Anda di halaman 1dari 39

A.

PENERAPAN PASAL 12 HURUF E UNDANG – UNDANG


NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN UNDANG -
UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG TINDAK
PIDANA KORUPSI TERHADAP APARAT KEPOLISIAN
YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMERASAN
(STUDI KASUS DI KEPOLISIAN DAERAH METRO JAYA)

B. LATAR BELAKANG

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Polri

adalah salah satu lembaga negara yang berperan sebagai penegak hukum. Pasal 13

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia menjabarkan bahwa tugas pokok Polri adalah untuk memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat1. Polisi sebagai

penegak hukum memiliki peran penting sebagai pelaksana suatu aturan (das

sollen) agar dapat dilaksanakan dalam kehidupan sosial, dimana dalam

kenyataannya diharapkan peraturan itu dapat diterapkan (das sein).

Sehubungan dengan tugas pokok Polri, maka sudah selayaknya anggota

Polri menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah dan Polri2,

serta menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang

berhubungan dengan tugas kedinasan maupun secara umum,3 karena dengan tugas

pokok tersebut seorang anggota Polri dilarang melakukan hal-hal yang dapat

menurunkan kehormatan kesatuannya. Selain itu, anggota polri selaku bagian dari

masyarakat dilarang melakukan tindak pidana, baik yang berhubungan dengan

tugas dinasnya ataupun yang dilakukan atas dasar kepentingan pribadi.


1
Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Jakarta, 2002. Hlm. 6
2
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 3 huruf c.
3
Ibid,. Pasal 3 huruf g.
Sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Polri,

pemerintah memiliki perangkat hukum berupa Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia (PP RI) Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional

Peradilan Umum Bagi Anggota Polri, serta PP RI Nomor 1 Tahun 2003 tentang

Pemberhentian Anggota Polri. Pasal 2 PP RI Nomor 3 tahun 2003 dikatakan

bahwa setiap anggota Polri tunduk dibawah sistem acara peradilan umum, yang

mana sebelumnya posisi Polri ada bersama-sama dengan TNI tunduk dibawah

sistem peradilan militer. Namun setelah Polri dipisahkan dengan TNI dan

dikuatkan dengan terbitnya PP RI Nomor 3 Tahun 2003, maka secara resmi

pemeriksaan bagi anggota Polri dalam perkara pidana mulai tingkat penyidikan

sampai persidangan mendasar pada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang KUHAP4, seperti masyarakat sipil pada umumnya. Hal tersebut

tercantum pula dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Polri, bahwa Anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum. 5

Selain itu, anggota Polri juga tunduk pada peraturan hukum disiplin dan kode etik

profesi polisi, sehingga sangat mungkin adanya penjatuhan hukuman ganda bagi

anggota Polri yang melakukan tindak pidana, yaitu sanksi pidana dan hukuman

Kode Etik seperti yang diatur dalam PP RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang

Peraturan Disiplin Anggota Polri.6

Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 tahun 2003 menjelaskan bahwa

pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH terhadap anggota Polri dilakukan

apabila anggota Polri melakukan tindak pidana dan dipidana penjara berdasarkan
4
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis
Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 2
5
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
6
Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Surabaya: Laksbang
Mediatama. 2007. Hlm. 19
putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan menurut

pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap

berada dalam dinas Kepolisian Negara RI.7 PTDH diberikan kepada anggota Polri

melalui mekanisme Sidang Komisi Kode Etik Polri yang merupakan bagian dari

penegakan kode etik profesi yang dilakukan Polri pada institusinya.

Terdapat pula perangkat hukum lain yaitu Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia (PERKAP) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik

Profesi Polri yang secara garis besar mengatur kewajiban dan larangan bagi

anggota Polri dari sudut pandang kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan, dan

kepribadian. PERKAP Nomor 14 tahun 2011 yang merupakan penjabaran dari PP

RI Nomor 1 tahun 2004 menjelaskan lebih lanjut bahwa sanksi administratif

berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi

Polri terhadap terduga pelanggar8 yang dengan sengaja melakukan tindak pidana

dengan ancaman hukum pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah

diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.9

Menurut KUHP, tindak pidana terbagi atas kejahatan (misdrivijen) dan

pelanggaran (overtrendingen).10 Adapun kejahatan merupakan bentuk tingkah

laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat,

bersifat asosial, dan melanggar hukum serta Undang-Undang Pidana. 11 Salah satu

7
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota
Polri, Pasal 12 ayat 1 huruf (a).
8
Peratura Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode
Etik Profesi Polri, Pasal 1 Angka 9. Terduga Pelanggar adalah seetiap anggota Polri yang karena
perbuatannya atau keadaannya patut diduga telah melanggar ketentuan KEPP.
9
Ibid,. Pasal 22 Ayat 1 Huruf (a)
10
Adami Chazawi, Ipelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cetakan 8. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2014. Hlm. 121
11
Kamilatun, Pelaku Tindak Pidana Pemerasan, Keadilan Progresif Volume 3 Nomor 2 Lampung
Universitas Bandar Lampung. 2012. Hlm. 182
bentuk kejahatan yang sedang marak adalah tindak pidana pemerasan. Tindak

pidana pemerasan dapat terjadi dimana dan kapan saja serta berakibat buruk bagi

korban dan masyarakat. Buruknya akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana

pemerasan sehingga diaturlah hukuman yang berat bagi pelaku agar mereka

berpikir untuk tidak mengulangi perbuatannya melalui upaya pencegahan yang

dilakukan pemerintah melalui aparat penegak hukum.12

Bentuk kejahatan pemerasan telah diatur dalam Pasal 368 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi sebagai berikut13;

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau


orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau
supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Tindak pidana pemerasan diatur bersama tindak pidana pengancaman

dalam satu bab yaitu Buku II Bab XXIII KUHP. Hal itu dikarenakan kedua sifat

tindak pidana bersagkutan memiliki sifat-sifat yang sama. Hal tersebut tampak

dalam tujuan perbuatan materil yang dilakukan, dan unsur maksud dari perbuatan

yang dilarang, serta perbuatannya masing-masing berupa memaksa. 14 Pemerasan

adalah perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

langsung, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam

Pasal 368 KUHP.15

12
Ibid.
13
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 368 ayat (1).
14
Masnur F, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana yang dilakukan oleh anggota kepolisian, Skripsi
tidak diterbitkan. Makasar, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 2015,. Hlm 4
15
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta. 1993. Hlm 56.
Pasal 423 dalam KUHP pun mengatur terkait penyalahgunaan jabatan

oleh pejabat negara untuk menguntungkan diri sendiri sebagai berikut;

“Seorang pejabat yang, dengan maksud untuk menguntungkan diri


sendiri atau orang lain serta melawan hukum, dengan menyalahgunakan
kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk
membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri, diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun.”

Dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

dikatakan akan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat

4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp. 20.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliah rupiah) bagi pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa

seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan

potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Namun yang menjadi kenyataan di masyarakat adalah masih banyak

ditemukannya anggota Polri yang melakukan tindak pidana pemerasan, seperti

contoh kasus yang terjadi dalam wilayah hukum Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Kanitreskrim Polsek Pondok Aren telah mengamankan 2 anggota Polri a.n.

BRIPKA NG Bareskrim Polri dan BRIPKA DN Yanma Polri karena diduga

melakukan tindak pidana pemerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368

KUHP terhadap pelapor a.n. Sdr. SA. Dengan barang bukti beberapanya adalah 2

buah kartu ATM Bank BCA dan Mandiri serta 1 buah handphone merk samsung

dan 1 buah handphone merk Iphone milik Korban.


BRIPKA DR bersama dengan rekannya yaitu BRIPTU DY dan

BRIPTU KS telah melakukan tindak pidana pemerasan terhadap seorang calon

tersangka narkotika sebesar 55 Juta rupiah dengan mengancam akan menahan

korban apabila tidak mau membayar. Berdasarkan putusan sidang komisi kode

etik profesi polisi, para pelanggar telah dinyatakan sebagai perbuatan tercela dan

terbukti melanggar Kode Etik Profesi Polri serta memutus melakukan pemindahan

tugas ke fungsi berbeda bersifat demosi kepada seluruh para pelanggar selama

satu tahun.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa anggota Polri tunduk pada

kekuasaan peradilan umum karena anggota polri merupakan bagian dari warga

sipil dan bukan termasuk subjek hukum militer. Pasal 12 ayat (1) PP RI Nomor 2

Tahun 2003 telah menjelaskan bahwa penjatuhan hukuman disiplin tidak serta

merta menghapuskan tuntutan pidana.16 Dalam kasus pemerasan diatas, yang

diterapkan hanyalah berupa sanksi disiplin dan kode etik yang artinya ada

ketidaksesuaian antara hukum (das sollen) dan kenyataan yang terjadi di

masyarakat (das sein).

Anggota Polri seharusnya menjadi penegak hukum dan pelindung

masyarakat, melakukan tindak pidana pemerasan terhadap calon tersangka

merupakan kejahatan terhadap norma hukum yang harus ditafsirkan atau

diperhitungkan sebagai perbuatan yang sangat merugikan pihak korban.17 Setiap

tindak pidana yang dilakukan, oleh siapapun juga harus ditindak secara tegas

tanpa memandang status walaupun pelaku merupakan aparat hukum itu sendiri.

16
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 12 ayat (1).
17
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum. Bandung: Pusaka Setia. 2011. Hlm. 144
Oleh karena itu berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul: PENERAPAN PASAL 12 HURUF

E UNDANG – UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

PERUBAHAN UNDANG- UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP

APARAT KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA PEMERASAN (STUDI KASUS DI KEPOLISIAN

DAERAH METRO JAYA).

Tabel 1.1 Orisinalitas Penelitian

No. Nama Fakultas / Judul Penelitian Rumusan Masalah

Peneliti Universita

dan s

Tahun

Penelitian

1. Andi Fakultas TINJAUAN YURIDIS 1. Bagaimana penerapan

Shulbyah Hukum TERHADAP TINDAK hukum pidana materil

Reski Universitas PIDANA PENIPUAN DAN terhadap tindak pidana

Hasanudin PEMERASAN YANG penipuan dan


(2017)
Makasar DILAKUKAN OLEH pemerasan yang

OKNUM ANGGOTA dilakukan oleh anggota

KEPOLISIAN (STUDI Polri dalam putusan

KASUS PUTUSAN No.


NOMOR 1921/Pid.B/2013.PN/M

1921/PID.B/2013/PN.MKS) ksr?

2. Bagaimana

pertimbangan hakim

dalam penjatuhan

pidana terhadap pelaku

tindak pidana

pemerasan yang

dilakukan oleh oknum

anggota Polri dalam

putusan No.

1921/Pid.B/2013.PN/M

ksr?

2. Nia Dian Fakultas PENANGANAN 1. Bagaimana penanganan


pelanggaran Kode Etik
Widyani Hukum TERHADAP POLISI
Profesi Anggota Kepolisian
YANG MELANGGAR
(2014) Universitas di Polres Malang?
KODE ETIK PROFESI 2. Apa Kendal Polri dalam
Brawijaya
menegakkan kode eti
KEPOLISIAN (STUDI DI
profesi kepolisian terhadap
POLISI RESORT
anggotanya?
MALANG) 3. Bagaimana upaya Polri
dalam mengatasi kendala
menegakkan kode etik
profesi Kepolisian terhadap
anggotanya?
3. 4.

C. RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja kendala dalam penerapan pasal 12 huruf e undang – undang nomor 20

tahun 2001 tentang perubahan undang- undang nomor 31 tahun 1999 tentang

tindak pidana korupsi terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindak

pidana pemerasan?

2. Bagaimana solusi menghadapi kendala dalam penerapan pasal 12 huruf e

undang – undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan undang- undang

nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi terhadap aparat kepolisian

yang melakukan tindak pidana pemerasan?

D. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian yang hendak

dicapai adalah: :

Untuk mengetahui penerapan pasal 12 huruf e undang – undang nomor 20 tahun

2001 tentang perubahan undang- undang nomor 31 tahun 1999 tentang tindak

pidana korupsi terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana

pemerasan.

E. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Praktis
a. Bagi Polda Metro Jaya, diharapkan dapat menjadi sebuah evaluasi kinerja

lembaga negara khususnya Bidang Propam Polda Metro Jaya, dalam

Prosedur Penanganan Terhadap Tindak PId yang dilakukan Polisi. Dengan

demikian hasil evaluasi dalam Kuliah Kerja Lapangan ini diharapkan

dapat menjadi referensi pertimbangan dan alternatif solusi dalam usaha

mewujudkan penerapan asas tersebut diatas.

b. Bagi Mahasiswa, yaitu untuk memberikan pemahaman yang lebih

mendalam tentang Polisi yang melakukan Tindak Pidana oleh Bidang

Propam Polda Metro Jaya dalam Praktek dan sebagai bahan evaluasi

tentang pengetahuan yang telah diserap dalam perkuliahan oleh mahasiswa

dengan realitas kondisi serta situasi/

c. Bagi fakultas hukum, yaitu dapat memberikan suatu informasi bagi

perkembangan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,

khususnya bagi Dosen dan Mahasiswa dalam konsentrasi Hukum Pidana.

Selain itu juga dapat menjadi alat untuk mengembangkan hubungan

kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan lembaga

negara dalam hal ini adalah Polda Metro Jaya.

d. Bagi Masyarakat, yaitu diharapkan mampu memberikan sebuah pandangan

dan referensi terhadap masyarakat mengenai salah satu tugas Bidang

Profesi dan Pengamanan dalam Polda Metro Jaya dalam menyelidiki

tindakan Polisi yang melakukan Tindak Pidana.

2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dilakukan pengembangan ilmu hukum pada khususnya

dalam Penanganan Hukum Terhadap Polisi yang melakukan Tindak

Pidana.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Berikut sistematika penulisan yang akan dibagi ke dalam lima bab, masing-

masing bab dibagi kembali dalam beberapa sub bab, seperti ditunjukkan berikut;

BAB I PЕNDAHULUAN

Pada bagian ini bеrisi mеngеnai latar bеlakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dari pеnеlitian, manfaat pеnеlitian, dan sistеmatika pеnulisan untuk

mеmbеrikan gambaran yang jеlas tеrhadap sistеmatika skripsi ini.

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian ini dijеlaskan mеngеnai pеngеrtian dan istilah sеrta aturan-

aturan yang bеrhubungan dеngan pеnеgakan hukum tеrhadap aparat Kеpolisian

yang bеrtugas jaga tahanan yang karеna kеlalaiannya mеngakibatkan mеlarikan

dirinya tahanan. Sumbеr pustaka yang digunakan adalah dari litеratur, jurnal,

artikеl, dan informasi di intеrnеt yang valid untuk dijadikan sumbеr pustaka.

BAB III. MЕTODЕ PЕNЕLITIAN

Dalam bab ini, dibahas tеntang jеnis pеnеlitian pеndеkatan yang dipakai

hingga analisis bahan hukum. Adapun isi dari bab ini mеliputi:

a. Jеnis pеnеlitian;

b. Jеnis pеndеkatan;

c. Alasan pеmilihan lokasi;

d. Sumbеr Data;
e. Tеknik Pеngumpulan Data;

f. Dеfinisi Opеrasional.

BAB IV. PЕMBAHASAN

Dalam bab ini bеrisis tеntang hasil dari pеnеlitian yang antara lain

mеngеnai gambaran lokasi pеnеlitian sеcara umum, kondisi di lapangan, kеndala

dan upaya untuk mеngatasi masalah dalam pеnеgkan hukum tеrhadap aparatur

Kеpolisian yang bеrtugas jaga tahanan yang karеna kеlalaiannya mеngakibatkan

mеlarikan dirinya tahanan, sеrta analisis dan pеmbahasan yang dibеrikan olеh

pеnеliti tеrhadap data primеr dan data sеkundеr yang dipеrolеh sеlama pеnеlitian.

BAB V. PЕNUTUP

Dalam bab ini bеrisi tеntang Kеsimpulan dan Saran. Kеsimpulan sеndiri ialah

pеrnyataan singkat, jеlas, dan sistеmatis dari kеsеluruhan hasil analisis dan

pеmbahasan yang dibеrikan olеh pеnеliti tеrhadap data primеr dan data sеkundеr

yang dipеrolеh sеlama pеnеlitian.

G. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tindak Pidana dan Unsur – Unsur Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan istilah yang dikenal dalam hukum Pidana

Belanda yaitu strafbaar feit. Straf adalah pidana dan hukum. Baar diartikan

dengan cepat dan boleh. Sementara feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,

pelanggaran, dan perbuatan.18

Pengertian tindak pidana biasanya disamakan dengan peristiwa pidana atau

delik yang berasal dari bahasa lain yaitu delictum. Dalam KUHPidana (Wvs)
18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Rajawali Pers. 2010. Hlm 69
dikenal dengan istilah Strafbaarfeit. Kepustakaan hukum pidana sering

menggunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang dalam

merumuskan undang-undang memilih istilah peristiwa pidana, atau perbuatan

pidana, atau tindak pidana.19

Sudarsono menjelaskan bahwa Delik merupakan perbuatan yang dapat

dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang

(tindak pidana).20 Sedangkan Teguh Prasetyo merumuskan bahwa Tindak pidana

adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan diancam pidana.

Pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif, dapat juga

bersifat pasif.21

Marshall menyatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana

berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Tindak Pidana dalam konsep KUHP

diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh

peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan

diancam pidana. Dalam konsep juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan

sebagai tindak pidana, selain perbuatan itu dilarang dan diancam pidana, harus

juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum

masyarakat. Semua tindak pidana akan dipandang bersift melawan hukum, kecuali

ada alasan pembenar.22

Tindak pidana juga dapat diartikan sebagai dasar yang pokok dalam

menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar

19
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia. 1994. Hlm. 90
20
Sudarsono, Kamus Hukum cetakan kelima. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hlm 12
21
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2011. Hlm. 49
22
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 2011. Hlm. 98
pertanggungjawaban seseorang untuk perbuatan yang telah ia lakukan. Akan

tetapi mengenai dilarang dan diancamannya sebuah perbuatan harus berdasarkan

asas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu perundang-

undangannya.

Teguh Prasetyo mengatakan berdasarkan rumusan tindak pidana memuat

syarat-syarat pokok sebagai berikut:23

a) Suatu perbuatan manusia

b) Perbuatan tersebut dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang.

c) Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat

mempertanggungjawabkan.

Dalam KUHP sendiri, tindak pidana dibagi menjadi dua yakni pelanggaran

dan kejahatan yang masing-masing termuat dalam buku II dan buku III KUHP.

Banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian strafbaarfeit. Menurut

James Pardede, dijumpai 2 pandangan dalam mengemukakan arti strafbaarfeit,

yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis.24

Pandangan Monistis, melihat dari keseluruhan syarat yang merupakan sifat

yang dapat dipidana, artinya seseorang yang telah melakukan tindak pidana, maka

sudah dapat dipidana. Pandangan ini yang disebut tindak pidana ataupun

perbuatan pidana telah mencakup perbuatannya, oleh sebab itu dapat dipenjara.

Beberapa ahli hukum yang berpandangan monisme adalah JE Jonkers, Wirjono

Prodjodikoro, H.J Van Schrabendijk, dan lain-lain.25

23
Teguh Prasetyo, Op. cit hlm 48
24
James Pardede, Diktat Hukum Pidana, Jakarta: Universitas Bung Karno. 2007. Hlm. 21
25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005. Hlm 75
Pandangan dualistis justru berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

tindak pidana atau perbuatan pidana tersebut adalah hanya perbuatannya saja,

sedang pertanggungjawaban dan kesalahannya tidak termasuk pada perbuatan

pidana dimaksud. Menurut pandangan dualistis yang diancam pidana itu adalah

perbuatan yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang atau hanya

berupa rumusan undang-undang saja. Artinya terhadap suatu perbuatan pidana

belum dapat dijatuhkan pidana, bila tidak ada orangnya dan pada orang yang

dimaksud dan harus ada sifa melawan hukum atau kesalahan pada orang itu.26

b. Tindak Pidana Pemerasan

Kata pemerasan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “peras”

yang bermakna leksikal “meminta uang dan jenis lain dengan ancaman”. Tindak

pidana pemerasan ditentukan dalam bab XXIII Pasal 368 KUHP tentang Tindak

Pidana Pemerasan yaitu:

“Barang siapa dengan maksud untuk meguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian

adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau

menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling

lama sembilan tahun.”27

Tindak pidana pemerasan sendiri sebenarnya terdiri dari dua macam, yaitu

tindak pidana pemerasan (afpersing) dan tindak pidana pengancaman

(afdreiging).28 Kedua macam tindak pidana tersebut diatur dalam bab yang sama

dan memiliki sifat yang sama, yatu suatu perbuatan yang bertujuan untuk
26
Teguh Prasetyo, Op. Cit. Hlm 22
27
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jogjakarta: Pt. Rineka Cipta. 2002. Hlm 70.
28
Adam Chazawi. Op. Cit. Hlm 52
memeras orang lain. Walau demikian, tidak salah kiranya bila orang menyebut

kedua tindak pidana tersebut memiliki sebutan sendiri, yaitu tindak pidana

“pemerasan” untuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 368 KUHP.

Ketenntuan pidana pemerasan diatur dalam pasal 368 KUHP dan 369

KUHP. Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan dirumuskan

dengan rumusan sebagai berikut:

1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, untuk meberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau

sebagian adalah milik orang lain, atau suapaya memberikan hutang maupun

menghapus piutang diancam karena pemerasan dengan pidana penjara

paling lama sembilan tahun.

2. Ketentuan Pasal 365 Ayat (2), Ayat (3), dan ayat (4) berlaku dalam tindak

pidana ini.

Unsur-unsur yang ada dalam Pasal 368 KUHP adalah sebagai berikut:

Unsur Objektif, meliputi unsur-unsur:

1) Memaksa.

2) Orang lain.

3) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

4) Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang seluruhnya

atau sebagian kepunyaan orang lain).

5) Supaya memberi hutang

6) Untuk menghapus piutang

Unsur Subjektif meliputi:


1) Dengan maksud

2) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.29

Beberapa unsur yang dimaksud dalam tindak pidana pemerasan adalah

sebagai berikut:

1. Unsur “memaksa”. Dengan istilah “memaksa” dimaksudkan adalah

melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang

berlawanan dengan kehendak orang itu sendiri.30

2. Unsur “untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang”. Berkaitan

dengan unsur tersebut, muncul sebuah persoalan yaitu, kapan dikatakan ada

penyerahan suatu barang. Penyerahan suatu barang dianggap telah ada

apabila barnag diminta oleh pemeras tersebut telah dilepaskan dari

kekuasaan orang yang diperas, tanpa melihat apakah barang tersebut telah

sudah benar-benar dikuasai oleh orang yang memeras atau belum.

Pemerasan dianggap telah terjadi, apabila orang yang diperas itu telah

menyerahkan barang/benda yang dimaksudkan si pemeras sebagai akibat

pemerasan terhadap dirinya. Penyerahan barang tersebut tidak harus

dilakukan sendiri oleh orang yang diperas kepada pemeras. Penyerahan

barang tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh orang lain selain dari

orang yang diperas.

3. Unsur “supaua memberi hutang”. Berkaitan dengan penegrtian “memberi

hutang” dalam rumusan Pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman

yang benar. Memberi hutang disini mempunyai pengertian, bahwa si

pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau
29
R. Soesilo. KHUP Serta komentar-komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politica.
1996. Hlm 99
30
Ibid, Hlm 53
suatu perjanjian yang menyebabkan ornag yang diperas harus membayar

sejumlahnuang tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan memberi hutang dalam

hal ini bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman)

dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang

berakitab timbulnya kewajiban bagi ornag yang diperas untuk membayar

sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki.

4. Unsur “untuk menghapus hutang”. Dengan menghapus pituang

dimaksudkan tidak semata-mata meniadakan pembayaran dari yang

berhutang sejumlah uang dari pinjam-meminjam uang kepada berpiutang,

melakinkan memiliki arti lebih luas, yakni menghapus atau meniadakan

perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau

orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras.31

5. Unsur “untuk menguntungkan diri sendiri atau ornag lain”. Artinya adalah

menambah baik baik dirinya sendiri ataupun orang lain dari kekayaan yang

sudah ada.32 Menambah kekayaan disini tidak perlu benar-benar telah

terjadi, tetapi cukup apabila dapat dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah

untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Dengan cara memaksa,

pelaku ingin korban menyerahkan barang atau membayar utang atau

menghapus piutang. Jika yang terjadi penyerahan barang, maka

berpindahnyabarang dari tangan korban menjadi peristiwapenting

melengkapi unsur Pasal ini.

3. Pengertian, Tugas, Wewenang dan Fugsi Kepolisian

31
Ibid,. Hlm 56
32
Ibid., Hlm 58
Menurut Satjipto Raharjo, polisi adalah alat negara yang bertigas

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan

memberikan perlindungan kepada masyarakat.33 Selanjutnya Raharjo mengutip

pendapat Bitner yang menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk

menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantaranya melawan kejahatan.

Sehingga polisi yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai

penegak ketertiban.34

Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam Pasal 1 angka (1) dijelaskan bahwa Kepolisian adalah segala hal-

ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Istilah kepolisian dalam Undang-undang ini memiliki dua

pengertian yaitu fungsi polisi dan lembaga polisi. Dalam Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri, fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi

pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan huku, pelindung, pengayom dan pelayan kepada

masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah pemerintah yang ditetapkan

sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Pasal 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan

bahwa:

1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang

berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan


33
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta
Publishing. Hlm.111
34
Ibid, Hlm. 117
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam

negeri

2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang

merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1).

Telah dikenal oleh masyarakat luas, terlebih dikalangan Kepolisian bahwa

tugas yuridis kepolisian tertuang di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

tentang Polri. Dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia, Pasal 13

menyatakan:35

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

b. Menegakkan hukum dan,

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat.

Selanjutnya dalam Pasal 14 dikatakan36:

1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,

Kepolisian Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanaan pengaturan penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan,

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat

kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan.

35
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
36
Ibid
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum

f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinan teknis terhadap

kepolisian kuhsus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa.

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak

pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-

undangan.

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan

tugas kepolisian.

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia,

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah


Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2. Tahun 2002 menyebutkan:

1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum

berwenang:

a. Menerima laporan/pengaduan.

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang

mengganggu ketertiban umum

c. Mencegah dan menangulangu tumbuhnya penyakit masyarakat,

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan

administratif kepolisian,

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai baguan dari tindakan

kepolisian dalam rangka pencegahan.

g. Melaksanakan tindakan pertaa di tempat kejadian,

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang

i. Mencari keterangan dan barang bukti,

j. Menyelenggarakan Pusat informasi kriminal nasional,

k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan

dalam rangka pelayanan masyarakat,

l. Memberikan bantuan pengamnan dalam sidang dan pelaksanaan

ptusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat,

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.


2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan lainnya berwenang

a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan

kegiatan masyarakat lainnya berwenang

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor

c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor

d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik,

e. Meberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak

dan senjata tajam,

f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap

badan usaha di bidang jasa pengamanan,

g. Memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepoisian khusus

dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian,

h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lian dalam menyidik

dan memberantas kejahatan internasional

i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing

yang berada di wiliayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait

j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian

internasional

k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas

kepolisian

3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Mengamati tugas yuridis Kepolisian yang demikian luas, tetapi luhur dan

mulia itu, jelas merupakan beban yang sangat berat. Terlebih ditegaskan bahwa

didalam menjalankan tugasnya itu harus selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi

rakyat dan hukum Negara, khususnya dalam melaksanakan kewenangannya di

bidang penyidikan, ditegaskanpula agar senantiasa mengindakan norma-norma

keagamaan, perikemanusiaan, kesponan dan kesusilaan. Beban tugas yang

demikian berat dan ideal itu tentunya harus didukung pula oleh aparat pelaksana

yang berkualitas dan berdedikasi tinggi.37

Dari keterangan beberapa pasal tersebut diatas maka dapat dipahami suatu

kenyataan bahwa tugas-tugas yang diemban oleh polisi sangat komplek dan rumit

sekali, terutama di dalam bertindak sebagai penyidik suatu bentuk kejahatan.

4. Tinjauan Umum tentang Etika Profesi Polri

a. Pengertian Kode Etik Profesi

Dari asal usul kata, Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti

adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan

yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Etika juga dapat diartikan sebagai

kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak, nilai mengenai benar dan

salah yang dianut masyarakat. Sesungguhnya etika adalah standar perilaku yang

tumbuh dan berkembang lewat sosialisasi dan internalisasi yang berfungsi

sebagai sarana yang bergerak dari fungsi ketaatannya dan bersifat volunter namun

penuh komitmen.38

37
Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 4
38
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat, Jatim: Bayumedia Publishing. Hlm. 218
Secara umum dalam garis besarnya, etika atau ethis merupakan suatu

cabang filsafat yang memperbincangkan tentang perilaku benar dan baik dalam

hidup manusia.39 Namun sekarang permasalahannya adalah apa yang menjadi

patokan yang baik dan buruk untuk tingkah laku dalam masyarakat. Untuk itu

harus membahas norma yang membahas tentang kaidah.

Kaidah atau norma sebenarnya adalah pelembagaan atau insitusionalisasi

nilai-nilai yang diidealkan sebagai kebaikan, keluhuran dan kemuliaan yang

berhadapan dengan nilai-nilai yang dipandang buruk, tidak luhur atau tidak

mulia.40 Nilai baik dan buruk adalah sebuah cerminan pribadi setiap manusia

dalam melaksanakan aktifitasnya sehari-hari dalam pergaulan dengan orang lain.

Istilah profesional berasal dari kata Profesi yang bahasa latinnya profiteri

artinya berikrar dimuka umum41. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang

melaksanakan tugasnya memerlukan atau menuntut keahlian, menggunakan

teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian diperoleh dari lembaga

pendidikan khusus diperuntukkan untuk suatu profesionalisme dengan kurikulum

yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai profesi yang diembannya. Ukuan

profesionalisme adalah kompetensi, efisiensi, efektifitas, dan tanggung jawab42.

Profesionalisme adalah pilar yang menempatkan seseorang sebagai mesin yang

efektif bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas kenegaraan sesuai dengan

tugas dan fungsinya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.

Profesi merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus maupun

intelektual, sehingga menuntut pengetahuan dan tanggung jawab yang diabdikan


39
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etika dan Etika Konstitusi, Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 42.
40
Ibid, Hlm 49
41
Soetandyo Wignjosoebroto. Op.Cit. Hlm. 212.
42
Hj. Sedarmayanti, Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Rafika Aditama. 2014. Hlm.
324
untuk kepentingan orang banyak, mempunyai organisasi atau lembaga Profesi dan

mendapat pengakuan dari masyarakt serta memiliki Kode Etik43.

Kode Etik Profesi adalah system norma, nilai dan aturan professional

tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang baik dan benar, dan apa yang

tidak benar dan tidak baik bagi professional Kepolisian. Kode Etik menyatakan

perbuatan apa yan benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan yang

tidak di lakukan. Tujuan Kode Etik yaitu agar profesional memberikan pelayanan

sebaik-baiknya kepada pemakai atau orang yang dilayani. Adanya Kode Etik

Profesu ini akan melindungi seseorang dari perbuatan yang tidak profesional.

Kode Etik Profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh

suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode Etik Profesi adalah suatu tuntunan

bimbingan atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu atau

merupakan kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh

anggota profesi, mengikat mereka dalam praktik.44 Kode Etik umumnya teramsuk

dalam norma sosial, namun bila Kode Etik yang memiliki sanksi agak berat, maka

masuk dalam kategori norma hukum.

Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda,

pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik

merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan Kode

Etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai jasa.

Adanya Kode Etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.

b. Kode Etik Profesi Polisi

43
Pudi Rahardi, Op. Cit. Hlm 155
44
Pudi Rahardi, Op. Cit. Hlm 156
Dalam pelaksanaan tugas, kewenangan dan tanggung jawabnya, anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia dituntut melakukannya dengan cara

profesional, proporsional, dan prosedural. Atas dasar pertimbangan itulah maka

dalam Pasal 34 ayat (3) Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, diamanatkan pengaturan kode etik profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk apakah diamanatkan ? Tentunya

supaya para anggota Polri dapat mengetahui apa tindakan yang dilarang dan

diperbolehkan dilakukan oleh anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya maupun

dalam kehidupannya sehari – hari sebagai masyarakat. Untuk itulah maka dibuat

peraturan tentang Kode Etik Profesi Polri.

Bahwa profesi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yakni Profesi pada

umumnya dan profesi luhur. Pengertian profesi sendiri lebih khusus dibandingkan

dengan pengertian pekerjaan. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai

kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu

keahlian yang khusus45. Persyaratan adanya keahlian yang khusus inilah yang

membedakan antara pengertian profesi dan pekerjaan. Pengertian profesi seperti

diuraikan tersebut adalah pengertian profesi pada umumnya. Di samping itu, ada

pengertian profesi yang luhur, yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan

suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat46. Memang benar, orang yang

menjalankan profesi yang luhur juga mendapatkan nafkah dari pekerjaannya itu,

tetapi hal itu bukanlah motivasi utamanya. Adapun motivasi utamanya adalah

kesediaan yang bersangkutan untuk melayani sesamanya. Contoh profesi ini

adalah rohaniawan, dokter, polisi, hakim dan lainnya47.


45
C.S.T Kansil, Op.cit, hal 4.
46
C.S.T Kansil, Op.cit, hal 5.
47
Ibid, hal. 5.
Untuk menegakkan etika, setiap profesi, baik profesi pada umumnya

maupun profesi luhur, memiliki prinsip – prinsip yang wajib ditegakkan. Prinsip –

prinsip ini umumnya dicantumkan dalam kode etik profesi yang bersangkutan.

Di Indonesia, Kode etik suatu profesi biasanya disusun oleh wakil – wakil

termasuk juga petinggi – petinggi pada profesi itu sendiri. Kesulitan akan timbul

apabila untuk satu macam profesi terdapat lebih dari satu asosiasi. Kesulitan akan

lebih jauh muncul apabila prinsip – prinsip profesi diterjemahkan secara berbeda

dalam kode etik mereka48.

Dalam profesi kepolisian negara republik Indonesia, walaupun seorang

anggota Polri merupakan aparat penegak hukum, namun tetap harus tunduk pada

sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Kepolisian tidak boleh bersifat kebal

hukum, karena selalu terikat kepada aturan – aturan hukum, prosedur – prosedur

tertentu, dan dikontrol oleh hukum. Polisi juga harus tanggap terhadap kehendak

umum dan bertanggungjawab kepada negara dan masyarakat49.

Dalam prakteknya tidak setiap kode etik kepolisian akan dijalankan

dengan baik oleh setiap anggota kepolisian. Banyak dari mereka melakukan

pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik. Untuk pengertian pelanggaran

sendiri diatur dalam Pasal 1 ayat 12 Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun

2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,

yang menyebutkan bahwa pelanggaran adalah : Perbuatan yang dilakukan oleh

anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia karena melanggar sumpah/ janji

anggota, sumpah/ janji jabatan, peraturan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara

Republik Indonesia. Jadi pelanggaran kode etik menurut etika profesi Polri adalah
48
Ibid, hal 5.
49
Untung. S Radjab, Kedudukan Dan Fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam Sistem
Ketatanegaraan, CV Utomo, Bandung, 2003.
ketidaksesuaian setiap perbuatan dari anggota Polri terhadap norma - norma atau

aturan - aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan

peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal - hal yang diwajibkan, dilarang

atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri.

Dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia dijelaskan bahwa :

1. “Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

terikat pada kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia’.

2. “Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi

pedoman bagi pengemban fungsi Kepolisian lainnya dalam

melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang

berlaku di lingkungannya”.

3. “Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri50”.

Sehingga diketahui bahwa setiap anggota Polri terikat dengan Kode Etik

Profesi Polri yang dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas. Setiap

angota Polri, berpangkat apapun wajib melaksanakan apa yang tertuang dalam

peraturan Kode Etik Profesi Polri. Adapun peraturan Kode Etik Profesi Polri

tersebut bertujuan untuk :

1. Menerapkan nilai – nilai Tribrata dan Catur Prasetya dalam pelaksanaan

tugas dan wewenang umum Kepolisian.

2. Memantapkan profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas anggota

Polri.

3. Menyamakan pola pikir, sikap, dan tindak anggota Polri.


50
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4. Menerapkan standar profesi Polri dalam pelaksanaan tugas Polri.

5. Memuliakan profesi Polri dengan penegakan Kode Etik Profesi Polri51.

Peraturan tentang Kode Etik Profesi Polri diatur lebih jelas pada Peraturan

Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

Dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi

Polri dijelaskan bahwa etika profesi Polri adalah kristalisasi nilai – nilai Tribrata

dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan

jati diri setiap anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang meliputi etika

kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan, dan kepribadian52.

Dalam kedua landasan jati diri anggota Polri (Tri Brata dan Catur

Prasetya) tersebut, terdapat semua kewajiban yang harus dilakukan dan diamalkan

oleh setiap anggota Polri.

Di dalam Peraturan Kode Etik Profesi Polri yang diatur dalam Peraturan

Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, diatur etika para anggota Polri dalam etika

bernegara, etika berlembaga, etika bermasyarakat dan etika berkepribadian. Di

dalam etika – etika inilah diatur berbagai pedoman anggota Polri dalam

berperilaku dalam hubungannya dengan negara, dengan lembaga Polri, dengan

masyarakat dan dengan pribadi per pribadi.

Selain pada peraturan Kode Etik Profesi Polri yang diatur dalam Peraturan

Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, terdapat Peraturan untuk penegakkan Kode Etik

Profesi Polri, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2003, tentang pemberhentian anggota Polri. Di dalam peraturan pemerintah


51
Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pasal 2.
52
Ibid, Pasal 1 ayat 1.
tersebut, secara garis besar menjelaskan tentang hal – hal pemberhentian anggota

Polri, baik pemberhentian dengan cara hormat, maupun dengan cara tidak hormat.

Pada Peratuan Pemerintah itu dijelaskan bahwa anggota Polri diberhentikan

tidak dengan hormat apabila53 :

1. Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang

tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

2. Diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan/atau tidak benar

pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

3. Melakukan usaha atau kegiatan yang nyata - nyata bertujuan mengubah

Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan kegiatan yang

menentang negara dan/atau Pemerintah Republik Indonesia secara tidak

sah.

4. Melanggar sumpah/janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,

sumpah/janji jabatan, dan/atau Kode Etik Profesi Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

53
Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2003, Pemberhentian Anggota Polri, Pasal 12.
5. Meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 (tiga

puluh) hari kerja secara berturut - turut.

6. Melakukan perbuatan dan berperilaku yang dapat merugikan dinas

Kepolisian.

7. Melakukan bunuh diri dengan maksud menghindari penyidikan dan/atau

tuntutan hukum atau meninggal dunia sebagai akibat tindak pidana yang

dilakukannya.

8. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Bahwa pemberhentian sebagaimana dimaksud diatas, dilakukan melalui

sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia 54.

Sehingga seorang anggota Polri diikat oleh 2 (dua) peraturan kode etik profesi

Polri, yaitu Peraturan Kapolri nomor 14 tahun 2011 tentang Kode etik profesi

Polri dan juga Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 tahun 2003 tentang

Pemberhentian anggota Polri. Namun untuk penyelesaian perkara, keduanya sama

– sama melalui mekanisme sidang Komisi Kode Etik Polri.

H. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian


1 1 1 1 1 1 1 1

hukum yuridis empiris karena meneliti penerapan pada pasal 12 huruf E dalam
1 1 11 1

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang


1 1

Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Metode penelitian hukum

yuridis empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk
1 1 1 1 1 1 1 1 1

54
Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2003, Pemberhentian Anggota Polri, Pasal 12 ayat (2),
Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (2).
1melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1lingkungan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil


1 1 1 1 1 1 1 1

1dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1pemerintah.

2. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah


1 1 1 1 1 1 1

1pendekatan yuridis 1 1sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis adalah

Mengidentifikasi dan mengkonsepsikan hukum sebagai instusi sosial yang riil 1 1 1

dan fungsional dalam sistem kehidupan yang nyata55. Pengertian yuridis menurut
1 1 1 1 1 1 1

ilmu hukum dan pengertian sosiologis adalah ilmu yang meliputi segala macam

hal tentang masyarakat dengan menyerap ilmu-ilmu sosial yang lain. Pendekatan
1 1 1 1 1 1 1

yang diterangkan diatas, merupakan pendekatan yang digunakan penulis untuk

mengetahui bagaimana penerapan pada pasal 12 huruf E dalam Undang-Undang 1

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 1

tentang Tindak Pidana Korupsi di Kepolisian Daerah Metro Jaya, dan apa

hambatan yang dihadapi Kepolisian Daerah Metro Jaya terhadap anggota polisi

yang melakukan tindak pidana pemerasan.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data atau berkas kasus yang

ditangani oleh Bidpropam Kepolisian Polda Metro Jaya. Pemilihan lokasi

Penelitian ini ditujukan sebagai sumber data utama yang akan digunakan untuk

mendeskripsikan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota polisi,

55
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Press, 1986), Hlm51
terutama di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Dalam melakukan penelitian ini,

peneliti berencana melakukan penelitian dalam waktu kurun waktu tahun 2016

sampai tahun 2018.

4. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer merupakan data dan informasi yang diperoleh melalui


1 1 1 1 1 1 1 1 1

1Penelitian yang dilakukan langsung kelapangan dengan pihak-pihak yang


1 1 1

berwenang yang terkait dengan penelitian ini, antara lain Kepolisian

Daerah Metro Jaya bagian Bidang Profesi dan Pengamanan

(BIDPROPAM).

b. Data Sekunder

Data Sekunder merupakan data yang di dapat peneliti seperti kepustakaan


1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1terhadap berbagai macam bacaan yaitu menelaah peraturan perundang-


1 1 1

undangan yang berlaku, literature, jurnal, artikel maupun sumber data

lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian.

2. Sumber Data

a. Data Primer

Sumber data primer untuk penelitian skripsi ini diperoleh dari hasil studi

lapangan serta wawancara yang berkaitan dengan penerapan pasal 12

huruf E dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan


1 1

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi,

yaitu Kepolisian Daerah Metro Jaya, Bidang Profesi dan Pengamanan.


b. Data Sekunder

Data sekunder diambil dari penelusuran kepustakaan, peraturan

perundang-undangan dan artikel yang berkaitan dengan penerapan pasal

12 huruf E dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang


1 1

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana

Korupsi, yaitu:

a. Undang – Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001 tentang 1

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

Tindak Pidana Korupsi

b. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2003 tentang pemberhentian anggota Polri

d. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 untuk penegakkan

Kode Etik Profesi Polri

e. KUHP.

5. Teknik Pengambilan Data

Data primer merupakan data yang utama untuk mendapatkan data yang

memiliki relevansi dengan judul penulisan ini, maka penulis melakukan

pengumpulan data dengan menggunakan 2 jenis data yaitu:

a. Data Primer

1) Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
1 1 1 1 1 1 1 1

tatap 1 muka 1 dan 1 tanya 1 jawab 1 langsung 1 1antara 1 peneliti dan 1

1narasumber.Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada

suatu masalah tertentu yang dilakukan oleh 1 1 1 1 1dua pihak, yaitu 1 1

1pewawancara (yang mengajukan pertanyaan) dan yang diwawancarai


1 1 1 1 1 1

(yang memberikan jawaban)56. Adapun wawancara yang dilakukan


1 1 1

adalah dengan wawancara terarah directive interview, Peneliti sudah

menyiapkan pertanyaan-pertanyaan tertentu dengan membatasi aspek-

aspek pengamatan terhadap objek penelitian secara langsung. Peneliti

juga menggunakan berbagai instrumen penelitian seperti alat bantu


1 1 1 1 1 1 1

kamera untuk merekam jalannya wawancara.


1 1 1 1 1

2) Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data yang kompleks karena


1 1 1 1 1 1 1 1

1melibatkan berbagai faktor dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini peneliti


1 1 1 1

langsung mendatangi lokasi penelitian yaitu wilayah hukum Kepolisian

Daerah Metro Jaya bagian BIDPROPAM, sehingga mendapatkan data

konkret berkenaan dengan penelitian penulis.

b. Data Sekunder

Pengolahan data sekunder peneliti menggunakan metode studi

dokumentasi ataupun kepustakaan, metode ini merupakan pencarian dan

pengumpulan data mengenai hal-hal ataupun catatan, buku-buku, majalah

dan lainnya yang berhubungan dengan tema penelitian 57. Dokumntasi

56
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Pt. Raja Grafindo Persada, 2003,
hlm.135
57
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, PT . Raja Grafindo Persada, 2003,
hlm231
juga diartikan sebagai pengumpulan data melalui peninggalan tertulis,
1 1 1 1 1

1terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang


1 1 1 1 1 1 1

1pendapat, dalil, hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah


1 1 1 1 1 1 1 1

1penyidikan58. Dalam studi kepustakaan ini peneliti menggunakan buku

peneliti menggunakan buku, arsip, penelitian, penelusuran Internet untuk

melengkapi penelitian ini.

6. Populasi, Sampel dan Responden

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik

tertentu.59 Populasi merupakan seluruh obyek, seluruh individu, seluruh

gejala atau seluruh kejadian termasuk waktu, tempat, gejala-gejala,

tingkah laku, pola sikap, dan sebagainya yang mempunyai ciri atau

karakter yang sama dan merupakan unit satuan yang di teliti.60 Dalam

penelitian ini penulis mengambil populasi yaitu Kepolisian Daerah Metro

Jaya.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi61 yang masih memiliki ciri-ciri


1 1 1 1 1

utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian.

Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling,

yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian.

Sampel dalam penelitian ini adalah Bidang Profesi dan Pengamanan


58
Hadari Nawiwi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press,
2007, hlm 141
59
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.65
60
Johan Nasution, Bahder Metode Penelitian Hukum. Mandar Maju: Bandung. 2008. Hlm 145
61
Hadari Nawiwi Op.Cit.hlm.144
(BIDPROPAM) Kepolisian Daerah Metro Jaya (Polda Metro Jaya)

Surabaya.

3. Responden

Responden adalah penjawab (atas pertanyaan yang diajukan untuk

kepentingan penelitian . Responden dalam Skripsi ini terdiri dari:

a) Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya

b) Akreditor UrStandarisasi SubbidWabprof Bidpropam Polda

Metro Jaya

c) Kaur Etika Subbid Wabprof Bidpropam Polda Metro Jaya

7. Teknik Analisis Data


1 1

Teknik analisis data di dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis


1 1 1 1

isi yaitu diskriptif analisis adalah yang diteliti dengan cara memaparkan data

primer dan data sekunder yang diperoleh dari hasil wawancara, kepustakaan, dan

pengamatan kemudian diinterpretasikan lalu ditarik kesimpulan terhadap dengan

penerapan pasal 12 huruf E dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001


1

tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana


1

Korupsi terhadap anggota Polisi yang melakukan tindak pidana Pemerasan.

8. Defenisi Operasional

1. Polisi adalah alat nеgara yang bеrpеran dalam mеmеlihara kеamanan dan

kеtеrtiban masyarakat, mеnеgakkan hukum sеrta mеmbеrikan pеrlindungan,

pеngayoman, dan pеlayanan kеpada masyarakat dalam rangka tеrpеliharanya

kеamanan dalam nеgеri.62


62
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 5 ayat (1)
2. Pemerasan adalah tindak kriminal perampasan harta benda yang biasanya

dibarengi dengan tindakan penganiayaan/kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai