Anda di halaman 1dari 4

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM PERTAHANAN KEAMANAN DAN BELA NEGARA

Mengkritisi Ketentuan Rancangan Peraturan Presiden tentang


Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme

Disusun oleh :
Andre Febriansyah
2110622012
Kelas A1

Program Studi Magister Hukum


Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
2021
1. Coba saudara inventarisir Pasal-pasal dalam ketentuan PERPRES tersebut yang
berpotensi masalah dalam penanggulangan tindak pidana terorisme?

Dalam rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme,
aturan-aturannya berpotensi menimbulkan konflik dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun
2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI. Berikut kami rangkum rancangan pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan
konflik/masalah:

a. Rancangan Pasal 1 ayat (1) terkait definisi ;


- Definisi 'aksi terorisme' dinilai belum menunjukkan perbedaan aksi terorisme dengan
tindak pidana terorisme atau terorisme sehingga belum mampu menjelaskan keadaan
dan situasi peran TNI. sebagaimana diatur dalam Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun
2018.
- 'Aksi terorisme' seharusnya dipahami sebagai tindakan nyata yang menimbulkan
suasana teror yang meluas dan melampaui kemampuan Kepolisian.

b. Rancangan Pasal 2 ayat (2) terkait tugas TNI dalam aksi terorisme ;
- Definisi 'aksi terorisme' dinilai belum menunjukkan perbedaan aksi terorisme dengan
tindak pidana terorisme atau terorisme sehingga belum mampu menjelaskan keadaan
dan situasi peran TNI. sebagaimana diatur dalam Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018.
- 'Aksi terorisme' seharusnya dipahami sebagai tindakan nyata yang menimbulkan
suasana teror yang meluas dan melampaui kemampuan Kepolisian.

c. Pasal 2 ayat (2) terkait tugas TNI dalam aksi terorisme


- Peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme pada prinsipnya hanya melakukan
penindakan sebagaimana Pasal 2 ayat (2) huruf b rancangan perpres dan
berkoordinasi dengan BNPT. Adapun tugas lainnya meliputi penangkalan dan
pemulihan adalah kegiatan yang menjadi kewenangan BNPT sesuai UU Nomor 5
Tahun 2018.
- Hal yang menjadi kekhawatiran karena kegiatan penangkalan memiliki ruang
lingkup luas, sehingga dapat diartikan sebagai kegiatan pencegahan yang tentu
berbeda pendekatan dengan pola militer atau penindakan.
- Perlu adanya pengaturan lebih rinci dengan batasan-batasan yang jelas bahwa telah
timbul ancaman yang nyata dan membutuhkan pola pendekatan militer, yakni sudah
di luar kemampuan dari Kepolisian, agar sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
d. Rancangan Pasal 3 :
- Dalam Raperpres, kegiatan penangkalan berpotensi bergesekan atau bersinggungan
dengan kewenangan yang dimiliki pihak lain, yakni aparat penegak hukum dan
intelijen. Hal ini berpotensi menimbulkan dualisme kewenangan dan pertentangan
hukum.
- Kegiatan operasi intelijen memerlukan batasan-batasan yang lebih jelas karena
penyelidikan bukan tugas pokok Tentara Nasional Indonesia.
- Harus dijelaskan bagaimana cara mendapatkan informasi dalam kegiatan operasi
informasi, agar disesuaikan dengan prinsip-prinsip HAM dan peraturan perundang-
undangan.

e. Rancangan Pasal 5 :
- Pengaturan kegiatan dan/atau operasi penangkalan yang dimaksud tidak sesuai
dengan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang
TNI; yang seharusnya mendapat perintah dari Presiden dan mendapat persetujuan
dari DPR.

f. Rancangan Pasal 6 :
- Operasi khusus dalam hal ini merupakan operasi yang bersifat temporer; sehingga
pengaturannya harus mendapat penegasan bahwa operasi tersebut hanya bersifat
sementara dan tidak membutuhkan peningkatan menjadi kegiatan rutin dan
sejenisnya atau adanya batasan waktu.

g. Rancangan Pasal 7 tentang kewenangan pencegahan :


- Sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI tak berwenang melakukan pencegahan
terorisme.
- Pencegahan tindak pidana terorisme merupakan kewenangan BNPT.

h. Rancangan Pasal 8 sampai Pasal 11 tentang kewenangan penindakan :


- Perlu penegasan kembali bahwa tindakan 'penindakan' terhadap aksi terorisme
merupakan perintah presiden dan mendapat persetujuan DPR.
- Pengerahan kekuatan TNI harus berdasarkan keputusan politik (Pasal 3, Pasal 7 ayat
(3) dan Pasal 17 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI).

i. Rancangan Pasal 14 :
- Anggaran untuk mengatasi aksi terorisme yang dilakukan oleh TNI sesuai dengan
UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, hanya bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
2. Dengan pengaturan domain TNI yang berlebihan, apakah dapat berpotensi terjadinya
gesekan antara POLRI, TNI dan BNPT. Jelaskan pendapat saudara?

Pada prinsipnya pelibatan TNI tanda kutip boleh-boleh saja, hanya bagaimana secara
konteks dikaitkan UU nomor 5 tahun 2018 akan banyak sekali akan kemungkinan ada
overlap misalnya dalam tupoksi dan anggaran. Penanganan terorisme selama ini
merupakan ranah Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme.

Juga dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelibatan TNI atau pengerahan
kekuatan militer dilakukan oleh Presiden dan harus mendapat persetujuan DPR RI, yakni
merupakan kebijakan dan politik negara.

Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme dapat dilakukan melalui mekanisme operasi
militer selain perang (OMSP) sebagaimana amanat Pasal 7 UU No.34 Tahun 2004. Jadi,
tidak tepat jika diturunkan dalam bentuk Perpres,

3. Bagaimanakah problem solving terhadap permasalahan tersebut, jelaskan pendapat


saudara?

Sebenarnya permasalahan ini telah diredam dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor
7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan
Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020
—2024.

Perpres tersebut menyatukan semua program penanganan masalah terorisme,


ekstremisme, dan radikalisme di semua kementerian/lembaga. Kerja sama semua pihak
yang disebutkan sebagai Sekretariat Bersama RAN PE, akan menjalankan tiga pilar,
yakni pencegahan, penegakan hukum, dan kerja sama nasional dengan 130 rencana aksi.

Berbeda dengan Rancangannya, dalam pasal-pasalnya tidak disebutkan mengenai


pelibatan TNI. Namun dalam Lampiran hal. 44, fokus 5 mengenai meningkatkan
efektivitas pengamanan obyek vital, transportasi dan wilayah-wilayah publik dari
ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme (kesiapsiagaan),
tercantum TNI sebagai salah satu pihak penanggungjawab. Dan hal ini hanyalah sebagai
fungsi koordinatif, yang tidak mengambil peran yang overlap dengan Kepolisian dan
BNPT.

Anda mungkin juga menyukai