Anda di halaman 1dari 3

Teori Etika

Salah satu fungsi penting teori adalah memberikan penjelasan tentang gejala-gejala, baik
bersifat alamiah maupun bersifat sosial. Pemenuhan fungsi itu tidak hanya dilakukan dengan
mengemukakan, melukiskan gejala-gejala, melainkan disertai dengan keterangan tentang gejala
tersebut baik dengan membandingkan, mengidentifikasi, menghubungkan, memilah-milah, atau
mengombinasikannya satu dengan lainnya.

Kebutuhan akan etika memaksa manusia untuk lebih memperdalam dan mencari apa,
bagaimana dan untuk siapa seharusnya dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan hal
yang harus dijawab melalui pengkajian lebih lanjut. Dalam mempelajari etika, perlu rasanya
untuk kita mengetahui berbagai latar belakang mengapa etika tersebut muncul, dan mengapa
menjadi suatu keharusan yang harus dilakukan. Seperti layaknya Anda berhubungan dan
berhadapan dengan orang tua, rasanya tidak mungkin Anda bertindak sesuka hati dan semaunya
sendiri seperti layaknaya kepada sesama teman.

Walaupun bukan merupakan suatu keharusan untuk mengetahui, namun dalam pembelajaran
etika ada yang baik adalah mengetahui asal mula lahirnya dalam konsep atau teori yang
dikemukakan oleh para ahli yang dewasa ini dianggap sangat penting dan dijadikan rujukan
dalam pembelajaran etika. Dalam bagian ini akan dikupas secara singkat teori- teori yang
mendasari dari lahirnya klasifikasi etika.

1. Teori Teleologi,

Etika Teleologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu telos yang berarti tujuan, maksudnya
mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan
itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Semisal, berbohong adalah
suatu perbuatan yang tidak baik dan tidak dibenarkan bila dinilai dalam konteks nilai kewajaran,
namun tidak demikian dalam teleologi. Berbohong bisa menjadi suatu tindakan yang dibenarkan.
Istilah teleologi pertama kali dikemukakan oleh Christian Wolff, seorang filsuf Jerman pada
abad ke-18. Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan
keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-
hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan.

Teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan tindakan atau perbuatan, melainkan
lebih kepada tujuan dan akibat dari tindakan tersebut (walaupun Anda mengenal mana yang
benar dan mana yang salah). Kalau tujuannya baik, maka tindakan yang tidak baik pun akan
dinilai sebagai tindakan yang baik. Seperti, seorang yang berbohong demi menyelamatkan orang
lain yang sedang terancam jiwanya oleh seorang preman, karena apabila ia berkata jujur orang
tersebut punya uang akan terancam nyawanya. Preman tersebut akan mendatanginya untuk
segera mengambil uang, melukai bahkan akan membunuh korbannya. Atau seorang dokter yang
berbohong atas penyakit pasiennya, agar pasien tersebut tidak mengalami tekanan (stres) atas
penyakitnya yang berat maka sang dokter terpaksa berbohong dengan mengatakan sang pasien
hanya sekadar menderita penyakit yang ringan saja dengan tujuan sang pasien cepat sembuh.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat
suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Maka dalam pendekatan etika
teleologi terdapat faktor yang membagi etika tersebut dalam dua hal berikut:

a. Egoisme, merupakan perilaku yang dapat diterima tergantung pada konsekuensinya. Inti
pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk
mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu- satunya tujuan tindakan moral setiap
orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Rachels (2004)
memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme, yaitu egoisme psikologis dan
egoisme etis.

Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika
kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yang
bersifat vulgar. Memaksimalkan kepentingan kita terkait erat dengan akibat yang kita terima.
Dalam dimensi filsafat moral, egoisme etis ini berseberangan dengan altruisme yang
mementingkan orang banyak. Altruisme ini senantiasa memikirkan dampaknya bagi orang lain
ketika ia memilih suatu tindakan. Bahkan terkesan ekstrem dengan slogan, "Hidupku untuk
orang banyak". Contoh dari egoisme etis ini adalah pengusaha rokok. Mengapa demikian?
Rokok merupakan barang yang banyak dikonsumsi oleh orang. Berbisnis rokok merupakan
tindakan yang menjanjikan keuntungan sangat tinggi, karena di Indonesia lebih dari 90 juta jiwa
menghisap rokok dan Indonesia merupakan peringkat pertama dalam juara menghisap rokok
(Republika.co.id). Jika bahaya rokok dapat mengakibatkan kanker, impotensi dan gangguan
janin hingga menghilangkan nyawa, tetapi pengusaha rokok tetap saja menjalankan bisnisnya.

b. Utilitarianisme, berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris utility yang
berarti bermanfaat. Dengan demikian, semakin tinggi kegunaannya maka semakin tinggi
nilainya. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu
harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan, istilah
yang sangat terkenal "the greatest happiness of the greatest numbers". (kebahagiaan terbesar dari
jumlah orang yang terbesar). Artinya, perbuatan yang dapat menyebabkan orang puas dan senang
adalah perbuatan yang terbaik. Utiliarisme bertolak belakang dengan egoisme. Perbedaan paham
utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memeroleh manfaat.
Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme
melihat dari sudut kepentingan orang banyak (kepentingan bersama, kepentingan masyarakat)
2. Teori Deontologi.

Teori Deontologi, yaitu berasal dari bahasa Yunani, "Deon" berarti tugas dan "logos"
berarti pengetahuan. Sehingga etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak
secara baik. Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibatnya atau
tujuan baik dari tindakan yang dilakukan, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai
baik pada diri sendiri. Dengan kata lainnya bahwa tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu
dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu.

3. Teori Hak

Dalam pemikiran moral dewasa ini mungkin teori hak ini adalah pendekatan yang paling
banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak
merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan
kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan
martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran
demokratis.

4. Teori Keutamaan (Virtue)

Memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan
tertentu adil, atau jujur,atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai
berikut "disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah
laku baik secara moral".

Adanya teori-teori di atas merupakan kerangka berpikir yang menunjukkan panduan kepada
manusia atas etika yang diberlakukan maupun yang diterapkan pada setiap keadaan. Hal tersebut
dapat menjadikan proses dalam berbisnis berjalan dengan baik, walaupun bukan merupakan
suatu garansi yang bersifat mutlak. Faktor-faktor lain pun memiliki andil yang tidak kalah
pentingnya dalam implementasi bisnis, namun paling tidak penerapan etika merupakan dasar
yang wajib dalam menjalin hubungan bisnis. Bisnis yang beretika akan menciptakan hubungan-
hubungan dan hasil yang baik bukan saja pada antarindividu yang berbisnis, melainkan juga
berdampak pada lingkungan dan masyarakat sekitar tempat berlangsungnya bisnis.

Anda mungkin juga menyukai