Anda di halaman 1dari 16

42

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Kasus Pengalihan Pengadilan Perkara Pidana

Amandemen UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) menyebutkan kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Berhubungan dengan itu harus

dijamin dalam undang-undang tentang fungsi dan kekuasaannya.Sehubungan

dengan hal tersebut keberadaan UU tentang independensi lembaga peradilan

menurut Oemar Seno Adjiadalah sebagai salah satu aspek esensial, bahkan unsur

fundamental dalam Negara hukum bagi Indonesia.25

Wajib hukumnya setiap kasus perkara tindak pidana diadili pada daerah

hukum yang dimana pengadilanlah yang berwenang mengadilinya (Pasal 137

KUHAP), sehingga Penuntut Umum sebelum melimpahkan perkara pidana ke

pengadilan harus tau apakah pengadilan ada kuasa mengadili atas perkara

tersebut, untuk menjaga kemungkinan hakim menolak memeriksa perkara karena

tidak kuasa mengadili perkara itu (kompetensi absolut). Hal tersebut sebenarnya

tidak singkron dengan teori loctus delicti, yang dimana pada Pasal 84 ayat (1)

KUHAP menyebutkan bahwa Pengadilan negeri yang berwenang mengadili

segala perkara tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Namun

dalam Pasal 85 KUHAP menyatakan bahwa dapat dialihkan dengan alasan-alasan

yang menjadi pertimbangan pada Pasal 84 ayat (2), dan Penjelasan Umum Pasal

25
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1985, hal. 251
43

85 KUHAP yang dimana artinya ialahKUHAP sendiri tidak memilki penafsiran

otentik. Selaras dengan hal tersebut apabila keadaan daerah dimana Pengadilan

Negeri yangberwenang mengadili tidak dapat dilaksanakan. Mahkamah Agung

dapat mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadilan

Negeri lain untuk mengadili perkara tersebut (kompetensi relatif).26

Hal tersebut sama halnya terjadi pada kasus mantan Gubernur Jakarta

yakni Batsuki Tjhahja Purnama yang dimana resmi ditetapkan sebagai tersangka

terkait dugaan penistaan agama, singkatnya peristiwa dugaan penistaan agama ini

bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada Selasa,

27 September 2016. Saat berpidato di hadapan warga. Ahok menyatakan tidak

memaksa warga untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017. Pernyataan itu disertai

kutipan surat Al Maidah ayat 51 yang menuai reaksi publik, sehingga pada Kamis,

6 Oktober 2016, video Ahok yang menyebut surat Al Maidah ayat 51 itu viral di

media sosial lewat jejaring facebook milik Buni Yani. Dan pada 7 Oktober 2016,

Ahok dilaporkan oleh Habib Novel Chaidir Hasan yang berprofesi sebagai alim

ulama, sebagaimana Laporaan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim.

Sehingga pada 16 Oktober 2016, penyidik memutuskan menaikkan status ke

tingkat penyidikan dan menetapkan Ahok sebagai tersangka. Dan pada 25

November 2016, Bareskrim Polri melimpahkan berkas perkara kasus dugaan

Penistaan Agama ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Akhirnya pada 30 November

2016, Kejaksaan Agung menetapkan berkas perkara kasus dugaan Penistaan

Agama itu telah lengkap atau P-21. Dan pada Kamis (1/12/2016) siang, hanya

26
Suharto RM, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal.
103
44

dalam hitungan kurang dari 2 jam setelah Kejaksaan Agung menerima

pelimpahan berkas perkara dan tersangka Ahok dari Bareskrim Polri, Kejagung

meneruskannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Singkatnya kasus dugaan

penistaan tersebut awalnya rencananya diadakan di Pengadilan Jakarta Utara,

namun karena alasan keamanan (Menurut Juru Bicara Mahkamah Aun Suhad)

maka terjadi pengalihan lokasi sidang yang dimana memerlukan izin ketua

Mahkamah Agung. Yang dimana dialihkan di “Aula Kementrian Pertanian

Ragunan Jakarta Selatan” yang memang bahkan bukan wilayah daerah hukum.27

Dapat dilihat bahwa kasus tersebut diindikasikan oleh desakan media

massa maupun media sosial yang dimana memaksa hukum maupun penegak

hukumnya untuk berperan. Bukan hanya pengalihan tempat persidangan terjadi

pada kasus besar seperti Penistaan Agama tersebut tetapi ada pula beberapa kasus

besar yang lokasi sidangnya dipindahkan seperti “sidang perkara mantan Wali

Kota Semarang yakni Seoemarno Hadi Saputra yang dimana dipindahkan dari

Pengadilan Negeri Semarang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Mei 2012.

Dan juga pada kasus terorisme Abu Dujana yang juga dipindahkan dari

Pengadilan Negeri Poso ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya karena alasan

keamanan.28

Dapat dilihat bahwa peran media dan instruksi pada masyarakat sangat

mendorong dan juga berdampak, sehingga sesuai dengan isi dari Penjelasan

Umum Pasal 85 KUHAP yakni:

27
http://www.tribunnews.com/nasional/2016/12/02/inilah-perjalanan-proses-hukum-
kasus-ahok
28
https://tirto.id/kronologi-kasus-dugaan-penistaan-agama-b457
45

“Keadaan daerah tidak mengizinkan ialah antara lain “Tidak amannya


daerah” atau adanya bencana alam.”

Maka isi dari Penjelasan Umum Pasal 85 mengenai masalah keamanan

bisa saja dipakai pada kasus Penistaan Agama dengan terdakwa Batsuki Tjhaja

Purnama alias Ahok sehingga berdampak pada dialihkan pengadilan tersebut.

Dalam kasus Ahok banyak diklaim sebagai Idependensi permainan politik salah

satunya oleh Sulistyowati Irianto (Dosen Antropologi, Universitas Indonesia),

yang dimana beliau mengatakan bahwa:

“Kami memandang Batsuki Tjahaja Purnama adalah korban kriminalisasi


dengan tuduhan penodaan agama. Batsuki Tjahaja Purnama korban dari
upaya fitnah dan pemelintiran yang dilakukan oleh orang yang bermaksud
jahat padanya dan korban penggunaan Pasal 156a yang termasuk “pasal
karet” yang bisa ditarik-tarik buat menjerat sesuai kepentingan penguasa
dan pihak yang mengaku mayoritas. Singkapnya saat membacakan
pernyataan sikap di Cikini, Jakarta Pusat, sabtu 10/12/2016”.29

Oleh karenanya dapat dilihat pada kasus Batsuki Tjahaja Purnama alias

Ahok, bahwa dalam pembuktian hingga diajukannya kasus penistaan agama ke

Pengadilan karena video yang beredar di laman facebooknya Buni Yani yang

dimana belum pasti terbukti benar atau tidaknyavideo tersebut. Sehingga dapat

dilihat mengundang banyak kontroversi yang dimana berdampak pada pengalihan

kasus Ahok yang seharusnya di sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara tetapi

karena alasan keamanan akhirnya dialihkan ke Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan.Hal tersebut jelas sangat berpengaruh pada kepada kualitas putusan.

Berkesinambungan dengan dialihkan sidang perkara Ahok yang dimana dialihkan

dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan

29
https://megapolitan.kompas.com/read/2016/12/10/14081191/sejumlah.aktivis.ham.nyata
kan.ahok.korban.kriminalisasi
46

tetapi bukannya disidangkan di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan malah

disidangkan di Gedung Aula Kementerian Pertanian Ragunan Jakarta Selatan

yang jelas bukan wilayah otoritas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (otoritas

hukum).

Dipetik dari Wikipedia bahwa Pengadilan atau Mahkamah adalah sebuah

forum publik, resmi, dimana kekuasaan publik ditetapkan oleh otoritas hukum

untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh

administratif, dan kriminal di bawah hukum. Sama halnya dengan pengertian

tersebut menurut R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio Peradilan adalah segala sesuatu

yang berhubungan dengan tugas Negara untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Menurut mereka penggunaan istilah peradilan (rechtspraak, judiciary) menunjuk

kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum (het

rechtspreken), sedangkan pengadilan ditunjuk sebagai badan atau wadah yang

memberikan peradilan.30

Hal tersebut menjelaskan bahwa Pengadilan merupakan Badan atau

Instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan dari proses memeriksa,

memutus, dan mengadili suatu perkara. Sehingga dapat dilihat pada kasus Ahok

yang dimana dijalankan di Gedung Aula Kementerian Pertanian Ragunan Jakarta

Selatan (bukan wilayah otoritas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) tidak sejalan

dengan maksud daripada Pasal 85 KUHAP, yang dimana seharusnya dilaksanakan

pada Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang bilamana sudah menjadi

suatu keharusan pada Pasal 85 KUHAP beserta Penjelasan Umumnya mengenai

30
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pengadilan
47

alasan keamanan tersebut, yang dimana pada sidang Ahok tersebut dilaporkan ada

sekitar 2.996 personel kepolisian yang dikerahkan untuk mengamankan jalannya

sidang. Pihak kepolisian merekomendasikan agar lokasi sidang Batsuki Tjahaja

Purnama atau Ahok dipindah. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Raden

Prabowo Argo Yuwono, mengatakan rekomendasi itu berdasarkan hasil evaluasi,

sehingga kepolisian memberikan saran, koordinasi dengan pengadilan untuk

dipertimbangkan lokasinya (dipindah), yang dimana lokasi Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan dinilai tidak memadai dan dikhawatirkan akan membuat jalannya

sidang dan lingkungan sekitar tidak kondusif, hal ini sesuai dengan pernyataan

Sekertaris GNPF MUI Habib Novel Bamukmin menilai kapasitas ruang sidang

terlalu sedikit. Ia mengatakan Pengadilan Negeri Jakarta Utara hanya berkapasitas

100 orang sementara kapasitas Aula Kementerian Pertanian Jakarta Selatan

mencapai 300 orang.31 Sehingga kalau berbicara mengenai keamanan bisa saja

ditingkatkan keamanannya yakni ditambahkannya personil polisi dalam hal

mengawasi keamanan berjalannya sidang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

dialihkannya kasus Ahok lebih condong pada keadaan fasilitasi Gedung

Pengadilan sendiri yakni dengan kata lain sarana pra-sarana. Yang dimana

menurut Soerjono Soekanto: sarana atau fasilitasi mempunyai peran yang sangat

penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitasi tersebut,

tidak mungkin penegakan hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan

31
https://megapolitan.kompas.com/read/2016/12/14/21054751/polisi.rekomendasikan.lok
asi.sidang.ahok.dipindah
48

peranan yang aktual.32 Sehingga dapat dilihat bahwa tugas dan fungsi daripada

Pengadilan seketika luntur yang dimana, sebagai:

1. Fungsi mengadili (Judicial Power), yakni memeriksa dan mengadili


perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri di wilayah
hukumnya.
2. Fungsi Admnistratif, yaitu menyelenggarakkan administrasi umum,
keuangan dan kepegawaian serta lainnya untuk mendukung
pelaksanaan tugas pokok Teknis Peradilan dan Administrasi Peradilan.
3. Fungsi pengelolaan barang milik kekayaan Negara yang menjadi
tanggung jawabnya.
4. Fungsi pengawasan maupun keamanan internal dalam pelaksanaan
tugas-tugasnya.
5. Fungsi penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan
dibidang tugas dan fungsinya kepada Pengadilan Tinggi.
6. Dan fungsi pembinaan.33

Sehingga hal tersebut jelas melanggar taat aturan pada Norma Hukum,

yang dimana Norma Hukum sendiri ialah sistem aturan yang diciptakan oleh

lembaga kenegaraan yang dimana ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya,

hukum diciptakan dan diberlakukan oleh institusi yang memang memiliki

“kompetensi atau kewenangan” dalam membentuk dan memberlakukan hukum.34

B. Alasan-alasan Yang Menjadi Pertimbangan Pengalihan Persidangan

Di dalam Pasal 85 KUHAP secara jelas menjelaskan bahwa suatu perkara

pidana di dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri dapat dialihkan/ dilimpahkan

ke Pengadilan Negeri lain apabila hal keadaan daerah tidak mengizinkan maka

atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan yang bersangkutan,

Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan

32
https://www.kompasiana.com/djawara/54fec582a33311703c50f8bd/faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-penegakan-hukum-di-indonesia
33
https://pn-tabanan.go.id/tugas-pokok-dan-fungsi/
34
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo, Jatinangor, 2004, hal. 4
49

atau menunjuk Pengadilan Negeri lain. Sehingga dalam penerapannya terdapat

pertimbangan-pertimbangan suatu perkara pidana dapat dialihkan yang dimana

ditinjau dari penjelasan umumnya (Penjelasan Umum Pasal 85 KUHAP) yang

menjelaskan bahwa: yang dimaksud dengan “keadaan daerah tidak mengizinkan”

ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana alam.Sehingga dapat

dilihat suatu persidangan dapat dialihkan karena:

1. Keamanan, dan

2. Bencana alam.

Keamanan yang dimaksudkan disini ialah keharusan Pengadilan sebagai

lembaga hukum yang sah yang berperan untuk menggapai tujuan hukum yang

berkeadilan yang dimana tidak boleh ada paksaan-paksaan maupun tindakan-

tindakan yang dilancarkan secara temporir baik dari masyarakat, penguasa-

penguasa politik, maupun aparatur penegak hukum itu sendiri. Berkesinambungan

dengan hal tersebut disebutkan juga bencana alam yang dimana wilayah hukum

pengadilan tidak mengalami keajdian maupun bencana alam seperti tsunami,

banjir, longsor, dll. Sehinnga kejadian alam yang dimaksudkan ialah kejadian

yang murni terjadi karna dampak dari alam dan tanpa ada unsur kesengajaan yang

direncanakan oleh manusia.

Adapun juga sebab pengalihan suatu perkara pidana dari Pengadilan

Negeri ke Pengadilan Negeri lain, yang dimana hal tersebut berdasarkan domisili

sebagian besar saksi berada atau dengan kata lain tempat dimana sebagian besar

saksi berada. Yang dimana suatu unsur tindak pidana dapat dialihkan apabila
50

tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat

pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam

daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Hal ini diatur oleh Pasal 84 ayat (2)

KUHAP.

Di dalam Pasal 84 ayat (1) juga menjelaskan bahwa “Pengadilan Negeri

yang berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan dalam

daerah hukumnya”. Sehingga pada pasal tersebut dituang maupun didukung

berasaskan pada teori “Locus Delicti” yang dimana maksud dari teori tersebut

ialah tentang kewenangan Pengadilan Negeri yang mempunyai kewenangan

hakiki yang dimana mengadili suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang

lingkup darerah hukumnya.

Yang dimana ruang lingkup Hukum Pidana (KUHP), meliputi tempat

terjadinya delik (Locus Delicti) dan waktu terjadinya delik (Tempus delicti).

Tempat terjadinya perbuatan pidana (Locus Delicti), perlu diketahui untuk

menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana

tersebut atau tidak (Pasal 2-8 KUHP). Disamping itu turut pula ditentukan

Kejaksaan dan Pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Ini

berhubungan dengan kompetensi relatif.

Hukum pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan

dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang

dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.


51

Dalam hal ini perlu diperhatikan pendapat Van Hamel (1927:212) yang

mengemukakan, bahwa yang harus diterima sebagai locus delict, ialah:

1. Tempat seseorang pembuat (dader) telah melakukan perbuatannya yang

dilarang (atau yang diperintahkan) oleh undang-undang pidana;

2. Tempat alat yang dipergunakan oleh pembuat bekerja;

3. Tempat akibat langsung perbuatannya telah terwujud; dan

4. Tempat sesuatu akibat konstitutif telah terwujud.35

Sementara KUHP tidak mengatur tentang tempus dan loctus delicti. Pada

hakikatnyajuga KUHAP juga tidak mengatur secara expressis verbis tempus dan

locus delicti, tetapi menentukan kompetensi relatif Pengadilan Negeri. Ayat 1

pasal 84 KUHAP hanya menyatakan bahwa “Pengadilan Negeri berwenang

mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah

hukumnya”. Namun, ayat 2 memungkinkan juga pengadilan negeri yang bukan di

daerahnya dilakukan tindak pidana mengadili terdakwa yang bersangkutan kalau

ia bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditemukan atau ditahan di daerah hukum

pengadilan negeri tersebut, dengan syarat bahwa sebagian besar saksi yang

dipanggil lebih dekat tempat tinggalnya daripada tempat kedudukan pengadilan

negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Ayat 2 tersebut

memungkinkan tidak sesuainya teori locus delicti dengan tempat diadilinya

perkara tersebut oleh Pengadilan Negeri tersebut.

Menurut Hazewinkel-Suringa, bahwa bagaimanapun juga teori akibat

kadang-kadang lebih sesuai dengan penentuan tempat terjadinya delik


35
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Malang, 2001, hal. 89
52

materiel.36Beliau menganjurkan bahwa untuk bekerja secara teleologis dan

mempertanyakan dalam hubungan mana dan untuk tujuan apa locus delicti itu

harus ditetapkan. Jikalau hendak dicari hakim yang berwenang relatif, maka teori

perbuatan materiel yang tepat digunakan , karena tempat dimana perbuatan

materiel itu dilakukan terdapat alat-alat bukti yang cukup. Jikalau yang hendak

diketahui apakah peraturan hukum pidana nasional dapat diperlakukan terhadap

serangan dan bahaya dari luar, maka tempat dimana instrument bekerja atau

tempat di mana akibat terwujud yang paling tepat digunakan.Selanjutnya beliau

menyatakan, bahwa bilamana terdapat perbedaan pendapat tentang tempat

terjadinya delik, maka haruslah diperlakukan seperti bagian terakhir Pasal 2

Sv.(Undang-undang Hukum Acara Pidana Nederland) yang menetapkan, bahwa

Pengadilan yang pertama kali diserahi perkara yang diberikan wewenang untuk

mengadili perkara itu. Menurut Hazewinkel-Suringa, ketentuan itu tidak memilih

satu diantara tiga macam teori locus delicti. Patut dikemukakan bahwa baik

KUHPidana Indonesia, maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara pidana

Indonesia (U.U. NO. 8 tahun 1981) tidak memberikan penafsiran otentik atau

pedoman tentang tempus apalagi locus delicti.37

C. Solusi Konkrit Dalam Pengalihan Persidangan Perkara Pidana.

Dalam rangka pembaharuan hukum pidana sekarang menurut Richard

Lange ada dua problema pokok yang selalu dihadapi yaitu bahwa di satu pihak

ada keharusan untuk menserasikan hukum pidana dengan ilmu pengetahuan

36
Edi Setiadi Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, Graha Ilmu,
Bandung, 2013, Hal. 66
37
H. A. Zanal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 180
53

empiris dengan memperhatikan benar-benar kebutuhan masyarakat yang

sesungguhnya sedangkan dilain pihak hukum pidana harus diperbaharui sesuai

dengan tingkat kemajuan zaman.38 Sehingga sesuai dengan sifat dari pada

pembaharuan yang fundamental maka sasaran dari pada pembaharuan ini harus

tertuju kepada 4 sektor yaitu:

1. Struktur/ tatanan hukum acara pidana;

2. Materi/ isi pada hukum acara pidanaa;

3. Sikap dan penerimaan masyarakat terhadap hukum acara pidana

tersebut.39

Dapat dilihat bahwa pada umumnya bahwa kepastian hukum yang

dikehendaki oleh hukum tersebut. Menurut teori buatan materieel tidak dapat

memecahkan persoalan. Oleh ilmu hukum pidana di buatlah teori lain, yaitu teori

akibat. Menurut teori ini, maka loctus delicti ialah tempat terwujudnya akibat.

Dalam hal ini ajaran sebab dan akibatmemegang peranan.

Dalam Pasal 84 ayat (2), dan Pasal 85 KUHAP yang dimana menentukan

kompetensi relatif Pengadilan Negeri. Ayat 1 pasal 84 KUHAP hanya

menyatakan, bahwa “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara

mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Namun, ayat 2

memungkinkan jugaa pengadilan negeri yang bukan di daerahnya dilakukan

tindak pidana mengadili terdakwa yang bersangkutan kalau ia bertempat tinggal,

berdiam terakhir, ditemukan atau ditahan di daerah hukum pengadilan negeri


38
Abdurrahman, Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Baru di
Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 1980, Hal 2
39
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=4136
54

tersebut, dengan syarat bahwa sebagian besar saksi yang di panggil lebih dekat

tempat tinggalnya daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang didalam

daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Ayat 2 tersebut memungkinkan tidak

sesuainya teori locus delicti dengan tempat diadilinya perkara tersebut oleh

Pengadilan Negeri tersebut.

Sama halnya pada Pasal 85 yang dimana dalam hal keadaan daerah tidak

mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas

usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan,

Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan

atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk

mengadili perkara yang dimaksud. Yang dimana pada Penjelasan Umum atas

Pasal 85 KUHAP ialah yang dimaksud dengan “keadaan daerah tidak

mengizinkan” ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana alam.

Berbeda dengan sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

negara-negara. Yang dimana penulis menemukan bahwa Yugoslav Crimminal

Code (Official Gazette of the Federal People’s Republic of Yugoslavia No. 30 of

July 20, 1959) menetapkan di dalam Pasal 15, sebagai berikut:

1. A criminal offence is committed both in the place where the ofendder


was acting or obligated to act and in the place where the consequence
occurred.
2. An attempted criminal offence is committed both in the place where the
offender was acting and in the place where the consequence was to
have or could have occurred accordung to his intention.
55

Ayat (1) menjelaskan, bahwa delik diwujudkan di tempat dimana pembuat

telah bertindak atau di tempat dimanaa ia berkewajiban untuk bertindak dan di

tempat dimana ditempat dimanaa akibatnya terwujud. Ketentuan ini sesuai dengan

teori perbuatan materil (yang menyangkut delicta commissionis dan delicta

omissionis dan teori akibat).

Ayat (2) menyangkut delik yang berbentuk percobaan (ex pasal 53 KUH

Pidana Indonesia), yang locus delicti-nya berganda, yaitu dimana pembuat sedang

berbuat dan dimana akibat perbuatannya (percobaannya) telah dan seharusnya

terwujud sesuai dengan kesengajaannya. Sehinga menurut opini Hazewinkel-

Suringa bahwa bagaimanapun juga teori akibat kadang-kadang lebih sesuai

dengan penentuan tempat terjadinya delik materil.Sehingga penulis patut

mengemukakan bahwa baik KUHPidana Indonesia, maupun Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (terkhususnya Pasal 84 ayat 2 serta Pasal

85 dan Penjelasan Umumnya) tidak memberikan penafsiran otentik serta pedoman

pada teori locus delicti.40

Sehingga penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam hal suatu perkara

pidana dialihkan persidangannya ke pengadilan negeri lain, sebenarnya perlu

ditinjau mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang mana dikhususkan

pada Pasal 84 ayat 2, beserta Pasal 85. Karena dapat ditinjau bahwa dialihkannya

tempat sidang hanya pada kasus-kasus tertentu (seperti contoh kasus Batsuki

Tjahaja Purnama dengan kasus Penistaan Agama). Yang dimana pada kasus-kasus

40
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta, 1985, hal. 65
56

tersebut sebenarnya dihasut oleh opini media. Sehingga terdampak jelas pada

Penegakan Hukum kadang disandera oleh opini media, yang dimana hal tersebut

juga dapat berpengaruh pada kualitas dan indepedensi putusan pada hakim.

Beralih dari hal tersebut, pada penjelasan Pasal 85 KUHAP yang dimana

mengizinkan pengadilan dapat dialihkan apabila dalam hal keadaan daerah tidak

mengizinkan, yang dimana dimaksudkan pada keadaan daerah tidak mengizinkan

ialah karena tidak amannya daerah. Kita ketahui bahwa pada Pasal 84 ayat (1)

KUHAP menjelaskan bahwa “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala

perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya”. Hal terebut

terlampir dalam Norma Hukum. Juga pada UU. NO 19 Thn 1964 tentang

ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman mejelaskan pada Bab I, Pasal

1 ayat (1): “Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah

Peradilan Negara, yang ditetapkan oleh Undang-undang”. Dan juga pada Pasal 3:”

Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat revolusi berdasarkan Pancasila

menuju masyarakat Sosialis Indonesia”. Dari penjelasan tersebut, mau

menjelaskan secara terang bahwa Pengadilan yakni sebagai lembaga hukum, jelas

terikat oleh undang-undang sehingga dalam hal ini pengadilan terjamin

keamanannya, baik yang dalam wilayah hukum pengadilan ataupun dalam sistem

peradilannya. Sehingga sebenarnya perlu faktorsarana pra-sarana yang memadai

dalam penegakan hukum yang menjadi suatu kajian yusridis bagi penegakan

hukum di Indonesia. Yang dimana pengadilan dapat melakukan tugasnya dalam

hal penegakan hukum supaya tercapainya tujuan hukum yakni dengan seoptimal

mungkin. Sehingga dalam hal ini penulis mengemukakan bahwa setiap kasus
57

perkara pidana yang dijalankan pada setiap pengadilan, yang dimana baik

merupakan Pengadilan Umum ataupun Pengadilan Khusus, harus perlu adanya

sarana maupun prasarana yang memadai, dan perlu ditingkatkannya serta setara

fungsional dalam hal keamanan.

Anda mungkin juga menyukai