Anda di halaman 1dari 11

TUGAS UTS MATA KULIAH PENEMUAN HUKUM

ANALISIS PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM TERHADAP


PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA UTARA
NO.1537/PID.B/2016/PN.JKT UTR
(KASUS PENISTAAN TERHADAP AGAMA OLEH BASUKI TJAHAJA
PURNAMA)

DOSEN: PROF. DR. AGUS SURONO, S.H., MH

Disusun oleh :

Andre Febriansyah

2110622012

Kelas A1

Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

2021
KRONOLOGI KASUS

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok resmi ditetapkan sebagai tersangka, terkait dugaan penistaan
agama. Peristiwa dugaan penistaan agama ini bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke
Kepulauan Seribu pada Selasa, 27 September 2016. Saat berpidato di hadapan warga, Ahok
menyatakan tidak memaksa warga untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017. Pernyataan itu
disertai kutipan surat Al Maidah ayat 51 yang menuai reaksi publik. Pada Kamis, 6 Oktober
2016, video Ahok yang menyebut surat Al Maidah ayat 51 itu viral di media sosial lewat jejaring
facebook milik Buni Yani. Video ini lantas memicu kemarahan sebagian besar umat Islam. Pada
7 Oktober 2016, Ahok dilaporkan oleh Habib Novel Chaidir Hasan yang berprofesi sebagai alim
ulama, sebagaimana Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim.

Ahok dilaporkan karena diduga melakukan tindak pidana penghinaan agama. Setelah menjadi
sorotan, pada Senin, 10 Oktober 2016, Ahok meminta maaf atas pernyataannya tersebut. Ahok
menyatakan tidak bermaksud menyinggung umat Islam. Nyatanya pernyataan Ahok terkait
dugaan penistaan agama masih memantik reaksi, demonstrasi pun pecah di depan balai kota DKI
Jakarta pada Jumat, 14 Oktober 2016. Ahok pun mendatangi Bareskrim Mabes Polri pada Senin,
24 Oktober 2016 untuk memberi klarifikasi terkait pernyataannya di Kepulauan Seribu. Jumat, 4
November 2016, massa dari berbagai daerah memadati sejumlah titik di jantung ibukota
termasuk di kawasan ring 1 Istana Negara, menuntut Ahok segera diadili.

Pemerintah akhirnya menjanjikan proses hukum Ahok akan dilakukan dengan cepat dan
transparan. Ahok, terlapor dugaan penistaan agama pun memenuhi panggilan penyidik
Bareskrim Mabes Polri, Senin, 7 November 2016. Proses penyelidikan terkait dugaan penistaan
agama tersebut ditangani langsung oleh Kepolisian Republik Indonesia. Beberapa saksi ahli
dihadirkan untuk memeriksa apakah dugaan penistaan, benar dilakukan oleh sang terlapor.

Proses hukum berjalan sesuai dengan konstruksinya. 22 dihadirkan, terdiri dari 10 saksi ahli dari
tiga bidang yaitu ahli bahasa dari UGM, ahli agama dari MUI dan ahli hukum pidana dari UI dan
Universitas Islam Indonesia. 12 saksi lain adalah pegawai pemerintah provinsi DKI Jakarta,
warga Kepulauan Seribu dan Staf Ahok. Bareskrim Polri pun langsung melakukan gelar perkara
secara terbuka pada Selasa, 15 November 2016. Meski awalnya terbuka, gelar perkara yang
dimulai pukul 09.00 WIB itu berlangsung tertutup. Gelar perkara ini dihadiri kelompok pelapor
dan kelompok terlapor. Dari pelapor hadir sejumlah saksi ahli, termasuk di antaranya pemimpin
FPI Rizieq Shihab. Kemudian pada Rabu, 16 November 2016, Ahok resmi ditetapkan sebagai
tersangka.

Selain menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama, hari itu juga
Bareskrim langsung menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus ini.
Selasa (22/11/2016), Ahok menjalani pemeriksaan sebagai tersangka untuk pertama kalinya.
Jumat (25/11/2016), rombongan penyidik Bareskrim Polri yang diketuai oleh Direktur Tindak
Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Agus Andrianto, menyerahkan berkas perkara kasus
dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Ahok ke Kejaksaan
Agung (Kejagung). Berkas berkas Ahok adalah seberat 826 halaman. Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Umum (Jampidum), Noor Rachmad telah menunjuk 13 orang jaksa yang ditugaskan
untuk meneliti berkas perkara kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Ahok.

Selasa (13/12/2016), sidang perdana Ahok atas kasus dugaan penistaan agama digelar di
Auditorium Kementerian Pertanian, Selasa (13/12/2016). Ketua Majelis Hakimnya H. Dwiarso
Budi Santiarto, memimpin sidang Ahok. Dwiarso didampingi oleh empat hakim anggota yaitu
Jupriyadi, Abdul Rosyad, Joseph V. Rahantoknam dan I Wayan Wirjana. Dwiarso adalah juga
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Kasus Ahok berakhir pada Putusan No. 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR dikeluarkan oleh majelis
hakim perkara tersebut dengan menyatakan bahwa terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penodaan Agama;
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua)
Tahun; Memerintahkan agar Terdakwa ditahan; Menetapkan barang bukti yang diajukan oleh
Penuntut Umum berupa : Seluruhnya tetap terlampir dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari
berkas perkara; Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
5.000,- (lima ribu rupiah). Hakim Ketua Dwiarso menjelaskan beberapa poin yang memberatkan
hingga Ahok dijatuhkan vonis dua tahun penjara. Yang memberatkan terdakwa tidak merasa
bersalah, perbuatan terdakwa telah mencederai perasaan umat Islam dan juga memecah
kerukunan. Sementara yang meringankan adalah belum pernah dihukum, bersikap sopan dan
kooperatif selama persidangan.

PERMASALAHAN TERKAIT METODE INTERPRETASI

Metode penemuan hukum tersedia metode interpretasi atau penafsiran. Metode penafsiran yang
dianalisis adalah :

1) Interpretasi Gramatikal

Untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang maka ketentuan undang-undang ditafsirkan


atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. Metode interpretasi
gramatikal atau penafsiran menurut bahasa atau disebut juga metode obyektif.

Peraturan terkait adalah Undang-Undang No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan


dan/atau Penodaan Agama dan Pasal 156a KUHP. Pasal 156 a huruf a KUHP yang rumusannya
adalah sebagai berikut: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia”

Secara umum penodaan agama diartikan sebagai pertentangan hal-hal yang dianggap suci atau
yang tidak boleh diserang (tabu) yaitu, simbol-simbol agama / pemimpin agama / kitab suci
agama. Bentuk penodaan agama pada umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang
ketuhanan terhadap agama-agama yang mapan.

Pengertian penodaan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penodaan berarti
menghinakan; merendahkan (derajat dan sebagainya). Beberapa pakar hukum lebih memilih
menggunakan kata cela atau mencela dibandingkan nista atau menista, perbedaan istilah tersebut
disebabkan oleh penerjemahan kata smaad dari bahasa Belanda. Kesimpulannya, secara umum
menistakan agama adalah perilaku, perbuatan yang menghinakan dan/atau merendahkan agama
tertentu. Terjemahan dan interpretasinya menjadi domain bagi pemeluk dan penganut agama
Islam, baik dalam pemahamannya maupun dalam penerapannya. Sedangkan suatu perbuatan
dapat dikatakan dilakukan dimuka umum adalah apabila di tempat tersebut dapat dilihat dan
dikunjungi oleh orang banyak (ditempat umum).

Pasal 156a huruf a KUHP tidaklah serta merta cukup dengan membuktikan adanya kesengajaan.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Profesor Edward O.S
Hiariej atau lebih dikenal dengan panggilan Prof. Eddy, salah satu ahli dalam sidang Ahok,
menjelaskan huruf a dan huruf b dalam Pasal 156a KUHP bersifat alternatif yang berdiri masing-
masing dengan perbedaan prinsip dalam unsurnya. Dalam pasal 156a huruf a sekilas hanya
mensyaratkan unsur kesengajaan. Akan tetapi, dengan melihat penjelasan Pasal 156a huruf a
dalam UU PNPS No. 1 Tahun 1965 justru ada tambahan unsur yang harus dipenuhi yaitu niat.
Tertera dalam bunyi penjelasan Pasal 156a huruf a: “tindak pidana yang dimaksudkan di sini,
ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau
menghina”.

Merujuk interpretasi gramatikal-sistematis dari Pasal 156a huruf a, huruf b, dan penjelasannya
Pasal 156a huruf a mensyaratkan tidak hanya kesengajaan tapi juga niat. Niat ini adalah sesuatu
yang lebih mendalam dari kesengajaan. Perbuatan sengaja dapat dinilai dengan adanya perbuatan
yang telah dilakukan dengan kesadarannya, sedangkan niat tidak mudah dibuktikan. Untuk
menjustifikasi seseorang telah memenuhi unsur delik Pasal 156a huruf a itu tidak hanya dengan
kesengajaan semata tetapi harus dilihat niat, kalau kita bicara soal niat maka yang tahu niat
hanya Tuhan dengan pelakunya. Dijelaskan lebih lanjut, pembuktian adanya niat harus dilihat
dari keadaan sehari-hari pelakunya apakah ada kecenderungan yang kuat dalam memusuhi atau
menghina agama yang dimaksud. Metode ini disebut sebagai teori kesengajaan yang
diobjektifkan. Perlu dieksplorasi kehidupan dan keseharian pelaku untuk memastikan bahwa
perbuatan sengaja yang diduga merupakan penodaan agama berdasarkan dengan niat.

Dalam pertimbangan Majelis Hakim, dalam melakukan eksplorasi kehidupan dan keseharian
pelaku, maka ditelusuri keterangan saksi-saksi mengenai jejak pemikiran Ahok, antara lain
dalam buku “Merubah Indonesia” yang ditulis oleh Terdakwa pada Tahun 2008, juga dalam
rekaman-rekaman dalam rapat kerja, misalnya penggunaan nama Wi-Fi "Al-Maidah" dengan
password "Kafir" saat rapat di Balai Kota DKI Jakarta. Hal tersebut dianggap telah cukup
mengkonfirmasi tentang adanya niatan atau kesengajaan tersebut. Sehingga Majelis Hakim
memperoleh keyakinan bahwa telah terdapat niatan atas penodaan agama.

2) Interpretasi Sistematis atau Logis

Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan


hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum, sehingga tidak boleh
menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem hukum. Hubungan antara
keseluruhan peraturan tidak semata-mata ditentukan oleh tempat peraturan itu terhadap satu
sama lain, tetapi oleh tujuan bersama atau asas-asas yang bersamaan yang mendasarkan pada
peraturan-peraturan.

Peraturan terkait Pasal 156a KUHP adalah Undang-Undang No 1/PNPS/1965 tentang


Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Meskipun aturan masalah penodaan
agama ini telah beberapa kali dilakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi karena
dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945 yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1), (2) dan (3), Pasal 28 ayat (1) dan (2), Pasal 29 ayat (2), namun
Mahkamah Konstitusi (MK) konsisten menolak permohonan judicial review tersebut. Masalah
Pencegahan Penodaan Agama ini sebelumnya juga pernah diajukan pengujian dan telah diputus
melalui Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 yang amar putusannya
menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, dan Putusan MK Nomor
84/PUU-X/2012 bertanggal 19 September 2013 yang amar putusannya juga ditolak seluruhnya.

Terakhir dalam Putusan MK bernomor 76/PUU-XVI/2018, MK juga menolak permohonan


judicial review tersebut karena Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak memberi
kemungkinan adanya kampanye kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti
agama, serta tidak memungkinkan menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang
menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan.
Dengan demikian, maka Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP serta Pasal 4 UU Pencegahan
Penodaan Agama justru selaras dengan jaminan dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2)
UUD 1945. Kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang sangat
fundamental, melekat dalam diri setiap manusia. Pemidanaan terhadap penyalahgunaan agama
dan penodaan/penistaan agama adalah penting karena dalam bentuk apapun baik dilakukan
perorangan maupun kelompok, penodaan dan penyalahgunaan agama adalah tindakan yang tidak
dapat dibenarkan dalam pandangan hukum (Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009).

3) Interpretasi Historis

Penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya,
meliputi :

- Penafsiran/interpretasi menurut sejarah hukum, meneliti ketentuan atau lembaga hukum


sepanjang sejarah.

- Penafsiran menurut sejarah undang-undang, meneliti maksud atau tujuan pembentuk undang-
undang tertentu, maka disebut juga penafsiran subyektif karena dipengaruhi oleh pandangan.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat delik yang dikategorikan sebagai
delik terhadap agama yaitu Pasal 156 KUHP untuk mengatur seseorang yang dengan sengaja
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa
golongan rakyat Indonesia. Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, maka dalam KUHP ditambahkan Pasal
156 a. Penjelasan umum yang dapat dilihat dari peraturan tersebut bertujuan untuk melindungi
ketentraman setiap orang dalam beragama dari penodaan/penghinaan agama atau ajaran-ajaran
yang tidak memeluk agama.

Sejarah rumusan pasal 156a dalam KUHP tersebut sengaja dibuat atas desakan kelompok
mayoritas muslim terhadap minoritas. Penegasan tentang penistaan agama terjadi di era Sukarno.
Ketetapan No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama,
diterbitkan Sukarno untuk mengakomodasi permintaan dari organisasi-organisasi Islam yang
ingin melarang aliran kepercayaan. Mereka menganggap aliran kepercayaan bisa menodai agama
yang ada di Indonesia. Sukarno sepaham dengan kalangan muslim konservatif tersebut,
menganggap hampir di seluruh Indonesia timbul aliran-aliran dan organisasi-organisasi
kebatinan atau kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum
Agama. Pasal 156a dianggap memiliki kerangka pasal-pasal yang menjurus pembelaan negara
pada Tuhan.

Dalam pengaturan hukum di Indonesia, kedudukan agama diberi tempat yang terhormat. Di
dalam Pancasila kehidupan beragama oleh Bangsa Indonesia ditempatkan pada peringkat
pertama dari sila pertama. Adapun pengaturan penghormatan terhadap kebebasan beragama
tersebut dari mulai Undang-undang Dasar 1945 sampai dengan peraturan perundangan lainnya.

4) Interpretasi Teleologis atau Sosiologis

Menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, yang dicari


adalah tujuan peraturan perundang-undangan, yang ditentukan secara obyektif. Interpretasi
teleologis terjadi apabila makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan
kemasyarakatan, peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi
sosial yang baru.

Kasus Ahok tersebut tersebar luas melalui media sosial, dan mendapat amplifikasi secara cepat.
Di era digital seperti saat ini, di mana informasi bergerak sangat cepat, suatu peristiwa dapat
tersebar luas dan persoalan menjadi semakin mengkhawatirkan. Desakan masyarakat dan Majelis
Ulama Indonesia serta beberapa ormas Islam menunjukkan bahwa terjadi keresahan yang luar
biasa di kalangan masyarakat.

Dewan Pertimbangan MUI kemudian mengeluarkan 6 butir Tausiah Kebangsaan, yang isinya
kurang lebih merangkum kondisi kebatinan umat Islam pada saat itu :

1. Memperkuat Pendapat Keagamaan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tanggal 11


Oktober 2016 tentang penistaan agama, dan seharusnya menjadi rujukan utama dalam
menangani proses hukum masalah dugaan penistaan agama, sebagaimana yang telah
menjadi kebiasaan selama ini. Juga mendukung pernyataan sikap PBNU dan PP
Muhammadiyah yang merupakan pendapat dan sikap sesuai ajaran Islam berdasarkan Al-
Qur'an dan Al-Hadits. Pendapat Keagamaan tersebut dikeluarkan sebagai kewajiban para
ulama dalam menjaga agama dan mendorong kehidupan duniawi yang tertib, harmonis,
penuh maslahat, serta memelihara kerukunan hidup antarumat beragama demi persatuan
dan kesatuan bangsa.
2. Menyesalkan ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Seribu,
yang beredar luas di masyarakat. Ucapan tersebut dirasakan Umat Islam sebagai
penghinaan terhadap Agama Islam, Kitab Suci Al Qur'an, dan ulama, karena memasuki
wilayah keyakinan pemeluk agama lain dengan memberikan penilaian dan pemahaman
yang diberikan para ulama, dan dengan memakai kata yang bersifat negatif, pejoratif, dan
mengandung kebencian (hate speech). Ucapan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama
tersebut menunjukkan intoleransi dan rendahnya tenggang rasa terhadap keyakinan orang
lain dan sangat potensial menciptakan kegaduhan sosial dan politik yang dapat mengarah
kepada terganggunya stabilitas nasional.
3. Memberikan apresiasi kepada umat Islam dan beberapa elemen bangsa yang menggelar
aksi damai 4 November 2016 sebagai reaksi yang telah berlangsung dengan aman dan
damai yang dipimpin oleh para ulama, habaib dan para tokoh Islam. Aksi damai tersebut
yang menunjukkan kesatuan dan kebersamaan semua elemen bangsa merupakan ekspresi
demokrasi yang konstitusional dan positif untuk mendorong penegakan hukum di negeri
yang menganut supremasi hukum. Insiden yang terjadi di luar waktu unjuk rasa adalah
ulah provokator yang hanya ingin menciderai aksi damai tersebut.
4. Menyampaikan bela sungkawa dan simpati yang mendalam atas jatuhnya korban (yang
terluka maupun yang meninggal dunia), baik dari kalangan peserta aksi dan peserta
keamanan dan diharapkan pada masa yang akan datang aksi damai tidak dihadapi dengan
tindakan represif.
5. Karena kasus penistaan agama bukan masalah kecil, maka diminta agar proses hukum
dijalankan secara berkeadilan, transparan, cepat, dan memperhatikan rasa keadilan
masyarakat luas.
6. Menyerukan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk tidak terpancing dengan isu-isu
yang menyesatkan dan provokatif serta memecah belah kehidupan umat dan bangsa
Indonesia. Seraya menyerukan dan mengajak umat Islam Indonesia untuk tetap menjaga
ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniyah, dan terus memanjatkan doa kepada Allah
SWT untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa.
Keadaan psikologis masyarakat saat itu dalam kondisi yang tidak biasa, belum pernah terjadi
sebelumnya sebuah demonstrasi besar dengan akselerasi yang begitu cepat dan massif, yang juga
diwarnai dengan memanasnya suhu politik menjelang pilkada DKI yang sudah sangat
terpolarisasi. Untuk dapat menurunkan suhu sosial dan politik pada saat itu, dengan tujuan
menghindari risiko ancaman pada persatuan bangsa, pada akhirnya proses hukum pun berada di
bawah tekanan untuk dapat mengakomodasikan tuntutan masyarakat.

5) Interpretasi Multidisipliner

Dalam interpretasi multidisipliner, seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa
disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Kemungkinan ke depan, interpretasi multidisipliner ini
akan sering terjadi, mengingat kasus-kasus kejahatan di era global sekarang ini mulai beragam
dan bermunculan.

Kasus Ahok termasuk kasus yang relatif kompleks, sehingga tidak hanya dapat diselesaikan dari
sudut pandang hukum saja. Diperlukan ahli-ahli selain dalam bidang hukum, juga diperlukan
berbagai bidang ilmu. Dalam persidangan, telah dihadirkan berbagai ahli, seperti ahli psikologi
sosial Risa Permana Deli, serta ahli bahasa yaitu : Prof. H. Mahyuni, MA.,Ph.D., Dr. Rahayu
Surtiati dan Bambang Kaswanti Purwo.

Selain itu, juga menghadirkan saksi ahli agama Islam Hamka Haq; Masdar Farid Mas'udi;
Sahiron Syamsuddin ; Dr. HM. Hamdan Rasyid, MA. ; Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin
Suma, SH.MA.MM.; Prof. Dr. Yunahar Ilyas, dan Habib Muhammad Rizieq Syihab, Kemudian
dari Ormas Islam ; KH Miftachul Akhyar dari PBNU, dan Sekretaris Pusat Pemuda
Muhammadiyah, Pedri Kasman, serta KH Ma’ruf Amin dari MUI.

Dalam pandangan penulis, meskipun telah dihadirkan banyak ahli dari berbagai keilmuan,
Majelis Hakim dalam putusannya terlihat lebih condong mengambil pendapat dari MUI, ahli
agama (Islam) dan ormas keislaman. Disamping itu, dalam persidangan juga tidak dihadirkan
ahli dari bidang teknologi informasi, sosiologi dan politik yang menurut pemikiran penulis,
pandangannya diperlukan karena kasus penodaan agama ini awal mulanya dari video yang
kemudian diviralkan lewat berbagai media sosial, dan momennya sangat dekat dengan persiapan
menjelang Pilkada DKI.

Anda mungkin juga menyukai