Penetapan tersangka
Pengmpuluan Bukti-Bukti
Persidangan
Pelimpahan berkas
Fakta Hukum
Alat Hukum
Pasal yang menjerat
Testimoni atau keberanannya
Pertimbangan Hakim
Putusan Hakim
Jakarta - Nasib terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan ditentukan dalam vonis
hukuman pada hari ini. Sekitar 8 bulan sudah kasus dugaan penistaan agama berjalan.
Awal mula kasus ini lantaran pidato Ahok yang menyinggung surat Al-Maidah ayat 51 di
Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
DAKWAAN AHOK
Ahok kemudian didakwa dengan dakwaan primer Pasal 156 a huruf a KUHP dengan
ancaman hukuman paling lama 5 tahun. Sedangkan untuk dakwaan subsider, Ahok didakwa
dengan Pasal 156 KUHP. Ahok pun dituntut hukuman 1 tahun penjara dengan masa
percobaan 2 tahun.
Berikut perjalanan persidangan Ahok yang dirangkum detikcom, Selasa (9/5/2017):
AWAL MULA
2. Postingan Buni Yani yang Bikin Heboh Medsos
Kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok bermula dari postingan Buni Yani di
Facebook pada Oktober 2016. Dalam postingan tersebut, Buni Yani memposting
status serta potongan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Hal itu dilakukan Buni
Yani untuk mengajak netizen berdiskusi. Namun polisi menilai, kata-kata pada status
Buni Yani itu telah mengundang kebencian terhadap golongan berdasarkan SARA.
Awi menegaskan, video Ahok yang diunggah Buni tidak ada masalah, meski ia
memotong durasi menjadi 30 detik. Namun yang dipersoalkan adalah Buni
menambahkan transkrip ucapan Ahok yang kemudian dinilai dapat menimbulkan
kebencian atau rasa permusuhan terhadap suatu golongan berdasarkan SARA.
PELAPOR
ACTA Laporkan Ahok ke Bareskrim Polri karena dugaan menista umat Islam
Berawal dari postingan tersebut, banyak orang yang mencari langsung video
pernyataan Ahok saat berada di Kepulauan Seribu. Dari situlah kelompok Advokat
Cinta Tanah Air (ACTA) melaporkan Ahok ke Bareksrim Polri karena dianggap
melecehkan agama.
"Laporan yang kami bawa sedang diproses. Buktinya video di YouTube. Itu semua
tentang penistaan agama. Ahok harus dikenai pasal berlapis," ujar Sekretaris
Jenderal ACTA Djamal Kasim.
BUKTI PELAPOR
Dalam video yang dilaporkan ACTA, Ahok tengah menyampaikan pidato dan
menyinggung surat di dalam Alquran yakni Al-Maidah ayat 51 di depan warga Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016.
KLARIFIKASI AHOK
"Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung,
saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam
atau apa," kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (10/10/2016).
3. Proses Hukum Ahok Tetap Berjalan
PELOOR DEMO
Hingga Jumat (14/10) Bareskrim sudah memeriksa 5 saksi dalam kasus itu. Pada
hari yang sama, Massa 'Aksi Bela Islam' berdemo di depan Balai Kota DKI dan
Kantor Bareskrim. Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab sebagai memimpin aksi
mengatakan pihaknya telah membentuk delegasi agama untuk mengawal
Kabareskrim menangani kasus ini.
Polisi mengatakan, ke depan mereka juga akan memanggil saksi-saksi ahli seperti
ahli pidana, agama, bahasa. Penanganan kasus terus berlanjut. Hingga Selasa
(18/10), saksi seperi lurah, aparat desa dan masyarakat yang mendengar pidato
Ahok telah diperiksa. Video asli Ahok yang durasi panjang juga diperiksa ke
laboratorium forensik.
Dua hari setelahnya, polisi sudah meminta keterangan staf Ahok yang mendampingi
Ahok saat di Kepulauan Seribu. Pada (21/10), penyidik telah memeriksa 9 saksi
termasuk perekam video pidato Ahok itu.
Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto menegaskan tidak ada intervensi Jokowi
dalam kasus itu. Juga tidak ada kaitannya antara Ahok yang menemui Jokowi di
Istana sebelum menyambangi Bareskrim untuk memberikan klarifikasi.
GELAR PERKARA
Kasus Ahok akhirnya sampai ke tahap gelar perkara. Karo Penmas Divisi Humas
Polri Brijen Agus Rianto sebelumnya mengatakan dari 13 laporan yang diterima
polisi, hanya 4 pelapor yang bisa mengikuti gelar perkara pada Selasa (15/11/2016).
Selain itu ada 6 hingga 7 ahli dari pihak terlapor maupun pelapor yang hadir.
Penyidik Bareskrim juga menghadirkan saksi ahli dengan jumlah yang sama.
6. Ahok Ditetapkan Sebagai Tersangka
PENETAPAN TERSANGKA
Bareskrim Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan
agama. Namun penyidik memutuskan untuk tidak menahan Ahok.
7. Dalam Hitungan Jam, Jaksa Sudah Limpahkan Berkas Kasus Ahok ke PN Jakut
"Ya sudah, sudah, barusan kita terima dari Kajari dengan stafnya melimpahkan
barusan," kata Humas PN Jakarta Utara Hasoloan Sianturi saat dikonfirmasi, Kamis
(01/12/2016).
Menurutnya, masih ada proses yang akan dilakukan oleh PN Jakut sebelum memulai
agenda persidangan. Pihak PN Jakut akan terlebih dahulu mempelajari berkas kasus
Ahok. Setelah itu menunjuk majelis dan mengagendakan jadwal sidang.
Dalam sidang perdana itu, Ahok langsung membacakan eksepsi atau nota keberatan
setelah jaksa membacakan surat dakwaan. Dalam eksepsi itu, Ahok membacakan
kutipan dari bukunya sendiri. Dia juga membacakan salah satu subjudul buku
'Berlindung di Balik Ayat Suci'. Ahok berharap semua pihak memahami secara utuh
mengenai dugaan penistaan agama yang didakwakan kepadanya dengan dia
membaca kutipan di buku yang diterbitkan pada tahun 2008 itu.
Ahok juga bercerita tentang peran Presiden RI ke-4 Abdurahman Wahid (Gus Dur)
dalam karier politiknya dan memaparkan mengenai program dan sumbangan untuk
membangun masjid. Di ujung nota keberatannya, Ahok memohon majelis hakim
menolak seluruh dakwaan jaksa tersebut.
"Ada nggak SBY minta dikeluarkannya fatwa MUI terkait ucapan terdakwa?" tanya
pengacara di auditorium Kementan, Ragunan, Jaksel, Selasa (31/1/2017).
Pertanyaan yang sama diajukan berulang oleh pengacara Ahok dan tetap dijawab
Ma'ruf dengan bantahan.
"Karena sudah beberapa kali ditanya dan dijawab sama, kami berikan buktinya.
Kalau memang ini benar sesuai bukti, Anda memberi kesaksian palsu," sebut
pengacara Ahok.
"Saya meminta maaf kepada KH Ma'ruf Amin apabila terkesan memojokkan beliau,
meskipun beliau dihadirkan kemarin oleh jaksa sebagai Ketua Umum MUI, saya
mengakui beliau juga sesepuh NU. Dan saya menghormati beliau sebagai sesepuh
NU, seperti halnya tokoh-tokoh lain di NU, Gus Dur, Gus Mus, tokoh-tokoh yang
saya hormati dan panuti," tulis Ahok dalam pernyataannya.
Selain Rizieq, satu ahli yang akan dimintai keterangan adalah ahli pidana dari MUI
Abdul Choir Ramadhan. Abdul berasal dari Komisi Perundangan dan Hukum MUI.
Meski begitu, Abdul memastikan dirinya berada di posisi netral sebagai akademisi.
"Menuntut supaya majelis hakim yang mengadili perkara ini menyatakan terdakwa
Basuki Tjahaja Purnama terbukti bersalah menyatakan perasaan kebencian," ujar
ketua tim jaksa Ali Mukartono membacakan surat tuntutan dalam sidang lanjutan
Ahok di auditorium Kementan, Jl RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis
(20/4/2017).
Ahok dianggap jaksa terbukti melakukan penodaan agama karena menyebut Surat
Al-Maidah saat bertemu dengan warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada
27 September 2016. Penyebutan Surat Al-Maidah ini, menurut jaksa, dikaitkan Ahok
dengan Pilkada DKI Jakarta.
Dengan perkara ini, Ahok merasa diperlakukan tidak adil. Dia dinyatakan bersalah
sebelum ada putusan pengadilan.
"(Ada yang) mengakui adanya ketidakadilan dalam kasus ini, tapi bertepuk tangan
untuk kekalahan politik Ahok yang tidak bisa diubah sebuah ketidakjujuran," kata
Dalam pleidoi, Ahok menyebut cuplikan film 'Finding Nemo' yang sempat ditontonnya
bersama anak-anak TK di Balai Kota. Lewat film itu, Ahok menyebut pentingnya
keteguhan hati meski harus melawan arus.
Awalnya, Ahok ditanya anak-anak TK itu tentang alasannya melawan semua orang
dan melawan arus. Ahok, yang awalnya bingung, lalu mengajak anak-anak itu
menonton cuplikan film 'Finding Nemo' ketika banyak ikan terjebak jaring nelayan.
Ahok menyebut saat itu Nemo, yang merupakan tokoh dalam film itu, mengajak ikan-
ikan yang terjaring berenang ke arah bawah. Namun ajakan Nemo itu awalnya tidak
dipedulikan ikan-ikan yang terjebak jaring tersebut.
Ayah Nemo saat itu khawatir anaknya malah ikut terangkat jaring. Namun Nemo
memastikan dia ingin ikan-ikan lain mengikutinya berenang ke bawah melawan arus
agar terbebas dari jaring.
"Nemo yang tahu, Nemo minta berenang berlawanan arah, kira-kira orang nurut
nggak? Nggak nurut awalnya," ucap Ahok ketika membacakan pleidoi dalam sidang
di auditorium Kementan, Jalan RM Harsono, Jakarta Selatan, Selasa (25/4/2017).
03/11/2022 10.04.56
Perjalanan Kasus Hukum Ahok dan Vonis yang Menanti - Halaman 15 (detik.com)
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok resmi ditetapkan sebagai tersangka, terkait dugaan penistaan
agama. Peristiwa dugaan penistaan agama ini bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke
Kepulauan Seribu pada Selasa, 27 September 2016. Saat berpidato di hadapan warga, Ahok
menyatakan tidak memaksa warga untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017. Pernyataan itu disertai
kutipan surat Al Maidah ayat 51 yang menuai reaksi publik.
Pada Kamis, 6 Oktober 2016, video Ahok yang menyebut surat Al Maidah ayat 51 itu viral di media
sosial lewat jejaring facebook milik Buni Yani. Video ini lantas memicu kemarahan sebagian besar
umat Islam.
Pada 7 Oktober 2016, Ahok dilaporkan oleh Habib Novel Chaidir Hasan yang berprofesi sebagai alim
ulama, sebagaimana Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim. Ahok dilaporkan karena
diduga melakukan tindak pidana penghinaan agama.
AHOK MINTA MAAF DAN AWAL MULA DEMO MULAI PECAH
Setelah menjadi sorotan, pada Senin, 10 Oktober 2016, Ahok meminta maaf atas pernyataannya
tersebut. Ahok menyatakan tidak bermaksud menyinggung umat Islam. Nyatanya pernyataan Ahok
terkait dugaan penistaan agama masih memantik reaksi, demonstrasi pun pecah di depan balai kota
DKI Jakarta pada Jumat, 14 Oktober 2016.
Ahok pun mendatangi Bareskrim Mabes Polri pada Senin, 24 Oktober 2016 untuk memberi klarifikasi
terkait pernyataannya di Kepulauan Seribu. Namun, kekecewaan publik atas dugaan penistaan
agama tersebut nyatanya tak terbendung lagi. Jumat, 4 November 2016, massa dari berbagai daerah
memadati sejumlah titik di jantung ibukota termasuk di kawasan ring 1 Istana Negara.
Atas nama kebebasan demokrasi, massa turun ke jalan menuntut proses hukum Ahok atas dugaan
penistaan agama segera dituntaskan. Pintu Istana akhirnya terbuka, Wakil Presiden Jusuf Kalla
membuka dialog dengan perwakilan demonstran. Kata sepakat pun tercapai. Pemerintah
menjanjikan proses hukum Ahok akan dilakukan dengan cepat dan transparan.
Ahok, terlapor dugaan penistaan agama pun memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Mabes Polri,
Senin, 7 November 2016. Proses penyelidikan terkait dugaan penistaan agama tersebut ditangani
langsung oleh Kepolisian Republik Indonesia. Beberapa saksi ahli dihadirkan untuk memeriksa
apakah dugaan penistaan, benar dilakukan oleh sang terlapor. Proses hukum berjalan sesuai dengan
konstruksinya.
Setidaknya sudah 22 saksi yang telah diperiksa, terdiri dari 10 saksi ahli dari tiga bidang yaitu ahli
bahasa dari UGM, ahli agama dari MUI dan ahli hukum pidana dari UI dan Universitas Islam
Indonesia. 12 saksi lain adalah pegawai pemerintah provinsi DKI Jakarta, warga Kepulauan Seribu
dan Staf Ahok.
GELAR PERKARA
Bareskrim Polri pun langsung melakukan gelar perkara secara terbuka pada Selasa, 15 November
2016. Meski awalnya terbuka, gelar perkara yang dimulai pukul 09.00 WIB itu berlangsung tertutup.
Gelar perkara ini dihadiri kelompok pelapor dan kelompok terlapor. Dari pelapor hadir sejumlah
saksi ahli, termasuk di antaranya pemimpin FPI Rizieq Shihab.
Kemudian pada Rabu, 16 November 2016, Ahok resmi ditetapkan sebagai tersangka.
03/11/2022 10.04.56
VONIS AHOK
"Terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan penodaan agama, menjatuhkan pidana
penjara selama 2 tahun," kata ketua majelis hakim Dwiarso Budi Santiarto, dalam sidang yang digelar
Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Selasa (9/5).
Terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan penodaan agama, menjatuhkan pidana
penjara selama 2 tahun.
Putusan itu lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum. Ahok dituntut hukuman penjara selama
1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Jaksa menilai Ahok hanya terbukti menghina golongan,
bukan menghina agama.
"Terdakwa dituntut hukuman penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan alternatif kedua," kata ketua tim
jaksa penuntut umum, Ali Mukartono, saat membacakan surat tuntutan, Kamis (20/4).
VONIS FINAL AHOK
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok divonis hukuman 2 tahun penjara. Gubernur DKI Jakarta itu
dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan menodai agama.
"Terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan penodaan agama, menjatuhkan pidana
penjara selama 2 tahun," kata ketua majelis hakim Dwiarso Budi Santiarto, dalam sidang yang digelar
Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Selasa (9/5).
TERBUKTI BERSALAH
Terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan penodaan agama, menjatuhkan pidana
penjara selama 2 tahun.
Putusan itu lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum. Ahok dituntut hukuman penjara selama
1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Jaksa menilai Ahok hanya terbukti menghina golongan,
bukan menghina agama.
"Terdakwa dituntut hukuman penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan alternatif kedua," kata ketua tim
jaksa penuntut umum, Ali Mukartono, saat membacakan surat tuntutan, Kamis (20/4).
Dakwaan alternatif kedua merujuk ke Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal itu
mengatur tentang seseorang yang dengan sengaja menyatakan perasaan permusuhan, kebencian,
atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Tapi vonis untuk Ahok merujuk ke dakwaan pertama, Pasal 156 a KUHP yang mengatur perbuatan
seseorang yang secara spesifik mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada
pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut
di Indonesia.
Kasus ini bermula pada Selasa, 27 September 2016, ketika Ahok berpidato di tempat di tempat
pelelangan ikan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Di pidato itu, dia
Ketika itu, Ahok telah terdaftar sebagai salah satu calon Gubernur DKI yang pemilihanya akan
dilaksanakan pada Februari 2017. Jaksa menganggap Ahok dengan sengaja memasukkan kalimat
yang berkaitan dengan Pilgub. Berikut kalimat Ahok itu:
KUTIPAN PIDATO AHOK DI PULAU SERIBU
"Ini pemilihan kan dimajuin jadi kalo saya tidak terpilih pun saya berhentinya Oktober 2017 jadi kalo
program ini kita jalankan dengan baik pun bapak ibu masih sempet panen sama saya sekalipun saya
tidak terpilih jadi gubernur. Jadi cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi gak usah pikiran ah, nanti
kalau gak kepilih, pasti Ahok programnya bubar, enggak, saya sampai oktober 2017, jadi jangan
percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu gak bisa pilih saya, ya kan dibohongi
pakai surat Al-Maidah 51, macem-macem itu, itu hak bapak ibu yah jadi kalo bapak ibu perasaan gak
bisa kepilih nih karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu, ya enggak papa, karna ini kan
panggilan pribadi bapak ibu, program ini jalan saja, jadi bapak ibu gak usah merasa gak enak, dalam
nuraninya gak bisa milih Ahok, gak suka sama Ahok nih, tapi programnya gua kalo terima gak enak
dong jadi utang budi jangan bapak ibu punya perasaan gak enak nanti mati pelan-pelan loh kena
stroke."
PENILAIAN JAKSA
Jaksa menilai, terjemahan dan interpretasi Surat Al-Maidah ayat 51 menjadi domain bagi pemeluk
dan penganut agama Islam, baik dalam pemahamannya maupun dalam penerapannya.
Pada 11 Oktober 2016, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI.
Pada angka 5, isinya menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil Surat Al-Maidah
ayat 51 tentang larangan non-muslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan
umat Islam.
Ahok kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 16 November 2016. Sebulan kemudian, perkara
Ahok disidangkan. Sidang itu dipimpin Dwiarso Budi Santiarto.
Kasus ini tak bisa dilepaskan dari sejumlah unjuk rasa yang menuntut ahok dipenjara. Misalnya pada
4 November dan 2 Desember 2016. Banyaknya massa membuat area Monas tertutup hingga ke
Bundaran Hotel Indonesia.
03/11/2022 10.04.56
https://kumparan.com/kumparannews/ahok-divonis-hukuman-2-tahun-penjara
Jika melihat pengaturan mengenai penahanan, Ahok bisa melakukan upaya penangguhan
penahanan kepada PN Jakarta Utara.
Bacaan 2 Menit
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku terdakwa kasus penistaan agama
saat menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Auditorium
Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5).
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku terdakwa kasus penistaan agama
saat menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Auditorium
Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5).
menjatuhkan hukuman punya kewenangan tambahan yang tidak diatur masa waktunya, tidak tegas
diatur dalam pasal penahanan,” kata Arsil .
Walaupun begitu, Arsil memaparkan bahwa dalam praktiknya, masa penahanan akan tetap
mengurangi masa hukuman penjara yang dijatuhkan jika pada putusan akhirnya terdakwa akan
tetap dijatuhi pidana penjara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 22 (4) KUHAP bahwa, masa
penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
“Mengurangi nanti, pokoknya semua jenis penahanan, kalau seandainya dinyatakan bersalah,
dihukum, inkrach, masa penahanan ini akan dihitung sebagai masa hukuman. Ini tahanan, transisi
dari satu pengadilan ke pengadilan yang lain. Walaupun tidak wajib,” tambah Arsil.
Perlu diingat kembali bahwa konsep ultra petita pada awalnya dikenal dari hukum acara perdata di
Indonesia yang sejak masa kolonial masih menggunakan Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
Dalam ketentuan Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR serta ketentuan serupa dalam Pasal 189 ayat (2) dan
(3) RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten) diatur bahwa seorang hakim dilarang memutus
melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR hingga saat ini masih merupakan hukum acara
yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.
Di luar dari peradilan perdata, konsep ultra petita seringkali digunakan dengan tidak tepat. Pada
dasarnya larangan ultra petita bagi hakim di peradilan perdata berkaitan dengan peran hakim yang
bersifat pasif terhadap para pihak. Dalam buku rujukan Pengantar Ilmu Hukum tulisan L.J. Van
Apeldoorn misalnya dijelaskan bahwa inisiatif untuk mengadakan sengketa secara perdata ada pada
para pihak perorangan dan bukan hakim atau badan pemerintah. Para pihak ini mempunyai hak
untuk menghentikan sengketa hukum yang telah mereka ajukan di hadapan hakim bahkan sebelum
hakim menjatuhkan putusan (Pasal 227 B.Rv). selain itu, lingkup sengketa yang diajukan untuk
dipertimbangkan Hakim tergantung pada para pihak.
Hakim hanya akan menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang diminta.
Hakim hanya menentukan apakah berbagai bukti dan argumentasi yang diajukan para pihak itu
dapat membenarkan tuntutan hukum (petitum) mereka tanpa menambah sendiri atau memberikan
lebih dari yang diminta. Hakim juga tidak bertanggung jawab meragukan atau melakukan
pembuktian jika salah satu pihak membenarkan pihak lain. Bahkan hakim di pengadilan perdata
tidak boleh melakukan pemeriksaan atas kebenaran sumpah decisoir yang dilakukan salah satu
pihak. Hal ini karena hakim hanya menggali kebenaran formil, tidak seperti sifat aktif hakim di
peradilan pidana yang menggali kebenaran materiil.
Lain halnya dalam suatu peradilan pidana di mana bisa jadi hakim justru menjatuhkan hukuman
lebih dari yang dituntut oleh jaksa. Hal ini karena peran hakim yang bersifat aktif untuk ikut menjaga
kepentingan umum yaitu ketertiban bagi masyarakat luas. Trimoelja menegaskan hal ini terkait
putusan hakim. “Hakim bahkan bisa menjatuhkan, misalnya jaksa menuntut 2 tahun, hakim bisa
menjatuhkan putusan lebih tinggi dari itu, yang penting tidak melampaui maksimumnya.”
Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali menjelaskan pula bahwa “..bentuk
putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat
dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan”. Dengan
demikian, apa yang diputus majelis hakim dalam sidang Ahok dengan menyimpangi tuntutan jaksa
tidak bertentangan dengan dakwaan awal.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono,
menjelaskan bahwa putusan majelis hakim masih dalam koridor perundang-undangan. “Pasal 182
(3) dan (4) KUHAP jelas menyatakan berdasarkan dakwaan dan hasil pemeriksaan atau pembuktian
persidangan, itu basis hakim harus dari situ. Masih dalam koridor,” katanya.
(3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila
perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan
hadirin meninggalkan ruangan sidang;
(4) Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu
yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang;
Supriyadi mengungkapkan bahwa jika pun diterima istilah ultra petita dalam konsep peradilan
pidana maka itu masih dalam batas isi pasal dalam dakwaan. Hanya saja dalam kasus putusan Ahok
dirinya menyayangkan majelis hakim menolak hasil pemeriksaan jaksa selaku penuntut umum yang
akhirnya memilih untuk menuntut hanya dengan Pasal 156 KUHP sebagai alternatif dalam
dakwaannya. Bagi Supriyadi, jaksa yang paling tahu tentang hasil akhir pemeriksaan persidangan dari
dakwaannya untuk diajukan tuntutan.
03/11/2022 10.04.56