Anda di halaman 1dari 18

KULIAH VII

PANCASILA DAN ETIKA SOSIAL POLITIK BANGSA INDONESIA

Selain sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian
bangsa. Pancasila juga merupakan sumber atau dasar nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Nilai-nilai tersebut adalah nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan. Oleh karena itu, Pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan bagi
tindakan sosial individual dalam masyarakat.

Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai universal karena berlaku bagi semua manusia.
Artinya setiap manusia mengakui bahwa nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai dasar dalam
kehidupan individual dan sosial. Tetapi bagi masyarakat Indonesia, nilai-nilai tersebut
merupakan nilai-nilai sosial yang digali dari khazanah sejarah dan budaya bangsa Indonesia
sehingga nilai-nilai tersebut menampakkan jati diri bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut
merupakan kristialisasi dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia sebelum dan setelah
kemerdekaan Indonesia.

Dengan demikian nilai-nilai yang ada pada Pancasila bukan sekedar konsensus sosial para bapak
pendiri Negara (the Founding fathers) melainkan sebuah konsensus moral. Dengan rumusan
lain, nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai moral (menurut Pancasila) dalam etika sosial
bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut menjadi patokan dalam bertindak, entah dalam bidang
kehidupan individual maupun dalam kehidupan sosial yakni dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara.

A. Apakah Etika Itu?


Dalam percakapan sehari-hari dan dalam berbagai tulisan sangat sering seseorang menyebut
istilah etika, meskipun sangat sering pula seseorang menggunakannya secara tidak tepat.
Sebagai contoh penggunaan istilah ‘etika pergaulan, etika jurnalistik, etika kedokteran’ dan
lain-lain, padahal yang dimaksud adalah etiket, bukan etika. Etiket adalah tata prilaku atau
aturan bertindak sesuai dengan norma atau kebiasaan tertentu yang dianggap pantas atau
tindak pantas, sopan atau tidak sopan, senonoh atau tidak senonoh berdasarkan kebiasaan
masyarakat tertentu. Etiket berurusan dengan aturan tentang kesusilaan. Etika berbeda dari
etiket. Etika jauh melampaui etiket. Etika merupakan sebuah ilmu sementara etiket tidak! Apa
yang dimaksud dengan etika?

Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak
kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang
jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral
memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari dua kata ini digunakan secara berbeda.
Moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sementara etika

1
berurusan dengan pertimbangan rasional-ilmiah tentang nilai yang dinilai (Zubair, 1987: 13).
Misalnya bila kebebasan dianggap sebagai salah satu nilai moral yang paling dasar bagi manusia,
etika memberikan penilaian atau pentimbangan mengapa kebebasan merupakan nilai moral
yang paling dasar bagi manusia? Apa arti kebebasan itu bagi manusia sehingga manusia bukan
lagi manusia jika kebebasan yang dimilikinya tidak dihargai? Mengapa kebebasan penting bagi
manusia? Manakah diskursus (filsafati) tentang jenis-jenis kebebasan manusia?

Dengan demikian jelas bahwa etika merupakan pertimbangan kritis (rasional) atau kajian
ilmiah tentang moralitas (ajaran moral). Sementara ajaran moral atau moralitas adalah
tindakan yang baik atau buruk berdasarkan martabat manusia sebagai manusia. Moralitas
menunjukan pada apa yang baik atau apa yang buruk sebagai manusia berdasarkan martabat
kita sebagai manusia.
Pancasila sebagai etika sosial memiliki makna: apa yang baik bagi manusia berdasarkan
martabat manusia menurut perspektif pancasila. Dan secara singkat dapat dikatakan bahwa
kebaikan manusia berdasarkan martabat manusia Indonesia adalah manusia yang ber-Tuhan,
manusia Indonesia yang ber-peri-Kemanusiaan, ber-satu, rakyat yang bijaksana dalam
bermusyawarah, dan menegakan Keadilan.

II. Aliran-aliran Besar Etika


Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan.
Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan
dikatakan baik atau buruk.

1. Etika Deontologis
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat
dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa
yang sudah menjadi kewajibannya. Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel
Kant (1734-1804). Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan
tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan
menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9). Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum
moral adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat
universal. Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu
tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan
keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat
yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu
yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi
adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika deontology menekankan bahwa
kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa

2
mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7). Ukuran
kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi
bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral
dan demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras
dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan yang baik adalah
didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.

2. Etika Teleologis
Pandangan etika teleologis menekankan hal yang berbeda dari etika deontologis. Etika
teleologis mengajarkan bahwa suatu tindakan itu baik atau buruk diukur berdasarkan tujuan
atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika
menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit ketika dihadapkan pada dua atau lebih
kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika
teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus
melanggar kewajiban, nilai atau norma yang lain. Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya
chaos. Dalam keadaan seperti ini maka memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh
sederhana kewajiban mengenakan helm bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena
lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan
hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian
etika teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa kewajiban mendapat
toleransi tidak dipenuhi. Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik
menurut siapa? Apakah baik menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini,
etika teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme
a) Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik
untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya
dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
b) Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana
akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan
kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di
dalam menentukan suatu tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana
yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling
menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya
dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang saja.

Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai
dan norma sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu dilihat apakah
akibat yang ditimbulkan akan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak. Kalau
tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan merugikan maka
harus dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis,
terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar
dan yang menguntungkan banyak orang. Utilitarians try to produce maximum pleasure and

3
minimum pain, counting their own pleasure and pain as no more or less important than
anyone else’s (Wenz, 2001: 86).

Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak
orang-lah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena
kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian, juga
memiliki kekurangan. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini,
yaitu:
(1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang
dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan adanya
ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang
kuantitas-materialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material seperti kasih
sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
(3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan
masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal seperti
nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misal atas nama memasukkan investor asing
aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan devisa negara
pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan problem besar adalah ketika
lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan masyarakat.
(4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek,
tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal, missal dalam persoalan lingkungan, kebijakan
yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang akan datang.
(5) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada
orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan yang
besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan
kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih
banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil.

Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu
utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka pertama, setiap kebijakan dan
tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak. Kalau
bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki
kemanfaatan yang besar. Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja
tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dsb.
Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi yang
memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.

3. Etika Keutamaan

4
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian
moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter
moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan
menjadi orang yang baik. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-
perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui
cerita, sejarah yang didalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru
oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang
majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep
keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan
benturan sosial.

Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada
figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan
ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.

Selanjutnya akan dibahas tentang etika Pancasila atau Pancasila sebagai etika sosial politik dalam
konteks keindonesiaan maupun dalam kerangka keilmuan secara lebih luas.

C. Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan diri berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran besar
etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter moral,
namun justru merangkum dari aliran-aliran besar etika tersebut.

Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai
Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu
perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut,
namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila
meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun
adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat
universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.

Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.
Nilai yang pertama adalah ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang
tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari
nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan
hukum Tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan
yang melanggar nilai, kaidah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara
manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk.
Misalnya pelanggaran akan kaidah Tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antarsesama
akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaidah Tuhan untuk
melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain.

5
Nilai yang kedua adalah kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan Pancasila adalah keadilan dan
keadaban. Keadilan mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani dan rohani,
individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum
Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu
hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.

Nilai yang ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat
persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian
pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan
mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut
dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan
merupakan perbuatan baik. Bahkan perbuatan yang memecah belah persatuan, dari perspektif
pancasila, merupakan perbuatan yang tidak bermoral!!!

Nilai yang keempat adalah kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai
lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata
hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi.
Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas.
Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama
Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun
memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan
realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas ‘dimenangkan’ atas pandangan mayoritas.
Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang
banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep
hikmah/kebijaksanaan.

Nilai yang kelima adalah keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata
tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila
kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan
merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan
sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.

Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi sistem etika
yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis dan
aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta,
maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa
Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah

6
Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai yang
melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan merupakan dasar bagi setiap
tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai ketuhanan akan
menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi.

Nilai kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan,


penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air,
pengorbanan dll. Nilai kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dll.
Nilai keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dll.

D. Pancasila Sebagai Solusi Persoalan Bangsa dan Negara


(Studi Kasus Korupsi)
Situasi negara Indonesia saat ini begitu memprihatinkan. Begitu banyak masalah menimpa
bangsa ini dalam bentuk krisis yang multidimensional. Krisis ekonomi, politik, budaya, sosial,
hankam, pendidikan dan lain-lain, yang sebenarnya berhulu pada krisis moral. Tragisnya,
sumber krisis justru berasal dari badan-badan yang ada di negara ini, baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, yang notabene badan-badan inilah yang seharusnya mengemban amanat
rakyat. Setiap hari kita disuguhi beritaberita mal-amanah yang dilakukan oleh orang-orang
yang dipercaya rakyat untuk menjalankan mesin pembangunan ini.

Sebagaimana telah dikatakan bahwa moralitas memegang kunci sangat penting dalam
mengatasi krisis. Kalau krisis moral sebagai hulu dari semua masalah, maka melalui moralitas
pula krisis dapat diatasi. Indikator kemajuan bangsa tidak cukup diukur hanya dari kepandaian
warganegaranya, tidak juga dari kekayaan alam yang dimiliki, namun hal yang lebih mendasar
adalah sejauh mana bangsa tersebut memegang teguh moralitas. Moralitas memberi dasar,
warna sekaligus penentu arah tindakan suatu bangsa. Moralitas dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu moralitas individu, moralitas sosial dan moralitas mondial.

Moralitas individu lebih merupakan kesadaran tentang prinsip baik yang bersifat ke dalam,
tertanam dalam diri manusia yang akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Seorang
yang memiliki moralitas individu yang baik akan muncul dalam sikap dan perilaku seperti
sopan, rendah hati, tidak suka menyakiti orang lain, toleran, suka menolong, bekerja keras,
rajin belajar, rajin ibadah dan lain-lain. Moralitas ini muncul dari dalam, bukan karena dipaksa
dari luar. Bahkan, dalam situasi amoral yang terjadi di luar dirinya, seseorang yang memiliki
moralitas individu kuat akan tidak terpengaruh. Moralitas individu ini terakumulasi menjadi
moralitas sosial, sehingga akan tampak perbedaan antara masyarakat yang bermoral tinggi dan
rendah. Adapun moralitas mondial adalah moralitas yang bersifat universal yang berlaku di
manapun dan kapanpun, moralitas yang terkait dengan keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan,
dan sebagainya. Moralitas sosial juga tercermin dari moralitas individu dalam melihat
kenyataan sosial. Bisa jadi seorang yang moral individunya baik tapi moral sosialnya kurang,

7
hal ini terutama terlihat pada bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat yang
majemuk. Sikap toleran, suka membantu seringkali hanya ditujukan kepada orang lain yang
menjadi bagian kelompoknya, namun tidak toleran kepada orang di luar kelompoknya.
Sehingga bisa dikatakan bahwa moral sosial tidak cukup sebagai kumpulan dari moralitas
individu, namun sesungguhnya lebih pada bagaimana individu melihat orang lain sebagai
manusia yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang sama.

Moralitas individu dan sosial memiliki hubungan sangat erat bahkan saling tarik-menarik dan
mempengaruhi. Moralitas individu dapat dipengaruhi moralitas sosial, demikian pula
sebaliknya. Seseorang yang moralitas individunya baik ketika hidup di lingkungan masyarakat
yang bermoral buruk dapat berpengaruh menjadi amoral. Kenyataan seperti ini seringkali
terjadi pada lingkungan pekerjaan. Ketika lingkungan pekerjaan berisi orang orang yang
bermoral buruk, maka orang yang bermoral baik akan dikucilkan atau diperlakukan tidak adil.
Seorang yang moralitas individunya lemah akan terpengaruh untuk menyesuaikan diri dan
mengikuti. Namun sebaliknya, seseorang yang memiliki moralitas individu baik akan tidak
terpengaruh bahkan dapat mempengaruhi lingkungan yang bermoral buruk tersebut.

Moralitas dapat dianalogikan dengan seorang kusir kereta kuda yang mampu mengarahkan ke
mana kereta akan berjalan. Arah perjalanan kereta tentu tidak lepas dari ke mana tujuan yang
hendak dituju. Orang yang bermoral tentu mengerti mana arah yang akan dituju, sehingga
pikiran dan langkahnya akan diarahkan kepada tujuan tersebut, apakah tujuannya hanya untuk
kesenangan duniawi diri sendiri saja atau untuk kesenangan orang lain atau lebih jauh untuk
kebahagiaan ruhaniah yang lebih abadi, yaitu pengabdian pada Tuhan.

Pelajaran yang sangat berharga dapat diteladani dari para pendahulu kita yang berjuang demi
meraih kemerdekaan. Moralitas individu dan sosial yang begitu kuat dengan dipayungi
moralitas mondial telah membuahkan hasil dari cita-cita mereka, meskipun mereka banyak
yang tidak sempat merasakan buah perjuangannya sendiri. Dasar moral yang melandasi
perjuangan mereka terabadikan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 yang termuat dalam alinea-alineanya.
Alinea pertama, “bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Alinea ini menjadi payung moral (mondial) para pejuang kita bahwa telah terjadi pelanggaran
hak atas kemerdekaan pada bangsa kita. Pelanggaran atas hak kemerdekaan itu sendiri
merupakan pelanggaran atas moral mondial, yaitu perikemanusiaan dan perikeadilan. Apapun
bentuknya penjajahan telah meruntuhkan nilai-nilai hakiki manusia.

Apabila ditilik dari Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 tampak jelas
bahwa moralitas sangat mendasari perjuangan merebut kemerdekaan dan bagaimana
mengisinya. Alasan dasar mengapa bangsa ini harus merebut kemerdekaan karena penjajahan
bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan (alinea I). Secara eksplisit founding

8
fathers menyatakan bahwa kemerdekaan dapat diraih karena rahmat Allah dan adanya
keinginan luhur bangsa (alinea III). Ada
perpaduan antara nilai ilahiah dan nilai humanitas yang saling berkelindan. Selanjutnya, di
dalam membangun negara ke depan diperlukan dasar-dasar nilai yang bersifat universal, yaitu
nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.

Moralitas, saat ini menjadi barang yang sangat mahal karena semakin langka orang yang masih
betul-betul memegang moralitas tersebut. Namun dapat juga dikatakan sebagai barang murah
karena banyak orang menggadaikan moralitas hanya dengan beberapa lembar uang. Ada
keterputusan (missing link) antara alinea I, II, III dengan alinea IV. Nilai-nilai yang seharusnya
menjadi dasar sekaligus tujuan negara ini telah digadaikan dengan nafsu berkuasa dan
kemewahan harta. Egoisme telah mengalahkan solidaritas dan kepedulian pada sesama. Lalu
bagaimana membangun kesadaran moral anti korupsi berdasarkan Pancasila? Korupsi secara
harafiah diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian (Tim Penulis Buku Pendidikan anti korupsi, 2011: 23).
Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia semakin menunjukkan ekskalasi yang begitu tinggi.
Oleh karenanya, penyelesaian korupsi harus diselesaikan melalui beragam cara/pendekatan,
yang dalam hal ini saya menggunakan istilah pendekatan eksternal maupun internal.

Pendekatan eksternal yang dimaksud adalah adanya unsur dari luar diri manusia yang memiliki
kekuatan ‘memaksa’ orang untuk tidak korupsi. Kekuatan eksternal tersebut misalnya hukum,
budaya dan watak masyarakat. Dengan penegakan hukum yang kuat, baik dari aspek peraturan
maupun aparat penegak hokum, akan mengeliminir terjadinya korupsi. Demikian pula
terciptanya budaya dan watak masyarakat yang anti korupsi juga menjadikan seseorang enggan
untuk melakukan korupsi. Adapun kekuatan internal adalah kekuatan yang muncul dari dalam
diri individu dan mendapat penguatan melalui pendidikan dan pembiasaan. Pendidikan yang
kuat terutama dari keluarga sangat penting untuk menanamkan jiwa anti korupsi, diperkuat
dengan pendidikan formal di sekolah maupun non-formal di luar sekolah.

Maksud dari membangun kesadaran moral anti korupsi berdasar Pancasila adalah membangun
mentalitas melalui penguatan eksternal dan internal tersebut dalam diri masyarakat. Di
perguruan tinggi penguatan tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan kepribadian termasuk
di dalamnya pendidikan Pancasila. Melihat realitas di kelas bahwa mata kuliah Pendidikan
Pancasila sering dikenal sebagai mata kuliah yang membosankan, maka dua hal pokok yang
harus dibenahi adalah materi dan metode pembelajaran. Materi harus selalu up to date dan
metode pembelajaran juga harus inovatif menggunakan metode-metode pembelajaran yang
dikembangkan. Pembelajaran tidak hanya kognitif, namun harus menyentuh aspek afektif dan
konatif.

Nilai-nilai Pancasila apabila betul-betul dipahami, dihayati dan diamalkan tentu mampu
menurunkan angka korupsi. Penanaman satu sila saja, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila

9
bangsa Indonesia menyadari jati dirinya sebagai makhluk Tuhan, tentu tidak akan mudah
menjatuhkan martabat dirinya ke dalam kehinaan dengan melakukan korupsi. Perbuatan
korupsi terjadi karena hilangnya kontrol diri dan ketidakmampuan untuk menahan diri
melakukan kejahatan. Kebahagiaan material dianggap segala-galanya dibanding kebahagiaan
spiritual yang lebih agung, mendalam dan jangka panjang. Keinginan mendapatkan kekayaan
dan kedudukan secara cepat menjadikannya nilai-nilai agama dikesampingkan. Kesadaran
manusia akan nilai ketuhanan ini, secara eksistensial akan menempatkan manusia pada posisi
yang sangat tinggi. Hal ini dapat dijelaskan melalui hirarki eksistensial manusia, yaitu dari
tingkatan yang paling rendah, penghambaan terhadap harta (hal yang bersifat material), lebih
tinggi lagi adalah penghambaan terhadap manusia, dan yang paling tinggi adalah penghambaan
pada Tuhan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna tentu tidak akan
merendahkan dirinya diperhamba oleh harta, namun akan menyerahkan diri sebagai hamba
Tuhan. Buah dari pemahaman dan penghayatan nilai ketuhanan ini adalah kerelaan untuk
diatur Tuhan, melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya.
Penanaman satu nilai tentunya tidak cukup dan memang tidak bisa dalam konteks Pancasila,
karena nilai-nilai Pancasila merupakan kesatuan organis yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. Dengan demikian, akan menjadi kekuatan moral besar manakala keseluruhan
nilai Pancasila yang meliputi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan
dijadikan landasan moril dan diejawantahkan dalam seluruh kehidupan berbangsa dan
bernegara, terutama dalam pemberantasan korupsi.

Penanaman nilai sebagaimana tersebut di atas paling efektif adalah melalui pendidikan dan
media. Pendidikan informal di keluarga harus menjadi landasan utama dan kemudian didukung
oleh pendidikan formal di sekolah dan nonformal di masyarakat. Peran media juga sangat
penting karena memiliki daya jangkau dan daya pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat.
Media harus memiliki visi dan misi mendidik bangsa dan membangun karakter masyarakat
yang maju namun tetap berkepribadian Indonesia.

Etika Politik Pancasila

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIKA POLITIK


A. Latar belakang
Pancasila adalah sebagai dasar negara indonesia, memegang peranan penting dalam setiap aspek
kehidupan masyarakat indonesia. Pancasila banyak memegang peranan yang sangat penting bagi
kehidupan bangsa indonesia, salah satunya adalah “pancasila sebagai suatu sistem etika”. Di dunia
internasional bangsa indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki etika yang baik,
rakyatnya yang ramah tamah, sopan santun yang dijunjung tinggi dan banyak lagi, dan pancasila
memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa ini sehingga bangsa ini dapat dihargai
sebagai salah satu bangsa yang beradab di dunia. Kecendrungan menganggap hal yang tak pentimg

10
akan kehadiran pancasila diharapkan dapat ditinggalkan. Kardna bangsa yang besar adalah bangsa
yang beradab. Pemaentukan etika bukanlah hal yang mudah, karena berasal dari tingkah laku dan hati
nurani

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian etika politik itu?
2. Apa peranan penting pancasila sebagai landasan etika Politik (dalam pilkada sampai pemilu)

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi etika, politik dan etika politik.
2. Mengetahui peranan pentingnya pancasila sebagai landasan etika politik (dalam pilkada sampai pemilu)

PEMBAHASAN

A. Pancasila sebagai landasan etika politik


Pancasila sebagai etika, dapat kita ketahui bahwa dalam pembahasan ini tentang pancasil sebagai
etika. Etika merupakan kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaioa manusia bersikat
terhadp apa yang ada) dan dibagi menjadi kelompok. Etika merupakan Pemikiran krhtis dan
mendasar tentang ajaran ajaran dan pandangan pandangan moral. Etika juga ilmu yang membahas
tentang bagaimana dan mengapa kita harus belajar tentang etika dan mengikuti ajaran moral. Etika
pun dibagi menjadi 2 kelompok etika umum dan khusus.
Etika khusus ini terbagi dua yaitu terdiri dari etika individual dan etika sosial. Etika politik cabang
bagian dari etika sosial dengan demikian mbmbahas kewajiban dan norma norma dalam kehidupan
politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan (yang menganut sistem
politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam
melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma norma dan
kewajiban yang harus dipatuhi. Dan pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem
etika yang baik di negara ini. Disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum dalam sila kedua
“kemanusiaan yang adil dan beradab” tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam
membangun etika bangsa ini sangat berandil besar, setiap sila pada dasarnya merupakan azas dan
fungsi sendiri sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan
Maka bisa dikatakan bahwa fungsi pancasila sebagai etika itu sangatlah penting agar masyarakat bisa
memilih dan menentukan calon yang akan menjabat dan menjadi pimpinan, masyarakat dalam
demokrasi liberal memberikan hak kepada rakyat untuk secara langsung memilih pejabat dan
pimpinan tinggi (nasional, provinsi, kabupaten/kota) untuk mewujudkan harapan rakyat. Dengan
biaya tinggi serta adanya konflik horizontal. Sesungguhnya, dalam era reformasi yang memuja
kebebasan atas nama demokrasi dan HAM, Ternyata ekonomi rakyat makin terancam oleh kekuasaan
neoimperalisme melalui ekonomi liberal. Analisis ini dapat dihaxati melalui bagaimana politik
pendidikan nasional (konsep:RUU BHP sebagai kelanjutan PP No 61/1999) yang membuat rakyat
miskin makin tidak mampu menjangkau bidang sosial ekonomi, silakan dicermati dan dihayati
perpres no 76 dan 77 tahun 2007 tentang PMDN dan PMA yang tertutup dan terbuka yang

11
mengancam hak hak sosial ekonomi bangsa.
Dalam pelaksanaan pilkada sebagai prakteknya demokrasi liberal, juga menghasilkan otonomi daerah
dalam budaya politik federalisme, dilaksanakan: dengan biaya mat mahal dan sosial cost yang mahal
yang dilengkapi konflik horisontal dan anarkisme. Pilkada dengan praktek demokrasi liberal
menghasilkan budaya demokrasi semu (demokrasi palsu). Bagaimana tidak semu: apabila peserta
pilkada 3-5 paket calon; terpilih dengan jumlah suara sekitar 40%, 35%, 25%. Biasanya yang terbanyak
40% ini dianggap terpilih sebagai mayoritas. Padahal norma mayoritas di dunia umumnya dengan
jumlah 51%! Apa model demokrasi-semu(demokrasi palsu) ini yang akan dikembangkan reformasi
indonesia? Atas nama demokrasi langsung dan HAM. Bandingkan dengan demokrasi pancasila dalam
UUD proklamasi 45 pasal 1,2 dan 37.
Pasal 95 (1), (2), yang menetapkan: calon terpilih bika memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah
suara sah.
Dalam pemilu tahun 2009 banyak partai partai yang belum memakai etika politik. Bukan hanya para
partai saja, melainkan masyarakat yang memilihpun terkadang tidak memilih untuk memikirkan
bangsanya melainkan hanya berfikir untuk kepentingan sendiri (independent). Dan pada pemilu
tahun ini banyak yang melanggar etika politik yang telah ditetapkan oleh KPU B. Bentuk
penyimpangan etika politik
Era orde baru
*semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
*pembangunan indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian disebakan karena kekayaan sebagian beSar disedot pusat
*munculnya rasa ketidak puasan disejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan terutama aceh
dan papua
*kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun tahun pertamanya
*bertambahnya keSenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)
*pelanggaran HAM kepada masyarakat non Pribumi (terutama masyarakat tionghoa)
*kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
*kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
*pembangunan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “penembakan
misterius”
*tidak ada rencana suksesi(penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
*menurunnya kualitas birokrasi indonesia yang terjangkit penyakit asal bapak senang, hal ini
kesalahan paling fatal orde baru karena tanpa birokrasi yang efektik negara pasti hancur
*menurunya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan
kesejahteraan anak buah
Era sekarang
Gejala politik dinasti dari bermunculnya calon kepala daerah (cakada) dari kalangan keluarga pejabat

12
yang sedang berkuasa di beberapa pilkada. Sementara fenomena politik uang masih mendominasi
proses politik di pilkada dan perekrutan cakada di internal partai. Fenomena seperti ini tidak hanya
terjadi di pilkada, tetapi sebelumnya juga terjadi pada pemilu legislatif
Para petinggi partai memungut dan memasang tarif bagi para calon anggota legislatif (caleg) dan
memempatkan keluarganya pada posisi strategis dalam daftar caleg di pemilu 2009. Politik dinasti
dan politik uang yang tak sejalan dengan prinsip meriokrasi dalam sistem perekrutan partai di negara
demokrasi ternyata justru menjadi karakter utama partai partai dewasa ini.
Pada titik inilah terjadi penyimpangan parpol. Padahal posisi partai merupakan institusi paling
esensial dalam instrumen inti dalam demokrasi modern (katz, 1980). Fenomena ini memunculkan
pertanyaan mendasar: mengapa itu bisa terjadi, dan bagaimana dampaknya bagi masa depan
demokrasi indonesìa?
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Budhi Munawar, Ensiklopedia Cak Nur, jakarta : paramadina. 2007
Abdul Hadi W. M, “Pancasila sebagai etika politik dan dasar negara” makalah ini disampaikan pada
mata kuliah pancasila di ICAS Jakarta, 06 november 2006
Suseno, Franz-Magniz, Etika politik; prinsip prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta:
Gramedia, 2003

------

Politik dan Etika Pancasila


Penulis: Silverius Y Soeharso Deputi Kepala UKP-PIP Bidang Pengendalian dan Evaluasi,Alumnus PPRA 46
Lemhannas RIPada: Sabtu, 03 Feb 2018, 10:23 WIB OPINI

13
Ilustrasi---MI

TAHUN 2018 hingga 2019 disebut sebagai tahun politik.

Mengapa tahun politik? Mengapa tidak ada tahun ekonomi atau tahun kebudayaan?

Tahun politik lebih populer karena paling banyak melibatkan partisipasi dan aktivitas politik
masyarakat di semua lapisan.

Politik untuk memilih calon kepala daerah yang 'disukai', politik untuk mendapatkan manfaat
ekonomi dari pesta demokrasi, politik untuk mendapatkan jabatan, proyek-proyek infrastruktur, dan
tak ketinggalan bisnis konsultan politik ikut kecipratan rezeki dari tahun politik.

Maka, tahun politik lebih seksi dan berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.

Di 2018 ini akan digelar pilkada di 171 daerah, yang meliputi 17 provinsi dan 154 Kabupaten/Kota.

Meskipun puncaknya akan berlangsung pada 27 Juni 2018, sejak 2017 hingga awal 2018 ini
persiapan dan 'pesta' kecil-kecilan sudah berlangsung.

Lobi-lobi dan kasak-kusuk (positif maupun negatif) sudah berseliweran. Isu mahar politik dan
kampanye hitam juga bergulir.

Selain dinamika politik yang kian memanas itu, Pilkada Serentak 2018 akan menjadi barometer Pileg
dan Pilpres 2019.

Kontestasi politik 2018 ialah semifinal guna menghadapi grand final pada 2019.

14
Pengalaman penyelenggaraan Pilkada 2015 di 269 daerah dan 2017 di 269 daerah secara umum
berjalan lancar dan patut dibanggakan.

Kematangan dan kedewasaan elite-elite politik kita patut diacungi jempol.

Meskipun terjadi perselisihan dalam hasil perolehan suara, semua pihak yang bertikai taat pada
putusan MK.

Kalaupun ada percikan-percikan kecil, konflik horizontal dan vertikal, itu tidak membuat Indonesia
terpecah belah.

Namun, meski situasi politis masyarakat pascapilkada dapat kembali ke titik keseimbangan
(equilibrium), bagaimana dengan situasi sosiologis dan psikologisnya?

Apakah pesta demokrasi lima tahunan ini mampu menguatkan keterikatan psikologis kita sebagai
satu bangsa?

Atau justru terjadi segregasi sosial berdasarkan label in-group versus out-group, sebagai efek
samping dari politisasi identitas berbau SARA, seperti dalam pilkada DKI.

Dalam beberapa kasus pilkada, misalnya, pesta demokrasi yang seyogianya menjadi wadah
perjumpaan antaranak bangsa dalam suasana sukacita justru menimbulkan trauma psikis
berkepanjangan akibat intimidasi, teror mental, dan marginalisasi satu kelompok terhadap kelompok
lain hanya karena pilihan politik yang berbeda.

Strategi pemenangan pilkada dengan cara memolitisasi identitas primordial sangat berbahaya bagi
kohesivitas bangsa dan identitas nasional Indonesia.

Secara psikologis, kelompok yang kalah mengalami trauma psikis yang berujung pada kemunduran
mental dan moril berkepanjangan.

Wujudnya bisa perasaan kecewa yang mendalam, stigma terhadap memori kebersamaan masa lalu,
dendam dan amarah yang tak berkesudahan, stres, bahkan sampai depresi berat.

Para pelaku politik yang menggunakan isu primordial (SARA) kurang memperhitungkan 'ongkos
psikologis' yang dapat dialami saudara-saudara sebangsanya.

Sejatinya kontestasi pilkada ibarat pertandingan tinju, begitu bel berbunyi bertandinglah sekeras-
kerasnya dengan teknik dan stamina yang prima.

Namun, begitu pertandingan usai, semuanya saling merangkul dan kembali pada kehidupan
kebersamaan sebagai satu bangsa.

Namun, jika kemenangan itu akhirnya menimbulkan 'derita batiniah dan lahiriah' bagi pihak yang
kalah, apa gunanya menang di pilkada?

Dapatkah pesta demokrasi menjadi sarana untuk memperkuat paham dan rasa kebangsaan kita? Siapa
yang bertanggung jawab atas 'ongkos psikologis' yang diderita saudara-saudara kita sendiri?

Bisakah kampanye politik dilakukan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan
berdasarkan nilai-nilai Pancasila?

15
Norma dasar

Para pendiri bangsa meletakkan Pancasila sebagai norma dasar (grundnorm) dan sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia.

Dalam hierarki hukum nasional, Pancasila menempati kedudukan tertinggi, yang disusul UUD 1945,
UU, dan berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Norma dasar itu ialah norma tertinggi.

Menurut pandangan Edisius Riyadi (2017), Pancasila sebagai norma dasar tidak hanya bermakna
substansial-material, tapi juga prosedural-formal.

Secara substansial-material, berbagai hukum yang ada di Indonesia baik yang tertulis maupun tidak
harus mengacu ke Pancasila sebagai rujukan tertingginya.

Oleh sebab itu, setiap norma hukum harus memuat dan mempertimbangkan nilai-nilai kasih sayang,
saling menghormati, dan toleran (wujud sila pertama), berperikemanusiaan (sila kedua), menjaga
persatuan dan persatuan (sila ketiga), demokrasi-musyawarah (sila keempat), serta solidaritas sosial
yang berkeadilan (sila kelima).

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu menjadi landasan etis atau pedoman perilaku baik
dan buruk masyarakat di ruang-ruang publik.

Nilai-nilai itu terkait membentuk sistem etika di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dsb.

Etika Pancasila menghendaki kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam wadah
NKRI berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Kampanye hitam, fitnah, isu SARA, berita bohong, dan negatif yang menyerang pribadi kontestan
atau partai lain berarti melanggar etika Pancasila dan patut dikenai sangsi sosial dan politis.

Sebagai sistem etika, Pancasila seyogianya menjadi national public norm dan leading principles, baik
bagi penyelenggara negara (khususnya penyelenggara pemilu), parpol, elite politik, dan masyarakat
sebagai subjek politik.

Sistem ini tidak hanya menjadi rambu-rambu bagi perilaku politisi, tetapi juga bagi semua pemangku
kepentingan. KPU, Bawaslu, konsultan politik, serta lembaga survei politik, memiliki kewajiban
moral yang sama dan berkontribusi terhadap terciptanya kualitas demokrasi yang bermartabat,
demokratis, dan manusiawi.

Elegan dan bermartabat

Sayangnya etika kehidupan berbangsa yang diatur dalam Tap MPR RI No VI/MPR/2001 yang
bersumber dari nilai-nilai luhur Pancasila belum berjalan efektif.

Rumusan tentang etika kehidupan berbangsa itu disusun untuk memberikan penyadaran tentang arti
penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa.

Namun, karena ketiadaan sistem reward and punishment yang terukur, serta lemahnya kedudukan
Tap MPR dalam hierarki hukum, etika kehidupan berbangsa itu menjadi teks tanpa makna.

16
Kita berharap, pesta demokrasi pada 2018 ini dan 2019 menjadi pesta demokrasi dan ajang kontestasi
yang elegan dan bermartarbat, diselenggarakan dengan penuh kegembiraan.

Betapa pun kerasnya kompetisi, jangan sampai itu merobohkan bangunan rumah bersama, bernama
Indonesia. Pihak yang menang semestinya menjadi the great winner tanpa niat menyengsarakan
pihak lain.

Sementara itu, pihak yang kalah seyogianya menjadi the good loser, mau menerima kekalahan
dengan lapang dada dan siap bekerja sama.

Salam Pancasila. Merdeka!

E. Rangkuman Nilai-nilai Etika Sosial Politik berdasarkan Pancasila:


1. Religiositas. Bukan agama melainkan spiritualitas hidup, tidak mengenal dominasi
mayoritas dan tirani minoritas,
2. Kesatuan dan Kebersamaan,: kesatuan dan kebersamaan dibangun atas dasar
kepentingan bersama. Tidak mencari kepentingan diri dan kelompok di atas
kepentingan mansyarakat secara keseluruhan.
3. Pluralitas dan Keberagaman,: membuang jauh sikap radikalisme, fundamentalisme
keagamaan.
4. Kepentingan rakyat keseluruhan menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan dan relasi
sosial,
5. Perbedaan pendapat dan pilihan sebagai bagian dari demokrasi,
6. Keadilan sosial (bukan keadilan individual) harus menjadi sistem sosial untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial.
7. KKN merupakan tindak yang tidak pancasilais!!!***
-------------------------------------------
Pertanyaan:
1. Apa yang dimaksud dengan etika dan Pancasila sebagai Etika Sosial Politik bangsa
Indonesia?
2. Sebut dan jelaskan tiga jenis etika (deontologis, teleologis, dan keutamaan) yang anda
ketahui dan tempat etika pancasila dalam ketiga jenis etika tersebut!
3. Berdasarkan pantauan, bacaan, dan refleksi anda, Apakah pilkada DKI 2017
mencerminkan etika sosial politik sebagai mana ditegaskan oleh pancasila? Jelaskanlah
jawaban anda!
4. Mengapa menghormati perbedaan pendapat harus dilihat sebagai bagian penting dari
demokrasi?
5. Megapa tindakan korupsi misalnya tidak hanya menunjukkan tindakan yang tidak adil
secara sosial melainkan juga melanggar moralitas pancasila? Jelaskanlah jawaban anda
dengan memberikan argument secukupnya!

17
18

Anda mungkin juga menyukai