Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONSEP DAN URGENSI PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

DOSEN
AGUS MULYOO, S.H., M.HUM

DISUSUN OLEH :
MUHAMAD REZA ANDIKA BAHTIARSYAH 221000066
NADIA MEILANI SONIA 221000054

MUHAMMAD AL RIFQI 221000055


MUHAMMAD RIZKY PUTRA SALAM 221000074

UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG


FAKULTAS ILMU HUKUM
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pancasila mempunyai peran – peran yang sangat penting bagi masyarakat berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Peran Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila sebagai cita – cita
bangsa, Pancasila sebagai pedoman atau landasan hidup bagi bangsa Indonesia, dahn Pancasila
sebagai jiwa bangsa Indonesia. Pancasila sebagai sistem etika tujuannya untuk mengembangkan
dimensi moral pada setiap individu sehingga dapat mewujudkan sikap baik dalam berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat.

Etika Pancasila adalah acbang yang terkandung dalam sila Pancasila digunakan untuk mengatur
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam etika Pancasila
dikemukakan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

• Apakah pengertian Pancasila itu ?


• Apakah pengertian sistem itu ?
• Bagaimanakah peran Pancasila sebagai sistem etika ?

1.3 TUJUAN PENULISAN

• Untuk mengetahui pengertian dari Pancasila


• Untuk mengetahui pengertian dari sistem
• Untuk mengetahui peran Pancasila sebagai sistem etika

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN ETIKA

Etika merupakan cabang utama filsafat, adalah pembelajaran mengenai di mana dan bagaimana
nilai atau kualitas menjadi standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti, benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika merupakan kelompok
filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada)
dan dibagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :

a. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setaip tindakan manusia.
b. Etika Khusus, membahas prinsip prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai
aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun makhluk sosial
(etika sosial)

Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak
kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang
jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral memiliki
kesamaan arti, dalam pemakaian sehari hari kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau
moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk
mengkaji sistem yang ada (Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan kata etika adalah
akhlak yang merupakan kata jamak khuluk yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat
(Zakky, 2008: 20).

Secara keseluruhan, etika membahas mengenai tingkah laku, watak, dan segala sesuatu
perbuatan manusia yang dibutuhkan dan dinilai dalam kehidupan bermasyarakat. · Aliran Besar
Etika

Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan.
Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan
dikatakan baik atau buruk. Berikut adalah ketiga aliran tersebut :

a. Etika Deontologi

Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari
tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah
menjadi kewajibannya.

Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant menolak akibat
suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin
universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam
dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya secara kategoris
sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk
melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat
(imperatif kategoris).

Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat
yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu yang
akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah
tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan
harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun
dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).

Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan
otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban
moral dan demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja
keras dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan yang baik adalah
didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.

a. Etika Teleologi

Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu
tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu
kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit ketika
dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang
diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik
meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.

Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini maka memenuhi
kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm bagi pengendara
motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan.
Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan seluruh harta benda.
Dalam keadaan demikian etika teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa
kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.

Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa? Apakah baik
menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika teleologi dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme

a. Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat
baik untuk
pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap
salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.

b. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung


bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila
mendatangkan kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi sebanyak
mungkin orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang dilematis maka yang pertama
adalah dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari kemanfaatan
itu mana yang paling menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya
besar namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang saja. Etika utilitarianisme ini
tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat
mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu dilihat apakah akibat yang
ditimbulkan akan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak.

Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan merugikan
maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis,
terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan
yang menguntungkan banyak orang. Utilitarians try to produce maximum pleasure and minimum
pain, counting their own pleasure and pain as no more or less important than anyone else’s (Wenz,
2001:
86).

Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak
oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan
itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki kekurangan.
Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yaitu:

(1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian
masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme
membenarkan adanya ketidakadilan terutama terhadap minoritas.

(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang
kuantitasmaterialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material seperti kasih
sayang, nama baik, hak dan lain-lain.

(3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait
dengan masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal
seperti nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misalnya atas nama memasukkan
investor asing maka aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama
meningkatkan devisa negara maka pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan
problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan
masyarakat.
(4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam jangka
pendek, tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal,misalnya dalam persoalan lingkungan,
kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang akan
datang.

(5) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih
pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan
yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.

(6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan
kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang
lebih banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil.

Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu
utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka :

Pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan
norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun
memiliki kemanfaatan yang besar.

Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang non-fisik
seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dan sebagainya.

Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi yang
memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.

b. Etika Keutamaan

Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian
moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral
pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan menjadi orang
yang baik. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang
dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang di
dalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya.
Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang
dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan
keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada
figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan
ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.

C. Etika Pancasila

Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran besar
etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter moral,
namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika yang
mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak
bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila
tersebut. Nilainilai Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial,
keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga
bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.

Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.
Nilai yang pertama adalah Ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang
tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai
ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaedah dan hukum
Tuhan.Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar
nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam
pasti akan berdampak buruk.Misalnya pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang menjalin hubungan
kasih sayang antar sesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaedah Tuhan
untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain

Nilai yang kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan
nilainilaiKemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai KemanusiaanPancasila adalah keadilan dan
keadaban. Keadilanmensyaratkan keseimbangan antara lahir dan batin, jasmani dan rohani, individu
dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban
mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan
benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.

Nilai yang ketiga adalah Persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat
persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian
pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan
perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah
persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan
baik. Nilai yang keempat adalah Kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai
lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata
hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi.

Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas.
Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam
Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan
kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima,
maka pandangan minoritas “dimenangkan” atas pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan
belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika
atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan.

Nilai yang kelima adalah Keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata
tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima
lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip
keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama
bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan
sama derajatnya dengan orang lain.

Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi sistem etika
yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis dan
aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta, maka
nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia yang
harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah Notonagoro merupakan
nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan di
manapun, kapanpun dan merupakan dasar bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain.
Sebagai contoh, nilai Ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai
Kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan, penghormatan,
kerjasama, dan lain-lain. Nilai Persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan dan lain-
lain. Nilai Kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain Nilai
Keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dan lain-lain.

2.2 PENGERTIAN NILAI

Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi
nilai itu pada hakekatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan
demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan
lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai
yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik,
dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subyek
penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.

Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin dan
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi
mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem
merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya.

Dalam pandangan filsafat, nilai selalu dihubungkan dengan masalah kebaikan. Sesuatu yang
berguna, benar, indah, berharga, baik, religius, dan sebagainya dapat dikatakan sebagai sesuatu yang
mempunyai nilai. Nilai adalah sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan panca indera karena
bersifat ide. Yang dapat dirasakan adalah barang atau tingkah perbuatan yang mengandung nilai
tersebut.

Ada dua pandangan tentang cara beradanya nilai, yaitu sebagai berikut :

· Nilai sebagai sesuatu yang ada pada obyek itu sendiri. Menurut filusuf Max Scheler dan Nocolia
Hartman, nilai merupakan suatu hal yang obyektif membentuk semacam “dunia nilai”, yang
menjadi ukuran tertinggi dari perilaku manusia.

· Nilai sebagai sesuatu yang bergantung kepada penangkapan dan perasaan orang (subyektif).
Menurut Nietzche, yang dimaksudkan adalah tingkat atau derajat yang diinginkan oleh
manusia. Nilai merupakan tujuan dari kehendak manusia yang benar, sering ditata menurut
susunan tingkatannya yang dimulai dari bawah, yaitu : nilai hedois (kenikmatan), nilai
utilitaris (kegunaan), nilai biologis (kemuliaan), nilai diri estetis (keindahan, kecantikan), nilai-
nilai pribadi (sosial), dan yang paling atas ialah nilai religius (kesucian).

Para ahli mengidentifikasikan nilai dalam beberapa macam atau tingkatan. Para ahli
mengidentifikasikannya secara berbeda, karena nilai ini bersifat abstrak dan idealis.

Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam
macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.

Max Scheler mengelompokkan nilai-nilai menjadi enam tingkatan, yaitu: nilai kenikmatan, nilai
kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian.

Sementara Notonargo membedakan nilai menjadi tiga, yaitu : nilai material, nilai vital, dan nilai
kerohanian.
Nilai bersumber pada budi yang bersifat mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku
manusia, atau lebih jelasnya kita sebut sebagai motivator. Nilai sebagai suatu sistem merupakan
salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya.

Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria,
sehingga merupakan suatu keharusan, anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh
karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai
manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan
yang bersumber pada berbagai sistem nilai.

Pancasila sebagai ideologi terbuka dan pedoman hidup bangsa mempunyai dimensi fleksibilitas. Hal
ini disebabkan karena di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut ada 3, yaitu nilai
dasar, nilai instrmental, dan nilai praksis.

· Nilai dasar, sesuai dengan namanya, merupakan suatu dasar dari nilai nilai yang lain. Nilai dasar ini
bersifat tetap, tidak berubah-ubah. Nilai ini terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai
dasar yang terkandung dalam Pancasila ialah nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.

· Nilai Instrumental, merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai dasar. Disebut juga nilai yang
menjadi pedoman bagi belaksanaan daripada nilai dasar. Nilai dasar belum dapat berfungsi
dan bermakna sepenuhnya jika belum memiliki parameter atau ukuran yang jelas dan
konkrit. Nilai instrumental yang berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam berkehidupan
seharihari akan menjadi norma moral. Sementara nilai yang berkaitan dengan suatu
organisasi atau negara, maka nilai tersebut menjadi sebuah arahan, kebijakan, dan strategi
yang bersumber pada nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan di repunlik Indonesia,
nilai instrumental dapat ditemukan di dlam pasal-pasal UUD yang merupakan penjelasan dari
nilai dasar, yaitu Pancasila.

· Nilai Praksis, yaitu nilai yang lebih menjabarkan nilai-nilai instrumental. Nilai praksis ini terdapat
dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai ini bersifat fleksibel, sehingga dapat diubah sesuai
dengan perkembangan jaman selama tidak menyimpang dari nilai dasar maupun nilai
instrumental.

2.2.1 MAKNA NILAI – NILAI DALAM SETIAP SILA PANCASILA

Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia merupakan nilai yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini dikarenakan apabila dilihat satu per
satu dari masing-masing sila, dapat saja ditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila
terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
diputarbalikkan letak dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam masingmasing sila Pancasila, maka berikut ini kita uraikan:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya.
Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah pengejawantahan tujuan manusia
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa.

Konsekuensi yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam kaitannya
dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia) bahwa setiap warga negara memiliki
kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan
kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam Pasal 29 UUD. Di samping itu, di dalam
negara Indonesia tidak boleh ada paham yang meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan
(atheisme).

b. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu makhluk yang berbudaya dengan memiliki potensi
pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia pada tingkatan martabat yang
tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama berarti hakekat dan
sifatsifat khas manusia sesuai dengan martabat. Adil berarti wajar yaitu sepadan dan sesuai dengan
hak dan kewajiban seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun, berbudi luhur, dan susila,
artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran
budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan demikian, sila ini mempunyai makna kesadaran sikap dan
perbuatan yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan
normanorma dan kesusilaan umumnya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun
terhadap alam dan hewan.

Hakekat pengertian di atas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama :”bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan ...”.
Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya dalam Batang Tubuh UUD.

c. Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan.
Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh
wilayah
Indonesia. Yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam
wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis
dalam kehidupan bangsa Indonesia dan bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.

Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, paham
kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai bangsa lain. Nasionalisme
Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta keturunan. Hal ini sesuai dengan alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ” Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD 1945.

d. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan

Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah
negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi yang
menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki kekuasaan.

Hikmat kebijasanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang sehat dengan selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan
sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan itikad baik sesuai dengan hati nurani.
Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau
memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat dan
mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara mengusahakan turut sertanya rakyat
mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui lembaga perwakilan.

Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas
kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusan. Sila ini merupakan sendi asas kekeluargaan
masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan Indonesia sebagaimana
dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: ”..maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat ...”
e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik
materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti untuk setiap orang yang menjadi rakyat
Indonesia.

Pengertian itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena keadilan sosial
pada sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia sebagai pribadi dan
manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya meliputi :

a) Keadilan distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya
dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi,
dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang
didasarkan atas hak dan kewajiaban.

b) Keadilan legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara,
dalam
masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam negara.

c) Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga atau dengan lainnya
secara timbal balik. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan dan keselarasan diantara
keduanya sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai. Hakekat sila ini dinyatakan dalam
Pembukaan UUD 1945 yaitu :”dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia ... Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

2.3 PENGERTIAN MORAL

Moral berasal dari kata mos (mores) yang bersinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan.
Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan
perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaedah-kaedah dan norma
yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.

Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik
terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang
mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

2.4 PENGERTIAN NORMA

Kesadaran manusia akan kebutuhan terhadap hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang, serasi dan
selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horisontal (masyarakat) dan alamiah (alam
sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral
dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai
untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama,
norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan
untuk dipatuhi karena adanya sanksi.

Norma-norma yang terdapat dalam masyarakat antara lain:


· Norma agama : adalah ketentuan hidup masyarakat yang bersumber pada Tuhan (agama). ·
Norma kesusilaan : adalah ketentuan hidup masyarakat yang bersumber pada diri sindiri seperti
hati nurani, moral, atau filsafat hidup.
· Norma hukum : adalah ketentuan ketentuan tertulis yang berlaku dan bersumber pada UU
suatu negara tertentu.
· Norma sosial : adalah ketentuan hidup yang berlaku pada hubungan bermasyarakat antar umat
manusia.

2.5 HUBUNGAN ANTARA NILAI, NORMA DAN MORAL

Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap
terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak
digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang
kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna
menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikonkritkan dan diformulakan menjadi lebih
obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh
integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang
mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali
disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang
menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang
berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.

2.6 Aplikasi Nilai, Norma, dan Moral dalam Kehidupan Sehari-Hari


Dalam kehidupan bermasyarakat kita sehari-hari, kita akan sering dihadapkan dengan istilah
nilai, norma, dan moral. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, nilai sosial merupakan nilai
yang diyakini oleh masyarakat mengenai sesuatu yang dianggap baik atau buruk. Sebagai ontoh,
dalam kehidupan bermasyarakat, seserang aka dianggap baik apabila menolong sesamanya,
namun apabila seseorang tersebut berbuat kejam dan jahat, maka itu akan menjadi nilai yang
buruk. Bagi manusia, nilai dianggap sebagai landasan, alasan atau motivasi untuk berbuat
sesuatu. Nilai mencerminkan kualitas suatu tindakan dan pandangan hidup sesorang dalam
bermasyarakat.
Norma sosial juga dapat dijelaskan sebagai pedoman perilaku dalam suatu kelompok
masyarakat tertentu. Norma sering diistilahkan peraturan sosial. Norma mengandung aturan
tidak tertulis tentang sesuatu yang pantas dilakukan dalam berinteraksi sosial. Keberadaan
norma bersifat memaksa suatu individu atau kelompok untuk mematuhinya. Pada dasarnya,
norma disusun agar hubungan di antara masyarakat dapat berlangsung tertib dan damai.

Tingkat norma dasar dalam masyarakat dibedakan menjadi 4, yaitu : cara, kebiasaan, tata
kelakuan, dan adat istiadat.

Moral adalah istilah seseorang menyebut orang lain dalam tindakan yang memiliki nilai positif.
Manusia yang tidak memiliki normal disebut dengan amoral, yang berarti ia tidak memiliki nilai
positif dalam pandangan manusia lain. Manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihargai dan
dihormati oleh orang lain. Moral merupakan hal mutlak yang harus dimiliki manusia. Moral
secara jelas merupakan hal-hal yang berkaitan dengan proses sosialisai. Tanpa moral, proses
sosialisasi terebut tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Namun moral dalam kehidupan
kini mengandung nilai yang tidak jelas atau implisit. Banyak orang memandang moral dari sudut
pandang yang sempit.

2.7 PENGERTIAN SISTEM


Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma), merupakan suatu
kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan
aliraninformasi, materi, atau energi untuk mencapai suatu tujuan. Istilah ini sering dipergunakan
untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika
seringkali bisa dibuat.

Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam
suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara.
Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang
saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara di mana yang berperan sebagai
penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut.

Kata "sistem" banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi
maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula,
sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem
adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.

2.8.1 ELEMEN DALAM SISTEM

Setiap sistem selalu terdiri atas ampat elemen, yaitu sebagai berikut :
• Objek. Objek dapat berupa bagian, elemen, atau variabel. Dapat berwujud sebagai benda fisik,
abstrak, atau keduanya sekaligus.

• Atribut. Hal ini menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan objeknya.

• Hubungan internal. Merupakan hubungan di antara objek-objek di dalam sistem

• Lingkungan. Merupakan tempat dimana sistem tersebut berada atau dijalankan.

2.8.2 Elemen Sistem

Terdapat beberapa elemen yang dapat bergabung menjadi sebuah sistem, yaitu :

• Tujuan. Setiap sistem tentulah memiliki sbuah tujuan. Entah tujuan trsebut hanya satu, atau
banyak. Tujuan ini menjadi sebuah motivasi bagi bergeraknya suatu sistem. Tanpa sebuah tujuan,
sistem bergerak tak terkendali. Tujuan setiap sistem berbeda antara sistem satu dengan yang lain.

• Masukan. Merupakan segala sesuatu yang memeasuki sebuah sistem untuk pada akhirnya
diproses. Masukan dapat berupa hal-hal yang nampak maupun tak nampak.

• Proses. Merupakan bagian yang menjalankan perubahan atau transformasi dari suatu masukan
yang berupa bahan mentah menjadi sesuatu yang lebih bernilai.

• Keluaran. Adalah hasil akhir dari masukan, setelah melewati sebuah proses.
• Batas. Merupakan pemisah antara sistem dan daerah di luar sistem. Batas ini menentukan
konfigurasi, ruang lingkup, atau kemampuan sebuah sistem. Batas sistem ini dapat dikurangi atau
dimodifikasi sehingga akan merubah perilaku sistem.

• Mekanisme Pengendalian dan Umpan Balik. Mekanisme pengendalian dapat terwujud dengan
menggunakan umpan balik, yang mencakup keluaran. Umpan balik dilakukan untuk mengontrol
masukan maupun proses. Tujuannya adalah untuk mengatur sistem tetap bekerja sesuai tujuan.

• Lingkungan. Merupakan segala sesuatu yang berada di luar sistem. Dapat mempengaruhi
sistem, baik itu secra positif maupun negatif (menguntungkan atau merugikan).

2.8.3 Jenis-Jenis Sistem


Ada berbagai tipe sistem berdasarkan kategori:
2.8.3.1 Atas dasar keterbukaan:
• Sistem terbuka, dimana pihak luar dapat mempengaruhinya
• Sistem tertutup

2.8.3.2 Atas dasar komponen:

• Sistem fisik, dengan komponen materi dan energi


• Sistem non-fisik atau konsep, berisikan ide-ide
2.9 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

Pancasila disamping sebagai way of life bangsa Indonesia, juga merupakan struktur pemikiran
yang disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada setiap warga negara Indonesia
dalam bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika, dimaksudkan untuk
mengembangkan dimensi moralitas dalam diri sendiri sehingga dapat memiliki kemampuan
untuk menampilkan sikap yang benar dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila sebagai sistem etika merupakan tuntunan moral yang dapat diwujudkan dalam
tindakan nyata, yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Oleh karnanya, sila-sila dalam
Pancasila perlu diwujudkan dengan lebih lanjut ke dalam keputusan setiap tindakan sehingga
mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan berwawasan moral-akademis.
Pancasila menjadi sistem etika karena dalam Pancasila terdapat nilai, norma, dan moral yang
merupakan konsep yang saing berkaitan dan akan memberikan pemahaman yang saling
melengkapi satu sama lain. Pancasila sebagai satu sistem filsafat pada dasarnya merupakan
suatu nilai yang menjadi sumber bagi segala penjabaran norma baik norma hukum , norma
moral, maupun norma kenegaraan lainnya. Selain itu, dalam Pancasila juga terkandung
pemikiranpemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komperhensif.
Pancasila memegang pernanan penting dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik bagi
Indonesia. Di setiap saat dan di manapun kita berada, etika wajib kita sertakan bersama kita.
Setiap sila dalam Pancasila mengandung arti yang besar dalam membangun etika bangsa.
Pancasila memegang berbagai aspek kehidupan bangsa. Dalam dunia internasional, bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beetika, ramah, sopan, dan yang lainnya. Semua itu tidak
lepas dari tuntunan Pancasila sebagai pedoman beretika.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara,
Pancasila mengandung banyak nilai moral dan kebaikan. Oleh karena itulah Pancasila dijadikan
sebagai sistem etika. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran
dan pandangan-pandangan moral. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan
buruk pada nlai-nilai yang terkandung dalam pancasila, yaitu niai Ketuhanan, Kemanusiaan,
persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Jika suatu perbuatan telah mencaup nilai-nilai dan
meninggikan nilai-nilai tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan baik, dan berlaku
sebaliknya. Pancasila sebagai sistem etika memegang peranan penting dalam perkembanga bangsa
ini karena Pancasla membentuk pla pikir bangsa sehinga bangsa kita dapat dianggap sebagai bangsa
yang bermoral dan beradab di mata dunia.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem https://id.wikipedia.org/wiki/Etika

Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 2, Januari 2017

https://www.academia.edu/32889592/6._Bagaimana_Pancasila_Menjadi_Sistem_Etika

https://www.academia.edu/29707247/A._NILAI_DASAR_NILAI_INSTRUMENTAL_DAN_NILAI
_PRAKSIS

http://budisma1.blogspot.com/2011/07/pancasila-sebagai-sistem-etika.html?m=1

https://www.academia.edu/13000228/Pancasila_Sebagai_Sistem_Etika

http://sinarmentari4u.blogspot.com/2011/07/makalah-pancasila-sebagai-sistem-etika.html

http://es182.blogspot.com/2013/02/pancasila-sebagai-sumber-nilai_6.html

Anda mungkin juga menyukai