Anda di halaman 1dari 7

Analisa Kasus Pemukulan Anggota TNI kepada Warga Sipil

A. Deskripsi Kasus
Satuan A melaksanakan penugasan di daerah X. Daerah X terkenal sebagai
daerah yang rawan akan gerakan sepratis bersenjata. Oleh karenanya
pengamanan di daerah tersebut dilaksanakan dengan ketat. Pada suatu hari
kopral H pulang dari tugas rutin di daerah perbatasan daerah X. Kopral H adalah
prajurit yang berprestasi. Berkali-kali ia sukses dalam penugasan militer
sebelumnya. Di tengah jalan ia bertemu dengan orang mabuk yang berbuat onar
dengan menggganggu warga sekitar. Melihat kejadian tersebut, sang kopral
datang untuk menasehati dan mencegah agar orang mabuk tersebut tidak
berbuat onar lagi. Namun usaha sang kopral sia-sia, orang mabuk tersebut tidak
menghiraukan dan tetap mengganggu warga sekitar. Karena jengkel sang kopral
memukul orang tersebut hingga tewas. Hal ini mengakibatkan sang kopral
menjalani proses hukum. Analisis kasus tersebut dari perspektif hukum pidana
militer.

B. Analisa Kasus
Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia
(TNI) sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai
tugas untuk melaksanakan kebijaksanan pertahanan negara untuk menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi
keselamatan bangsa, menjalankan oprasi militer untuk perang dan oprasi militer
selain perang serat ikut aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan
internasional. Dalam segi hukum, anggota militer mempunyai kedudukan yang
sama dengan anggota masyarakat biasa, artinya sebagai warga negara baginya
pun berlaku semua aturan hukum yang berlaku, baik hukum pidana dan hukum
perdata.
Kejahatan militer biasa (military crime) yaitu perbuatan seseorang militer yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum militer yang diberi sanksi pidana,
misalnya melakukan tindak pidana penganiayaan. Tindak pidana tidak hanya
meliputi ruang lingkup tindak pembunuhan, pencurian, dan sebagainya, tetapi
juga berkembang ke dalam tindak pidana kekerasan terhadap suatu kelompok,
perseorangan, dan baik itu masyarakat sekitar bahkan sehingga menimbulkan
1
adanya tindak kekerasan atau penganiayaan tindak kekerasan dalam
masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru tindak kekerasan sering
dilakukan bersama maupun sendiri. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, Sedangkan cara bagaimana kekerasan
dilakukan atau alat bukti apa yang dipakai, Masing-masing tergantung pada
kasus yang timbul.
Mengenai tindak pidana yang dibahas adalah tindak pidana terhadap tubuh
yang bisa disebut juga sebagai penganiayaan. Dalam hal ini seorang TNI
memukul warga sipil hingga tewas dikarenakan korban dalam keadaan mabuk
dan mengganggu warga sekitar akibatnya pelaku yang emosi memukul korban
hingga tewas. Berkenaan hal itu, dalam KUHP telah mengatur tentang macam-
macam dari penganiayaan beserta akibat hukum apabila melakukannya, Pasal
yang menjelaskan tentang penganiayaan ini sebagian besar adalah Pasal 351
sampai dengan Pasal 355 KUHP. Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada
tubuh orang lain”.
Berkaitan hal itu, dalam ketentuan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia (“UU TNI”), tidak dibatasi apakah anggota TNI tersebut
sedang menjalankan tugas atau tidak, sedang menggunakan seragam atau tidak,
sehingga dapat diartikan bahwa sekalipun anggota TNI tersebut tidak dalam
menjalankan tugas ataupun tidak menggunakan seragam, tetap wajib untuk
mematuhi ketentuan mengenai TNI. Dan apabila sikap anggota TNI bertentangan
dengan tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU TNI
yang menyatakan bahwa :
“Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.”
Mengenai kasus dari tindakan pemukulan yang dilakukan oleh TNI terhadap
warga sipil, pada dasarnya telah ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9
ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai berikut :
“Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:

2
(1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-
undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c
tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman
harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di atas, setiap anggota TNI yang sedang bertugas atau tidak, yang melakukan
tindak pidana diadili di pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Secara
khusus, aturan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI tertuang dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Namun demikian, pada
praktiknya ketentuan yang digunakan bagi anggota TNI yang melakukan tindak
pidana selama dikategorikan sebagai tindak pidana umum, tetap menggunakan
aturan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) akan
tetapi tetap diadili di Pengadilan Militer. Dalam hal ini, anggota TNI yang
melakukan pemukulan terhadap warga dapat dikenakan Pasal 351 ayat (1), ayat
(2), atau ayat (3) KUHP yang menyatakan sebagai berikut :
“(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan tersebut menyebabkan matinya orang, maka yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.”
Dalam kasus ini, dimana terdapat seorang warga sipil mabuk mengganggu
warga lain dan oleh sang kopral di tegur namun tak menghiraukannya karena
kesal sang kopral memukulnya hingga tewas. Dari hal tersenbut, sang kopral
dapat dikenakan Pasal 351 ayat (3) KUHP, yakni “Jika perbuatan tersebut
menyebabkan matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya tujuh tahun.” Dan dikarenakan sang kopral adalah
3
prajurit TNI dimana bahwasannya merupakan bagian dari suatu masyarakat
hukum yang memiliki peran sebagai pendukung terbentuknya budaya hukum di
lingkungan mereka.
Apabila seorang militer telah melakukan tindak pidana penganiayaan artinya
prajurit TNI tersebut telah melanggar hukum disiplin militer dan hukum pidana
militer, hal tersebut akan membawa dampak buruk bagi kesatuan dimana prajurit
tersebut dinas, dan bagi instansi TNI, karena atas perbuatan yang dilakukannya
akan menimbulkan penilaian negatif oleh masyarakat terhadap instansi TNI. Oleh
karena adanya sesuatu keadaan yang khas militer atau karena adanya
sesuatu sifat yang lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih
berat, bahkan mungkin lebih berat dari ancaman pidana pada kejahatan semula
dengan pemberatan tersebut dalam pasal 52 KUHP. Alasan pemberatan
tersebut, adalah karena ancaman pidana dalam Undang-Undang Hukum
Pidana Umum itu dirasakan kurang memenuhi keadilan, mengingat hal-hal
khusus yang melekat pada seseorang militer. Pasal 52 KUHP yang berbunyi :
“Jikalau seorang pegawai negeri (ambtenaar) melanggar kewajibannya yang
istimewa kedalam jabarannya karena melakukan kejahatan perbuatan yang
dapat dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan yang dapat dipidana
memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh karena
jabatannya, maka pidananya boleh ditambah dengan sepertiganya.”
Jadi dapat disimpulkan bahwa dari kasus tersebut sang kopral di kenakan
Pasal 351 ayat (3) KUHP karena melakukan tindak pidana penganiayaan yang
mengakibatkan kematian walaupun pada dasarnya sang kopral telah menegur
korban yang dalam keadaan mabuk dan mengganggu masyarakat sipil namun
tidk dihiraukan oleh korban dan sang kopral tidak bisa menahan emosinya lalu
memukulnya hingga tewas. Dan selain itu, dikarenakan sang kopral merupakan
seorang TNI dalam perkenaannya memiliki suatu kekhasan militer dikenakan
pula Pasal 52 KUHP yang ancaman pidananya diperberat dengan ditambah
sepertiganya.
Dapat dipahami bahwa hakikat dari tindak pidana penganiayaan yang
dilakukan oleh oknum militer terhadap warga sipil, bukan hanya sekedar
pelanggar ringan bagi seorang anggota TNI melainkan tindak pidana tersebut
adalah tindakan yang sangat berat dan sangat mencoreng nama baik lembaga
Tentara Nasional Indonesia (TNI) khususnya lembaga militer. Hal ini harus
4
dipahami oleh penegak hukum dilingkungan TNI, tepatnya dalam menjatuhkan
putusan atau sanksi terhadap anggotanya yang melakukan tindak pidana
penganiayaan terhadap warga sipil agar dapat dihukum secara adil serta
bermanfaat bagi kepentingan pembinaan kesatuan militer.
Setiap prajurit TNI harus tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan
hukum, yang berlaku bagi militer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Militer (KUHPM), Peraturan Disiplin Militer (PDM) dan undang-undang Nomor. 31
Tahun 1997 tentang Hukum Acara Peradilan Militer. Peraturan hukum Militer
inilah yang diterapkan kepada tingkatan Tamtama, Bintara, maupun Perwira
yang melakukan suatu tindakan yang merugikan kesatuan, masyarakat dan
negara yang tidak terlepas dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi
masyarakat umum. Penyelesaian perkara pidana yang terjadi di lingkungan
(ABRI) melewati beberapa tahap/tingkatan sebagai berikut:
1. Tingkat penyidikan;
2. Tingkat penuntutan;
3. Tingkat pemeriksaan di persidangan;
4. Tingkat putusan
Tahapan-tahapan tersebut di atas hampir sama dengan tahapan
penyelesaian perkara pidana di Peradilan Umum (Sistem Peradilan Pidana),
hanya saja aparat yang berwenang untuk menyelesaikan perkara, yang berbeda.
Jika dalam peradilan umum yang berhak menjadi penyidik adalah anggota
Kepolisisan Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam hal terjadinya suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI baik angkatan darat, laut, dan udara,
maka Polisi Militer (POM) masing-masing wajib melakukan tindakan penyidikan
sesuai dengan tata cara dan prosedur yang diatur dalam KUHAP dan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Hukum Acara Peradilan Militer.
Oleh karenanya dalam menanggulangi hal tersebut diperlukan suatu upaya.
Upaya-upaya untuk menanggulangi tindak pidana yang dilakukan oleh
anggota TNI, yang tidak lain sebagai berikut :
Pertama, Penegakan hukum dalam organisasi TNI merupakan fungsi
komando dan menjadi salah satu kewajiban Komandan selaku pengambil
keputusan, telah menjadi keharusan bagi para Komandan di setiap

5
tingkat kesatuan untuk mencermati kualitas kesadaran hukum dan disiplin
para Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya.
Kedua, Peningkatan profesionalisme prajurit TNI, untuk memelihara
tingkat profesionalisme Prajurit TNI agar selalu berada pada kondisi yang
diharapkan, salah satu upaya alternatif yang dilakukan adalah dengan tetap
menjaga dan meningkatkan kualitas moral Prajurit melalui pembangunan
kesadaran dan penegakan hukum.
Ketiga, Kepatuhan terhadap norma, norma hukum yang menjadi
landasan tingkah laku dan perbuatan Prajurit TNI diatur secara formal
dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan dalam ketentuan
hukum lainnya dan peran komandan menjadi sangat penting dalam
rangka membangun kesadaran hukum dan terselenggaranya fungsi
penegakan hukum yang efektif.
Keempat, Peningkatan kinerja aparat penegak hukum dalam struktur
organisasi TNI, kinerja aparat penegak hukum yang berada di dalam
struktur organisasi TNI tidaklah bersifat sendiri.

6
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Hamzah, Andi. Perkembang Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Ragunan, 1991.
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Cetakan VIII. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
1896.
Subroto, Sugeng. Petunjuk Pelaksanaan tentang Bantuan Hukum di Lingkungan
Dephan, Departemen Pertahanan.

Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No.
73)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai