dengan bisnis yang ketat, maka orang bisnis tidak perlu
memperhatikan imbauan-imbauan, norma-norma dan nilai-nilai moral.
Bisnis memang sering diibaratkan dengan judi bahkan sudah dianggap sebagai
semacam judi atau permainan penuh persaingan yang ketat. Tidak sepenuhnya benar
bahwa sebagai sebuah permainan (judi), harus dibedakan antara legalitas dan moralitas.
Etika harus dibedakan dari ilmu empiris. Pemberitaan, surat pembaca, dan berbagai aksi
protes yang terjadi dimana-mana untuk mengecam berbagai pelanggaran dalam kegiatan
bisnis, atau mengecam kegiatan bisnis yang tidak baik, menunjukkan bahwa masih
banyak orang dan kelompok masyarakat menghendaki agar bisnis dijalankan secara baik
dan tetap mengindahkan norma-norma moral.
F. Keutamaannya Etika Bisnis
Dalam bisnis modern, para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang professional
di bidangnya. Perusahaan yang unggul bukan hanya memiliki kinerja dalam bisnis,
manajerial dan finansial yang baik akan tetapi juga kinerja etis dan etos bisnis yang baik.
1) Dalam persaingan bisnis yang sangat ketat, maka konsumen benar-benar raja.
Kepercayaan konsumen dijaga dengan memperlihatkan citra bisnis yang baik dan etis.
2) Dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang menjamin kepentingan dan
hak bagi semua pihak, maka perusahaan harus menjalankan bisnisnya dengan baik
dan etis.
3) Perusahaan modern sangat menyadari bahwa karyawan bukanlah tenaga yang harus
dieksploitasi demi mendapat keuntungan. 
G.Sasaran dan Lingkup Etika Bisnis
Tiga sasaran dan lingkup pokok etika bisnis:
1) Etika bisnis sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi dan masalah
yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis.
2) Untuk menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan
masyarakat luas pemilik asset umum semacam lingkungan hidup, akan hak dan
kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar atau praktek bisnis siapa pun juga.
3) Etika bisnis juga membicarakan mengenai system ekonomi yang sangat menentukan
etis tidaknya suatu praktek bisnis.
H. Prinsip-prinsip Etika Bisnis
Beberapa prinsip umum dalam etika bisnis antara lain:
1. Prinsip Otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan
bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik
untuk dilakukan.
2. Prinsip Kejujuran
Prinsip ini merupakan prinsip paling problematic karena masih banyak pelaku bisnis
yang mendasarkan kegiatan bisnisnya pada tipu-menipu atau tindakan curang.
3. Prinsip Keadilan
Yaitu menuntut setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang
adil dan sesuai criteria yang rasional obyektif dan dapat dipertanggung jawabkan.
4. Prinsip Saling Menguntungkan
Yaitu menuntut agar setiap bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga
menguntungkan semua pihak.
5. Prinsip Integritas Moral
Yaitu dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar
dia menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau nama baik
perusahaan.
I. Etos Kerja
Etos kerja adalah respon yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat
terhadap kehidupan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap keyakinan
mempunyai sistem nilai dan setiap orang yang menerima keyakinan tertentu berusaha
untuk bertindak sesuai dengan keyakinannya.
J. Realisasi Moral Bisnis
Tiga pandangan yang dianut, yaitu:
1) Norma etis berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain.
2) Norma sendirilah yang paling benar dan tepat.
3) Tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali.
K. Pendekatan-pendekatan Stockholder
1. Kelompok Primer
Yaitu pemilik modal, saham, kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur dan
pesaing atau rekanan.
2. Kelompok Sekunder
Yaitu pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok social, media massa,
kelompok pendukung, dan masyarakat.
J. Utilitarianisme sebagai Etika Terkini dalam Bisnis
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan
yang dihadapi oleh Bentham dan orang-orang sezamannya adalah bagaimana menilai
baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral.
Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan yang
punya dampak bagi kepentingan banyak orang, secara moral. 
1. Utilitarianisme sebagai Proses dan Standar Penilaian
Etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan,
kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai
sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode untuk bisa
mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan
dilakukan.
Etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian baik tindakan atau
kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga criteria di atas lalu benar-
benar dipakai sebagai criteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan
yang telah dilakukan memang baik atau tidak.
Yang paling pokok adalah menilai tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi
berdasarkan akibat atau konsekuensinya yaitu sejauh mana ia mendatangkan hasil
terbaik bagi banyak orang.
2. Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu
mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau tindakan
yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau
tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
Criteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan
itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar)
dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan alternative lainnya.
Criteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yaitu
dengan kata lain suatu kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis
menurut etika utilitarianisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa
manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat
merugikan yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Secara padat ketiga prinsip itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Bertindaklah
sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan keuntungan sebesar
mungkin bagi sebanyak mungkin orang.
3. Nilai Positif Etika Utilitarianisme
1) Rasionalitas, prinsip moral yang diajukan oleh etika utilitarianisme ini tidak
didasarkan pada aturan-aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak
bias kita persoalkan keabsahan.
2) Dalam kaitannya dengan itu, utilitarianisme sangant menghargai kebebasan setiap
pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan dan
bertindak dengan hanya memberinya ketiga criteria objektif dan rasional tadi.
3) Universalitas, yaitu berbeda dengan etika teleologi lainnya yang terutama
menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri, utilitarianisme justru
mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang. 
4. Kelemahan Etika Utilitarianisme
a) Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis
akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
b) Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada
dirinya sendiri dan hanya memperhatikan niali suatu tindakan sejauh berkaitan
dengan akibatnya.
c) Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
d) Variable yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
e) Seandainya ketiga criteria dari etika utilitarianisme saling bertentangan, maka akan
ada kesulitan dalam menentukan prioritas di antara ketiganya.
f) Etika utilitarianisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan
demi kepentingan mayoritas.
5. Contoh Perusahaan yang Menerapkan Teori Etika Utilitarianisme
PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. atau yang biasa dikenal dengan PGN
merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang transportasi dan distribusi
gas bumi, yang menghubungkan pasokan gas bumi Indonesia dengan konsumen di
seluruh penjuru nusantara.
Awalnya, perusahaan gas pertama di Indonesia adalah perusahaan gas swasta
Belanda bernama I.J.N. Eindhoven & Co yang berdiri pada tahun 1859. Perusahaan ini
memperkenalkan penggunaan gas kota di Indonesia yang terbuat dari batubara.
Setelah kemerdekaan Indonesia, perusahaan ini kemudian menjadi perusahaan milik
pemerintah Indonesia, dan pada 13 Mei 1965 perusahaan ini berubah nama menjadi
Perusahaan Gas Negara. Kemudian, pada 15 Desember 2003 namanya resmi menjadi
PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.
Penyaluran gas alam untuk pertama kali dilakukan di Cirebon pada tahun 1974,
kemudian disusul berturut-turut di wilayah Jakarta tahun 1979, Bogor tahun 1980,
Medan tahun 1985, Surabaya tahun 1994, dan Palembang tahun 1996.
Tindakan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. dalam menerapkan Teori
Utilitarianisme antara lain:
1. PGN memiliki banyak sekali konsumen di Indonesia yaitu sektor rumah tangga,
komersial dan industri. Sehingga dapat dikatakan perusahaan ini bermanfaat bagi
banyak orang.
2. Perusahaan ini yang semula mengalirkan gas buatan dari batu bara dan minyak
dengan teknik Catalytic Reforming yang tidak ekonomis mulai menggantinya dengan
mengalirkan gas alam pada tahun 1974 di kota Cirebon.
3. Sesuai dengan Slogannya “Energy for Life”, PGN memperkuat pondasi yang ada
dan bertransformasi dari perusahaan transmisi dan distribusi gas bumi menjadi
penyedia solusi energi terintegrasi, yang mendorong pemanfaatan gas bumi untuk
kebutuhan hidup masyarakat dan industri yang semakin meningkat
4. PGN ikut serta dalam mengembangkan budaya peduli lingkungan dengan
mengadakan program-program seperti program pelestarian dan konservasi
lingkungan, program rehabilitasi lingkungan, program penghijauan, program
konservasi lingkungan, program hemat kertas, program kampanye lingkungan dan
lain-lain.
5. PGN berkomitmen untuk kedepannya akan mengurangi penggunaan emisi karbon /
gas rumah kaca dalam kegiatan perusahaan.
6. Seiring meningkatnya kebutuhan energi yang bersih dan terjangkau, PGN terus
menggunakan keahlian dan pengalamannya untuk mengamankan sumber energi
baru untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang konsumen.
K. Analisis Keuntungan dan Kerugian
Keuntungan dan kerugian (cost and benefits) yang dianalisis jangan semata-mata
dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi perusahaan, kendati benar bahwa ini
sasaran akhir. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah keuntungan dan kerugian bagi
banyak pihak lain yang terkait dan berkepentingan, baik kelompok primer maupun
sekunder. Jadi, dalam analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana daan sejauh mana
suatu kebijaksanaan dan kegiatan bisnis suatu perusahaan membawa akibat yang
menguntungkan dan merugikan bagi kreditor, konsumen, pemosok, penyalur, karyawan,
masyarakat luas, dan seterusnya. Ini berarti etika utilitarianisme sangat sejalan dengan
apa yang telah kita bahas sebagai pendekatan stakeholder.
Seringkali terjadi bahwa analisis keuntungan dan kerugian ditempatkan dalam
kerangka uang (satuan yang sangat mudah dikalkulasi). Yang juga perlu mendapat
perhatian serius adalah bahwa keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut
aspek financial, melainkan juga aspek-aspek moral; hak dan kepentingan konsimen, hak
karyawan, kepuasan konsumen, dsb. Jadi, dalam kerangka klasik etika utilitarianisme,
manfaat harus ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejahteraan, kebahagiaan,
keamanan sebanyak mungkin pihak terkait yang berkepentingan.
Bagi bisnis yang baik, hal yang juga mendapat perhatian dalam analisis keuntungan
dan kerugian adalah keuntungan dan kerugian dalam jangka panjang. Ini penting karena
bias saja dalam jangka pendek sebuah kebijaksanaan dan tindakan bisnis tertentu sangat
menguntungkan, tapi ternyata dalam jangka panjang merugikan atau paling kurang tidak
memungkinkan perusahaan itu bertahan lama. Karena itu, benefits yang menjadi sasaran
utama semua perusahaan adalah long term net benefits.
Sehubungan dengan ketiga hal tersebut, langkah konkret yang perlu dilakukan dalam
membuat sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan dan mempertimbangkan
alternative kebijaksanaan bisnis sebanyak-banyaknya. Semua alternative kebijaksanaan
dan kegiatan itu terutama dipertimbangkan dan dinilai dalam kaitan dengan manfaat bagi
kelompok-kelompok terkait yang berkepentingan atau paling kurang, alternatif yang tidak
erugikan kepentingan semua kelompok terkait yang berkepentingan. Kedua, semua
alternative pilihan itu perlu dinilai berdasarkan keuntungan yang akan dihasilkannya dalam
kerangka luas menyangkut aspek-aspek moral. Ketiga, neraca keuntungan dibandingkan
dengan kerugian, dalam aspek itu, perlu dipertimbagkan dalam kerangka jangka panjang.
Kalau ini bias dilakukan, pada akhirnya ada kemungkinan besar sekali bahwa
kebijaksanaan atau kegiatan yang dilakukan suatu perusahaan tidak hanya
menguntungkan secara financial, melainkan juga baik dan etis.
Sumber Referensi:
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
id.wikipedia.org/wiki/Utilitarianisme
id.wikipedia.org/wiki/Perusahaan_Gas_Negara
pgn.co.id

Bab 4
EKONOMI DAN KEADILAN

A. Pengantar / Ikhtisar
Dalam zaman kuno, keadilan ekonomi dikedepankan oleh Aristoteles yang
menganggap sebagai sesuatu hal terpenting yang harus diusahakan, karena tidak timbul
dengan otomatis, dan akan dianggap–seperti keadilan pada umumnya–untuk
menentukan bentuk negara. Berdasarkan pemikiran ini dilanjutkan dalam masyarakat
dan abad ekonomis sebagai suatu nilai yang etis dalam zaman modern keadilan
ekonomis tidak banyak diperhatikan sampai muncul lagi dengan kuatnya sekitar
pertengahan abad ke–19 di mana sekian banyak Negara menentukan bentuk negaranya;
apakah secara monarki, sosialis, persemakmuran (common-wealth), union, dan republic,
dan berperan penting dalam demokrasi-demokrasi parlementer secara panjang pada
abad ke 20.
Antara ekonomi dan keadilan terjalin hubungan yang erat, karenanya keduanya
berasal dari sumber yang sama. Sumber itu adalah masalah kelangkaan. Ekonomi timbul
karena ketebatasan sumber daya. Barang yang tersedia selalu langka dan karena itu kita
akan mencarikan untuk membagikannya atau mendistribusikannya dengan paling baik.
Barang yang tersedia dalam keadaan melimpah ruah tidak mungkin akan muncul
masalah ekonomi karena barang itu tidak akan diperjual belikan dan akibatnya tidak akan
diberikan harga ekonomi sebagai ilmu yang akan didefinisikan sebagai berikut. “Ekonomi
adalah studi tentang cara bagaimana masyarakat menggunakan sumber daya yang
langka untuk memproduksikan komoditas-komoditasnya yang berharga dan
mendistribusikannya antara orang-orang yang berbeda. Seandinya tidak ada kelangkaan,
tidak akan ada ekonomi. Selama barang yang tersedia dalam keadaan yang melimpah
tidak bisa memunculkan masalah keadilan. Masalah keadilan atau ketidakadilan baru
muncul jika tidak bersedia barang cukup bagi semua orang yang akan menginginkannya.
Adil tidaknya suatu keadaan selalu terkait juga dengan kelangkaan. Tetapi untuk
menyadari pentingnya keadilan (dan ekonomi) dalam situasi dunia yang sekarang. Perlu
kita ingat bahwa hampir tidak ada lagi barang yang tidak langka.
Ekonom dan politikus dari Belgia Mark Eyskens, menyajikan definisi yang senada;
ilmu ekonomi tak lain adalah refleksi tentang cara manusia menggunakan dengan optimal
sarana-sarana yang mengemukakan lebih banyak definisi. Rupanya pendiri-pendiri
Republik Indonesia memaksudkan hal yang serupa ketika mereka berbicara tentang
masyarakat yang adil dan makmur. Masyarakat yang makmur sekalipun belum diatur
dengan baik kalau tidak ditandai keadilan. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa keadilan
hanya merupakan sesuatu ciri sosial saja atau bahwa hanya masyarakat (institusi sosial)
bisa disebut adil dalam arti yang sesungguhnya.
Keadilan harus berperan pada tahap sosial maupun individual. Juga dalam konteks
ekonomi dan bisnis. Keadilan ekonomis harus diwujudkan dalam masyarakat tetapi
keadilan merupakan juga keutamaan yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis secara
pribadi. Dan dalam konteks ekonomi dan bisnis salah satu nilai norma terpenting adalah
keadilan.
B. Hakikat Keadilan
Keadilan dapat diartikan sebagai to give everybody his own (memberikan kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya).
C. Ciri Khas Keadilan :
1) Keadilan tertuju pada orang lain;
2) Keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan;
3) Keadilan menuntut persamaan (equality).
D. Pembagian Keadilan
1. Menurut Thomas Aquinas
Pembagian keadilan menurut Thomas Aquinas (1225-1274) yang mendasarkan
pandangan filosofisnya atas pemikiran Aristoteles (384-322 SM) disebut juga
pembagian klasik, membedakan keadilan menjadi :
1) Keadilan Umum (general justice): berdasarkan keadilan ini para anggota
masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat (negara) apa yang
menjadi haknya.
2) Keadilan Distributif (distributive justice): berdasarkan keadilan ini negara
(pemerintah) harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para
anggota masyarakat.
3) Keadilan Komutatif (commutative justice): berdasarkan keadilan ini setiap orang
harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya.
2. Menurut Boatright dan Velasquez
Pembagian keadilan yang dikemukakan oleh pengarang modern tentang etika bisnis,
khususnya John Boatright dan Manuel Velasquez dapat dibedakan menjadi :
a) Keadilan Distributif (distributive justice) : muncullah benefits and burdens yaitu hal-
hal yang enak untuk didapatkan maupun hal-hal yang menuntut pengorbanan,
harus dibagi dengan adil.
b) Keadilan Retributif (retributive justice) : berkaitan dengan terjadinya kesalahan
sehingga muncul system denda.
c) Keadilan Kompensatoris (compensatory justice) : berdasarkan keadilan ini orang
mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi
kepada orang atau instansi yang dirugikan.
E. Paham Tradisional mengenai Keadilan
1. Keadilan Legal
Semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara
berdasarkan hukum yang berlaku dan semua pihak dijamin untuk mendapat
perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku.
Keadilan yg menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat
dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan
secara sama oleh negara di hadapan hukum.
2. Keadilan Komutatif
Keadilan ini mengatur hubungan yang adil dan fair antara orang yang satu dan
yang lain atau warga negara yang satu dengan warga negara lainnya.
Keadilan ini menuntut agar dalam interaksi sosial antara warga yang satu dengan
warga yang lain tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.
Jika diterapkan dalam bisnis, berarti relasi bisnis dagang harus terjalin dlm
hubungan yang setara dan seimbang antara pihak yang satu dengan lainnya.
3. Keadilan Distributif
Keadilan distributif (keadilan ekonomi) adalah distribusi ekonomi yang merata atau
yang dianggap adil bagi semua warga Negara, yg menyangkut pembagian kekayaan
ekonomi atau hasil-hasil pembangunan. Keadilan distributif juga berkaitan dengan
prinsip perlakuan yang sama sesuai dengan aturan dan ketentuan dalam perusahaan
yang juga adil dan baik.
Keadilan distributif memiliki relevansi dalam dunia bisnis, khususnya dalam
perusahaan, setiap karyawan harus digaji sesuai dengan prestasi, tugas dan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya.
4. Keadilan Individual dan Struktural
Keadilan dan upaya menegakkan keadilan menyangkut aspek lebih luas berupa
penciptaan sistem yang mendukung terwujudnya keadilan tersebut. Prinsip keadilan
legal berupa perlakuan yang sama terhadap setiap orang bukan lagi soal orang per
orang, melainkan menyangkut sistem dan struktur sosial politik secara keseluruhan.
Untuk bisa menegakkan keadilan legal, dibutuhkan sistem sosial politik yang
memang mewadahi dan memberi tempat bagi tegaknya keadilan legal tersebut,
termasuk dalam bidang bisnis.
Dalam bisnis, pimpinan perusahaan manapun yang melakukan diskriminasi tanpa
dasar yang bisa dipertanggungjawabkan secara legal dan moral harus ditindak demi
menegakkan sebuah sistem organisasi perusahaan yang memang menganggap serius
prinsip perlakuan yang sama, fair atau adil ini.
5. Keadilan Sosial dan Keadilan Individu
Dalam teori etika modern, ada dua macam prinsip Keadilan Sosial dan Keadilan
Individu–yang kemudian menjadi landasan keadilan distributive–yaitu : prinsip formal
dan prinsip material. Prinsip formal yang dirumuskan dalam bahasa Inggris berbunyi
“equals ought to be treated equally and unequals may be treated unequals”. Yang
dapat diartikan bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang
sama, sedangkan kasus-kasus yang tidak sama boleh saja diperlakukan dengan cara
yg tidak sama. Sedangkan prinsip material menunjukkan kepada salah satu aspek
relevan yang bisa menjadi dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh
berbagai orang.
Berdasarkan prinsip material tersebut, telah dibentuk beberapa teori keadilan
distributive, antara lain :
1) Teori egalitariasme (membagi dengan adil berarti membagi rata);
2) Teori sosialistis (membagi adil sesuai dengan kebutuhan individualnya);
3) Teori liberalistis (membagi adil sesuai dengan kekuasaan atau nilai dan jumlah
kepemilikan individualnya).
Kemudian Beauchamp dan Bowie menyebut enam prinsip keadilan distributif terwujud
apabila diberikan kepada setiap orang dengan syarat :
1) Bagian yang sama
2) Sesuai dengan kebutuhan individualnya
3) Sesuai dengan haknya
4) Sesuai dengan usaha individualnya
5) Sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat
6) Sesuai dengan jasanya
F. Teori Keadilan Menurut Para Ahli
1. Adam Smith
a) Prinsip No Harm
Yaitu prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak dan
kepentingan orang lain. Prinsip ini menuntuk agar dlm interaksi sosial apapun setiap
orang harus menahan dirinya untuk tidak sampai merugikan hak dan kepentingan
orang lain, sebagaimana ia sendiri tidak mau agar hak dan kepentingannya
dirugikan oleh siapapun. Prinsip no harm adalah prinsip paling minim dan karena itu
paling pokok yang harus ada untuk memungkinkan kehidupan manusia bisa
bertahan dan juga relasi sosial manusia bisa ada dan bertahan. Dalam bisnis, tidak
boleh ada pihak yg dirugikan hak dan kepentingannya, entah sbg konsumen,
pemasok, penyalur, karyawan, investor, maupun masyarakat luas.
b)  Prinsip Non-Intervention
Yaitu prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan
penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun
diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain
Campur tangan dalam bentuk apapun akan merupakan pelanggaran terhadap hak
orang tertentu yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti telah terjadi
ketidakadilan.
Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat, pemerintah tidak diperkenankan
ikut campur tangan dalam kehidupan pribadi setiap warga negara tanpa alasan yang
dapat diterima, dan campur tangan pemerintah akan dianggap sebagai pelanggaran
keadilan. Dalam bidang ekonomi, campur tangan pemerintah dalam urusan bisnis
setiap warga negara tanpa alasan yang sah akan dianggap sebagai tindakan tidak
adil dan merupakan pelanggaran atas hak individu tersebut, khususnya hak atas
kebebasan.
c)  Prinsip Keadilan Tukar
Atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dalam
mekanisme harga pasar. Merupakan penerapan lebih lanjut dari no harm secara
khusus dalam pertukaran dagang antara satu pihak dengan pihal lain dalam pasar.
Adam Smith membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau harga aktual.
Harga alamiah adalah harga yg mencerminkan biaya produksi yg telah dikeluarkan
oleh produsen, yang terdiri dari tiga komponen yaitu biaya buruh, keuntungan
pemilik modal, dan sewa. Harga pasar atau harga aktual adalah harga yang aktual
ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang di dalam pasar. Kalau suatu barang
dijual dan dibeli pada tingkat harga alamiah, itu berarti barang tersebut dijual dan
dibeli pada tingkat harga yang adil. Pada tingkat harga itu baik produsen maupun
konsumen sama-sama untung. Harga alamiah mengungkapkan kedudukan yang
setara dan seimbang antara produsen dan konsumen karena apa yang dikeluarkan
masing-masing dapat kembali (produsen: dalam bentuk harga yang diterimanya,
konsumen: dalam bentuk barang yang diperolehnya), maka keadilan nilai tukar
benar-benar terjadi.
Dalam jangka panjang, melalui mekanisme pasar yang kompetitif, harga pasar akan
berfluktuasi sedemikian rupa di sekitar harga alamiah sehingga akan melahirkan
sebuah titik ekuilibrium yang menggambarkan kesetaraan posisi produsen dan
konsumen. Dalam pasar bebas yang kompetitif, semakin langka barang dan jasa
yang ditawarkan dan sebaliknya semakin banyak permintaan, harga akan semakin
naik. Pada titik ini produsen akan lebih diuntungkan sementara konsumen lebih
dirugikan. Namun karena harga naik, semakin banyak produsen yang tertarik untuk
masuk ke bidang industri tersebut, yang menyebabkan penawaran berlimpah
dengan akibat harga menurun. Maka konsumen menjadi diuntungkan sementara
produsen dirugikan.
2. Keadilan Distributif John Rawls dalam A Theory of Justice (1971)
a) Teori Keadilan Distributif Rawls
Pasar memberi kebebasan dan peluang yg sama bagi semua pelaku ekonomi.
Kebebasan adalah nilai dan salah satu hak asasi paling penting yg dimiliki oleh
manusia, dan ini dijamin oleh sistem ekonomi pasar. Pasar memberi peluang bagi
penentuan diri manusia sbg makhluk yg bebas. Ekonomi pasar menjamin
kebebasan yg sama dan kesempatan yg fair.
Prinsip-prinsip Keadilan Distributif Rawls, meliputi:
1) Prinsip Kebebasan yg sama.
Setiap orang hrs mempunyai hak yang sama atas sistem kebebasan dasar yg
sama yg paling luas sesuai dg sistem kebebasan serupa bagi semua. Keadilan
menuntut agar semua orang diakui, dihargai, dan dijamin haknya atas
kebebasan scr sama.
2) Prinsip Perbedaan (Difference Principle).
Bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa shg
ketidaksamaan tsb: (a) Menguntungkan mereka yg paling kurang beruntung;
dan (b) Sesuai dengan tugas dan kedudukan yg terbuka bagi semua di bawah
kondisi persamaan kesempatan yg sama.
Jalan keluar utama utk memecahkan ketidakadilan distribusi ekonomi oleh
pasar adalah dg mengatur sistem dan struktur sosial agar terutama
menguntungkan kelompok yg tdk beruntung.
a. Kritik atas Teori Rawls
Kendati sangat menarik dan dalam banyak hal efektif memecahkan persoalan
ketimpangan dan kemiskinan ekonomi, mendapat kritik tajam dari segala arah:
a. Prinsip Rawls membenarkan ketidak adilan, karena dengan prinsip tersebut
pemerintah dibenarkan untuk melanggar dan merampas hak pihak tertentu
untuk diberikan pihak lain.
b. Yang lebih tidak adil lagi adalah bahwa kekayaan kelompok tertentu yang
diambil pemerintah itu juga diberikan kepada kelompok yang tidak beruntung
atau miskin karena kesalahan sendiri.
3. Keadilan Distributif Robert Nozick dalam Anarchy State and Utopia (1974)
Nozick menetapkan Prinsip Keadilan Distributif modern antara lain:
a) “Original acquisitions” yaitu kita akan memperoleh sesuatu untuk pertama kali
dengan – misalnya – memproduksi hal itu.
b) “Transfer” yaitu kita akan memiliki sesuatu karena akan diberikan oleh orang lain.
c) “Rectifications of injustice” yaitu kita mendapatkan sesuatu kembali yang dulunya
kalau kita akan memiliki sesuatu dengan adil karena landasan hak– misalnya kita
akan membeli sebidang tanah atau kita dihadiahkan oleh orang lain maka kita
akan menjadi pemilik yang sah dan terserah pada kita saja mau diapakan milik kita
itu.
Nozick mempunyai dua keberatan mendasar terhadap prinsip-prinsip (material)
keadilan distributif yang tradisional. Prinsip-prinsip itu akan bersifat ahistoris dan
mempunyai pola yang akan menentukan sebelumnya (Patterned). Dengan
memandang kedua keberatan ini kita akan dapat memahami posisi Nozick sendiri
dengan lebih baik. Ketiga prinsip Nozick yang merupakan prinsip histories artinya
mereka tidak hanya saja melihat hasil pembagian tetapi mempertanggungjawabkan
juga proses yang melandaskan pembagian atau kepemilikan.
Kesimpulan Nozick adalah bahwa keadilan ditegakkan, jika diakui bakat-bakat dan
sifat-sifat pribadi beserta segala konsekuensinya (Seperti hasil kerja) sebagai satu-
satunya landasan hak (entitlement) jika kita ingin merumuskan prinsip menurut bentuk
tradisionalnya, hanya bisa kita katakan :
“ Dari sikap orang yang sesuai dengan apa yang akan dipilihnya, kepada setiap orang
sesuai dengan apa yang dihasilkan sendiri (barangkali dengan bantuan orang lain
berdasarkan kontrak) apa yang akan dipilih orang lain untuk melakukan bagi dia dan
akan memberikan kepada dia dari apa yang sebelumnya (berdasarkan prinsip ini
juga) diberikan kepada mereka sendiri dan belum mereka habiskan atau alihkan
kepada orang lain”. Atau dirumuskan dengan lebih singkat “dari setiap orang
sebagaimana mereka akan pilih kepada orang sebagaimana mereka pilihkan.”
G. Jalan Keluar Atas Masalah Ketimpangan Ekonomi
Terlepas dari kritik-kritik thd teori Rawls, kita akui bahwa Rawls mempunyai
pemecahan yg cukup menarik dan mendasar atas ketimpangan ekonomi. Dengan
memperhatikan secara serius kelemahan-kelemahan yang dilontarkan, kita dapat
mengajukan jalan keluar tertentu yang sebenarnya merupakan perpaduan teori Adam
Smith yang menekankan pada pasar, dan juga teori Rawls yang menekankan kenyataan
perbedaan bahkan ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh pasar.
Harus kita akui bahwa pasar adalah sistem ekonomi terbaik hingga sekarang, karena
dari kacamata Adam Smith maupun Rawls, pasar menjamin kebebasan berusaha secara
optimal bagi semua orang. Karena itu kebebasan berusaha dan kebebasan dalam segala
aspek kehidupan harus diberi tempat pertama.
Negara dituntut utk mengambil langkah dan kebijaksanaan khusus tertentu yang
secara khusus dimaksudkan untuk membantu memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi
kelompok yang secara obyektif tidak beruntung bukan karena kesalahan mereka sendiri.
Dengan mengandalkan kombinasi mekanisme pasar dan kebijaksanaan selektif
pemerintah yang khusus ditujukan untuk membantu kelompok yang secara obyektif tidak
mampu memanfaatkan peluang pasar secara maksimal. Dalam hal ini penentuan
kelompok yang mendapat perlakuan istimewa harus dilakukan secara transparan dan
terbuka. Langkah dan kebijaksanaan ini mencakup pengaturan sistem melalui pranata
politik dan legal, sebagaimana diusulkan oleh Rawls, tetapi harus tetap selektif sekaligus
berlaku umum. Jalan keluar ini sama sekali tidak bertentangan dengan sistem ekonomi
pasar karena sistem ekonomi pasar sesungguhnya mengakomodasi kemungkinan itu.
 Sumber :
Dr. Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta:
Kanisius

MAKALAH KEADILAN BISNIS


ABSTRAK
Masalah keadilan berkaitan secara timbal balik dengan kegiatan bisnis, khususnya bisnis yg
baik dan etis. Terwujudnya keadilan masyarakat, akan melahirkan kondisi yg baik dan
kondusif bagi kelangsungan bisnis. Praktik bisnis yg baik, etis, dan adil akan mewujudkan
keadilan dalam masyarakat. Sebaliknya ketidakadilan yangmerajalela akan menimbulkan
gejolak sosial yang meresahkan para pelaku bisnis. Penulisan ini bertujuan untuk
mengetahui apakah tanggung jawab sosial perusahaan mempunyai kaitan yang erat
dengan penegakan keadilan dalammasyarakat umumnya dan bisnis khususnya
Kata Kunci : Keadilan Dalam Bisnis

Bab I
PENDAHULUAN
1.1 Keadilan Menurut Adam Smith
1. Keadilan sesungguhnya hnaya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yang
menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang
dengan orang lain. Ketidak adilan berarti pincangnya hubungan atara satu orang
dengan orang lain. Ketidak adilan berarti pincangnya hubungan manusia karena
kesetaraan yang terganggu.
2. Keadilan legal sudah terkandung dalam keadilan komutatif karena keadilan legal
hanya konsekunsi lebih lanjut dari prinsip keadilan komutatif. demi menegakkan
keadilan komutatif, negara harus bersikap netral dan memperlakukan semua pihak
secara sama tanpa terkecuali.
3. Juga menolak keadilan distributif, karena apa yang disebut keadilan selalu
menyangkut hak: semua orang tidak boleh dirugikan haknya. Keadilan distributif justru
tidak berkaitan dengan hak. Orang miskin tidak punya hak untuk menuntut dari orang
kaya untuk membagi kekayannya kepada mereka. Orang miskin hanya bisa meminta,
tidak bisa menuntutnya sebagai sebuah hak. Orang kaya tidak bisa dipaksa untuk
memperbaiki keadaan sosial ekonomi orang miskin.
1.2 Batasan Masalah
Dalam penyusunan penulisan ini, penulis membatasi menjadi beberapa sub pokok
bahasan, meliputi :
1) Pengertian Keadilan dan Bisnis
2) Paham Tradisional Dalam Bisnis
3) Teori Keadilan Adam Smith
1.3 Maksud dan Tujuan
Adapun tujuan penulisan untuk memenuhi tugas softskill mata kuliah Etika Bisnis dalam
membuat jurnal atau tulisan tentang Keadilan Dalam Bisnis.
Maksud dari penulisan ini adalah :
1) Untuk mengetahui apakah itu keadilan?
2) Dapat mengetahui apakah pelaku bisnis disekitar kita sudah menerapkan
mendapatkan keadilan dalam berbisnis ?
3) Dapat memberikan informasi bagi penulis sendiri dan pembaca atas hasil penulisan
ini.

Bab II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Keadilan dan Bisnis
       Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, bagaimana mewujudkan suatu
keadilan jika tidak mengetahui apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang
paling tidak mendekati dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan. Definisi
mengenai keadilan sangat beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum yang memberikan definisi berbeda-beda
mengenai keadilan.
       Keadilan menurut John Raws (priyono, 1993:35) adalah ukuran yang harus
diberikan untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama. Ada 3 prinsip keadilan yaitu : (1) kebebasan yang sama yang sebesar-
besarnya, (2) perbedaan, (3) persamaan yang adil atas kesempatan.
Sedangkan Aristoteles menganggap keadilan merupakan gagasan yang ambigu.
Sebab dari satu sisi, konsep ini mengacu pada keseluruhan kebajikan sosial (termasuk
di dalamnya kebajikan dalam hubungan dengan sesama atau tetangga) dari sisi yang
lain juga mengacu pada salah satu jenis kebajikan khusus. Yang pertama disebut
keadilan Universal (umum) dan yang kedua disebut keadilan Partikular. Adapun
Keadilan Universal adalah keadilan yang terbentuk bersamaan dengan perumusan
hukum dan Keadilan partikular adalah jenis keadilan yang Aristoteles di identikan
dengan kejujuran (fairnes atau equalitas). Keadilan partikular terdiri dari dua jenis, yaitu :
(1) keadilan distributif alahah keadilan proporsional, dan (2) keadilan rektifikatoris atau
keadilan remedial adalah hubungan antarpersona (keadilan dalam perhubungan hukum
seperti terdapat didalam transaksi bisnis ataupun kontrak.
       Di sisi lain menurut Adiwarman Karim, Presiden Direktur Karim Business Consulting,
Keadilan adalah perlakukan setiap orang sesuai haknya. Misalnya, berikan upah kepada
karyawan sesuai standar serta jangan pelit memberi bonus saat perusahaan
mendapatkan keuntungan lebih. Terapkan juga keadilan saat menentukan harga,
misalnya dengan tidak mengambil untung yang merugikan konsumen.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau kelompok orang
sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan . Kata "Bisnis" sendiri
memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya - penggunaan singular kata bisnis dapat
merujuk pada tiga bandan usaha, yaitu kesatuan yudiris (hukum), teknis dan ekonomis
yaitu bertujuan mencari laba atau keuntungan . Dalam ilmu ekonom, bisnis adalah suatu
organisasi yang menjual barnag atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya untuk
mendapatkan laba.
2.2 Paham Tradisional Dalam Bisnis
2.2.1 Keadilan Legal
Menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara.
Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat  diperlakukan secara sama
oleh negara di hadapan hukum.
Dasar moral :
1) Semua orang adalah manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang
sama dan harus diperlakukan secara sama.
2) Semua orang adalah warga negara yang sama status dan kedudukannya,
bahkan sama kewajiban sipilnya, sehingga harus diperlakukan sama sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Konsekuensi legal :
1) Semua orang harus secara sama dilindungi hukum, dalam hal ini oleh negara.
2) Tidak ada orang yang akan diperlakukan secara istimewa oleh hukum atau
negara.
3) Negara tidak boleh mengeluarkan produk hukum untuk kepentingan kelompok
tertentu.
4) Semua warga harus tunduk dan taat kepada hukum yang berlaku.
2.2.2 Keadilan Komutatif
1) Mengatur hubungan atau fair antara orang yang satu dengan yanglain atau
warga negara satu dengan warga negara lainnya.
2) Menuntut agar dalam interaksi sosial antara warga satu dengan yanglainnya
tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.
3) Jika diterapkan dalam bisnis, berarti relasi bisnis dagang harus terjalin
dalam hubungan yang setara dan seimbang antara pihak yang satu
dengan lainnya.
4) Dalam bisnis, keadilan komutatif disebut sebagai keadilan tukar. Dengan kata
lain keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang fair antara pihak-pihak
yang terlibat.
5) Keadilan ini menuntut agar baik biaya maupun pendapatan sama-sama dipikul
secara seimbang.
2.2.3 Keadilan Distributif
1) Keadilan distributif (keadilan ekonomi) adalah distribusi ekonomi yang merata
atau yang dianggap merata bagi semua warga negara. Menyangkut pembagian
kekayaan ekonomi atau  hasil-hasil pembangunan. 
2) Persoalannya apa yang menjadi dasar pembagian yang adil itu? Sejauh mana
pembagian itu dianggap adil?
3) Dalam sistem aristokrasi, pembagian itu adil kalau kaum ningrat mendapat lebih
banyak, sementara para budaknya sedikit.
4) Menurut Aristoteles, distribusi ekonomi didasarkan pada prestasi dan peran
masing-masing orang dalam mengejar tujuan bersama seluruh warga negara.
5) Dalam dunia bisnis, setiap karyawan harus digaji sesuai dengan prestasi, tugas,
dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.
6) Keadilan distributif juga berkaitan dengan prinsip perlakuan yg sama sesuai
dengan aturan dan ketentuan dalam perusahaan yg juga adil dan baik.
2.3 Teori Keadilan Modern
2.3.1 Keadilan Komutatif menurut Adam Smith
Adam Smith hanya menerima satu konsep atau teori keadilan, yaitu keadilan
komutatif. Alasannya karena menurut Adam Smith yang disebut keadilan
sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan yang menyangkut kesetaraan,
keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang dengan orang lain.
Berikut adalah Prinsip Komutatif Adam Smith:
2.3.1.1 Prinsip No Harm
Yaitu prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan
hak  dan kepentingan orang lain.
Prinsip ini menuntuk agar dalam interaksi sosial apapun setiap orang harus
menahan dirinya untuk tidak sampai merugikan hak dan kepentingan orang
lain, sebagaimana ia sendiri tidak mau agar hak dan kepentingannya
dirugikan oleh siapapun. Dalam bisnis, tidak boleh ada pihak yang
dirugikan hak dan kepentingannya, entah sebagai konsumen, pemasok,
penyalur, karyawan, investor, maupun masyarakat luas.
2.3.1.2 Prinsip Non-Intervention
Yaitu prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini menuntut agar demi
jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak
seorangpun diperkenankan untuk ikut campur tangan dlm kehidupan dan
kegiatan orang lain
Campur tangan dalam bentuk apapun akan merupakan pelanggaran
terhadaphak orang yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti
telah terjadi ketidakadilan. Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat,
pemerintah tidak diperkenankan ikut campur tangan dalam kehidupan
pribadi setiap warga negara tanpa alasan yang dapat diterima, dan campur
tangan pemerintah akan dianggap sebagai pelanggaran keadilan. Dalam
bidang ekonomi, campur tangan pemerintah dlm urusan bisnis setiap
warga negara tanpa alasan yang sah akan dianggap sbg tindakah tidak
adil dan merupakan pelanggran atas hak individu tsb, khususnya hak atas
kebebasan.
2.3.1.3 Prinsip Keadilan Tukar 
Atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap
dalam mekanisme harga pasar.
Merupakan penerapan lebih lanjut dari no harm secara khusus dalam
pertukaran dagang antara satu pihak dengan pihal lain dalam pasar.
Adam Smith membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau
harga aktual. Harga alamiah adalah harga yang mencerminkan biaya
produksi yang telah dikeluarkan oleh produsen, yang terdiri dari tiga
komponen yaitu biaya buruh, keuntungan pemilik modal, dan sewa. Harga
pasar atau harga aktual adalah harga yang aktual ditawarkan dan dibayar
dalam transaksi dagang di dalam pasar.
Kalau suatu barang dijual dan dibeli pada tingkat harga alamiah, itu berarti
barang tersebut dijual dan dibeli pada tingkat harga yang adil. Padatingkat
harga itu baik produsen maupun konsumen sama-sama untung. Harga
alamiah mengungkapkan kedudukan yang setara and seimbang antara
produsen dan konsumen karena apa yang dikeluarkan masing-masing
dapat kembali (produsen: dalam bentuk harga yang diterimanya,
konsumen: dlm bentuk barang yang diperolehnya), maka keadilan nilai
tukar benar-benar terjadi.
Dalam jangka panjang, melalui mekanisme pasar yang kompetitif, harga
pasar akan berfluktuasi sedemikian rupa di sekitar harga alamiah
sehinggaakan melahirkan sebuah titik ekuilibrium yang menggambarkan
kesetaraan posisi produsen dan konsumen.
Dalam pasar bebas yang kompetitif, semakin langka barang dan jasa yang
ditawarkan dan sebaliknya semakin banyak permintaan, harga akan
semakin naik. Pada titik ini produsen akan lebih diuntungkan sementara
konsumen lebih dirugikan. Namun karena harga naik, semakin banyak
produsen yang tertarik utk masuk ke bidang industri tersebut, yang
menyebabkan penawaran berlimpah dengan akibat harga menurun. Maka
konsumen menjadi diuntungkan sementara produsen dirugikan.
2.3.2 Keadilan Distributif menurut John Rawls
Pasar memberi kebebasan dan peluang yang sama bagi semua pelaku
ekonomi. Kebebasan adalah nilai dan salah satu hak asasi paling penting yg
dimiliki oleh manusia, dan ini dijamin oleh sistem ekonomi pasar. Pasar
memberi peluang bagi penentuan diri manusia sbg makhluk yg bebas.
Ekonomi pasar menjamin kebebasan yg sama dan kesempatan yg fair.
2.2.3.1 Prinsip-prinsip Keadilan Distributif Rawls
2.2.3.1.1 Prinsip Kebebasan yg sama.
Setiap orang hrs mempunyai  hak yang sma atas sistem kebebasan
dasar yg sama yg paling luas sesuai dengan sistem kebebasan
serupa bagi semua. Keadilan menuntut  agar semua orang diakui,
dihargai, dan dijamin haknya atas  kebebasan scr sama.
2.2.3.1.2 Prinsip Perbedaan (Difference Principle).
Bahwa ketidaksamaan  sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian
rupa sehingga ketidaksamaan  tersebut :
1) Menguntungkan mereka yg paling kurang beruntung, dan
2) Sesuai dengan tugas dan kedudukan yg terbuka bagi semua di
bawah kondisi persamaan kesempatan yang sama.
Jalan keluar utama untuk memecahkan ketidakadilan distribusi
ekonomi oleh pasar adalah dengan mengatur sistem dan struktur
sosial agar terutama menguntungkan kelompok yang
tidak beruntung.
2.2.3.2 Kritik atas Teori Rawls:

Bahwa Prinsip Perbedaan yang berakibat  menimbulkan ketidakadilan baru.


1) Prinsip tersebut membenarkan ketidakadilan, karena dengan prinsip
tersebut pemerintah dibenarkan untuk melanggar dan merampas hak
pihak tertentu utk diberikan kepada pihak lain.
2) Yang lebih tidak adil lagi adalah bahwa kekayaan kelompok tertentu yang
diambil pemerintah tadi juga diberikan kepadakelompok yang menjadi
tidak beruntung atau miskin karena kesalahannya sendiri. Prinsip
Perbedaan justru memperlakukan secaratidak adil mereka yang
dengan gigih, tekun, disiplin, dan kerja keras telah berhasil mengubah
nasib hidupnya terlepas dari bakat dan kemampuannya yang mungkin
pas-pasan.
2.4 Jalan Keluar Atas Masalah Ketimpangan Ekonomi
Terlepas dari kritik-kritik thd teori Rawls, kita akui bahwa Rawls mempunyai
pemecahan yang cukup menarik dan mendasar atas ketimpangan ekonomi. Dengan
memperhatikan secara serius kelemahan-kelemahan yang dilontarkan, kita dapat
mengajukan jalan keluar tertentu yg sebenarnya merupakan  perpaduan teori Adam
Smith yg menekankan pada pasar, dan juga  teori Rawls yang menekankan kenyataan
perbedaan bahkan ketimpangan ekonomi yg dihasilkan oleh pasar.
Harus kita akui bahwa pasar adalah sistem ekonomi terbaik hingga sekarang,
karena dari kacamata Adam Smith maupun Rawls, pasar menjamin kebebasan berusaha
scr optimal bagi semua orang. Karena itu kebebasan berusaha dan kebebasan dlm
segala aspek kehidupan harus diberi tempat pertama.
Negara dituntut utk mengambil langkah dan kebijaksanaan khusus tertentu yg scr
khusus dimaksudkan utk membantu memperbaiki keadaan sodial dan ekonomi kelompok
yg scr obyektif tidak beruntung bukan karena kesalahan mereka sendiri.
Dengan mengandalkan kombinasi mekanisme pasar dan kebijaksanaan selektif
pemerintah yg khusus ditujukan utk membantu kelompok yg scr obyektif tidak mampu
memanfaatkan peluang pasar scr maksimal. Dlm hal ini penentuan kelompok yg mendpt
perlakuan istimewa hrs dilakukan scr transparan dan terbuka. Langkah dan
kebijaksanaan ini mencakup pengaturan sistem melalui pranata politik dan legal,
sebagaimana diusulkan oleh Rawls, ttp harus tetap selektif sekaligus berlaku umum.
Jalan keluar ini sama sekali tidak bertentangan dg sistem ekonomi pasar karena sistem
ekonomi pasar sesungguhnya mengakomodasi kemungkinan itu.

Bab III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan Metode
Searching di Internet, yaitu dengan membaca referensi-referensi yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas dalm tugas ini, membaca buku-buku bacaan  serta jurnal-jurnal yang
berkaitan dengan penelitian ini.

Bab IV
PEMBAHASAN
5.1 Contoh Keadilan Dalam Bisnis
Perlakuan yang adil oleh manajemen perusahaan terhadap karyawan akan
menumbuhkan sikap positif dalam perusahaan maupun berkerja. Semakin adil
perusahaan memperlakukan karyawan, komitmen dan kinerja karyawan semakin tinggi.
Karyawan menghendaki perlakuan adil baik dari sisi distribusi dan prosedur atau dikenal
keadilan distributif dan keadilan procedural. Ketika para karyawan merasa diperlukan
adil, jiwa mereka akan tumbuh dua jenis outcomes berupa kepuasan dan komitmen
kerja.
Apabila karyawan menilai perlakuan yang mereka terima adil, maka hal ini akan
berpengaruh pada dua jenis hal, yaitu keputusan karyawan da komitmen karyawan.
Semakin tinggi mempersepsikan keadilan suatu kebijakan atau praktik manajemen,
maka ini akan berdampak pada peningkatan kepuasan dan komitmen karyawan (Heru
Kurnianto Tjahjono: Pikiran Rakyat, 14 Juli 2009). Perusahaan atau organisasi yang baik
akan mengeluarkan kebijakan yang mendorong karyawan berkomitmen dan merasa
dalam lingkungan yang diperlakukan secara adil oleh manajemen perusahaan atau
organisasi tersebut.
Heru Kuminto menyatakan, karyawan menghendaki perlakuan adil baik dari sisi
distribusi dan prosedur atau dikenal keadilan distributif dan procedural. Ketika para
karyawan merasa diperlukan adil, jiwa mereka akan tumbuh dua jenis outcomes berupa
kepuasan dan komitmen kerja. Keadilan terhadap karyawan bukan berarti tidak boleh
menurunkan gaji karyawan. Hal itu boleh saja dilakukan asal dilakukan dengan seadil-
adilnya. Pemimpin perusahaan KLA Instrument, Ken Levy menggunakan prinsip
keadilan yang penulis maksudkan, ketika perusahaan tersebut mengalami kesulitan. Ia
mengatakan dalam suatu rapat “pada hari ini saya menghendaki gaji karyawan dipotong
10%, tetapi karena saya mendapat yang paling besar maka saya mohon dipotong 20 %”.
Diluar dugaan, orang yang menghadiri rapat tersebut bukannya menjadi kesal karena
pemotongan itu, tetapi mereka sepakat dan karyawan tetap bekerja keras. Moral
karyawan bukan menurun, tetapi justru meningkat tajam, karena pemimpinnya
menggunakan prinsip keadilan.
5.2 Studi Kasus Enron
5.2.1 Sejarah Enron
Enron didirikan pada 1930 sebagai Northern Natural Gas Company, sebuah
konsorsium dari Northern American Power and Light Company, Lone Star Gas
Company, dan United Lights and Railways Corporation. Kepemilikan konsorsium ini
secara bertahap dan pasti dibubarkan antara 1941 dan 1947 melalui penawaran
saham kepada publik. Pada 1979, Northern Natural Gas mengorganisir dirinya
sebagai sebuah holding company, internorth , yang menggantikan Northern Natural
Gas di Pasar Saham Nwe York (New York Stock Exchange).
Enron Corporation adalah sebuah perusahaan energi Amerika yang berbasis
di Houston, Texas, Amerika Serikat. Sebelum bangkrutnya pada akhir 2001, Enron
mempekerjakan sekitar 21.000 orang pegawai dan merupakan salah satu
perusahaan terkemuka di dunia dalam bidang listrik, gas alam, bubur kertas dan
kertas, dan komunikasi. Enron mengaku penghasilannya pada tahun 2000
berjumlah $101 miliar. 
Fortune menamakan Enron "Perusahaan Amerika yang Paling Inovatif" selama
enam tahun berturut-turut. Enron menjadi sorotan masyarakat luas pada akhir
2001, ketika terungkapkan bahwa kondisi keuangan yang dilaporkannya didukung
terutama oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan
secara kreatif. Operasinya di Eropa melaporkan kebangkrutannya pada 30
November 2002, dan dua hari kemudian, pada 2 Desember, di AS Enron
mengajukan permohonan perlindungan Chapter 11,  Saat itu, kasus itu merupakan
kebangkrutan terbesar dalam sejarah AS dan menyebabkan 4.000 pegawai
kehilangan pekerjaan mereka.
5.2.2 Konflik Keadilan
 Amerika Serikat banyak digunakan sebagai kiblat perekonomian oleh negara-
negara di dunia karena dianggap mampu menghasilkan kesejahteraan yang tinggi
bagi masyarkatnya. Namun, Amerika Serikat juga memiliki potret sistem
perekonomian yang buram dengan mencuatnya kasus perusahaan energi terbesar
di Amerika yaitu kasus Enron. Perusahan Enron tiba-tiba dinyatakan pailit setelah
tahun-tahun sebelumnya melaporkan kondisi keuangannya yang sehat begitupula
tingkat laba yang tinggi. Kebangkrutan ini bukan disebabkan oleh ekonomi dunia
yang sedang melemah, melainkan kesalahan fatal dalam sistem akuntan mereka.
Selama tujuh tahun terakhir, Enron melebih-lebihkan laba bersih dan menutup-
tutupi utang mereka.
 Kasus Enron ini menghadirkan sejumlah fenomena ketidakadilan bagi
masyarakat Amerika Serikat maupun dunia. Stakeholder-stakeholder yang ada
tidak mendapatkan haknya untuk mengetahui informasi yang sebenarnya.
Berdasarkan konsep keadilan, seharusnya semua stakeholder dengan segala
kepentingannya berhak memproleh informasi untuk mendukung keputusannya.
Arthur Andersen selaku auditor independen mengambil peran yang banyak karena
bertanggung jawab dalam memeriksa sekaligus memberikan jasa konsultasi
terhadap perusahaan energi ini. Inilah salah satu sumber ketidakadilan itu, ketika
Andersen harus memposisikan dirinya untuk menasehati Enron sekaligus harus
memeriksanya sehingga sama dia memeriksa dirinya sendiri.
 Andersen yang masuk dalam The Big Five ini pun dianggap bertanggung
jawab dalam memberikan usulan untuk membentuk partnership yang dijadikan
Enron sebagai kolega untuk menyembunyikan keburukannya sebagai perusahaan
besar. Dari segi hukum, kelihatannya hal ini tidak melanggar karena juga dibantu
oleh Vinson & Eikins sebuah kantor hukum yang menjadi penasehat Enron. Hal
inilah yang menghipnotis pandangan masyarakat sehingga melihat Enron begitu
‘kuat’ hingga harus tersadarkan dengan pengumuman kepailitannya.
  Kasus Enron betul-betul komplit dalam menggambarkan proses ketidakadilan,
mulai dari proses beroperasinya perusahaan hingga informasi yang disampaikan
kepada masyarakt. Namun kesalahan ini tidak hanya bisa dilimpahkan pada Enron,
Andersen, serta Vinson & Eikins karena pemerintah juga mendukung dengan
aturan-aturan yang ada. Aturanlah yang memboleh Andersen menjadi auditor
sekaligus konsultan bagi Enron, begitupula hukum-hukum bisnis yang lain seperti
aturan mengenai konsolidasi laporan keuangan. Jadi, ketidakadilan bisa dilihat baik
dari segi keadilan sosial maupun ditimbang dengan hukum baik secara langsung
maupun tidak secara langsung.

Bab V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan teori-teori yang diungkapkan para ahli, bahwa keadilan
merupakan elemen penting dalam bisnis.  Dari beberapa contoh diatas kita tahu bahwa
keadilan, perilaku etis dan kepercayaan dapat mempengaruhi operasi perusahaan.
Kunci utama kesuksesan bisnis adalah reputasinya sebagai pengusaha yang
memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
Enron dan KAP Arthur Andersen sudah melanggar konsep keadilan dan
kejujuran  yang seharusnya menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan
bukan untuk dilanggar. Yang menyebabkan kebangkrutan dan keterpurukan pada
perusahaan Enron adalah Editor, Arthur Andersen (satu dari lima perusahaan akuntansi
terbesar) yang merupakan kantor akuntan Enron. Keduanya telah bekerja sama dalam
memanipulasi laporan keuangan sehingga merugikan berbagai pihak baik pihak
eksternal seperti para pemegang saham dan pihak internal yang berasal dari dalam
perusahaan enron. Enron telah melanggar etika dalam bisnis dengan tidak melakukan
manipulasi-manipulasi guna menarik investor. Sedangkan Arthur Andersen yang
bertindak sebagai auditor pun telah melanggar etika profesinya sebagai seorang
akuntan. Arthur Andersen telah melakukan “kerjasama” dalam memanipulasi laporan
keuangan Enron. Hal ini jelas Arthur Andersen tidak bersikap independent sebagaimana
yang seharusnya sebagai seorang akuntan. Dan Jelas kasus ini sangat membuat para
investor menjadi ikut menderita akibat tindakan yang sangat merugikan keuangan
internasional. Sejak saat itu para investor mengurangi aktivitasnya di bursa saham
sehingga gairah bursa dunia menjadi lesu. Enron juga menjadi lambang populer dari
penipuan dan korupsi korporasi yang dilakukan secara sengaja.
5.2 Saran
1) Untuk para investor sebaiknya lebih berhati-hati dalam membidik peluang investasi;
2) KAP Andersen seharusnya menjungjung tinggi independensi dan profesionalisme,
serta tidak melakukan pelanggaran kode etik profesi dan ingkar dari tanggungjawab
terhadap profesi maupun masyarakat;
3) Seharusnya pemerintah pada saat itu tidak mendukung juga dengan aturan-aturan
yang ada. Jadi, tidak ada hukum mengenai konsolidasi laporan keuangan yang bisa
menghentikn perbuatan curang itu dan pada saat itu Aturanlah yang memboleh
Andersen menjadi auditor sekaligus konsultan bagi Enron. Dari situ ketidakadilan
bisa dilihat baik dari segi keadilan sosial maupun ditimbang dengan hukum baik
secara langsung maupun tidak secara langsung.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius
Drs. M. Sastrapratedja. 2002. Etika Dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Th.Aquinas.
Yogyakarta : Kanisius
http://japanesebuginese.wordpress.com/2012/10/05/kasus-keadilan-dan-ketidakadilan/
http://id.wikipedia.org/wiki/Enron

Bab 5
ETIKA PASAR BEBAS
dan PERAN PEMERINTAH

A. Definisi Pasar Bebas


Pasar bebas adalah pasar ideal, di mana adanya perlakuan dan aturan yang sama
dan fair bagi semua pelaku bisnis, transparan, konsekuen & objektif, serta memberi
peluang yang optimal bagi persaingan bebas yang sehat dalam pemerataan ekonomi.
Pasar bebas diadvokasikan oleh pengusul ekonomi liberalisme. Menurut J.Gremillion,
salah satu ukuran kemajuan suatu bangsa dan keberhasilan suatu pemerintahan di era
pasar bebas adalah tingkat kemampuannya untuk menguasai teknologi ekonomi.
Negara-negara yang terlibat dalam gelombang pasar bebas, menurut Gremillion,
harus memahami bahwa pada era sekarang ini sedang didominasi oleh sebuah
rancangan pembangunan dunia yang dikenal sebagai Marshall Plan yang menjadi batu
sendi interpendensi global yang terus memintai dunia. Bagaimanapun rancangan
pembangunan dunia yang mengglobal itu selalu memiliki sasaran ekonomi dengan
penguasaan pada kemajuan teknologi ekonomi yang akan terus menjadi penyanggah
bagi kekuatan negara atau pemerintahan. Artinya, dari penguasaan teknologi ekonomi
itulah, segala kekuatan arus modal investasi dan barang-barang hasil produksi tidak
menjadi kekuatan negatif yang terus menggerogoti dan melumpuhkan kekuatan
negara. Karena, senang atau tidak, kita sekarang sedang digiring masuk dalam suatu era
baru pada percaturan ekonomi dan politik global yang diikuti dengan era pasar bebas
yang dibaluti semangat kapitalisme yang membuntuti filosofi modal tak lagi berbendera
dan peredaran barang tak lagi bertuan. Ini jelas menimbulkan paradigma-paradigma baru
yang di dalamnya semua bergerak berlandaskan pada pergerakan modal investasi dan
barang produksi yang tidak berbendera dan tidak bertuan, yang akan terus menjadi batu
sendi interpendensi global yang terus memintai dunia. Yang terpenting adalah diperlukan
bangunan etika global yang berperan mem-back up setiap penyelewengan yang terjadi di
belantara pasar bebas.
Kemiskinan, kemelaratan, dan ketidakadilan yang terdapat di dunia yang menimpa
negara-negara miskin hakikatnya tidak lagi akibat kesalahan negara-negara
bersangkutan sehingga itu pun menjadi tanggung jawab global pula. Kesejahteraan dan
keadilan global merupakan sesuatu yang tercipta oleh keharmonisan berbagai
kepentingan yang selalu memerhatikan nilai-nilai moral dan tata etika yang dianut
umum. Maksudnya, perilaku etis global adalah perilaku negara-negara yang bertanggung
jawab atas nasib masyarakat dunia.
Tentunya ini menjadi perhatian serius dari pemerintah, karena selama ini tidak
pernah maksimal dalam memperkuat dan memajukan industri nasional dalam
menghadapi tuntutan pasar bebas tersebut. Pasar bebas sendiri tentu berdasar azas
utamanya yaitu persaingan, yang bebas dari intervensi pemerintah untuk mengontrol
harga dari produk-produk yang diperdagangkan. Penilaiannya diserahkan kepada
konsumen untuk membeli produk yang diinginkannya. Tentunya, setiap konsumen
kecenderungannya memilih suatu produk/barang dengan kualitas yang baik dan harga
yang murah. Bisa dipastikan sebagian dari produk-produk nasional ini akan kalah
bersaing dengan alasan kualitas dan nilai jual tersebut.
B. Relevansi Etika Bisnis terhadap Pasar Bebas
Profit atau keuntungan selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomi, di mana kedua
belah pihak menggunakan uang. Karena hubungan dengan uang itu,
perolehan profit oleh pasar bebas secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme.
Keterkaitan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa bisnis
selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika dalam melakukan bisnis.
Pandangan Gauthier yang pernah mengemukakan pendapat bahwa pasar tidak
membutuhkan moralitas. Pasar sempurna dimaksudkan pasar di mana kompetisi berjalan
dengan sempurna. Pada kenyataanya, proses-proses di pasaran selalu disertai macam-
macam kegagalan dan kekurangan. Namun demikian, sistem pasar bebas yang bisa
dijalankan sekarang tetap merupakan sistem ekonomi yang paling unggul.
Pentingnya etika dalam semuanya ini terutama tampak dari dua segi. Pertama dari
segi keadilan social, supaya kepada semua peserta dalam kompetisi di pasar diberikan
kesempatan yang sama. Kedua, dalam konteks pasar bebas etika sangat dibutuhkan
sebagai jaminan agar kompetisi berjalan dengan baik dari sudut moral. Semua peserta
dalam pasar bebas harus berlaku dengan fair.
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada tiga
taraf yaitu taraf makro, meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga kemungkinan
yang berbeda untuk menjalankan kegitan ekonomi dan bisnis. Pada taraf makro, etika
bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan. Pada
taraf meso (madya atau menengah), etika bisnis menyelidiki masalah etis di bidang
organisasi. Organisasi di sini terutama berarti perusahaan, tapi bisa juga serikat buruh,
lembaga konsumen, perhimpunan profesi dan lain-lain. Pada taraf mikro, yang
difokuskan adalah individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Di sini
dipelajari tanggung jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer,
produsen dan konsumen, pemasok dan investor.
Jadi Etika Bisnis dalam Pasar Bebas adalah penerapan prinsip-prinsip etika yang
umum pada wilayah pelaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan bisnis
yang mendunia. Secara konkret etika sering terfokuskan pada perbuatan. Bisa dikatakan
juga bahwa teori etika membantu kita untuk menilai keputusan etis.
B. Peran Pemerintah dalam Pasar Bebas
Berikut peran dari pemerintah dalam kaitannya dengan pengelolaan pasar bebas, antara
lain:
1. Efektif, karena jika terjadi pelanggaran atas hak dan kepentingan pihak tertentu,
pemerintah akan bertindak efektif dan konsekuen untuk membela pihak yg dilanggar &
menegakkan keadilan.
2. Minimal, karena saat kondisi pasar berfungsi dengan baik dan adil maka pemerintah
tidak terlalu banyak ikut campur. Maka siapa saja yang melanggar aturan main akan
ditindak secara konsekuen, siapa saja yang dirugikan kepentingannya akan dibela dan
dilindungi oleh pemerintah terlepas dari status sosial dan ekonominya.
Maka siapa saja yang melanggar aturan main akan ditindak secara konsekuen, siapa
saja yang dirugikan dak dan kepentingannya akan dibela dan dilindungi oleh pemerintah
terlepas dari status social dan ekonominya.
C. Implementasi Pemerintah dalam Pasar Bebas
1) Mengawasi agar akibat ekstern kegiatan ekonomi yang merugikan dapat dihindari;
2) Menyediakan barang public yang cukup hingga masyarakat dapat membelinya
dengan mudah dan murah;
3) Mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan, terutama perusahaan yang besar yang
dapat mempengaruhi pasar;
4) Menjamin agar kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak menimbulkan ketidaksetaraan
dalam masyarakat;
5) Memastikan pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan secara efisien;
6) Campur tangan pemerintah dalam ekonomi dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu:
a. Membuat undang-undang. Undang-undang diperlukan untuk mempertinggi efisiensi
mekanisme pasar, menciptakan dasaran social ekonomi dan menciptakan
pertandingan bebas sehingga tidak ada kekuatan monopoli;
b. Secara langsung melakukan kegiatan ekonomi (mendirikan perusahaan) dengan
produksi barang publik;
c. Melakukan kebijakkan fiskal dan moneter. Kebijakan fiscal diperlukan masyarakat
bahwa pemerintah dapat menetapkan anggaran belanja dan penerimaan Negara
secara seimbang. Kebijakan moneter diperlukan untuk mengendalikan tingkat
harga-harga agar tetap stabil. Akan tetapi pada akhirnya kebijakan moneter adalah
peranan uang dalam kegiatan ekonomi.
D. Teori-teori Pasar Bebas yang Berhubungan dengan Etika Bisnis
1. Teori Adam Smith
        Teori ini mengedepankan konsep “tangan tak tampak” (invisible hand) yang tidak
lain  ialah pengaturan melalui mekanisme bebas permintaan dan penawaran atau
mekanisme pasar bebas berdasar free private enterprise, atau yang oleh Paul
Samuelson, pemenang Nobel bidang Ekonomi (1970), disebut “competitive private-
property capitalism”. Para ekonom meyakini keabsahan teori Adam Smith ini.
Di Indonesia, topik pasar bebas dan persaingan bebas sebagai bentuk pasar ideal
terpampang resmi dalam silabus Pengantar Ilmu Ekonomi sebagai academic blue-print
dari konsorsium ilmu ekonomi. Topik ini merupakan bagian dari kuliah wajib yang harus
diikuti oleh mahasiswa di Indonesia yang menganut sistem Demokrasi Ekonomi.
        Adam Smith terlalu yakin akan kekuatan persaingan. Teori ekonominya(teori pasar
berdasar hipotesis pasar bebas dan persaingan sempurna), mengemukakan untuk
terus bermimpi tentang kehadiran pasar sempurna. Lalu lahirlah berbagai kebijakan
ekonomi baik nasional maupun global berdasarkan pada teori pasar bebas dan
persaingan sempurna. Teori imajiner dari Adam Smith ini hingga kini dianut sebagai
pedoman moral demi menjamin kepentingan tersembunyi partikelir (musiman).
2. Teori Imajiner
        Teori  ini berdasar pada teori  pasar dengan persaingan sempurna  yang
dikembangkan secara fantastis. Distorsi pasar, baik teknis, kelembagaan, maupun
sosio-kultural diasumsikan tidak ada; yang dikatakan sebagai alasannya ialah for the
sake of simplicity. Pengembangan teori berjalan berdasar validitas teoritikal, yakni
asumsi di atas asumsi dan aksioma di atas aksioma. Padahal, paradigma seperti yang
dikemukakan ekonom Inggris, Joan Robinson (1903-1983), telah mengelabui kita dalam
pengembangan teori ekonomi. Teori yang ada dapat saja berkembang konvergen,
tetapi juga bisa semakin divergen terhadap realita. Para pengabdi ilmu—yang belum
tentu pengabdi masyarakat—dapat saja terjebak ke dalam divergensi ini. Banyak
ekonom dan para analis menjadi simplistis mempertahankan ilmu ekonomi budaya
barat ini dengan mengatakan bahwa kapitalisme telah terbukti menang, sedangkan
sosialisme telah kalah telak. Pandangan yang penuh mediokriti ini mengabaikan proses
dan hakikat perubahan yang terjadi, mencampuradukkan antara validitas
teori, visibility sistem ekonomi, kepentingan dan ideologi (cita-cita), serta pragmatisme
berpikir.
E. Keuntungan Moral Adanya Pasar Bebas
Pasar bebas memberi peluang yang optimal serta persaingan bebas yang sehat dan
wajar. Pasar yang bebas akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
ekonomi, asalkan mempunyai produk yang bagus dengan pelayanan dan harga yang
bersaing, ia juga bisa ikut dalam pertempuran di gelanggang pasar yang bebas. Pasar
bebas dapat memberikan peluang optimal untuk mewujudkan kebebasan manusia. Hal
ini juga menyebabkan begitu banyak orang mendorong terwujudnya pada pasar seperti
ini.
Adanya Pasar Bebas menimbulkan beberapa keuntungan moral yang didapat para
pelaku ekonomi, diantaranya:
1) Sistem ekonomi pasar bebas menjamin keadilan melalui jaminan perlakuan yang sama
dan adil bagi semua pelaku ekonomi.
2) Ada aturan yang jelas dan adil, dan karena itu etis. Aturan ini diberlakukan juga
secara adil, transparan, konsekuen, dan objektif. Maka, semua pihak secara objektif
tunduk dan dapat merujuknya secara terbuka.
3) Pasar memberi peluang yang optimal, kendati belum sempurna,
namun persaingan bersifat bebas yang sehat dan adil.
4) Dari segi pemerataan ekonomi, pada tingkat pertama ekonomi pasar jauh lebih
mampu menjamin pertumbuhan ekonomi.
5) Pasar juga memberi peluang yang optimal bagi terwujudnya kebebasan
manusia dalam sistem ekonomi yang berlaku pada pasar yang bebas, dan
juga menjamin keadilan dengan jaminan perlakuan yang sama bagi seluruh pelaku
ekonomi.
F. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pasar Perdagangan Bebas
Dalam perdagangan internasional atau perdagangan bebas, suatu kebijakan dari pihak
pemerintah perlu diberlakukan untuk tercapainya suatu pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas yang selalu berarah positif, di sini ada beberapa kebijakan dari pemerintah
dalam perdagangan internasional atau perdagangan bebas, antara lain:
1. Bea Cukai
2. Pajak
3. Tarif
4. Quota
5. Penunjukan Importir
6. Subtitusi Impor
G. Kebijakan di Bidang Impor
1. Kebijakan mengenai tarif bea masuk komoditi: Keputusan Menteri Keuangan No.
60/KMK.01/200 s/d No. 100/KMK.01/2002. Bea masuk untuk garment ditetapkan
antara 15% s/d 20%.
2. Kebijakan mengenai barang yang diatur tata-niaganya: Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 642/MPP/Kep/9/2002.
3. Kebijakan di bidang impor dan ekspor juga masih diarahkan untuk melindungi industri
garment tersebut, antara lain dengan mengenakan bea masuk yang cukup tinggi
terhadap produk impor(antara 15% – 20%), melarang impor garment baru maupun
bekas dan memberi kemudahan ekspor bagi produsen yang berniat mengekspor
produknya. Mengingat produk garment adalah produk yang dikenakan kuota oleh
beberapa negara importir maka pemerintah, melalui serangkaian kebijakan, berusaha
mengatur agar kuota ekspor tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal.
H. Kebijakan di Bidang Ekspor
1. Kebijakan mengenai ketentuan umum di bidang ekspor yakni diatur dalam Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 575/MPP/Kep/VIII/2002. Tekstil dan
Produk Tekstil (Ex HS 4202, 5001s/d 6310, Ex 6405), khusus untuk ekspor tujuan
negara kuota (Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Norwegia dan Turki) termasuk ke
dalam barang yang diatur ekspornya.
2. Beberapa kebijakan dalam mengatur laju ekspor yaitu dengan cara :
1. Diversifikasi antara lain dengan cara:
a. Memperluas Pangsa pasar
b. Perbaikan Mutu
c. Menambah jenis barang
2. Devaluasi / redenominasi yaitu kebijakan dalam hal menurunkan nilai mata uang
3. Subsidi + Premi Export
4. Kestabilan harga bahan baku di dalam negeri
H. Kebijakan Kuota
Dalam perdagangan internasional, penerapan kuota TPT oleh beberapa negara
tertentu dianggap membantu memperluas perdagangan global. Hal ini karena negara
eksportir secara lama kelamaan akan kehabisan kuota, yang akan mendorong
para buyer untuk mencari negara baru yang belum memperoleh hambatan kuota.
Dengan semakin meningkatnya ekspor, negara produsen baru tersebut lambat laun akan
dikenai kuota juga. Hal ini akan mendorong para buyer untuk mencari negara baru lagi
yang masih belum terkena kuota. Bagi pengusaha garment, adanya kebijakan kuota
cenderung merugikan karena mereka harus mendapatkan jatah kuota untuk dapat
mengekspor ke negara-negara kuota meskipun mereka telah memperoleh order dari
buyer. Hal itu menimbulkan potensi kerugian bagi pengusaha karena sebenarnya mereka
mampu memenuhi order tersebut. Potensi kerugian juga dapat timbul karena
buyer mengalihkan order ke negara lain karena takut bahwa kuota untuk komoditi yang
dipesannya telah terlampaui.
Kebijakan mengenai kuota yakni diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor : 311/Mpp/Kep/10/2001 tentang Ketentuan Kuota Ekspor Tekstil
Dan Produk Tekstil. Seperti diketahui, beberapa negara importir menerapkan sistem
kuota untuk impor tekstil dan produk tekstil mereka. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan
kebijakan mengenai kuota dan manajemen kuota yang transparan agar pemanfaatan
kuota lebih optimal, memberi kemudahan serta lebih memberi kepastian bagi dunia
usaha.
I. Contoh Kasus dan Pembahasan Pasar Bebas
1. Contoh Kasus Etika Bisnis Indomie Di Taiwan
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku
bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas
diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan
mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Di sini pula pelaku bisnis
dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar.
Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam
memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan
melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah
persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih
murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut
mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari
peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh
digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan
telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran.  Di
Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan
produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan
segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk
menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis
ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di  Gedung DPR, Senayan, Jakarta,
Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus
Indomie ini bisa terjadi, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu
akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang
terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid
(asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat
membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama
nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini
dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya
bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar
Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasan mie
instan tersebut. Tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar
dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk dikonsumsi yaitu
250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam
makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker. Menurut
Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision,
produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi
mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan
anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk
dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka
timbullah kasus Indomie ini.
2. Perdagangan Bebas Antara Indonesia dengan China
Ketertarikan ASEAN mengikutsertakan China menjadi partner dagang dalam CAFTA
karena China memiliki potensi pasar yang bagus. Seperti yang kita ketahui China
merupakan negara berkembang di Asia yang perkembangan ekonominya cukup pesat
dan mampu mempertahankan pertumbuhan yang tinggi dibanding negara lainnya,
sehingga posisi Cina saat ini cukup penting dalam perekonomian global. China yang
memiliki penduduk yang begitu besar yaitu 1,4 miliar yang merupakan pasar yang cukup
besar dan potensial sehingga akan saling menguntungkan apabila dapat dijalin
kerjasama diberbagai sektor ekonomi, karena disamping memiliki kemampuan investasi
yang tinggi, Cina juga membutuhkan bahan baku dan barang modal untuk menggerakkan
sektor industrinya. Dengan diberlakukannya pasar bebas tersebut, akan
membuat produk-produk impor dari ASEAN dan China menjadi lebih mudah masuk ke
pasar domestik. Selain itu harga produk tersebut juga menjadi lebih murah, disebabkan
adanya pengurangan atau penghapusan tarif bea masuk.
Bagi Negara Republik Indonesia, perdagangan bebas ASEAN dengan China ini
memberikan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian. Dampak positifnya
adalah terbukanya peluang Indonesia untuk meningkatkan perekonomiannya melalui
pemanfaatan peluang pasar yang ada, dimana produk-produk dari Indonesia dapat
dipasarkan secara lebih luas ke negara-negara ASEAN dan China. China yang memiliki
wilayah yang luas, jumlah penduduk yang banyak, serta pertumbuhan ekonomi yang
pesat menjadi pasar yang potensial untuk mengekspor produk-produk unggulan dari
Indonesia ke negara tersebut. Dengan mengalirnya produk-produk Indonesia ke negara
luar, maka kegiatan industri di Indonesia menjadi meningkat, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan negara Indonesia.
Sebaliknya, perekonomian China yang begitu kuat terfokus pada ekspor menjadi
tantangan bagi Indonesia. Ditambah lagi Pemerintah China yang mendukung penuh
perdagangan masyarakatnya telah mampu untuk menghasilkan produk yang berkualitas,
produk yang bervariasi, teknologi yang maju serta harga yang relatif murah. China yang
memiliki keunggulan produk yaitu pada produk-produk hasil pertanian seperti Bawang
putih, bawang merah, jeruk mandarin, apel, pir, dan leci. Tidak hanya pada bidang
pertanian saja China unggul, namun  pada produk hasil industry seperti tekstil, baja,
mainan anak-anak, perkakas rumah tangga, barang-barang elektronik, dan alas kaki
membuat China semakin sulit untuk disaingi dimana mereka memiliki biaya produksi dan
upah buruh yang murah. Sedangkan Indonesia begitu unggul di sector pertanian saja
seperti minyak kelapa sawit (CPO), karet, kokoa, dan kopi. Kemudian produk yang harus
bersaing adalah garmen, elektronik, sektor makanan, industri baja/besi, dan produk
hortikultura.
Dengan demikian produk-produk dari China tersebut akan mendominasi pasar di
Indonesia. Begitu pula produk Indonesia yang sama dengan produk dari China, namun
Indonesia masih kalah bersaing di beberapa produk tersebut. Walaupun begitu Indonesia
masih unggul dalam produk komponen otomotif, garmen, furniture, dan perlengkapan
rumah tangga.
Walaupun memiliki unggulan produk, namun hal tersebut akan menjadikan sebuah
tantangan yang berat bagi Indonesia karena harus bersaing dengan produk lain yang
lebih murah dan berkualitas.
Secara umum, Negara Republik Indonesia masih tertinggal dari China, hal initerlihat
dari infrastruktur Indonesia yang jauh tertinggal dari China. Padahal infrastruktur yang
baik akan menunjang dalam menciptakan biaya berproduksi murah yang selanjutnya
akan menekan harga di tingkat konsumen. Infrastruktur yang baik juga sangat membantu
dalam perluasan pasar hingga mencapai tingkat perdagangan ekspor-impor. Hal ini
terlihat dari masih banyaknya jalan-jalan yang rusak dan adanya pungutan liar sehingga
membuat naiknya harga produk-produk yang didistribusikan.
Dalam perdagangan bebas antara Indonesia dengan China ini, masyarakat
memandang CAFTA sebagai ancaman, karena berpotensi membangkrutkan banyak
perusahaan dalam negeri. Perusahaan yang diperkirakan akan mengalami kebangkrutan
tersebut adalah tekstil, mainan anak-anak, furniture, keramik dan elektronik. Bangkrutnya
perusahan tersebut disebabkan karena ketidaksiapan para pelaku bisnis Indonesia,
terutama bisnis menengah dan kecil dalam bersaing. Pemikiran tersebut didasarkan pada
kondisi yang terjadi saat ini, dimana berbagai produk dari China telah membanjiri pasar
Indonesia. Produk dari China yang masuk ke Indonesia sangat bervariasi dan memiliki
harga yang relatif murah. Sebagai contoh, batik yang merupakan simbol budaya
Indonesia telah dibuat pula oleh Cina. Dimana batik made in China tersebut telah
tersebar di pasar-pasar tradisional atau pusat perbelanjaan grosir. Batik ini laku di
pasaran karena harganya yang begitu murah dibandingkan batik asli Indonesia dan juga
batik ini hampir mirip dengan batik buatan Indonesia.
Begitu pula yang terjadi pada produsen meubel Indonesia yang harus bersaing ketat
dengan produk meubel dari China. Dimana meubel China berbentuk minimalis yang
begitu diminati oleh masyarakat domestik. Ditambah lagi belum ada SNI (Standar
Nasional Indonesia) bagi meubel Indonesia sehingga meubel dari China tersebut dapat
tersebar bebas di Indonesia dan lebih laku.
Secara perlahan ketika kelangsungan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah)
seperti batik, tekstil, mainan, kerajinan, jamu, keramik, meubel, dan lainnya mengalami
kebangkrutan maka pekerja lokal pun akan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK)
sehingga angka pengangguran akan semakin meningkat. Seperti yang terjadi
pada industri petrokimia yang harus mem-PHK 86.000 karyawannya karena tidak mampu
bersaing dengan barang impor China. Kemudian sebanyak 2.000 industri kecil tekstil
yang masing-masing memperkerjakan antara 12 hingga 50 tenaga kerja terancam tutup.
Dengan begitu masyarakat lebih cenderung kepada produk tekstil dari China yang
mempunyai harga lebih rendah dibandingkan dengan produk lokal. Akibatnya permintaan
domestik terhadap produk tekstil menjadi menurun, sehingga mematikan produsen tekstil
dalam negeri. Hal yang sama juga terjadi pada industri mainan, meubel dan lainnya.
Sementara itu, dengan diberlakukannya CAFTA, maka China yang akan memperoleh
keuntungan dari ketersediaan sumber daya alam dan energi Indonesia. Negara China
akan memanfaatkan sumber daya alam dan energi Indonesia itu untuk menggerakkan
industri mereka dengan biaya yang murah dan hasilnya kemudian dipasarkan kembali ke
Indonesia.
Masuknya produk China ke Indonesia tidak hanya berdampak terhadap produk
Indonesia, akan tetapi juga berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Beberapa
produk China yang masuk ke Indonesia mengandung racun dan zat yang berbahaya bagi
kesehatan, seperti timbal yang terdapat pada mainan anak-anak. Lalu, produk  yang
mengandung susu di mana di dalamnya terdapat melamin. Melamin ini biasa digunakan
pada pembuatan plastik, pupuk, dan pembersih. Kemudian produk makanan berupa jeruk
ditemukan mengandung formalin. Produk kosmetik juga ditemukan mengandung merkuri
atau air raksa sehingga begitu berbahaya bagi tubuh.  
Berbagai permasalahan yang terjadi dengan masuknya produk dari China ke
Indonesia menggambarkan  pengaruh negatif dari ACFTA terhadap industri dan juga
kesehatan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu masyarakat dan para pengusaha
industri tidak setuju atas pelaksanaan ACFTA karena merugikan mereka. Sementara itu
pemerintah Republik Indonesia sampai saat ini masih tetap menjalankan ACFTA, karena
dianggap akan dapat meningkatkan daya saing Indonesia terhadap barang-barang dari
China tersebut.
3. Upaya Pemerintah
Upaya pemerintah harus segera diberlakukan mengingat akan banjirnya produk impor. Hal
yang harus dilakukan:
1) Pemerintah harus peka terhadap kondisi ini. Pemerintah jangan hanya menunggu dan
baru bertindak ketika industri kita mulai mati atau bangkrut. Sudah saatnya
Pemerintah memberlakukan safeguard (perlindungan pasar) terhadap barang
khususnya produk China, yaitu dengan cara menaikkan tarif bea masuk khusus untuk
produk China. Hal itu bukan tindakan tabu karena Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa
pun melakukan tindakan tersebut. Bahkan tindakan safeguard ini diperbolehkan oleh
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
2) Pemerintah juga bisa melindungi produk dalam negeri yaitu dengan melakukan
pengawasan mutu. Artinya produk dari luar yang tidak sesuai dengan standar mutu
Indonesia yang telah ditetapkan, dilarang masuk ke pasar domestik. Ini dapat
mencegah produk-produk yang tidak berkualitas masuk ke Indonesia, seperti yang
sekarang ini kerap terjadi.
3) Praktek KKN dan berbagai pungutan liar yang dilakukan Pemerintah disemua lapisan
harus dibersihkan. Kalau tidak maka hal ini akan menyebabkan biaya ekonomi tinggi
yang berpengaruh terhadap daya saing produk dalam pasar internasional.
4) Pemerintah harus memperbaiki infrastruktur yang ada dan meningkatkan kualitas dari
sumber daya manusia (SDM) agar dapat mendukung industri dalam negeri dalam
menghadapi persaingan pasar bebas. SDM yang berkualitas dapat dilakukan dengan
meningkatkan mutu pendidikan serta menjamin biaya pendidikan yang murah.
5) Kita sebagai bangsa Indonesia, harus lebih mencintai produk lokal ketimbang produk
asing. Bagaimanapun juga, kebebasan itu jatuh pada kita sebagai konsumen untuk
memilih, apakah produk luar yang kebarat-baratan atau dengan harga yang sangat
murah namun dengan kualitas yang tidak jelas ataukah produk sendiri yang
merupakan hasil karya anak bangsa sendiri. Kalau kita memilih produk lokal, berarti
kita ikut membantu memajukan industri dalam negeri, yang secara tidak langsung ikut
mensejahterahkan masyarakat.

Bila kelima hal tersebut dilakukan maka niscaya di era globalisasi dan perdagangan bebas
ini, Indonesia akan mampu bangkit dan bersaing di pasar domestik maupun di pasar
global sehingga diakui dimata dunia dan pada gilirannya dapat memberikan kesejahteraan
dan kemakmuran yang diharapkan seluruh rakyat Indonesia.

Referensi:
http://fraditya13.blogspot.com/2012/11/etika-bisnis-etika-pasar-bebas.html
http://perilaku-konsumen.blogspot.com/2010/11/etika-dalam-pasar-bebas.html
http://gunawancorleone.blogspot.co.id/2011/11/etika-bisnis-dalam-pasar-persaingan.html
https://novrygunawan.wordpress.com/2010/11/28/contoh-kasus-etika-bisnis-kasus-di-
tolaknya-indomie-di-taiwan-tugas-etika-bisnis-ke-2

Bab 6
ETIKA BISNIS DAN LINGKUNGAN

A. Teori Etika Lingkungan


Secara teoritis, terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai
Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep
Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme,
biosentrisme, dan ekosentrisme (Sony Keraf: 2002).
1. Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai
pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling
menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan
dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia
dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan
perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam
pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak
mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
2. Biosentrisme dan Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh
karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan.
Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang
membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas
keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme,
konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan
hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk mencakup
komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism).
3. Teosentrisme
Teosentrisme merupakan teori etika lingkungan yang lebih memperhatikan lingkungan
secara keseluruhan, yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Pada
teosentrism, konsep etika dibatasi oleh agama (teosentrism) dalam mengatur
hubungan manusia dengan lingkungan. Untuk di daerah Bali, konsep seperti ini sudah
ditekankan dalam suatu kearifan lokal yang dikenal dengan Tri Hita Karana (THK),
dimana dibahas hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan
manusia dengan manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan
(Palemahan).
4. Zoosentrisme
Adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini
juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich.
Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena
mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi
para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu
standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals,
perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan
binatang dengan penuh belas kasih.
5. Neo-Utilitarisme Lingkungan
Neo-utilitarisme merupakan pengembangan etika utilitarisme. Jeremy Bentham yang
menekankan kebaikan untuk semua. Dalam konteks etika lingkungan maka kebaikan
yang dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh yang mempelopori etika ini
adalah Peter Singer. Dia beranggapan bahwa menyakiti binatang dapat dianggap
sebagai perbuatan tidak bermoral.
6. Anti-Spesiesme
Teori ini menuntut perlakuan yang sama bagi semua makhluk hidup, karena alasan
semuanya mempunyai kehidupan. Keberlakuan prinsip moral perlakuan yang sama
(equal treatment). Anti-spesiesme membela kepentingan dan kelangsungan hidup
spesies yang ada di bumi. Dasar pertmbangan teori ini adalah aspek sentience, yaitu
kemampuan untuk merasakan sakit, sedih, gembira dan seterusnya. Inti dari teori
biosentris adalah dan seluruh kehidupan di dalamnya, diberi bobot dan pertimbangan
moral yang sama.
7. Prudential and Instrumental Argument
Prudential Argument menekankan bahwa kelangsungan hidup dan kesejahteraan
manusia tergantung dari kualitas dan kelestarian lingkungan. Argumen Instrumental
adalah penggunaan nilai tertentu pada alam dan segala isinya, yakni sebatas nilai
instrumental. Dengan argumen ini, manusia mengembangkan sikap hormat terhadap
alam.
8. Non-antroposentrisme
Teori yang menyatakan manusia merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau
terpisah dari alam.
9. The Free and Rational Being
Manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan dengan mahkluk ciptaan lain karena
manusia adalah satu-satunya mahkluk bebas dan rasional, oleh karena itu Tuhan
menciptakan dan menyediakan segala sesuatu di bumi demi kepentingan manusia.
Manusia mampu mengkomunikasikan isi pikirannya dengan sesama manusia melalui
bahasa. Manusia diperbolehkan menggunakan mahkluk non-rasional lainnya untuk
mencapai tujuan hidup manusia, yaitu mencapai suatu tatanan dunia yang rasional.
10. Teori Lingkungan yang Berpusat pada Kehidupan (Life-Centered Theory of
Environment)
Intinya adalah manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam yang bersumber
dan berdasarkan pada pertimbangan bahwa, kehidupan adalah sesuatu yang bernilai.
Etika ini diidasarkan pada hubungan yang khas anatara alam dan manusia, dan nilai
yang ada pada alam itu sendiri.
B. Prinsip Etika di Lingkungan Hidup
Prinsip – prinsip etika lingkungan merupakan bagian terpenting dari etika lingkungan
yang bertujuan mengarahkan pelaksanaan etika lingkungan agar tepat sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai, Pada lingkung yang lebih luas lagi diharapkan etika lingkungan
mampu menjadi dasar dalam penentuan kebijakan pembangunan berkelanjutan yang
akan dilaksanakan. Menurut Keraf (2005) dalam UNNES (2010) menyebutkan bahwa
ada sembilan prinsip dalam etika lingkungan hidup diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Sikap hormat terhadap alam atau respect for nature.
Alam mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia
bergantung pada alam tetapi juga karena manusia adalah bagian dari alam. Manusia
tidak diperbolehkan merusak, menghancurkan, dan sejenisnya bagi alam beserta
seluruh isinya tanpa alasan yang dapat dibenarkan secara moral.
2) Prinsip tanggung jawab atau moral responsibility for nature.
Prinsip tanggung jawab disini bukan saja secara individu tetapi juga secara
berkelompok atau kolektif. Setiap orang dituntut dan terpanggil untuk bertanggung
jawab memelihara alam semesta ini sebagai milik bersama dengan cara memiliki
yang tinggi, seakan merupakan milik pribadinya.
3) Solidaritas kosmis atau cosmic solidarity.
Solidaritas kosmis mendorong manusia untuk menyelamatkan lingkungan dan
menyelamatkan semua kehidupan di alam. Alam dan semua kehidupan di dalamnya
mempunyai nilai yang sama dengan kehidupan manusia. Solidaritas kosmis juga
mencegah manusia untuk tidak merusak dan mencermati alam dan seluruh
kehidupan di dalamnya. Solidaritas kosmis berfungsi untuk mengontrol perilaku
manusia dalam batas-batas keseimbangan kosmis, serta mendorong manusia untuk
mengambil kebijakan yang pro-lingkungan atau tidak setuju setiap tindakan yang
merusak alam.
4) Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam atau caring for nature.
Prinsip kasih sayang dan kepedulian merupakan prinsip moral satu arah, artinya
tanpa mengharapkan untuk balasan serta tidak didasarkan pada pertimbangan
kepentingan pribadi tetapi semata-mata untuk kepentingan alam. Semakin mencintai
dan peduli terhadap alam manusia semakin berkembang menjadi manusia yang
matang, sebagai pribadi dengan identitas yang kuat. Alam tidak hanya memberikan
penghidupan dalam pengertian fisik saja, melainkan juga dalam pengertian mental
dan spiritual.
5) Prinsip tidak merugikan atau no harm.
Prinsip tidak merugikan alam berupa tindakan minimal untuk tidak perlu melakukan
tindakan yang merugikan atau mengancam eksistensi mahkluk hidup lain di alam
semesta. Manusia tidak dibenarkan melakukan tindakan yang merugikan sesama
manusia. Pada masyarakat tradisional yang menjujung tinggi adat dan kepercayaan,
kewajiban minimal ini biasanya dipertahankan dan dihayati melalui beberapa bentuk
tabu-tabu yang apabila dilanggar maka, akan terjadi hal-hal yang buruk di kalangan
masyarakat misalnya, wabah penyakit atau bencana alam.
6) Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam.
Prinsip ini menekankan pada nilai, kualitas, cara hidup yang paling efektif dalam
menggunakan sumber daya alam dan energi yang ada. Manusia tidak boleh menjadi
individu yang hanya mengumpulkan harta dan memiliki sebanyak-banyaknya dengan
secara terus-menerus  mengeksploitasi alam. Melalui prinsip hidup sederhana
manusia diajarkan untuk memilki pola hidup yang non-matrealistik dan meninggalkan
kebiasaan konsumtif yang tidak bisa membedakan antara keinginan dengan
kebutuhan.
7) Prinsip keadilan.
Prinsip keadilan sangat berbeda dengan prinsip –prinsip sebelumnya. Prinsip keadilan
lebih ditekankan pada bagaimana manusia harus berperilaku satu terhadap yang lain
dalam keterkaitan dengan alam semesta dan bagaimana sistem sosial harus diatur
agar berdampak positif pada kelestarian lingkungan hidup. Prinsip keadilan terutama
berbicara tentang peluang dan akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota
masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan
pelestarian alam dan dalam ikut menikmati pemanfatannya.
8) Prinsip demokrasi.
Prinsip demokrasi sangat terkait dengan hakikat alam. Alam semesta sangat
beraneka ragam. Demokrasi memberi tempat bagi keanekaragaman yang ada. Oleh
karena itu setiap orang yang peduli terhadap lingkungan adalah orang yang
demokratis, sebaliknya orang yang demokratis sangat mungkin seorang pemerhati
lingkungan. Pemerhati lingkungan dapat berupa multikulturalisme, diversifikasi pola
tanam, diversifiaki pola makan, keanekaragaman hayati, dan sebagainya.
9) Prinsip integritas moral.
Prinsip integritas moral terutama dimaksudkan untuk Pemerintah sebagai pengambil
kebijakan. Prinsip ini menuntut Pemerintah baik pusat atau Daerah agar dalam
mengambil kebijakan mengutamakan kepentingan publik.
Kesembilan prinsip etika lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman dasar
bagi setiap manusia untuk berperilaku arif dan bijaksana dalam berinteraksi dengan
lingkungan hidup. Penerapan kesembilan prinsip tersebut dapat menjadi awal yang baik
atau pondasi dasar bagi terlaksanannya pembangunan yang berkelanjutan.
C. Prinsip Etika Bisnis dan Lingkungan
Etika bisnis memiliki prinsip-prinsip yang harus ditempuh oleh perusahaan untuk
mencapai tujuannya dan harus dijadikan pedoman agar memiliki standar baku yang
mencegah timbulnya ketimpangan dalam memandang etika moral sebagai standar kerja
atau operasi perusahaan.
1. Prinsip Otonomi adalah prinsip otonomi memandang bahwa perusahaan secara
bebas memiliki wewenang sesuai dengan bidang yang dilakukan dan pelaksanaannya
dengan visi dan misi yang dimilikinya. Kebijakan yang diambil perusahaan harus
diarahkan untuk pengembangan visi dan misi perusahaan yang berorientasi pada
kemakmuran dan kesejahteraan karyawan dan komunitasnya.
2. Prinsip Kejujuran adalah prinsip kejujuran meliputi pemenuhan syarat-syarat
perjanjian atau kontrak, mutu barang atau jasa yang ditawarkan, dan hubungan kerja
dalam perusahaan. Prinsip ini paling problematik karena masih banyak pelaku bisnis
melakukan penipuan.
3. Prinsip Tidak Berniat Jahat merupakan prinsip ini ada hubungan erat dengan prinsip
kejujuran. Penerapan prinsip kejujuran yang ketat akan mampu meredam niat jahat
perusahaan itu.
4. Prinsip Keadilan adalah perusahaan harus bersikap adil kepada pihak-pihak yang
terkait dengan sistem bisnis. Contohnya, upah yang adil kepada karyawan sesuai
kontribusinya, pelayanan yang sama kepada konsumen, dan lain-lain.
5. Prinsip Hormat Pada Diri Sendiri merupakan prinsip yang mengarahkan agar kita
memperlakukan seseorang sebagaimana kita ingin diperlakukan dan tidak akan
memperlakukan orang lain sebagaimana kita tidak ingin diperlakukan.
D. Hormat Pada Diri Sendiri
Berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata hormat sebagai kata sifat memiliki
arti sebagai menghargai (takzim, khidmat, sopan). Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa
rasa hormat memiliki pengertian sebagai suatu sikap untuk menghargai atau sikap
sopan. Secara umum rasa hormat mempunyai arti yaitu merupakan suatu sikap saling
meghormati satu sama lain yang muda, hormat kepada yang tua yang tua, menyayangi
yang muda. Rasa hormat tidak akan lepas dari rasa menyayangi satu sama lain karena
tanpa adanya rasa hormat, takkan tumbuh rasa saling menyayangi yang ada hanyalah
selalu menganggap kecil atau remeh orang lain.
Rasa hormat memiliki pengertian sebagai suatu sikap untuk menghargai atau sikap
sopan. sikap hormat bersifat penting karena dengan sikap hormat mampu membangun
keteraturan di dalam kehidupan masyarakat dan mampu meningkatkan derajat
seseorang di hadapan masyarakat. rasa hormat meliputi empat hal, yaitu sikap hormat
terhadap Tuhan, sikap hormat terhadap diri sendiri, sikap hormat terhadap orang lain dan
sikap hormat terhadap lingkungan. Rasa hormat terhadap diri sendiri merupakan sikap
hormat kita dalam menghargai diri kita pribadi yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-
hari sehingga mampu mencerminkan karakter kita sebagai manusia. Sikap hormat
terhadap diri sendiri dapat diwujudkan dengan menjaga kesucian fisik dan menjaga
kesucian rohani. Menjaga kesucian fisik dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan
tubuh (berolahraga, berisitirahat, menjaga pola makan dan memenuhi kebutuhan hiburan
atau refreshing) sedangkan untuk menjaga kesucian rohani dapat dilakukan dengan
melakukan ibadah kepada Tuhan dan memenuhi kebutuhan ilmu yang berguna untuk
kehidupan manusia.
Untuk membentuk pribadi yang baik maka diperlukan sikap pengendalian diri.
Pengendalian diri adalah merupakan suatu keinginan dan kemampuan dalam menggapai
kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang pada hak dan kewajibannya sebagai
individu dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sikap-sikap
pengendalian diri dapat berupa: sikap sabar, sikap bekerja keras, sikap jujur, sikap
disiplin, sikap teguh pendirian dan percaya diri.
E. Hak dan Kewajiban
Bukan hanya kewajiban saja yang harus dijalankan, hak etika bisnispun juga sangat
diperlukan, diantaranya : Hak untuk mendapatkan mitra (kolega) bisnis antar perusahan,
hak untuk mendapatkan perlindungan bisnis, hak untuk memperoleh keuntungan bisnis,
dan hak untuk memperoleh rasa aman dalam berbisnis. Selain itu dalam berbisnis setiap
karyawan dalam suatu perusahaan juga dapat mementingkan hal-hal yang lebih utama,
seperti : kepercayaan, keterbukaan, kejujuran, keberanian, keramahan, dan sifat pekerja
keras agar terjalinnya bisnis yang saling menguntungkan diantara kedua belah pihak
bisnis tersebut.
Sumber :
Dr. Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta:
Kanisius
http://sulaeman17.blogspot.co.id/2012/01/antroposentrismebiosentrisme-dan.html
http://2bsiskarahayu.blogspot.co.id/2014/05/praktikum-mendel.html?view=classic
http://asterinabelak.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hormat-pada-diri-sendiri_7245.html
http://nuraini-maryadi.blogspot.co.id/2010/10/kewajiban-dan-hak-dalam-etika-bisnis.html

Bab 7
ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN

A. Manfaat Perusahaan Menerapkan Etika Bisnis


Mempraktekkan bisnis dengan etiket berarti mempraktekkan tata cara bisnis yang
sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling
menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap
menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Hal
itu dapat berupa senyum—sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak
menyalah-gunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri, toleran,
dan tidak memotong pembicaraan orang lain.
Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan,
menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan
citra pribadi dan perusahaan. Berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-
aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak
sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan.
Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur
adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur
dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan
masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral.
Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani
bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi. Dengan kata lain, etika bisnis untuk
mengontrol bisnis agar tidak tamak. Bahwa itu bukan bagianku. Perlakukan orang lain
sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Pelanggaran etika bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam dunia bisnis. Untuk
meraih keuntungan, masih banyak perusahaan yang melakukan berbagai pelanggaran
moral. Praktek curang ini bukan hanya merugikan perusahaan lain, melainkan juga
masyarakat dan negara. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh subur di
banyak perusahaan.
Ketika ekonomi Indonesia tumbuh pesat dalam sepuluh tahun terakhir, banyak
pendatang baru di bisnis. Ada pedagang yang menjadi bankir. Banyak juga pengusaha
yang sangat ekspansif di luar kemampuan. Mereka berlomba membangun usaha
konglomerasi yang keluar dari bisnis intinya tanpa disertai manajemen organisasi yang
baik. Akibatnya, pada saat ekonomi sulit banyak perusahaan yang bangkrut.
Pelanggaran etik bisnis di perusahaan memang banyak, tetapi upaya untuk
menegakan etik perlu digalakkan. Misalkan, perusahaan tidak perlu berbuat curang untuk
meraih kemenangan. Hubungan yang tidak transparan dapat menimbulkan hubungan
istimewa atau kolusi dan memberikan peluang untuk korupsi.
Banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran, terutama dalam
kinerja keuangan perusahaan karena tidak lagi membudayakan etika bisnis agar orientasi
strategik yang dipilih semakin baik. Sementara itu hampir 61.9% dari 21 perusahaan
makanan dan minuman yang terdaftar di BEJ tidak lengkap menyampaikan laporan
keuangannya (not avaliable).
Tingkat perhatian perusahaan terhadap perilaku etis juga sangat menentukan
karena dalam jangka panjang bila perusahaan tidak concern terhadap perilaku etis maka
kelangsungan hidupnya akan terganggu dan akan berdampak pula pada kinerja
keuangannya. Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari
keuntungan semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis. Segala
kompetensi, keterampilan, keahlian, potensi, dan modal lainnya ditujukan sepenuhnya
untuk memenangkan kompetisi.
B. Keuntungan sebagai Tujuan Perusahaan
Bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or services for a profit”. Dalam
rangka bisnis, pemberian dengan gratis hanya dilakukan untuk kemudian menjual barang
itu dengan cara besar-besaran. Profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang
memakai sitem keuangan. Benarlah dikatakan Robert Solomon bahwa profit merupakan
buah hasil suatu tansaksi moneter. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomis,
dimana kedua belah pihak menggunakan uang. Jika berefleksi tentang profit dalam
bisnis, tidak boleh dilupakan bahwa selalu juga ada kemungkinan kerugian.
Keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa
bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tentu saja, organisasi not for profit
pun pasti sewaktu-waktu berurusan dengan etika. Perspektif baik-buruk secara moral
selalu muncul, jika manusia bertemu dengan sesama dalam konteks apa saja. Tetapi
perusahaan sebagai organisasi for profit menampilkan lebih banyak masalah etis dan
bobot moralnya sering kali lebih berat. Jika meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa
batas menjadi upaya pertama dari bisnis, tidak dapat dielakan keberatan dari pihak etika.
C. Maksimalisasi Keuntungan sebagai Cita-cita Kapitalisme Liberal
Profit maximization/maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu
manajemen ekonomi. Ekonomi terapan justru mencapai coraknya sebagai ilmu yang
sistematis dan memiliki kerangka logis yang ketat, karena hanya memandang
keuntungan sebagai tujuan perusahaan, sambil melewati semua tujuan lain yang
mungkin.
Tentu saja, para ekonom akan menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan
sebagai tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan pasti tidak boleh
ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan moral. Artinya dimaksud sebagai sekedar model
ekonomis yang diharapkan akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang bisa
berhasil. Salah besar, kalau orang mengukurnya dengan kategori-kategori etika. Menjadi
pemakluman karena hal itu tidak pernah dimengerti secara konkret, sampai meliputi
semua seluk-beluk kegiatan ekonomis, apalagi bertentangan dengan norma moral.
Padahal sejarah mencatat di era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas secara
tidak manusiawi yang kemudian makin lama dibentuk negara kesejahteraan dengan
sistem jaminan sosial.
Studi sejarah menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagi tujuan usaha
ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sungguh berlangsung
dalam kapitalisme liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan
negara-negara barat lainnya. Melalui perjuangan panjang dan berat, di negara-negara
industri perlakuan kurang etis terhadap kaum buruh lama-kelamaan teratasi. Kini industri
baru sebetulnya tidak boleh dikembangkan lagi tanpa sekaligus mengembangkan juga
koreksian terhadap bahaya penindasan dari industri modern.
D. Relativasi Keuntungan
Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi moral
dikesampingkan. Manajemen modern sering disifatkan sebagai management by
objectives.  Dan dalam manajemen ekonomi salah satu unsur penting adalah cost-benefit
analysis. Semua itu bisa diterima asalkan disertai pertimbangan etis.
Perlu ditekankan, keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengerian yang relatif.
Ronald Duska menegaskan bahwa purpose dan motive itu harus dibedakan. Maksud
bersifat obyektif dan motivasi bersifat subyektif. Motivasi menjelaskan mengapa kita
melakukan sesuatu, tetapi maksud membenarkan perbuatan kita itu. Maksud bisnis
adalah menyediakan produk/jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya
sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis. Kenneth Blanchard dan Norman Vincent
Peale menegaskan bahwa manajer yang semata-mata mengejar keuntungan dalam
bisnisnya dapat dibandingkan dengan pemain tenis yang hanya memperhatikan papan
angka dan tidak memperhatikan bola. Maksudnya bisnis memiliki nilai intrinsik sendiri,
misalnya memproduksi sesuatu yang berguna untuk masyarakat dan tidak baru menjadi
bernilai karena membawa untung.  Pebisnis Max DePree membandingkan keuntungan
dengan bernapas. Kita hidup tidak untuk bernafas tetapi tidak mungkin juga kita hidup
tanpa bernapas. Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus, tapi tidak menjadi tujuan
terakhir bisnis. Norman Bowie membandingkan keuntungan dalam bisnis dengan
kebahagiaan dalam hidup. Kita tidak mengejar kebahagiaan demi diri sendiri tetapi
kebahagiaan adalah akibat sampingan kalau seorang suami hidup dan bekerja untuk istri
dan anaknya. Demikian keuntungan pun merupakan akibat sampingan dari bisnis, bukan
tujuan yang sebenarnya.
Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis,
sambil tidak mengabaikan perlunya :
1) Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan / efisiensi
manajemen dalam perusahaan.
2) Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk / jasanya dihargai oleh
masyarakat.
3) Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha.
4) Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan.
5) Keuntungan mengimbangi risiko dalam usaha.
E. Manfaat Bagi Stakeholders
Cara lain untuk mendekatkan tujuan perusahaan adalah melukiskan tujuan itu
sebagai the stakeholders benefit. Konon, istilah itu muncul tahun 1963 dalam sebuah
memorandum internal dari Stanford Research Institute, California. Sukses istilah itu
sebagian disebabkan, karena bahasa Inggris di sini main kata. Istilah itu mirip dengan
stockholders, tetapi merupakan semacam kritik implisit terhadap tendensi untuk terlalu
mengagungkan pentingnya pemegang saham / pemilik dari suatu perusahaan. Jadi,
stakeholders adalah orang / instansi yang berkepentingan dengan suatu bisnis /
perusahaan. R. Edward Freeman menjelaskan stakeholders sebagai individu-individu
dan kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh tercapainya tujuan-tujuan organisasi dan
pada gilirannya dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan tersebut.
Kadang-kadang stakeholders dibagi lagi atas pihak berkepentingan internal dan
eksternal. Pihak berkepentingan internal adalah orang dalam dari suatu perusahaan
seperti pemegang saham, manajer dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal
adalah orang luar dari suatu perusahaan : orang / instansi yang tidak secara langsung
terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah,
lingkungan hidup. Namun garis pemisah stakeholders kedua itu tidak selalu bisa ditarik
dengan tajam. 
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah tujuan
perusahaan. Bisa dikatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua
stakeholders.
F. Antara Keuntungan dan Etika Bisnis
Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan. Keuntungan adalah hal yang
pokok bagi kelangsungan bisnis, walaupun bukan merupakan tujuan satu-satunya,
sebagaimana dianut pandangan bisnis yang ideal. Dari sudut pandang etika, keuntungan
bukanlah hal yang buruk. Bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik
dan diterima karena keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan dalam usaha
bisnisnya. Tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia
menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang
produktif demi memacu pertumbuhan ekonomi yang menjamin kemakmuran nasional.
Keuntungan memungkinkan perusahaan tidak hanya bertahan melainkan juga dapat
menghidupi karyawan-karyawannya bahkan pada tingkat dan taraf hidup yang lebih baik.
Ada beberapa argumen yang dapat diajukan disini untuk menunjukkan bahwa justru demi
memperoleh keuntungan etika sangat dibutuhkan, sangat relevan, dan mempunyai
tempat yang sangat strategis dalam bisnis dewasa ini.
Pertama, dalam bisnis modern dewasa ini, para pelaku bisnis dituntut menjadi
orang-orang profesional di bidangnya.
Kedua dalam persaingan bisnis yang ketat para pelaku bisnis modern sangat sadar
bahwa konsumen adalah benar-benar raja. Karena itu hal yang paling pokok untuk bisa
untung dan bertahan dalam pasar penuh persaingan adalah sejauh mana suatu
perusahaan bisa merebut dan mempertahankan kepercayaan konsumen.
Ketiga, dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang bersifat netral
tak berpihak tetapi efektif menjaga agar kepentingan dan hak semua pemerintah dijamin,
para pelaku bisnis berusaha sebisa mungkin untuk menghindari campur tangan
pemerintah, yang baginya akan sangat merugikan kelangsungan bisnisnya. Slaah satu
cara yang paling efektif adalah dengan menjalankan bisnisnya bisnisnya secara secara
baik dan etis yaitu dengan menjalankan bisnis sedemikian rupa tanpa secara sengaja
merugikan hak dan kepentinga semua pihak yang terkait dengan bisnisnya.
Keempat, perusahaan-perusahaan modern juga semakin menyadari bahwa
karyawan bukanlah tenaga yang siap untuk eksploitasi demi mengeruk keuntunga yang
sebesar-besarnya. Justru sebaliknya, karyawan semakin dianggap sebagai subjek utama
dari bisnis suatu perusahaan yang sangat menentukan berhasil tidaknya, bertahan
tidaknya perusahaan tersebut.
Bisnis sangat berkaitan dengan etika bahkan sangat mengandalkan etika. Dengan
kata lain, bisnis memang punya etika dan karena itu etika bisnis memang relevan untuk
dibicarakan. Argumen mengenai keterkaitan antara tujuan bisnis dan mencari
keuntungan dan etika memperlihatkan bahwa dalam iklim bisnis yang terbuka dan bebas,
perusahaan yang menjalankan bisnisnya secara baik dan etis, yaitu perusahaan yang
memperhatikan hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya, akan
berhasil dan bertahan dalam kegiatan bisnisnya.
G. Pro dan Kontra Etika Dalam Bisnis Perusahaan
Mitos bisnis amoral karena bisnis adalah bisnis. Bisnis jangan dicampuradukkan
dengan etika. Para pelaku bisnis adalah orang-orang yang bermoral, tetapi moralitas
tersebut hanya berlaku dalam dunia pribadi mereka, begitu mereka terjun dalam dunia
bisnis mereka akan masuk dalam permainan yang mempunyai kode etik tersendiri. Jika
suatu permainan judi mempunyai aturan yang sah yang diterima, maka aturan itu juga
diterima secara etis. Jika suatu praktik bisnis berlaku begitu umum di mana-mana, lama-
lama praktik itu dianggap semacam norma dan banyak orang yang akan merasa harus
menyesuaikan diri dengan norma itu. Dengan demikian, norma bisnis berbeda dari norma
moral masyarakat pada umumnya, sehingga pertimbangan moral tidak tepat
diberlakukan untuk bisnis dimana “sikap rakus adalah baik” (Ketut Rindjin, 2004:65).
Belakangan pandangan diatas mendapat kritik yang tajam, terutama dari tokoh etika
Amerika Serikat, Richard T.de George. Ia mengemukakan alasan alasan tentang
keniscayaan etika bisnis sebagai berikut. Pertama, bisnis tidak dapat disamakan dengan
permainan judi. Dalam bisnis memang dituntut keberanian mengambil risiko dan
spekulasi, namun yang dipertaruhkan bukan hanya uang, melainkan juga dimensi
kemanusiaan seperti nama baik pengusaha, nasib karyawan, termasuk nasib-nasib
orang lain pada umumnya.
Kedua, bisnis adalah bagian yang sangat penting dari masyarakat dan menyangkut
kepentingan semua orang. Oleh karena itu, praktik bisnis mensyaratkan etika, disamping
hukum positif sebagai acuan standar dlaam pengambilan keputusan dan kegiatan bisnis.
Ketiga, dilihat dari sudut pandang bisnis itu sendiri, praktik bisnis yang berhasil adalah
memperhatikan norma-norma moral masyarakat, sehingga ia memperoleh kepercayaan
dari masyarakat atas produ atau jasa yang dibuatnya.
H. Alasan Meningkatnya Perhatian Dunia Usaha terhadap Etika Bisnis
Perubahan nilai-nilai masyarakat dan tuntutan terhadap dunia bisnis mengakibatkan
adanya kebutuhan yang makin meningkat terhadap standar etika sebagai bagian dari
kebijakan bisnis. Hal inilah yang menjadi alasan meningkatnya perhatian dunia usaha
terhadap etika bisnis, antara lain:
1) Krisis publik tentang kepercayaan
2) Kepedulian terhadap kualitas kehidupan kerja
3) Hukuman terhadap tindakan yang tidak etis
4) Kekuatan kelompok pemerhati khusus
5) Peran media dan publisitas
6) Perubahan format organisasi dan etika perusahaan

REFERENSI :
http://syadiashare.com/pengertian-perusahaan.html
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/08/pengertian-perusahaan.html
http://www.anneahira.com/artikel-umum/etika-bisnis.html
http://rosicute.wordpress.com/2010/11/23/pengertian-etika-bisnis
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/09/teori-etika-bisnis-dan-pengertian -pasar-monopoli
-dan-oligopoly.html

Bab 8
ETIKA PERILAKU PERUSAHAAN

A. Problem Perusahaan Terhadap Pegawai


Ada dua masalah yang berkaitan dengan kewajiban masalah ini di antaranya yaitu:
1. Kelayakan Gaji
Kelayakan gaji sebagian bergantung pada dukungan yang diberikan masyarakat
(jaminan sosial, perawatan kesehatan, kompensasi pengangguran, pendidikan umum,
kesejahteraan, dan sebagainya), kebebasan pasar kerja, kontribusi pegawai, dan
posisi kompetitif perusahaan. Meskipun tidak ada cara untuk menentukan gaji yang
layak dengan pasti, namun kita setidaknya bisa mengidentifikasi sejumlah faktor
yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan gaji dan upah, yaitu:
1) Gaji dalam industri dan wilayah tempat seseorang bekerja,
2) Kemampuan perusahaan,
3) Sifat pekerjaan,
4) Peraturan upah minimum,
5) Hubungan dengan gaji lain,
6) Kelayakan negosiasi gaji, dan
7) Biaya hidup lokal.
2. Kondisi Kerja: Kesehatan dan Keamanan
Risiko memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pekerjaan. Masalahnya
adalah dalam banyak pekerjaan  yang   berbahaya, syarat-syarat berikut tidak
terpenuhi:
1) Gaji atau upah dikatakan gagal memberikan nilai kompensasi yang proporsional
terhadap risiko pekerjaan jika pasar tenaga kerja dalam suatu industri tidak
kompetitif atau bila pasar tidak mempertimbangkan risiko-risiko tersebut karena
memang belum diketahui.
2) Pegawai mungkin menerima risiko tanpa mengetahuinya karena mereka tidak
memiliki akses ke informasi tentang risiko-risiko tersebut.
3) Pegawai mungkin menerima risiko karena putus asa, karena mereka tidak dapat
memperoleh pekerjaan dalam industri-industri yang kurang berisiko, atau karena
mereka tidak memiliki informasi tentang alternatif-alternatif yang tersedia bagi
mereka.
3. Secara khusus, perusahaan mempunyai kewajiban:
1) Perusahaan wajib menawarkan gaji yang merefleksikan prevalensi risiko-pretni
dalam pasar kerja yang serupa, namun kompetitif;
2) Untuk menjamin pegawai terhadap bahaya yang diketahui, perusahaan perlu
memberikan program asuransi kesehatan yang sesuai, dan
3) Perusahaan perlu (secara individual atau bersama perusahaan lain)
mengumpulkaninformasi tentang bahaya kesehatan yang terdapat dalam suatu
pekerjaan dan menyebarkan informasi tersebut ke seluruh pegawai.
B. Kondisi Kerja: Kepuasan Kerja
Hackman, Oldham, Jansen, dan Purdy menyatakan bahwa ada tiga determinan
kepuasan kerja:
1) Arti yang dialami. Seseorang harus melihat pekerjaannya sebagai sesuatu yang
bernilai atau penting melalui sistem nilai yang diterimanya.
2) Tanggung jawab yang dialami. Dia harus percaya bahwa dia secara pribadi
bertanggung jawab atas hasil kerjanya. Dan
3) Pengetahuan akan hasil. Dia harus mampu menentukan, secara teratur, apakah hasil
kerjanya memuaskan.
Untuk mempengaruhi ketiga determinan tersebut, pekerjaan haruslah diperluas
sepanjang lima dimensi berikut:
1) Keragaman keahlian.
2) Identitas tugas.
3) Arti penting tugas.
4) Otonomi, dan
5) Umpan Balik.
Pendeknya, pemecahan masalah ketidakpuasan kerja adalah dengan
memperluas cakupan kegiatan dari pekerjaan-pekerjaan yang  sangat terspesialisasi:
memperluas pekerjaan secara "horisontal" dengan memberikan tugas-tugas yang lebih
beragam pada pegawai dan memperdalam pekerjaan secara "vertikal" dengan
memberikan kontrol yang lebih besar pada pegawai atas tugas-tugas tersebut.
C. Kewajiban Perusahaan terhadap Karyawan
1. Menjamin Kesehatan dan Keselamatan Kerja 
Salah satu kewajiban lain perusahaan terhadap karyawannya adalah menjamin
kesehatan dan keselamatan kerja. Kesehatan kerja diwujudkan dengan tempat kerja
yang sehat, seperti kebersihan lokasi, kenyamanan lokasi yang dapat memberikan
pengaruh positif dalam produktifitas. Sedangkan keselamatan kerja diwujudkan
dengan tempat kerja yang aman, yang sesuai dengan standar keselamatan yang telah
ditetapkan.
Beberapa dasar etika yang melatarbelakangi peraturan hukum, bagi kewajiban
perusahaan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan para pekerjaanya, antara
lain: (1) Hak untuk hidup. Setiap pekerja berhak atas kondisi serja yang aman dan
sehat. Sehingga tidak etis jika hak tersebut dilanggar oleh perusahaan, (2) Dentologi.
Perusahaan harus menciptakan kondisi dan tempat kerja yang aman. Jika tidak, berarti
perusahaan memperbudak para pekerja untuk mencapai tujuan perusahaan saja yaitu
untuk mencari keuntungan, (3) Utilitaristis. Kondisi dan tempat kerja yang aman akan
menguntungkan masyarakat sendiri dan ekonomi negara bukan hanya terfokus pada
perusahaan. 
2. Imbalan yang Adil
Terdapat beberapa pandangan mengenai pembagian imbalan yang adil, yakni
pandangan liberalistis, sosialistis, dan pandangan menurut Thomas Garrett dan
Richard Klonoski, ialah: 
1. Pandangan Liberalistis. Pandangan ini berpandangan bahwa imbalan yang adil jika
disesuaikan dengan prestasinya di perusahaan. 
2. Pandangan Sosialistis. Pandangan ini meyakini bahwa imbalan yang adil jika sesuai
dengan kebutuhan dirinya dan keluarganya. 
3. Pandangan menurut Thomas Garrett dan Richard Klonoski yang berpendapat
bahwa dalam menetapkan gaji yang adil, maka ada enam kriteria yang harus
dipertimbangkan: 
a. Peraturan Hukum 
Gaji yang adil jika sesuai dengan hukum yang berlaku, seperti ketentuan
hukum tentang upah minimum. 
b. Upah yang Lazim 
Rata-rata gaji atau upah yang diberikan oleh perusahaan setara dengan upah
minimum regional. 
c. Kemampuan Perusahaan 
Perusahaan yang menghasilkan yang besar, harus memberikan gaji yang lebih
besar juga, seperti pemberian bonus atau insentif. 
d. Pekerjaan yang Bersifat Khusus 
Pekerja yang bekerja di pekerjaan yang bersifat khusus atau tingkat resiko
yang tinggi harus diberi gaji yang tinggi. 
e. Perbandingan dengan Gaji dalam Perusahaan yang Sejenis 
Gaji atau upah diberikan oleh perusahaan dengan melihat gaji atau upah
pekerja di perusahaan lain yang sejenis. 
f. Merundingkan Gaji atau Upah antara Pekerja dan Perusahaan 
Masalah yang sering muncul dalam proses menggaji tersebut adalah dalam
senioritas dan imbalan yang bersifat rahasia. Senioritas yang muncul dalam
penggajian dapat dikatakan sebagai tidak etis, karena pekerjaan yang sama
menerima gaji yang sama. Akan tetapi terdapat senioritas yang menyebabkan
tidakan keadilan tersebut muncul. Selain itu pemberian imbalan seperti
kenaikan gaji secara diam-diam, dapat dikatakan tidak etis. 
2. Pemberhentian Karyawan
Pemberhentian karyawan biasanya dilatarbelakangi karena alasan internal,
seperti, downsizing, merger, ataupun akusisi. Terdapat pula alasan eksternal,
misalnya resesi ekonomi. Atau dapat pula berupa kesalahan karyawan sendiri. 
Menurut Garret dan Klonoski, kewajiban majikan dalam memberhentikan
karyawan dapat didasarkan pada : 
a) Majikan dapat memberhentikan karyawan karena alasan yang tepat. 
b) Majikan harus berpegang pada prosedur yang seharusnya (peraturan
perusahaan yang berlaku).
c) Majikan harus meminimalisasi akibat negatif pada karyawannya. Seperti
memberitahukan prospek kepada karyawan beberapa sebelumnya. 
D. Masalah Pekerja Anak
Tidak bisa diragukan, pekerjaan yang dilakukan oleh anak (child labor) merupakan
topik dengan banyak implikasi etis, tetapi masalah ini sekaligus juga sangat kompleks,
karena faktor-faktor ekonomis di sini dengan aneka macam cara bercampur baur dengan
faktor-faktor budasya dan sosial. Yang dimaksud di sini adalah pekerjaan yang dilakukan
oleh anak dibawah umur demi pembayaran uang yang digunakan untuk membantu
keluarganya. Logisnya “di bawah umur” harus disamakan dengan batas umur wajib
belajar.
Dalam Convention on the Rights of the Child yang diterima dalam sidang umum
PBB 1989 diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk menetapkan usia
minimum/usia-usia minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja (pasal 32,2a). ILO
1973 mengeluarkan konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
Sebagai patokan harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan
berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Di Indonesia baru mengesahkan
konvensi tersebut tahun 1999 dan menetapkan usia minimum pada 15 tahun.
Sebelumnya berdasarkan UU dari 1951, batas minimum usia pekerja ditentukan pada 14
tahun.
Kenyataannya di berbagai negara anak-anak harus bekerja pada umur terlalu muda
yang sering kali dalam kondisi penuh risiko. Tidak mengherankan, dalam  Declaration of
the Rights of the Child yang diproklamasikan oleh Sidang Umum PBB 1959 dikatakan
bahwa “anak harus mempunyai kesempatan penuh untuk main dan rekreasi, yang harus
tertuju pada maksud yang sama seperti pendidikan” (prinsip 7). Dalam rangka itu
ditegaskan antara lain : “anak tidak boleh diterima sebagai pekerja sebelum umur
minimum yang tepat; ia sekali-kali tidak boleh disuruh atau diterima dalam jabatan /
pekerjaan apa saja yang bisa merugikan kesehatan / pendidikannya / mengganggu
perkembangan fisik, psikis atau moralnya” (prinsip 9).
Dalam etika pekerjaan anak ditolak terutama karena 2 alasan. Pertama, bahwa
pekerjaan itu melanggar hak para anak. Masa anak adalah periode pertama dalam hidup
seseorang manusia dengan segala ciri khasnya. Kedua, bahwa pekerjaan anak
merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha
menekan biaya produksi dan dengan demikian melibatkan diri dalam kompetisi kurang
fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunkan tenaga anak dan bisa
memperparah masalah pengangguran. Karena itulah mempekerjakan anak menjadi tidak
etis.
Dalam zaman sekarang pekerja anak tampil sebagai suatu masalah khusus dalam
hubungan dengan industri garmen, sepatu / alat olahraga, mainan anak dll, yang
mempercayakan pembuatan produknya kepada kontraktor dalam kuantitas besar, yang
pada gilirannya mencari lagi subkontraktor untuk kuantitas terbatas yang dapat menjamin
harga yang paling murah.
Cara mengatasi masalah pekerja anak adalah dengan kesadaran dan aksi dari
pihak publik konsumen, kode etik yang dibuat dan ditegakan juga oleh perusahaan dan
melengkapi garmen jualan atau produk lain dengan No Sweet Label.
Untuk membentuk pandangan yang seimbang tentang masalah pekerja anak,
sebaiknya tidak melupakan kasus-kasus yang pernah terjadi di belahan dunia.
Penderitaan anak-anak itu harus dinilai sudah keterlaluan. Tetapi disisi lain harus
dipertimbangkan bahwa anak-anak itu bekerja kerena terdesak oleh keadaan ekonomi
keluarganya. Pemerintah Indonesia khususnya mengakui itu dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 1 Tahun 1987 yang mengizinkan anak di bawah usia
14 tahun bekerja sebagai buruh di sektor formal, kalu keadaan ekonomi keluarga
mendesak. Peraturan itu disertai dengan syarat-syarat. Pertama, anak-anak itu hanya
boleh bekerja 4 jam sehari. Kedua, tidak boleh diperkerjakan di tempat yang berisiko
khusus seperti pertambangan/ bekerja dengan alat-alat yang berbahaya. Ketiga, tidak
boleh dipekerjakan malam hari atau pukul 18.00 – 06.00. Intinya adalah bahwa kebaikan
dan kesejahteraan anak tidak pernah boleh dikorbankan kepada keuntungan ekonomis.
E. Hak Pegawai
Hak moral pegawai serupa dengan hak sipil warga negara: hak privasi, hak untuk
setuju, hak atas kebebasan berbicara; dan sebagainya.
1. Hak Privasi 
Hak privasi  dapat didefinisikan sebagai hak individu untuk menentukan apa, dengan
siapa, dan seberapa banyak informasi tentang dirinya yang boleh diungkapkan pada
orang lain. Ada dua jenis privasi: privasi psikologis, yaitu privasi yang berkaitan
dengan pemikiran, rencana, keyakinan, nilai, perasaan, dan keinginan seseorang; dan
privasi fisik, yaitu privasi yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas fisik
seseorang, khususnya yang mengungkapkan kehidupan pribadi seseorang dan
aktivitas-aktivitas fisik yang secara umum dianggap sebagai aktivitas pribadi. Ada
tiga elemen yang perlu dipertimbangkan saat mengumpulkan informasi
yang mungkin  mengancam hak privasi pegawai: relevansi, persetujuan, dan
metode.
2. Kebebasan  Suara Hati
Pegawai yang memiliki perasaan tanggung jawab moral, yang menemukan bahwa
perusahaan melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat, biasanya akan merasa
perlu melakukan sesuatu agar perusahaan menghentikan aktivitas-aktivitas yang
merugikan tersebut dengan melaporkannya kepada atasan. Namun sayangnya, jika
manajemen internal perusahaan tidak bersedia melakukan apa-apa sehubungan
dengan laporan tersebut, maka pegawai hanya memiliki sedikit pilihan. Jika, setelah
ditolak perusahaan, pegawai tersebut memiliki keberanian untuk membawa masalah
itu ke lembaga pemerintah di luar perusahaan atau,  yang  lebih  buruk lagi,
menyebarkan masalah ini kepada publik, maka perusahaan memiliki hak yang sah
untuk menghukumnya dengan cara memecatnya.
3. Whistleblowing
Whistleblowing  merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seorang anggota atau
mantan anggota suatu organisasi atau perusahaan untuk mengungkapkan kesalahan
atau aktivitas merugikan yang  dilakukan organisasi atau perusahaan yang
bersangkutan. Whistleblowing bisa bersifat internal ataupun eksternal. Jika suatu
pelanggaran hanya dilaporkan kepada pihak-pihak yang lebih tinggi dalam
jabatannya, maka tindakan tersebut adalah whistleblowing internal. Apabila
pelanggaran dilaporkan pada individu eksternal atau lembaga-lembaga seperti agen
pemerintah, surat kabar, atau kelompok-kelompok kepentingan publik, maka tindakan
tersebut merupakan whistleblowing eksternal.
4. Hak Pegawai dan Penutupan Pabrik
Di antara hak-hak pegawai yang berhubungan penutupan pabrik yang harus dihormati
adalah hak untuk diperlakukan sejauh yang telah mereka setujui secara sadar dan
sukarela hak yang mewajibkan agar mereka diberitahu tentang rencana penutupan
yang akan dilaksanakan. Pertimbangan-pertimbangan etis tersebut dimasukkan
dalam usulan-usulan yang dengan baik disampaikan oleh William Diehl, mantan wakil
direktur salah satu industri baja, tentang delapan langkah yang dapat dilakukan
perusahaan untuk menekan pengaruh-pengaruh merugikan dari penutupan pabrik:
1) Pemberitahuan sebelumnya, 2) Pesangon, 3) Jaminan kesehatan, 4) Pensiun
awal, 5) Transfer, 6) Pelatihan kembali, 7) Pembelian oleh pegawai, dan 8)
Pembayaran pajak lokal.
5. Serikat Pekerja dan Hak untuk Berorganisasi
Hak pekerja untuk berorganisasi dalam serikat pekerja berasal dari hak untuk
diperlakukan sebagai manusia yang  bebas dan sederajat. Serikat pekerja secara
umum dilihat sebagai sarana untuk menyeimbangkan kekuasaan perusahaan besar
sehingga para pekerja dapat saling membantu guna mencapai kekuatan negosiasi
yang seimbang dengan perusahaan. Jadi, serikat pekerja mampu mencapai
kesetaraan antara pekerja dengan perusahaan yang tidak dapat dicapai apabila
pekerja tersebut hanya seorang diri, dan otomatis juga menjamin hak mereka untuk
diperlakukan sebagai manusia yang bebas dan sederajat dalam negosiasi pekerjaan
dengan perusahaan besar.
Pekerja tidak hanya berhak membentuk serikat pekerja, namun serikat pekerja
juga berhak melakukan pemogokan. Hak serikat pekerja untuk melakukan
pemogokan berasal dari hak pekerja untuk berhenti melakukan pekerjaan sejauh
pelaksanaan pekerjaan tersebut melanggar perjanjian atau hak orang lain. Jadi,
pemogokan serikat pekerja secara moral dibenarkan sejauh hal itu tidak melanggar
ketentuan perjanjian untuk tidak mogok (yang mungkin saja dinegosiasikan oleh
perusahaan) dan sejauh pemogokan tersebut tidak melanggar hak-hak moral pihak
lain (seperti warga masyarakat yang hak atas perlindungan dan keselamatan mereka
mungkin dilanggar oleh pemogokan yang dilakukan serikat pekerja publik seperti
anggota pemadam kebakaran atau polisi).
F. Kewajiban Pegawai
1. Kewajiban Ketaatan 
Dalam kewajiban ketaatan karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan,
tetapi karyawan tidak harus mematuhi semua perintah yang diberikan oleh atasannya.
Perintah-perintah tersebut antara lain seperti etika atasan menyuruh karyawan
tersebut untuk melakukan hal yang tidak bermoral, seperti membunuh musuh
atasannya, atau dapat pula berupa korupsi. Dapat pula dalam bentuk mengerjakan
tugas pribadi atasannya, misalnya untuk kepentingan pribadi atasan bukan untuk
kepentingan perusahaan, seperti mencuci mobil dan merenovasi rumah pribadi milik
atasannya.
Karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan
perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati, misalnya
sekretaris diberi tugas untuk bersih-bersih, dan lain sebagainya. Cara untuk
menghindari terjadinya kesulitan seputar kewajiban ketaaatan adalah membuat
deskripsi pekerjaan yang jelas dan cukup lengkap pada saat karyawan mulai bekerja di
perusahaan. Namun deskripsi pekerjaan ini harus dibuat cukup luwes sehingga
kepentingan perusahaan selalu bisa diberi prioritas. 
2. Kewajiban Konfidensialitas 
Kewajiban ini adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial
atau rahasia yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi. Kewajiban ini
tidak hanya berlaku selama karyawan bekerja di perusahaan tetapi berlangsung terus
setelah ia pindah kerja. Kewajiban ini menjadi lebih aktual ketika karyawan tersebut
pindah kerja di perusahaan baru yang bergerak di bidang yang sama. Contohnya
adalah seorang akuntan, ia tidak boleh membocorkan kondisi finansial perusahaan
lama ke perusahaan baru.
Kewajiban konfidensialitas ini terbatas pada informasi perusahaan. Hal-hal lain yang
diperoleh atau diketahui sambil bekerja di perusahaan pada prinsipnya tidak termasuk
kewajiban konfidensialitas. Misalnya keterampilan yang dikembangkan oleh karyawan
itu dengan bekerja pada perusahaan yang sama. Alasan etika yang mendasari
kewajiban ini adalah bahwa perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu. 
3. Kewajiban Loyalitas 
Kewajiban loyalitas adalah konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan
perusahaan ia harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan dan turut merealisasikan
tujuan tersebut. Faktor utama yang dapat membahayakan terwujudnya loyalitas adalah
konfilk kepentingan (conflict of interest) artinya konflik kepentingan pribadi karyawan
dan kepentingan perusahaan. Karyawan tidak boleh menjalankan kepentingan pribadi
yang bersaing dengan kepentingan perusahaan. Misalnya karyawan memproduksi
produk yang sama dengan produk perusahaan dan menjualnya dengan harga murah.
Konflik kepentingan tidak selalu berkaitan dengan masalah uang. Contohnya, seorang
yang bekerja di suatu perusahan memutuskan untuk membeli peralatan kantor dari
perusahaan tempat dimana anaknya bekerja, walaupun sebenarnya ada penawaran
harga yang lebih baik dari perusahaan lain. 
Konflik kepentingan bisa bersifat aktual atau potensial. Konflik kepentingan aktual
terjadi saat seseorang melaksanakan kewajibannya dalam suatu cara yang
mengganggu perusahaan dan melakukannya demi kepentingan pribadi. Konflik
kepentingan potensial terjadi saat seseorang, karena didorong kepentingan pribadi,
bertindak dalam suatu cara yang merugikan perusahaan. Grey area atau “kawasan
kelabu” yaitu penilaian moral tentang sesuatu antara satu orang dengan orang lain
berbeda-beda. 
6. Melaporkan Kesalahan Perusahaan (Whistle Blowing) 
Ada dua macam pelaporan kesalahan perusahaan atau whistle blowing, secara
internal dan eksternal. Dalam pelaporan internal, pelaporan kesalahan dilakukan di
dalam perusahaan sendiri dengan melewati atasan langsung. Misalnya seorang
karyawan bawahan melaporkan suatu kesalahan langsung kepada direksi, dengan
melewati kepala bagian dan manajer umum. Pada pelaporan eksternal, karyawan
melaporkan kesalahan perusahaan kepada instansi pemerintah atau kepada
masyarakat melalui media komunikasi. Misalnya karyawan melaporkan bahwa
perusahaannya tidak memenuhi kontribusinya kepada Jamsostek atau tidak
membayar pajak melalui media massa atau pihak eksternal lainnya. 
Terdapat sebuah pertanyaan etika dalam melakukan pelaporan kesalahan perusahan
ini, “apakah whistle blowing ini boleh dilakukan karena pada prinsipnya bertentangan
dengan kewajiban loyalitas karyawan terhadap perusahaannya?” Namun setelah
didiskusikan lebih mendalam, jawabnya adalah boleh karena karyawan tidak hanya
mempunyai kewajiban loyalitas kepada perusahaan tetapi ia juga mempunyai
kewajiban kepada masyarakat umum apabila perusahaan tersebut melakukan
kesalahan. 
Pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila lima syarat berikut terpenuhi: 
1. Kesalahan perusahaan harus besar. 
Kesalahan ini hanya dapat dilaporkan jika menyebabkan kerugian bagi pihak ketiga,
terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan kegiatan yang dilakukan
perusahaan bertentangan dengan tujuan perusahaan. 
2. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar. 
Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi
pihak ketiga, bukan karena motif lain. 
Misalnya karyawan memutuskan berhenti dari suatu pekerjaan karena kecewa
dengan atasannya. Setelah ia pergi dari perusahaan itu, ia membuka praktek kurang
etis dari perusahaan seperti tidak membayar pajak. Motif pelaporan ini adalah untuk
balas dendam. 
3. Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan
perusahaan dibawa ke luar. 
Jika karyawan merasa bertanggungjawab, ia harus berusaha dulu untuk
menyelesaikan masalah di dalam perusahaan sendiri melalui jalur yang tepat. Hal ini
juga sesuai dengan kewajiban loyalitasnya. Baru setelah upaya penyelesaian
secara internal gagal, ia boleh memikirkan whistle blowing. 
5. Harus ada kemungkinan nyata bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses. 
Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan menghasilkan
apa-apa, misalnya tidak bisa mencegah terjadinya kerugian untuk pihak ketiga, lebih
baik orang tersebut tidak melapor. 
Whistle blowing adalah masalah etis yang tidak enak untuk semua pihak yang
bersangkutan. Untuk perusahaan ataupun pelaku bisnis, whistle blowing akan
membawakan banyak kerugian secara materil maupun moril. Mulai dari turunnya pamor
perusahaan terhadap produknya, hingga menurunnya keuntungan yang didapatkan
akibat pelaporan ini. Untuk pelapor, whistle blowing adalah langkah yang diambil dengan
berat hati karena resiko yang akan didapatkannya cukup besar. Di beberapa negara ada
kode etik profesi, misalnya kode etik insinyur yang secara tidak langsung menganjurkan
whistle blowing. Dalam kode etik ini memuat ketentuan bahwa keamanan dan
keselamatan masyarakat harus di tempatkan di atas segalanya. Ada juga negara yang
melindungi para whistle-blowers melalui jalur hukum, seperti Inggris dengan undang-
undang yang disebut The Public Interest Disclosure Act (1998). 
G. Perusahaan yang Penuh Perhatian
Aspek kehidupan Perusahaan tidak cukup baik digambarkan dalam model
kontraktual yang merupakan dasar dari Perusahaan "rasional", ataupun dengan model
kekuasaan yang mendasari organisasi "politik". Mungkin aspek tersebut paling tepat
digambarkan sebagai Perusahaan penuh perhatian (caring),di mana konsep-konsep
moral utamanya sama dengan konsep yang mendasari etika memberi perhatian.
Jeanne M. Lied menggambarkan Perusahaan semacam itu sebagai organisasi,
atau bagian organisasi, di mana tindakan memberi perhatian merupakan:
1) Difokuskan sepenuhnya pada individu (pribadi), bukan "kualitas", "keuntungan", atau
gagasan-gagasan lain yang saat ini banyak dibicarakan;
2) Dilihat sebagai tujuan dalam dan dari dirinya sendiri, serta bukan hanya sarana
untuk mencapai kualitas, keuntungan, dan sebagainya;
3) Bersifat pribadi, dalam artian bahwa hal tersebur melibatkan individu-individu
tertentu yang memberikan perhatian, pada tingkat subjektif, pada individu tertentu
lainnya; dan
4) Pendorong pertumbuhan bagi yang diberi perhatian, dalam artian bahwa tindakan ini
menggerakkan mereka menuju pemanfaatan dan pengembangan kemampuan
seutuhnya, dalam konteks kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.
Dalam Perusahaan caring,  kepercayaan tumbuh subur karena "orang merasa
wajib saling mempercayai jika mereka melihat diri mereka sebagai pihak-pihak yang
saling membutuhkan dan saling terkait". Karena kepercayaan tumbuh subur dalam
organisasi semacam itu, maka Perusahaan tidak perlu melakukan banyak investasi
untuk mengawasi para pegawainya dan memastikan bahwa mereka tidak melanggar
perjanjian kontraktual.

DAFTAR PUSTAKA 

Greenberg, Jerald dan Baron, Robert A. (2010). Behavior In Organizations. Upper Saddle
River: Pearson Education. 
Velasquez, Manuel G. (2010). Business Ethics Concepts and Cases. Upper Sadle River:
Prentice Hall. 
Bertens, Kees. (2000). Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.

Bab 9
ETIKA DISKRIMINASI PEKERJAAN

A. Sifat Diskriminasi Pekerjaan


            Arti diskriminasi adalah membedakan satu objek dari objek lainnya, tindakan yang
secara moral adalah netral dan tidak dapat disalahkan. Berbeda dengan pengertian
modern, istilah ini secara moral tidak netral. Karena membedakan seseorang dari orang
lain bukan berdasarkan keunggulan yang dimiliki, namun berdasarkan prasangka atau
sikap yang secara moral tercela.
            Diskriminasi dalam ketenagakerjaan melibatkan tiga elemen dasar. Pertama,
keputusan yang merugikan seorang pegawai atau calon pegawai bukan berdasarkan
kemampuan yang dimiliki. Kedua, keputusan yang sepenuhnya atau sebagian diambil
berdasarkan prasangka rasial atau seksual, streotip yang salah, atau sikap lain yang
secara moral tidak benar terhadap anggota kelompok tertentu. Ketiga, keputusan yang
merugikan pada kepentingan pegawai.
B. Tingkat Diskriminasi
Indikator pertama diskrimnasi muncul apabila terdapat proporsi yang tidak seimbang atas
anggota kelompok tertentu yang memegang jabatan yang kurang diminati dalam suatu
institusi tanpa mempertimbangkan preferensi ataupun kemampuan mereka. Ada tiga
perbandingan yang membuktikan distribusi semacam itu antara lain berupa : (1)
perbandingan atas keuntungan rata-rata yang diberikan institusi pada kelompok yang
terdiskriminasi dengan keuntungan rata-rata yang diberikan pada kelompok lain,
(2) perbandingan atas proporsi kelompok yang terdiskriminasi yang terdapat dalam
tingkat yang sama, dan (3) Perbandingan proporsi dari anggota kelompok tersebut yang
memegang jabatan yang lebih menguntungkan dengan proporsi kelompok lain pada
jabatan yang sama.
C. Kategori Diskriminasi dalam Perusahaan
Diskriminasi dalam perusahaan adalah membedakan berbagai karyawan karena alasan
yang tidak relevan yang berakar pada prasangka atau stereotip. Diskriminasi dapat
terjadi pada saat perekrutan calon karyawan, seleksi karyawan, kenaikan pangkat,
maupun kondisi pekerjaan. Diskriminasi biasanya terjadi terhadap ras, agama, dan jenis
kelamin. 
Terdapat beberapa indikator untuk memperkirakan apakah perusahaan melakukan
diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Pertama perbandingan keuntungan atau
penghasilan rata-rata yang diberikan perusahaan pada kelompak yang terdiskriminasi
dengan kelompok lainya. Contoh gaji antara wanita dan laki-laki lulusan perguruan tinggi.
Kedua, perbandingan proporsi kelompok yang terdiskriminasi yang terdapat pada tingkat
pekerjaan yang paling rendah dengan kelompok lain yang sejenis. Ketiga, perbandingan
proporsi pemegang jabatan yang menguntungkan antara anggota di kelompok
diskriminasi dengan anggota kelompok lain. Contohnya wanita yang menjadi pimpinan
perusahaan saat ini sangat kecil jumlahnya dibandingkan laki-laki. 
Bentuk-bentuk diskriminasi antara lain terbagi menjadi dua, diskriminasi dengan sengaja
dan dengan aspek institusional. 
D. Sifat Diskriminasi dalam Perusahaan
1. Tindakan diskriminasi merupakan bagian dari perilaku terpisah (tidak terinstitusional)
dari seseorang yang secara sengaja dan sadar melakukan diskriminasi karena
prasangka. 
2. Tindakan diskriminasi merupakan perilaku rutin dari kelompok yang terinstitusionalisasi
yang sengaja dan sadar melakukan diskriminasi berdasarkan prasangka dari para
anggotanya. 
3. Tindakan diskriminasi merupakan perilaku terpisah dari seseorang yang secara tidak
sengaja melakukan diskriminasi karena ia menerima dan melaksanakan praktik-
praktik dan steriotip tradisional dari masyarakatnya. Contoh : daerah pesisir identic
dengan kriminalitas.
4. Tindakan diskriminasi kemungkinan merupakan rutinitas sistematis organisasi yang
secara tidak sengaja memasukan prosedur formal yang akan mendiskriminasi orang
lain. 
E. Paham Penolakan Praktek Diskriminasi
Beberapa teori menentang adanya praktek diskriminasi, teori ini antara lain adalah
utilitarisme atau utility, deontologi atau right, dan keadilan atau justice. 
1. Utilitarisme (Utility) 
Diskriminasi akan mengarahkan pada penggunaan sumber daya manusia yang tidak
efisien. Dalam teori ini menentang diskriminsi didasarkan pada pandangan bahwa
produktivitas dari suatu masyarakat akan optimal jika pekerjaan tersebut sesuai
dengan kemampuannya. Sehingga diskriminasi pencari kerja berdasarkan ras, jenis
kelamin, agama, atau karakteristik lain yang tidak relevan dengan pekerjaan adalah
tidak efisien dan bertentangan dengan prinsip utilitarisme.
Akan tetapi teori ini mendapat pertentangan. Karena jika argumen utilitarime tersebut
benar, kesejahteraan masyarakat akan meningkat sepanjang pekerjaan tersebut
sesuai dengan kualifikasi yang berkaitan dengan pekerjaan. Kesejahteraan
masyarakat yang diperoleh berdasarkan faktor lain seperti kebutuhan.
Selain itu, diskriminasi yang berkenaan dengan jenis kelamin, ada kalanya
memberikan manfaat yang lebih kepada perusahaan. Seperti rumah tangga yang akan
lebih efisien jika dikerjakan oleh perempuan, sedangkan laki-laki lebih disosialkan ke
karakteristik pencari penghasilan. Kaum utilitarism akan menanggapi kritik tersebut
bahwa menggunakan faktor-faktor selain kualifikasi perkerjaan tidak akan
menghasilkan yang lebih jika dibandingkan dengan yang menggunakan kualifikasi. 
2. Deontologi (Right) 
Diskriminasi telah melanggar hak asasi manusia. Terdapat dua hal yang dilanggar
yakni, pertama, diskriminasi yang didasarkan pada keyakinan bahwa suatu kelompok
dianggap lebih rendah dibandingkan kelompok lain. Contohnya orang-orang berkulit
hitam atau kaum perempuan yang dianggap tidak kompeten. Kedua, diskriminasi
menempatkan kelompok yang terdiskriminasi dalam posisi social dan ekonomi yang
rendah. Contohnya kaum perempuan dan minoritas yang memiliki peluang kerja
terbatas dan gaji yang kecil. Dari kedua hal yang dilanggar ini menbuktikan bahwa hak
untuk diperlakukan sebagai individu yang merdeka dan sederajat. 
3. Teori Keadilan (Justice) 
Dalam teori ini dikemukakan bahwa diskriminasi bertentangan dengan keadilan
distributif, yakni seperti yang disampaikan oleh John Rawls, salah satu prinsip keadilan
yang paling penting adalah prinsip kesamaan hak untuk memperoleh kesempatan,
sehingga ketidakadilan social dan ekonomi seharusnya diatur sedemikian rupa
sehingga dapat menyalurkan pekerjaan-pekerjaan terbuka bagi semua orang.
Diskriminasi yang cenderung melakukan perbedaan orang dengan cara yang berbeda
dengan orang lain tanpa alasan yang tepat telah melanggar prinsip tersebut. 
F. Praktik Diskriminasi
1) Rekrutmen, Perusahaan yang sepenuhnya bergantung pada referensi verbal para
pegawai saat ini dalam merekrut karyawan baru cenderung merekrut karyawan dari
kelompok ras dan seksual yang sama yang terdapat dalam perusahaan.
2) Seleksi, kualifikasi pekerjaan dianggap diskriminatif jika tidak relevan dengan
pekerjaan yang akan dilaksanakan.
3) Kenaikan pangkat, dikatakan diskriminatif jika perusahaan memisahkan evaluasi kerja
pria kulit putih dengan pegawai perempuan dan pegawai dari kelompok minoritas.
4) Kondisi pekerjaan, pemberian gaji akan diskriminatif jika dalam jumlah yang tidak
sama untuk orang yang melaksanakan pekerjaan yang pada dasarnya sama.
5) PHK, memecat berdasarkan pertimbangan ras, dan jenis kelamin merupakan
diskriminasi.  
6) Pelecehan Seksual, kaum perempuan merupakan korban dari salah satu bentuk
diskriminasi yang terang-terangan dan koersif. Rayuan seksual yang tidak diinginkan,
permintaan untuk melakukan hubungan dan kontak verbal atau fisik lain yang
sifatnyaseksual merupakan pelecehan seksual dan tindakan tersebut bertujuan untuk
mengganggu pelaksanakan pekerjaan seseorang atau menciptakan lingkungan kerja
yang diwarnai dengan kekhawatiran, sikap permusuhan atau penghinaan.
7) Di Luar Ras dan Jenis Kelamin : Kelompok Lain, kelompok lain yang harus dilindungi
dari tindakan diskriminasi adalah : para pegawai yang berusia lanjut, para penderita
cacat dan juga para pegawai yang memiliki preferensi seksual yang tidak lazim.  
G. Solusi Diskriminasi melalui Tindakan Afirmatif
Untuk menghapus pengaruh diskriminasi masa lalu, banyak perusahaan yang
melaksanakan pogram tindakan afirmatif yang dimaksudkan untuk mencapai distribusi
yang lebih representatif dalam perusahaan dengan memberikan preferensi pada kaum
perempuan dan minoritas.
Inti dari program ini adalah suatu penyelidikan yang mendetail atas semua
klasifikasi pekerjaan besar dalam perusahaan. Tujuan penyelidikan untuk menentukan
apakah jumlah pegawai perempuan dan minoritas dalam klasifikasi kerja tertentu lebih
kecil dibandingkan yang diperkirakan dari tingkat ketersediaan tenaga kerja kelompok
ini di wilayah tempat mereka direkrut. Perusahaan menunjuk seseorang untuk
mengorganisasikan dan melaksanakan program afirmatif, dan melaksanakan program
dan langkah khusus untuk menambah pegawai baru dari kelompok minoritas dan
perempuan untuk memenuhi tujuan yang ditetapkan.
Bagi banyak orang, program tindakan afirmatif yang memberikan pekerjaan
berdasarkan keanggotaan dalam kelompok yang dirugikan tidak sepenuhnya legal.
Namun, yang lain menginterpretasikan ”rekomendasi” secara lebih sempit, yaitu
senioritas tidak dapat diberikan hanya karena seseorang menjadi anggota suatu
kelompok yang dirugikan.
a. Tindakan Afirmatif Sebagai Kompensasi
Disebut juga affirmative action law, suatu program yang didesain untuk memastikan
porsi minoritas cocok dengan porsi yang ada di perusahaan. Perlakuan preferensial
(khusus) dapat dengan meng-hiring kaum minoritas atau wanita untuk menempati
posisi yang dianggap stereotip oleh mayoritas sebagai bentuk kompensasi atas
kerugian yang mereka alami. Keadilan kompensatif mengimplementasikan bahwa
seseorang wajib memberikan kompensasi terhadap orang yang dirugikan secara
sengaja. Selanjutnya, program tindakan afirmatif diinterpretasikan sebagai salah
satu bentuk ganti rugi yang diberikan kaum pria kulit putih kepada perempuan dan
kaum minoritas karena telah merugikan mereka di masa lalu.
Kelemahan argumen yang mendukung tindakan afirmatif yang didasarkan
pada prinsip kompensasi adalah prinsip ini mensyaratkan hanya dari individu yang
sengaja merugikan orang lain, dan hanya memberikan kompensasi kepada individu
yang dirugikan.
b. Tindakan Afirmatif Sebagai Instrumen untuk Mencapai Tujuan Sosial
Hambatan utama yang dihadapi oleh pembenaran utilitarian atas program
afirmatif, pertama berkaitan dengan persoalan apakah biaya sosial dari program
tindakan afirmatif lebih besar dari keuntungan yang diperoleh. Kedua,
mempertanyakan asumsi bahwa ras merupakan indikator kebutuhan yang tepat.
Salah satu tujuan program tindakan afirmatif adalah mendistribusikan
keuntungan seperti keadilan yang merata dan beban masyarakat yang konsisten
dengan prinsip keadilan distributif, dan mampu menghapuskan dominasi ras atau
jenis kelamin tertentu atas kelompok pekerjaan yang penting.
Tujuan dasarnya adalah terciptanya masyarakat yang lebih adil. Kesempatan
yang dimiliki seseorang tidak dibatasi oleh ras atau jenis kelaminnya. Tujuan ini
secara moral sah sejauh usaha untuk memperoleh kesempatan yang sama secara
moral juga masih dianggap sah.
c. Penerapan Tindakan Afirmatif untuk Penanganan Keberagaman
Disebut juga diversity management program (awareness based diversity training
dan skill based diversity training), suatu program yang didesain untuk mengajarkan
karyawan untuk menerima perbedaan-perbedaan yang ada disekitarnya. 
Kriteria lain selain ras dan jenis kelamin yang perlu dipertimbangkan saat
mengambil keputusan dalam program tindakan afirmatif. Pertama, jika hanya
kriteria ras dan jenis kelamin yang digunakan akan mengarah pada perekrutan
pegawai yang tidak berkualifikasi dan mungkin menurunkan produktivitas. Kedua,
banyak pekerjaan yang memiliki pengaruh penting pada kehidupan orang lain. Jika
suatu pekerjaan memiliki pengaruh penting, katakanlah pada jiwa orang lain,
kriteria selain ras dan jenis kelamin harus diutamakan dan lebih dipertimbangkan
dibandingkan tindakan afirmatif.
Kontroversi sehubungan dengan kelayakan moral program tindakan afirmatif belum
berakhir. Tidak berarti program seperti itu tidak melanggar semua prinsip moral.
Jika argumen itu benar, program tindakan afirmatif setidaknya konsisten dengan
prinsip moral.
Seperti apa yang telah kita ketahui, debat tentang apa arti kesamaan hak dan
bagaimana mempertahankannya telah berlangsung lamadan sengit. Kontroversi
muncul seputar penderitaan yang dialami kaum minoritas, perlakuan tidak adil
terhadap kaum perempuan, dan akibat-akibat merugikan yang dialami oleh kaum
pria kulit putih akibat preferensi terhadap perempuan dan minoritas. Perdebatan
yang terus berlanjut tentang ras dan gender sebagai dasar besar difokuskan pada
bidang bisnis. Ini memang tidak bisa dihindari yaitu diskriminasi rasial dan seksual
telah lama ada dalam sejarah bisnis, dan dalam bidang inilah praktik-praktik
diskriminasi memiliki pengaruh yang paling besar dan bertahan lama.
Mungkin persoalan sosial lainnya saat ini, telah masuk ke dalam masalah-masalah
etis yaitu istilah-istilah keadilan, kesamaan hak, rasisme, hak dan diskriminasi
selalu dalam setiap perdebatan yang ada. Bab ini menganalisa berbagai sisi
masalah etis, yang diawali dengan mempelajari sifat dan tingkat diskriminasi, dan
dilanjutkan dengan pembahasan tentang aspek-aspek diskriminasi, tindakan
afirmatif dan terakhir tentang peraturan yang terkait.
H. Peran Pemerintah
Apa saja peraturan yang terkait tentang etika diskriminasi pekerjaan?
Indonesia telah meratifikasikan Konvensi No.100 tahun 1951 tentang Pemberian
Renumerasi yang sama bagi pekerja perempuan dan pekerja laki-laki untuk pekerjaan
yang sama nilainya, dengan UU No. 80 Tahun 1957.  Indonesia juga telah
meratifikasikan Konvensi No.111 Tahun 1958 tentang Larangan Diskriminasi di Bidang
Pekerjaan dan Jabatan dengan Undang-undang No. 21 tanggal 7 Mei 1999. Konvesi ini
memuat ketentuan berikut :
1) Tiap negara menyusun peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional yang
menjamin persamaan kesempatan dan perlakukan dalam pekerjaan dan jabatan,
termasuk kesempatan kerja tertentu, dan kondisi kerja.
2) Harus dihilangkan setiap bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis
kelamin, agama, aliran politik, dan suku.

Bab 10
ETIKA PRODUKSI DAN PEMASARAN KONSUMEN

1. Pasar dan Perlindungan Konsumen


Dalam konsep pendekatan pasar persaingan bebas, pasar bebas mendukung
alokasi penggunaan, dan distribusi barang-barang yang dalam artian tertentu secara
adil, mengharagai hak dan kewajiban serta nilai utilitas maksimum bagi para pengguna
pasar atau yang berpartisipasi dalam pasar. Dari uraian tersebut maka dapat dijelaskan
bahwa dalam pasar, perilaku konsumen akan dipengaruhi oleh keinginan dari para
konsumen. Produsen yang mampu memenuhi keinginan para konsumen akan
memperoleh insentif dengan kenaikan tingkat penjualan produknya dan begitu pula
sebaliknya.
“Konsumen, dengan cita rasa mereka yang diekspresikan dalam pilihan atas
produk, mengarahkan bagaimana sumberdaya masyarakat disalurkan.”
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dalam pasar perlindungan konsumen adalah
suatu komoditi yang amat penting yang menjadi perhatian dan prioritas dari para
produsen. Produk yang yang lebih aman akan menjadi preferensi oleh konsumen di
mana para konsumen berani membayar lebih untuk itu.
Tujuh karakteristik pasar yang mampu memberikan keuntungan yang secara utuh
terhadap konsumen, antara lain:
a.    Banyak pembeli dan penjual
b.    Semua orang bebas keluar masuk pasar
c.    Semua orang memiliki informasi yang lengkap
d.    Semua barang di pasar sama
e.    Tidak ada biaya ekternal
f.     Semua pembeli dan penjual adalah pemaksimalan utilitas
g.    Pasar tidak diatur
Namun pada orientasinya, kondisi pasar tidaklah tergambar sedemikian adanya, contoh
pada point c, tidak semua orang memiliki informasi yang relevan terhadap kegunaan
barang yang dibeli ataupun akibat-akibat yang mungkin terjadi akibat pemakaian produk
tersebut. Fakta lain adalah masalah yang terdapat pada option a, yaitu banyaknya para
penjual dan pembeli di pasar. Hal ini memang benar adanya, tetapi ada beberapa hal
yang tidak bisa diabaikan dengan menutup mata bahwa sebagian besar pasar adalah
pasar yang bersifat monopoli atau oligoli. Hal ini yang menjadi penyangkal bahwa terjadi
pasar bebas yang mampu menciptakan keadilan bagi para konsumen.
2. Pandangan Kontrak Kewajiban Produsen Terhadap
Konsumen
Menurut pandangan kontraktual tentang usaha bisnis terhadap konsumen, hubungan
antara perusahaan dan konsumen merupakan hubungan kontraktual, dan kewajiban
moral perusahaan pada konsumen adalah seperti yang diberikan dalam hubungan
kontraktual.
Teori kontraktual kewajiban perusahaan terhadap konsumen mengklaim bahwa
perusahaan memiliki empat kewajiban moral utama:
1) Mematuhi isi perjanjian penjualan dan kewajiban sekunder
2) Memahami sifat produk
3) Menghindari misrepresentasi
4) Menghindari penggunaan atau paksaan atau pengaruh
3. Kewajiban Untuk Mematuhi
Kewajiban moral paling dasar perusahaan terhadap konsumen menurut pandangan
kontrak adalah kewajiban untuk memberikan suatu produk dengan karakteristik persis
seperti yang dinyatakan perusahaan, yang mendorong konsumen untuk membuat
kontrak dengan sukarela dan yang membentuk pemahaman konsumen tentang apa yang
disetujui akan dibelinya. Selain itu kewajiban tambahan yang harus di berikan oleh para
produsen adalah pihak produsen berkewajiban memenuhi klaim yang di buatnyatentang
prduk tersebut, maksudnya para produsen berkewajiban memastikan bahwa informasi
kegunaan produk telah sampai dan sesuai dengan interpretasi yang diharapkan pada
polapikir konsumen sehingga tidak terjadi salah arti.
Klaim terbuka atau klaim tidak langsung yang dimaksud adalah bahwa produk yang
diberikan oleh para produsen terhadap konsumen telah memenuhi kualitas beberapa
factor yang mencakup:
1) Reliabilitas atau keandalan
Faktor reliabilitas. Klaim ini mengacu pada tingkat probabilitas keefektifan produk
akan berfungsi seperti yang diharapkan konsumen.
2) Masa penggunaan
Klaim ini mengacu pada periode di mana suatu produk berfungsi secara efektif
seperti yang telah diharapkan oleh konsumen.
3) Kemudahan pemeliharaan
Faktor kemudahan pemeliharaan. Klaim ini berkaitan tentang bagaimana cara
memperbaiki suatu produk dan menjaganya agar tetap berfungsi dengan baik.
4) Keamanan
Faktor Keamanan produk. Klaim ini berorientasi pada tingkat resiko ynag
berkaitang dengan penggunaan suatu produk.
4. Kewajiban Untuk Mengungkapkan
Pada dasarnya suatu perjanjian tidak dapat mengikat jika hanya pihak-pihak yng
terkait mengetahui atas apa yang mereka lakukan dan melakukannya dengan sukarela.
Hal ini mengimplikasikan bahwa penjual yang membuat penjanjian dengan konsumen
haruslah mengungkapkan dengan tepat apa yang akan dibeli oleh para konsumen dan
apa saja syarat penjualannya.
Pada tingkat minimum standart dapat diartikan bahwa produsen atau penjual
berkewajiban untuk mengungkapkan secar jelas tentang deskripsi produk yang nantinya
dapat di jadikan gambaran oleh konsumen sebagai pertimbangan yang mempengaruhi
konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli produk tersebut.
5. Kewajiban Untuk Tidak Memberikan Gambaran Yang Salah
Dalam hal ini produsen berkewajiban untuk tidka melakukan misrepresentasi terhadap
penggambaran produk sehingga menyebabkan kesalahan pemahaman oleh konsumen
yang berpengaruh pada pengambilan keputusan konsumen untuk membeli barang
tersebut.
6. Kewajiban Untuk Tidak Memaksa
Kewajiban ini menititikberatkan pada produsen untuk tidak memberikan tekanan secara
emosional sehingga menimbulkan pemikiran yang tidak rasional pada benak konsumen
dan akhirnya menyebabkan konsumen membeli produk tersebut tanpa adanya tingkat
kebutuhan yang relevan.
7. Kelemahan Teori Kontraktual
Kelemahan teri kontraktual ini diasumsikan bahwa tidak ada mata rantai yang secara
langsung terhubung antara produsen dan konsumen. Hal ini didasari bahwa mata rantai
antara produsen dan para konsumen terputus oleh distributor sehingga tidak dapat
diklaim bahwa produsen secara langsung dapat membuat dengan para konsumennya.
Kelemahan kedua adalah bahwa dalam keputusan pembelian barang tersebut, para
konsumen tidak selalu menggunakan pertimbangan atas nilai manfaaat dari produk
tersebut, sehingga hal ini dapat membebaskan para produsen dalam
mempertanggungjawabkan nilai utilitas barang tersebut.
Kelemahan ketiga. Dalam suatu perjanjian maka disyaratkan bahwa kedudukan
antara produsen atau penjual dengan para konsumen adalah sejajar, tapi dalam
kenyataannya tidaklah sepeti itu. Kedudukan sejajar diartikan bahwa kedua belah pihak
memiliki keahlian yang sama dalam melakukan penilaian terhadap barang tersebut.
Masalah yang terjadi adalah pada sisi konsumen di mana konsumen tidaklah mengetahui
secara utuh terhadap produk tersebut, sehingga menyebabkan konsumen cenderung
tidak memilki waktu untuk melakukan pengolahan informasi tentang produk tersebut
sehingga keputusan yang dibuat untuk membeli barang tersebut menjadi tidak berdasar.

Bab 11
ETIKA IKLAN

A. Etika dan Tata Krama dalam Periklanan


Untuk mempromosikan produknya, iklan dibuat dengan dramatis sehingga
menonjolkan kelebihan dari produknya saja dan iklan tersebut ditayangkan tidak bisa
hanya untuk target marketnya saja (secara khusus dan langsung), tetapi pasti ditonton
atau dilihat oleh banyak kalangan (seluruh masyarakat bahkan yang bukan target
marketnya). Oleh karena itu, dalam periklanan, harus mempunyai etika dan tata
krama agar dapat diterima oleh masyarakat dan tidak menjadi iklan yang kontroversial.
Di sisi lain disampaikan, Apakah Etika itu? Etika adalah ilmu tentang hal yang baik
maupun hal yang buruk dan tentang hak dan kewajiban dalam bermoral (Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia). Bisa juga diartikan pada kasus ini, etika dalam periklanan
adalah ilmu yang membahas tentang baik atau buruk, hak dan kewajiban yang berkaitan
dengan periklanan. Ada tiga unsur yang dapat menentukan apakah sebuah iklan itu baik
atau tidak yaitu : (1) Etis yaitu yang berkaitan dengan kepantasan sebuah iklan; (2)
Estetis karena berkaitan dengan kelayakan yaitu apakah iklan tersebut layak untuk target
marketnya dan apakah jadwal tayangnya iklan tersebut layak; dan (3) Artistik yaitu yang
mengandung nilai seni yang tinggi (estetika) sehingga mengundang perhatian
masyarakat.
Sedangkan Tata Krama adalah kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam
lingkungan pergaulan antar manusia setempat. Tata Krama terdiri atas tata dan krama.
Tata berarti adat, aturan, norma, peraturan. Krama berarti sopan santun, kelakuan
tindakan, perbuatan. Dengan demikian, tata krama berarti adab sopan santun, kebiasaan
sopan santun, atau sopan santun itu sendiri.
 Jumlah tayangan iklan-iklan komersial dewasa ini semakin meningkat, baik di
media massa konvensional (televisi, radio, koran, majalah, dsb) maupun di media non
konvensional. Iklan kini telah digunakan sebagai main campaign atau kampanye utama
dalam memasarkan suatu produk atau jasa. Para pemasar pun tidak segan-segan
mengeluaran uang berjuta-juta  bahkan bermilyar-milyar hanya agar produk mereka di
kenal oleh audiens atau masyarakat luas. Sebab, mereka beranggapan bahwa iklan
adalah alat yang paling efektif untuk membujuk audiens agar menentukan suatu pilihan
kepada merek produk tertentu.
Secara umum, iklan berwujud penyajian informasi nonpersonal tentang suatu produk,
merek, perusahaan, atau toko yang dijalankan dengan kompensasi biaya tertentu. Maka dari
itu, iklan berupa proses komunikasi yang memiliki tujuan membujuk atau menarik orang
banyak untuk mengambil tindakan yang menguntungkan pihak yang membuat iklan. Iklan
memiliki peranan yang sangat penting karena sebagai ujung tombak dalam komunikasi
pemasaran. Oleh sebab itu, dalam iklim kompetisi bisnis seperti sekarang ini, tidaklah
mengherankan apabila iklan sering disalahgunakan. Maksudnya adalah iklan digunakan
untuk menyampaikan pesan-pesan yang sifatnya tidak normatif atau menyalahi
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI), Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun
Tata Krama Asosiasi Profesi.
Hal ini diperkuat dengan beberapa kasus pelanggaran iklan yang temuan oleh
Komisi Periklanan Indonesia (KPI) yang bernaung di bawah Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (PPPI). Kasus pelanggaran tersebut banyak terdapat pada iklan-
iklan  produk-produk kesehatan, baik itu obat, suplemen, minuman kesegaran, ataupun
produk- produk lainnya. Melihat kenyataan di atas, seharusnya audiens bisa lebih
bersikap kritis dalam membaca iklan. Sebab hingga saat ini, masih banyak iklan yang
diduga telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam Etika Pariwara Indonesia. Oleh
sebab itu, Etika Pariwara Indonesia harus ditegakkan.
Hal ini bertujuan untuk menjaga budaya bangsa dan kepentingan masyarakat luas
seiring maraknya sikap individualis dan materialis sebagai dampak dari modernisasi.
Kesadaran menerapkan tatanan etika dengan mengacu pada Etika Pariwara Indonesia
adalah wujud pemberdayaan pelaku dan industri  periklanan sendiri untuk ikut melindungi
budaya bangsa (Habib, 2006). Etika Pariwara Indonesia harus menjadi pedoman utama
bagi para pelaku dalam industri periklanan, sehingga hasil kerja mereka bisa sesuai
dengan nilai dan norma yang dianut masyarakat. Sebagai pendukungnya, partisipasi dari
berbagai pihak juga sangat diperlukan. Produsen harus memberikan data dan informasi
yang benar tentang produknya kepada biro iklan. Sedangkan biro iklan menyajikan data
dan informasi tersebut melalui kreativitasnya dengan memperhatikan situasi dan kondisi
masyarakat. Media massa berperan menyaring iklan yang akan ditayangkan.
Selain itu, sejumlah asosiasi pendukung Etika Pariwara Indonesia, juga  berperan
dalam memberi masukan dan kritikan terhadap proses penegakan Etika Pariwara
Indonesia. Namun yang terpenting adalah peran konsumen sendiri. Sebab, pada
dasarnya iklan hanya memberi preferensi dalam menentukan keputusan pembelian.
B. Tata Krama Periklanan
Berikut ini adalah tata karma periklanan yang diatur dalam Etika Pariwara Indonesia
(EPI). Diatur berdasarkan isi iklan dan ragam iklan.
1. Isi Iklan
1. Hak Cipta 
Penggunaan, penyebaran, penggandaan, penyiaran atau pemanfaatan lain materi
atau bagian dari materi periklanan yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis
dari pemilik atau pemegang merek yang sah.
2. Bahasa 
Iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya,
dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran
selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut. Iklan tidak
boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau
kata-kata berawalan “ter“, dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas
menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan
tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. 
2. Tanda Asteris (*) 
Tanda pada iklan di media cetak tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan,
menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas,
kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang
ketidaktersediaan sesuatu produk. Tanda asteris pada iklan di media cetak hanya
boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu
pernyataan yang bertanda tersebut.
3. Penggunaan Kata ”Satu-satunya” 
Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “satu-satunya” atau yang bermakna
sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi
yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan
dipertanggungjawabkan.
4. Pemakaian Kata “Gratis”
Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam
iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang
dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.
5. Pencantum Harga 
Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan
dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya
dengan harga tersebut.
6. Garansi 
Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk,
maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
7. Janji Pengembalian Uang (warranty) 
Jika suatu iklan menjanjikan pengembalian uang ganti rugi atas pembelian suatu
produk yang ternyata mengecewakan konsumen, maka:
a) Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan
lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka
waktu berlakunya pengembalian uang.
b) Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah
diiklankannya.
8. Rasa Takut dan Takhayul
Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun
memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
9. Kekerasan
Iklan tidak boleh–langsung maupun tidak langsung–menampilkan adegan
kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya
tindakan kekerasan.
10. Keselamatan
Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan,
utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.
11. Perlindungan Hak-hak Pribadi
Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu
memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang
bersifat massal, atau sekadar sebagailatar, sepanjang penampilan tersebut tidak
merugikan yang bersangkutan.
12. Hiperbolisasi 
Boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik
perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal,
sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya.
13. Waktu Tenggang (elapse time) 
Iklan yang menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk dalam
jangka waktu tertentu, harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu
tersebut.
14. Penampilan Pangan 
Iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang
tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman.
15. Penampilan Uang
Penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan
norma-norma kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun
pelecehan yang berlebihan.
16. Kesaksian Konsumen (testimony) 
Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan
mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas. Kesaksian
konsumen harus merupakan kejadian yang benarbenar dialami, tanpa maksud
untuk melebih-lebihkannya.
17. Anjuran (endorsement) 
Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak diperbolehkan
mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.
18. Perbandingan 
Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber
dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset
tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi.
19. Perbandingan Harga
Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk,
dan harus disertai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.
20. Merendahkan
Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak
langsung.
21. Peniruan 
Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa
sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau
membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau
alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi
termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan,
komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau
atribut khas lain, dan properti.
22. Istilah Ilmiah dan Statistik 
Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistic untuk
menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan.
23. Ketiadaan Produk 
Iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya produk
yang diiklankan tersebut.
24. Ketaktersediaan Hadiah 
Iklan tidak boleh menyatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata lain
yang bermakna sama.
25. Pornografi dan Pornoaksi 
Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun,
dan untuk tujuan/alasan apa pun.
26. Khalayak Anak-anak 
Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak
anak-anak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang
tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-
kata “Bimbingan Orangtua” atau simbol yang bermakna sama.
2. Ragam Iklan
Berdasarkan tujuannya, iklan dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Iklan Komersial
Iklan Komersial atau bisnis memiliki tujuan untuk mencari keuntungan ekonomi,
yang utamanya meningkatkan penjualan. Iklan komersial ini bisa dibagi lagi
menjadi : (1) Iklan konsumen, dimaksudkan untuk mencari keuntungan bisnis, di
mana pesan atau isinya iklan ditujukan kepada konsumen akhir, yaitu yang
memakai terakhir suatu produk; (2) Iklan bisnis, yang disampaikan dengan
maksud mencari keuntungan ekonomi, sasaran pesan yang dituju yaitu lembaga
yang akan mengolah/menjual produk yang sudah diiklankan kepada konsumen
akhir, dan (3) Iklan professional, yang disampaikan dengan maksud mencari
keuntungan bisnis di mana khalayak sasarannya yaitu segmen khusus (para
professional).
2. Iklan non komersial
Iklan yang digunakan untuk menginformasikan, membujuk atau mendidik khalayak di
mana tujuan akhirnya bukan mencari keuntungan ekonomi, melainkan keuntungan
sosial. Keuntungan sosial di sini bisa diartikan sebagai tambahan ilmu, kesadaran
masyarakat terhadap perkara yang diiklankan, serta mencari citra bagus di mata
masyarakat.

Makalah ETIKA BISNIS :


“IKLAN DALAM ETIKA DAN ESTETIKA”

ABSTRAK
Penulisan yang berjudul “Iklan Dalam Etika dan Estetika“ ini membahas tentang
bagaimana seharusnya produsen mempromosikan suatu produk barang atau jasa kepada
konsumen dilihat dari sisi kepentingan perusahaan dan hak-hak konsumen. Makalah ini
dilatarbelakangi oleh penerapan etika dan estetika dalam iklan yang dilakukan sebuah
perusahaan untuk menarik perhatian konsumen. Hampir setiap hari kita dibanjiri oleh iklan
yang disajikan media-media massa, baik cetak maupun elektronik. Akibatnya seakan-akan
upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari untuk sebagian besarnya dikondisikan oleh
iklan. Memang, inilah sebenarnya peran yang diemban oleh iklan, yakni sebagai kekuatan
ekonomi dan sosial yang menginformasikan konsumen perihal produk-produk barang dan
jasa yang bisa dijadikan sebagai pemuas kebutuhan. Dalam peran seperti inilah, di mana
pun juga, kita bisa dengan mudah menemukan iklan-iklan mulai dari yang paling sekuler
sampai kepada informasi mengenai aktivitas-aktivitas keagamaan, perjalanan ziarah, dan
sebagainya.
  
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam dunia bisnis, iklan merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan untuk
menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Penekanan utama iklan adalah akses
informasi dan promosi dari pihak produsen kepada konsumen. Sebagai media, baik
yang berupa visual atau oral, iklan jenis punya tendensi untuk mempengaruhi khalayak
umum untuk mencapai target keuntungan.
Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang dimaksudkan
untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen, dengan kata lain
mendekatkan konsumen dengan produsen. Sasaran akhir seluruh kegiatan bisnis
adalah agar barang yang telah dihasilkan bisa dijual kepada konsumen. Secara positif
iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan barang dapat dijual
kepada konsumen.
Hampir setiap hari kita dibanjiri oleh iklan yang disajikan media-media massa, baik
cetak maupun elektronik. Akibatnya seakan-akan upaya pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari untuk sebagian besarnya dikondisikan oleh iklan. Memang, inilah sebenarnya
peran yang diemban oleh iklan, yakni sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang
menginformasikan konsumen perihal produk-produk barang dan jasa yang bisa dijadikan
sebagai pemuas kebutuhan. Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan kehilangan
nila-nilai normatifnya dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang dan jasa
demi profit yang semakin tingi dari para produsen barang dan jasa maupun penyedia
jasa iklan.
1.2  Rumusan Masalah
Bagaimana seharusnya produsen mempromosikan suatu produk barang atau jasa
kepada konsumen dilihat dari sisi kepentingan perusahaan dan hak-hak konsumen.
1.3  Batasan masalah
Batasan masalah penulisan ini adalah hanya terbatas membahasbagaimana seharusnya
produsen mempromosikan suatu produk barang atau jasa kepada konsumen dilihat dari
sisi kepentingan perusahaan dan hak-hak konsumen.
1.4  Tujuan Penulisan      
Mengetahui bagaimana seharusnya produsen mempromosikan suatu produk barang
atau jasa kepada konsumen dilihat dari sisi kepentingan perusahaan dan hak-hak
konsumen.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Etika


Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata 'etika'
yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu
: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak, watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya
istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara
etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik,
karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan
susunannya menjadi seperti berikut :
a. nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang
Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan
etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai
ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
b. kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh :
Kode   Etik Jurnalistik
c. ilmu tentang yang baik atau buruk.
2.2 Pengertian Iklan
Menurut Thomas M. Garret, SJ, iklan dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang
lewatnya pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud
menginformasikan atau memengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang
diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap
idea-idea, institusi-institusi tau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut. Untuk
membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi
iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada
khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang:
semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral
maupun bisnis.
Keuntungan dari adanya iklan yaitu :
a. Adanya informasi kepada konsumer akan keberadaan suatu produk dan “kemampuan”
produk tersebut. Dengan demikian konsumer mempunyai hak untuk memilih produk yang
terbaik sesuai dengan kebutuhannya.
b. Adanya kompetisi sehingga dapat menekan harga jual produk kepada konsumen. Tanpa
adanya iklan, berarti produk akan dijual dengan cara eksklusif  (kompetisisi sangat
minimal) dan produsen bisa sangat berkuasa dalam menentukan harga jualnya.
c. Memberikan subsidi kepada media-massa sehingga masyarakat bisa menikmati media-
massa dengan biaya rendah. Hampir seluruh media-massa “hidup” dari iklan (bukan dari
penghasilannya atas distribusi media tersebut). Munculnya media-media gratis
memperkuat fakta bahwa mereka bisa mencetak dan mendistribusikan media tersebut
karena adanya penghasilan dari iklan.
2.3 Pengertian Konsumen dan Hak Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Hak – hak konsumen antara lain :
1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa.
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

BAB III
METODE PENULISAN

Pada penulisan ini, informasi yang didapatkan oleh penulis bersumber dari internet
yang berkaitan dengan etika bisnis agar rumusan dan tujuan penulisan ini dapat terjawab.
Data dalam penulisan ini mengunakan data sekunder. Dimana pengertian Data Sekunder
adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada
(peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti
Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Fungsi Iklan Sebagai Pemberi Informasi dan Pembentuk Opini


A. Fungsi Periklanan
Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasar, antara penjual dan
calon pembeli. Dalam proses komunikasi iklan menyampaikan sebuah “pesan”. Dengan
demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberi informasi.
Tujuan terpenting adalah memperiklankan produk/jasa.
Fungsi iklan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu berfungsi memberi informasi dan
membentuk opini (pendapat umum).
a. Iklan berfungsi sebagai pemberi informasi
Pada fungsi ini, iklan merupakan media untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya
kepada masyarakat tentang produk yang akan atau sedang ditawarkan di pasar. Pada
fungsi ini, iklan memberikan dan menggambarkan seluruh kenyataan serinci mungkin
tentang suatu produk. Tujuannya agar calon konsumen dapat mengetahui dengan baik
produk itu, sehingga akhirnya memutuskan untuk membeli produk tersebut.
b. Iklan berfungsi sebagai pembentuk opini (pendapat umum)
Pada fungsi ini, iklan mirip dengan fungsi propaganda politik yang berupaya
mempengaruhi massa pemilih. Dengan kata lain, iklan berfungsi menarik dan
mempengaruhi calon konsumen untuk membeli produk yang diiklankan. Caranya dengan
menampilkan model iklan yang persuasif, manipulatif, tendensus dengan maksud
menggiring konsumen untuk membeli produk. Secara etis, iklan manipulatif jelas dilarang,
karena memanipulasi manusia dan merugikan pihak lain.
4.2. Beberapa Persoalan Etis Periklanan
a. Merongrong ekonomi dan kebebasan manusia.
b. Menciptakan kebutuhan manusia dengan akibat manusia modern menjadi konsumtif.
c. Membentuk dan menentukan identitas dan citra manusia modern.
d. Merongrong rasa keadilan sosial masyarakat.

Dari persoalan di atas, beberapa prinsip yang kiranya perlu diperhatikan dalam iklan,
sebagai berikut :
1) Iklan tidak boleh menyampaikan informasi yang palsu dengan maksud memperdaya
konsumen.
2) Iklan wajib menyampaikan semua informasi tentang produk tertentu, khususnya
menyangkut keamanan dan keselamatan manusia.
3) Iklan tidak boleh mengarah pada pemaksaan khususnya secara kasar dan terang-
terangan.
4) Iklan tidak boleh mengarah pada tindakan yang bertentangan dengan moralitas.
4.3 Makna Etika dan Estetika Dalam Iklan
Fungsi iklan pada akhirnya membentuk citra sebuah produk dan perusahaan di mata
masyarakat. Citra ini terbentuk oleh kesesuaian antara kenyataan sebuah produk yang
diiklankan dengan informasi yang disampaikan dalam iklan. Prinsip etika bisnis yang paling
relevan dalam hal ini adalah nilai kejujuran. Dengan demikian, iklan yang membuat
pernyataan salah atau tidak benar dengan maksud memperdaya konsumen adalah sebuah
tipuan.
Ciri-ciri iklan yang baik :
a. Etis: berkaitan dengan kepantasan.
b. Estetis: berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan harus
ditayangkan?).
c. Artistik: bernilai seni dan memenuhi nilai estetika sehingga mengundang daya tarik
khalayak.
Contoh Penerapan Etika dalam Periklanan :
a. Iklan rokok: Tidak menampakkan secara eksplisit orang merokok.
b. Iklan pembalut wanita: Tidak memperlihatkan secara realistis dengan memperlihatkan
daerah kepribadian wanita tersebut.
c. Iklan sabun mandi: Tidak dengan memperlihatkan orang mandi secara utuh.
Etika secara umum :
a. Jujur : tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan kondisi produk
b. Tidak memicu konflik SARA
c. Tidak mengandung pornografi
d. Tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
e. Tidak melanggar etika bisnis, contoh: saling menjatuhkan produk tertentu dan
sebagainya.
f. Tidak plagiat.
4.4 Kebebasan Konsumen
 Iklan merupakan suatu aspek pemasaran yang penting, sebab iklan menentukan
hubungan antara produsen dengan konsumen. Secara konkrit, iklan menentukan pula
hubungan penawaran dan permintaan antara produsen dan pembeli, yang pada
gilirannya ikut pula menentukan harga barang yang dijual dalam pasar.
Kode etik periklanan tentu saja sangat diharapkan untuk membatasi pengaruh iklan
ini. Akan tetapi, perumusan kode etik ini harus melibatkan berbagai pihak, yang antara
lain: ahli etika, konsumen (lembaga konsumen), ahli hukum, pengusaha, pemerintah,
tokoh agama, dan tokoh masyarakat tertentu, tanpa harus merampas kemandirian profesi
periklanan. Yang juga penting adalah bahwa profesi periklanan dan organisasi profesi
periklanan perlu benar-benar mempunyai komitmen moral untuk mewujudkan iklan yang
baik bagi masyarakat. Namun, jika ini tidak memadai, kita membutuhkan perangkat legal
politis dalam bentuk aturan perundang-undangan tentang periklanan beserta sikap tegas
tanpa kompromi dari pemerintah melalui departemen terkait untuk menegakkan dan
menjamin iklan yang baik bagi masyarakat.
4.5  Prinsip Moral yang Perlu dalam Iklan
1. Prinsip Kejujuran
Prinsip ini berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali
dilebih-lebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan
barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan
menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan di sini adalah bahwa isi iklan
yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya
dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi
logis, adalah upaya manipulasi dengan motif apa pun juga.
2. Prinsip Martabat Manusia sebagai Pribadi
Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin
ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutan imperatif (imperative requirement).
Iklan semestinya menghormati hak dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih
secara bertanggung jawab barang dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan
dengan dimensi kebebasan yang justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat
manusia sebagai pribadi. Maka berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih
apa pun, setiap orang seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab
memilih untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.
Yang banyak kali terjadi adalah manusia seakan-akan dideterminir untuk memilih
barang dan jasa yang diiklankan, hal yang membuat manusia jatuh ke dalam sebuah
keniscayaan pilihan. Keadaan ini bisa terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini
dikemas sebegitu rupa sehingga menyaksikan, mendengar atau membacanya segera
membangkitkan “nafsu” untuk memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust),
kebanggaan bahwa memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial
dalam masyarakat, dll.
3. Iklan dan Tanggung Jawab Sosial
Meskipun sudah dikritik di atas, bahwa iklan harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan
baru karena perananya yang utama selaku media informasi mengenai kelangkaan
barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, namun dalam kenyataannya sulit dihindari
bahwa iklan meningkatkan konsumsi masyarakat. Artinya bahwa karena iklan
manusia “menumpuk” barang dan jasa pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan
merupakan kebutuhan primer. Penumpukan barang dan jasa pada orang atau
golongan masyarkat tertentu ini disebut sebagai surplus barang dan jasa pemuas
kebutuhan. Menyedihkan bahwa surplus ini hanya dialami oleh sebagai kecil
masyarakat. Bahwa sebagian kecil masyarakat ini, meskipun sudah hidup dalam
kelimpahan, toh terus memperluas batasa kebutuhan dasarnya, sementara mayoritas
masyarakat hidup dalam kemiskinan.
Di sinilah kemudian dikembangkan ide solidaritas sebagai salah satu bentuk tanggung
jawab sosial dari iklan. Berhadapan dengan surplus barang dan jasa pemuas
kebutuhan manusia, dua hal berikut pantas dipraktekkan. Pertama, surplus barang
dan jasa seharusnya disumbangkan sebagai derma kepada orang miskin atau
lembaga/institusi sosial yang berkarya untuk kebaikan masyarakat pada umumnya
(gereja, mesjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dll). Tindakan karitatif semacam
ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kehidupan cultural masyarakat akan
semakin berkembang. Kedua, menghidupi secara seimbang pemenuhan kebutuhan
fisik, biologis, psikologis, dan spiritual dengan perhatian akan kebutuhan masyarakat
pada umumnya. Perhatian terhadap hal terakhir ini bisa diwujudnyatakan lewat
kesadaran membayar pajak ataupun dalam bentuk investasi-investasi, yang tujuan
utamanya adalah kesejahteraan sebagian besar masyarakat.
4.6 Contoh Kasus Etika Periklanan
1. Iklan yang tidak beretika
a. Iklan Fren versi : “Nelpon Pake Fren Bayarnya Pake Daun”
Pembahasan:
Persaingan sengit antara para penyedia layanan kartu seluler tampaknya sudah
memasuki suatu dimensi baru. Perang tarif dan perang ikon menjadi sesuatu
yang lumrah, dan lagi-lagi masyarakat yang menjadi tujuan peperangan tersebut.
Fren, salah satu penyedia layanan kartu seluler beberapa waktu lalu
mengeluarkan sebuah iklan yang menampilkan seorang wanita hanya
mengenakan daun dan ditemani beberapa pria yang juga hanya mengenakan
daun.
Setidaknya ada 2 hal di iklan itu yang menjadi bahan perdebatan :
1. Iklan ini menempatkan seorang wanita muda hanya mengenakan daun, dan ada
tiga pria yang juga hanya mengenakan daun di belakangnya. Iklan ini tidak
mendidik. Iklan ini jelas termasuk iklan yang mengeksploitasi seksual. Apa
salahnya bila wanita dan tiga pria itu mengenakan pakaian yang pantas?
2. YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) juga mempermasalahkan slogan
dari Fren, “Nelpon Pake Fren Bayarnya Pake Daun”. YLKI berpendapat daun
bukan merupakan alat pembayaran yang sah.
b. Iklan Mie Sedaap versi: “Bermain Bola”
Pembahasan :
Dengan menggunakan beberapa anak kecil sebagai model dalam iklan tersebut
sehingga dapat menarik perhatian pemirsa untuk membeli produk baru yang
dikeluarkan oleh Mie Sedaap. Isi dari iklan ini adalah di mana beberapa anak
kecil yang sedang bermain sepak bola di lapangan tanpa sengaja memecahkan
kaca rumah milik seseorang di dekat lapangan tersebut. Pemilik rumah muncul
dan memarahi anak-anak tersebut namun, anak-anak tersebut berusaha berdalih
bahwa mereka sedang melakukan senam yoga. Kemudian, mereka bersama-
sama memakan Mie Sedaap Rasa Kari Ayam Spesial yang terbaru di sana
barulah anak-anak tersebut berbicara jujur sehingga salah satu anak dilempar
menggunakan bola.
Kritik iklan: saya mengkritik iklan tersebut karena saat pemilik rumah muncul dan
memarahi anak-anak itu mereka tidak mengakui perbuatan mereka sehingga
memberikan contoh yang buruk kepada orang lain yang menonton terutama
anak-anak karena mengajarkan anak-anak berbohong dan tidak bertanggung
jawab atas perbuatan yang dilakukan sehingga dapat memberikan dampak
negatif terhadap moral anak-anak bangsa Indonesia. Seharusnya iklan tersebut
dibuat menarik dengan tidak menggunakan unsur mengajari anak-anak untuk
berbohong, agar iklan tersebut dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
menontonnya.
2. Iklan yang beretika :
a. AXIS versi : Amir ” Layang-layang”
Begitu lihat iklan kartu GSM AXIS versi Amir “Layang-layang”, dibanding iklan
GSM yang lain, iklan Axis versi ini lebih kreatif, tidak muluk-muluk, tidak terlalu
obral janji, tidak ribet untuk dipahami karena iklannya sangat simpel, dan tidak
mengejek kartu GSM lain, kalaupun ada transaksi di dalam iklannya (jual layang-
layang) itu menurut saya hanya menunjukkan kalau  “si punya” iklan kompetitif 
dengan produk sejenis di pasar.
b. Iklan Susu Nutrilon Royal  versi : “Life Starts Here”
Iklan yang menggambarkan keceriaan anak-anak dalam bermain dan
menunjukkan bahwa setiap anak berhak untuk bermimpi dan memiliki impian yang
berbeda-beda. Terdapat puisi yang indah, puisi ini bisa menjadikan motivasi buat
kita menjadi orang yang bisa akan meraih mimpi kita. Dan jika diterjemahkan bunyi
puisinya antara lain seperti ini:
Saya ingin menjalani hidup saya untuk sepenuhnya mutlak
Untuk membuka mata saya, untuk menjadi semua yang saya bisa
Untuk perjalanan jalan tidak diambil, untuk memenuhi wajah yang tidak diketahui
Untuk merasakan angin, menyentuh bintang-bintang
Aku berjanji untuk menemukan diri sendiri
Untuk berdiri tegak dengan kebesaran
Untuk memburu dan menangkap setiap mimpi.

BAB V
PENUTUP
5.1  Kesimpulan
Dalam periklanan kita tidak dapat lepas dari etika. Di mana di dalam iklan itu sendiri
mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia
tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan. Sebuah perusahaan
harus memperhatikan etika dan estetika dalam sebuah iklan dan terus memperhatikan hak-
hak konsumen.
5.2  Saran
Dalam penulisan ini penulis memberikan saran yaitu 
1) Seharusnya suatu iklan selain menarik juga harus mendidik karena bukan hanya orang
dewasa saja yang menonton iklan tersebut melainkan semua golongan masyarakat
mulai dari anak kecil hingga dewasa.
2) Dalam bisnis periklanan perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi
kerawanan tersebut sehingga tidak merugikan konsumen. Sebuah perusahaan harus
memperhatikan kepentingan dan hak-hak konsumen, dan tidak hanya memikirkan
keuntungan semata.

Daftar Referensi dan Pustaka


http://www.kompasiana.com/dewitrijayanti/iklan-yg-beretika-dan-tidak-beretika_html.

Tugas Terstruktur
Umpan Balik Ketuntasan Materi
Buatlah makalah yang memberikan contoh iklan yang beretika dan yang tidak beretika!

Anda mungkin juga menyukai