Dosen Pengajar :
Aloysius Oscar Yasunari, S.S., M.M.
Disusun oleh :
Kelompok 2
Raafi Indra Fadlika 6102201088
Abigail Kristi Ananda 602220101
Theresia Ashley 6052201081
Nayyara Sakha A.I 6052201342
Apriza Nugrah 6072201033
Samuel Kevin Natanael 6052201195
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang judul “Etika Deontologi” dengan lancar serta
selesai tepat waktu.
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Aloysius Oscar Yasunari, S.S M.M selaku
dosen mata kuliah Etika Dasar yang telah membantu dan membimbing kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki
makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
dalam memahami teori etika deontologi,
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I............................................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................................................4
1.3 Manfaat dan Tujuan Penelitian.................................................................................................................... 5
BAB II..............................................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................................................................ 6
2.2 Sistem Moral menurut Immanuel Kant....................................................................................................7
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Etika Deontologis......................................................................................9
2.4 Peran Etika Deontologi Dalam Kehidupan Sehari-Hari..................................................................10
2.5 Sistem Prima Facie......................................................................................................................................... 11
2.6 Contoh Kasus dalam Penerapan Etika Deontologi............................................................................12
BAB 3............................................................................................................................................................................13
PENUTUP................................................................................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................................................ 13
3.2 Saran.....................................................................................................................................................................13
LAMPIRAN.................................................................................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
Etika berasal dari bahasa Yunani etos yang berarti kebiasaan. Etika tidak pernah
berangkat dari titik nol melainkan sudah ada dalam masyarakat. Etika bertujuan untuk
memberi arahan dan membangun sikap kritis terhadap suatu tindakan. Maka dari itu etika
adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari suatu tindakan manusia, dipandang dari segi
kewajiban moral serta baik buruknya tindakan itu sehubungan dengan penyempurnaan
diri manusia sebagai manusia. Objek dalam mempelajari etika yaitu tindakan manusia yang
harus diteliti.
Etika mencermati tingkah laku manusia atau moralitas manusia. Terdapat beberapa
pendekatan ilmiah yang mempelajari tindakan manusia salah satunya etika normatif. Etika
normatif merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional dan dapat digunakan dalam praktik. Etika normatif memberikan
argumen-argumen mengapa tindakan tersebut baik dan wajib dilakukan. Terdapat etika
teleologisme yang menilai tindakan dengan memperhatikan aspek dampak (konsekuensi)
dan etika deontologis yang menilai tindakan dengan menekankan aspek motif (maksud,
kehendak, kemauan).
Etika deontologis yang dikenal sebagai etika kewajiban, menekankan bahwa
manusia memiliki kewajiban moral yang bersumber dari nilai intrinsik, sempurna, dan
mutlak. Dalam kerangka ini, tindakan dianggap baik karena merupakan kewajiban yang
harus dilakukan, tidak tergantung pada konsekuensi atau dampaknya. Dalam makalah ini
akan menjelaskan tentang etika deontologis secara mendalam dengan prinsip-prinsip
dasarnya. Dengan demikian, pembahasan mendalam ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang komprehensif mengenai etika deontologis dalam konteks tindakan
manusia.
1.2 Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Deontologi berasal dari kata Yunani yaitu “deon” yang berarti harus atau wajib
dilakukan. Mengutip penjelasan dari buku referensi Etika Dasar, deontologi menekankan
bagaimana manusia seharusnya bertindak terutama dalam situasi yang konkret dengan
cara melakukan apa yang menjadi kewajiban sesuai dengan norma dan nilai moral yang
ada. Menurut prinsip deontologi, suatu tindakan secara etis dibenarkan bukan atas dasar
motivasi pembuat keputusan atau tindakan tersebut, tetapi untuk memenuhi apa yang
dipahami sebagai kewajibannya dan merupakan bentuk ketaatan pada hukum atau
peraturan yang ada. Sehingga yang menjadi dasar baik atau buruknya suatu perbuatan
adalah kewajiban. Kewajiban itu bersifat mutlak, harus, dan tanpa pengecualian.
Tokoh dalam teori ini adalah Immanuel Kant. Teori ini menyatakan bahwa
konsekuensi yang lahir setelah perbuatan itu dilakukan adalah persoalan lain dan tidak
boleh menjadi pertimbangan. Suatu perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya
baik, melainkan hanya karena wajib dilakukan. Meskipun suatu perbuatan yang dilakukan
itu tujuannya baik, namun cara yang ditempuh salah maka tetap dianggap salah. Manusia
dikatakan melakukan sesuatu bukan semata-mata karena tindakan tersebut dianggap baik
atau buruk, tetapi karena nilai perbuatan tersebut. Penentu nilai baik suatu perbuatan
berdasarkan ciri-ciri atau sifatnya sendiri. Terdapat dua aliran dari teori deontologi yaitu
deontologi peraturan seperti etika peraturan dan deontologi tindakan seperti etika situasi.
Etika Situasi berbeda dengan etika peraturan. Etika peraturan menekankan suatu
sistem peraturan yang berlaku untuk semua orang tanpa pertimbangan pribadi mengenai
akibat perbuatan-perbuatan. Sedangkan etika situasi menolak semua norma umum dan
mengembalikan moralitas pada tanggung jawab individual setiap orang berdasarkan suatu
panggilan unik dalam setiap situasi. Setiap situasi unik tetapi selalu ada struktur dasar yang
tetap. Misalnya proses pembelajaran saat kuliah, meskipun situasi setiap minggunya
berbeda akan tetapi dosen,mahasiswa, dan bahasa yang dipakai sama. Maka keunikan
situasi itu tidak bersifat mutlak. Kekurangan dari etika situasi yaitu terlalu menekankan
keunikan manusia, jika tidak ada persamaan maka tidak dapat berkomunikasi.
Dalam mengukur suatu nilai moral, Immanuel Kant menjadikan “kehendak baik”
dan “kewajiban” sebagai alat tolak ukurnya. Artinya, suatu tindakan dapat dikatakan benar
apabila tindakan tersebut didasari oleh kehendak baik. Dapat dikatakan sebagai suatu
kehendak baik adalah ketika seseorang melakukan tindakan untuk memenuhi suatu
kewajiban yaitu berupa tindakan yang sesuai dengan norma - norma hukum moral. Dengan
demikian, jika seorang individu melakukan suatu tindakan dengan tujuan untuk memenuhi
kewajiban yang didasarkan pada norma - norma hukum moral atas kemauan yang berasal
dari dirinya sendiri, maka tindakan tersebut dapat dikatakan sudah mencapai suatu
moralitas.
Imperatif adalah bentuk kalimat atau verba yang mengungkapkan suatu perintah
atau keharusan juga larangan untuk melakukan suatu perbuatan.1 Imperatif kategoris
adalah suatu perintah tanpa adanya suatu syarat tertentu yang harus dipenuhi atau dapat
dikatakan sebagai perintah moral mutlak. Artinya imperatif ini menentukan bahwa
kehendak baik seseorang itu murni berasal dari dalam dirinya sendiri. Terdapat tiga hukum
universal yang tergolong menjadi imperatif kategoris.
Pertama adalah prinsip universal, artinya seorang individu bertindak sesuai dengan
suatu perintah yang diyakini benar dan berasal dari dirinya sendiri lalu dipenuhi oleh
dirinya sendiri dimana kemudian tindakan tersebut akan diikuti oleh orang lain. Kedua
adalah sikap hormat kepada sesama, artinya ketika seorang individu dalam melakukan
tindakannya melibatkan orang lain, maka individu tersebut tidak boleh memperalat
individu lain. Dalam pemenuhan perintah yang berasal dari kehendaknya, individu harus
menyadari adanya kesamarataan dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Ketiga adalah prinsip
otonomi kehendak, maksudnya adalah semua tindakan yang dilakukan oleh seorang
individu harus berasal atas keyakinannya sendiri tanpa adanya perintah yang datang dari
luar.
Imperatif hipotesis adalah suatu perintah yang diikuti dengan pemenuhan suatu
syarat tertentu atau memiliki suatu tujuan tertentu. Suatu tindakan akan dianggap baik
untuk menghendaki suatu tujuan yang diinginkan. Imperatif hipotesis terbagi menjadi
keharusan keterampilan yang bersifat teknis, seperti harus mengisi bahan bakar kendaraan
1
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, edisi keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 91.
ketika akan berkendara jauh. Juga keharusan kebijaksanaan pragmatis, seperti rajin
melakukan service kendaraan untuk menjaminnya keamanan.
Kedua memberi tolak ukur yang penting untuk menilai moralitas suatu tindakan.
Tindakan moral dikatakan benar didasarkan pada prinsip yang setuju dan berlaku untuk
semua orang, kapan pun dan dimana pun. Ketiga menjamin otonomi dan keluhuran
martabat manusia. Dalam hal ini etika deontologis menitik beratkan akal budi sebagai
sumber hukum yang wajib dan mutlak.
Selain itu kelemahan yang dimiliki etika deontologis. Pertama, tidak memberi
tempat pada delima moral dan jalan keluar jika terjadi konflik prinsip moral. Jika terdapat
suatu kondisi dimana pelaku wajib melakukan tindakan A sekaligus tindakan B. Namun, ia
tidak dapat melakukan keduanya sekaligus. Hal tersebut menunjukan keterbatasan sebagai
manusia tidak memungkinkan melakukan dua tindakan sekaligus. Etika deontologi tidak
banyak membantu karena hanya mengatakan bertindaklah sesuai dengan kewajibanmu.
Kedua, sulit diterima bahwa konsekuensi bisa diabaikan begitu saja dalam menilai
moralitas perbuatan. Wajib mengatakan kebenaran dalam situasi apapun juga dan tidak
boleh berbohong. Ketiga, imperatif kategoris terlalu kaku dan tidak membantu
mengartikan bahwa kewajiban yang secara konkret mengikat pelaku moral. Terdapat
kesan bahwa kita seolah-olah berkelakuan baik seolah-olah karena melakukan kewajiban.
Rupanya Kant tidak mengenal kebebasan eksistensial sebagai bentuk kebebasan yang
paling berharga di bidang moral.
Prima facie dalam bahasa Latin berarti "pada pandangan pertama". Dalam konteks
etika, prima facie mengacu pada suatu kewajiban yang dianggap benar dan baik pada
awalnya, tetapi dapat berubah berdasarkan situasi dan konteks tertentu. Dalam pandangan
deontologis, kewajiban prima facie adalah kewajiban yang berlaku secara langsung dan
umum, tanpa mempertimbangkan situasi dan konteks tertentu. Kewajiban-kewajiban
tersebut dianggap benar dan baik secara inheren, terlepas dari konsekuensinya.
Menurut William David Ross, ada tujuh kewajiban prima facie, yaitu kesetiaan, ganti
rugi, terima kasih, keadilan, berbuat baik, mengembangkan diri, dan tidak merugikan.
Kewajiban-kewajiban tersebut dapat saling bertentangan dalam suatu situasi tertentu.
Misalnya, seseorang yang berjanji untuk bertemu dengan temannya, tetapi kemudian
melihat seorang wanita yang sedang diserang oleh perampok. Dalam situasi ini, seseorang
tersebut memiliki kewajiban prima facie untuk menepati janjinya, tetapi juga memiliki
kewajiban prima facie untuk menolong wanita yang sedang dirampok.
Dalam hal ini, seseorang tersebut harus membuat keputusan yang sulit. Ia harus
mempertimbangkan kedua kewajiban prima facie tersebut dan memilih mana yang lebih
penting. Kesulitan dalam menentukan kewajiban prima facie yang lebih penting adalah
salah satu kelemahan dari pandangan deontologis. Menurut Ross, setiap manusia
mempunyai intuisi tentang kewajiban-kewajiban itu, artinya semua kewajiban itu berlaku
langsung bagi kita. Akan tetapi, kita tidak mempunyai intuisi tentang apa yang terbaik
dalam situasi konkret.
Untuk itu, kita perlu menggunakan akal budi. Kita harus mempertimbangkan setiap
2
kasus, manakah kewajiban yang paling penting. Manusia disebut sebagai Animal
Simbolicum yang berarti memiliki akal dan budi. Akal ini sendiri memiliki fungsi untuk
berfikir, kemampuan berfikir manusia mempunyai fungsi mengingat kembali apa yang
telah diketahui sebagai tugas dasarnya untuk memecahkan masalah dan akhirnya
membentuk tingkah laku. Lalu budi merupakan unsur rohani dalam kebudayaan. Budi
diartikan sebagai batin manusia, panduan akal dan perasaan yang dapat menimbang baik
buruk segala sesuatu. Manusia dalam menentukan pilihan memanfaatkan akal budi untuk
mencapai pemahaman holistik yang melibatkan pikiran, pengetahuan, dan pertimbangan
moral.
Prima facie merupakan kewajiban yang dianggap benar dan baik pada awalnya,
tetapi dapat berubah berdasarkan situasi dan konteks tertentu. Kewajiban prima facie
dapat saling bertentangan dalam suatu situasi tertentu, dan dalam hal ini, seseorang harus
membuat keputusan yang sulit untuk menentukan kewajiban yang lebih penting.
Penerapan Etika Deontologi dapat dilihat dari beberapa hal. Memahami bahwa etika
deontologi merupakan hal yang harus dilakukan yang berpatok kepada peraturan dapat
dicontohkan seperti mahasiswa UNPAR yang harus berada di kelas jika mengabsensi di
student portal, melaporkan jika sakit dengan mencantumkan surat sakit asli pada student
portal dan bukan surat sakit palsu, membuat tugas dengan hasil autentik sendiri dan bukan
hasil plagiarisme, dan banyak hal lagi yang harus berpatok pada peraturan.
2
Prihadi, S. (n.d.). Manusia Sebagai Animal Symbolicum.
https://spada.uns.ac.id/pluginfile.php/81454/mod_resource/content/1/TM%204-MANUSIA%20SBG%20ANIMAL
%20SIMBOLICUM.pdf
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etika deontologi merupakan salah satu sistem filsafat moral dalam menilai tindakan
manusia yang menjadi objek material dari etika. Etika deontologi menekankan bagaimana
manusia seharusnya bertindak terutama dalam situasi yang konkret dengan cara
melakukan apa yang menjadi kewajiban sesuai dengan norma dan nilai moral yang ada.
Suatu tindakan dapat dikatakan benar apabila didasari oleh kehendak baik.
Tidak hanya memberikan dasar kokoh rasionalitas dan objektivitas kesadaran
manusia, etika deontologi juga sebagai tolak ukur untuk menilai moralitas suatu tindakan.
Dalam kehidupan sehari-hari, etika deontologi mempunyai peran penting dalam
membimbing perilaku dan pengambilan keputusan. Individu dapat mengidentifikasi
tindakan berdasarkan aturan moral atau kewajiban tertentu sehingga membantu dalam
mengambil keputusan sesuai norma moral yang dianut.
Tetapi suatu kewajiban yang dianggap benar pada awalnya, dapat berubah
berdasarkan situasi dan konteks tertentu yang disebut prima facie. Menentukan kewajiban
prima facie merupakan salah satu kelemahan dari etika deontologis. Sebab setiap manusia
mempunyai instuisi tentang kewajiban tetapi tidak mempunyai instuisi mengenai apa yang
terbaik dalam situasi konkret. Kewajiban pima facie ini dapat bertentangan dalam situasi
tertentu sehingga seseorang harus membuat keputusan yang sulit untuk menentukan
kewajiban yang lebih penting.
3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai etika deontologi, pembaca dapat
lebih memahami dalam mengenai sistem filsafat moral etika deontologi. Etika deontologi
juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan menjadikannya sebagai suatu
tumpuan bagi manusia dalam melakukan suatu tindakan. Untuk penulis selanjutnya,
diharapkan dapat lebih mendalami pembahasan mengenai etika deontologi terutama
dalam keterkaitannya dengan isu-isu sosial yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Weruin, Ura Urbanus. 2019. Teori-Teori Etika dan Sumbangan Pemikiran Para Filsuf
Bagi Etika Bisnis. Jurnal Muara Ilmu Ekonomi dan Bisnis FE Universitas Tarumanagara,
3(2), 318-320.
Kekuatan dan Kelemahan Etika Deontologis. (2020, September 13). JPIC-OFM Indonesia.
https://jpicofmindonesia.org/2020/09/kekuatan-dan-kelemahan-etika-deontologis
https://spada.uns.ac.id/pluginfile.php/81454/mod_resource/content/1/TM%204-
MANUSIA%20SBG%20ANIMAL%20SIMBOLICUM.pdf
Fatah, Raden. ETIKA MENURUT IMMANUEL KANT , November 19, 2023, 20–27.
LAMPIRAN