Anda di halaman 1dari 5

TEORI ETIKA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode dan Etika Penelitian Epidemiologi
Dekriptif

Dosen Pengampu Dr. dr. Helda M.Kes.

Disusun Oleh:

Saila Hadayna 1806204221

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS INDONESIA
2020

Teori Etika

1. Utilitarian Theory
Utility berasal dari kata bahasa inggris yang berarti kegunaan. Teori utilitarian
pertama kali dikenalkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan dikembangkan oleh John
Stuart Mill (1806-1873) sebagai prinsip dasar etis moral dalam menilai tindakan yang
dilakukan manusia berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan tersebut. Oleh karena itu
teori ini disebut juga sebagai universalisme etis. Disebut universalisme karena
menekankan pada sesuatu yang berguna bagi sebanyak mungkin orang dan etis karena
menekankan akibat yang baik.
Menurut teori ini, suatu perbuatan dianggap baik apabila dapat memberikan
manfaat yang besar terhadap banyak orang dan kemungkinan merugikan orang banyak
sangat kecil atau dikenal dengan istilah the greatest happiness of the greatest number
(Bertens 2000: 66). Sehingga dalam implementasi dalam kehidupan sehari-hari, tindakan
manusia yang bermoral yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan manusia sebanyak
mungkin dengan memperbesar manfaat dan memperkecil kerugian.
Dalam teori utilitarian menjelaskan suatu tindakan dianggap benar atau salah
dilihat dari dampak atau konsekuensinya yang terukur dengan jumlah kebahagiaan atau
ketidakbahagiaan yang dihasilkan. Jumlah kebahagian yang semakin besar dianggap
tindakan yang baik begitupun sebaliknya. Teori ini juga menekankan dalam mengambil
tindakan diperlukan tujuan yang rasional sehingga dapat memberikan dampak dan
tindakan tersebut dapat dianggap baik. Dengan dampak yang diberikan haruslah berguna
untuk orang banyak menunjukkan teori ini tidak hanya berfokus pada kuantitas namun
kualitas yang tidak egoistis atau tidak hanya berguna bagi kepentingan pribadi.
Pada realitanya, ketika menemukan seseorang yang memegang prinsip
utilitarisme terkadang dijadikan peluang untuk mencapai tujuannya dengan alasan
mengutamakan kepentingan orang banyak. Seperti para tokoh pemimpin politik yang
hadir membawa nama masyarakat luas namun malah berujung pada ambisinya dan
membawa dampak penderitaan bagi sebagian orang.
2. Khantian Theory
Teori Khantian yang dipelopori oleh Immanuel Kant (1734-1804) mempercayai
suatu perbuatan dapat dilihat dari isi hati dan suatu norma perbuatan yang baik dengan
melakukan kewajiban yang berasal dari kehendak dalam diri. Suatu tindakan yang
dilakukan sebagai kewajiban bersifat mutlak tanpa ada alasan yang perlu
dipertimbangkan atau syarat-syarat tertentu. Seperti ketika seseorang meminjam uang
kepada temannya maka perlu untuk dikembalikan segera uang tersebut. Tanpa ada sanksi
atau hukuman yang sudah berlaku secara umum atau hukum universal.
Dalam teori ini disebutkan bahwa manusia yang bersikap dengan melaksanakan
berdasarkan kewajibannya menunjukkan sikap menghormati hukum moral yang ada.
Seperti seseorang tidak berbohong karena meyakini bohong merupakan moral yang
buruk. Manusia wajib berkata benar tanpa melihat kerugian maupun keuntungan yang
diterimanya. Oleh karena itu berdasarkan teori ini tindakan tidak dapat dinilai baik atau
buruknya oleh hasil atau akibat yang diperoleh. Karena hasil dan akibat tindakan tidak
berada di bawah kendali seseorang melainkan niat yang dapat dikuasai olehnya sehingga
seseorang harus bertanggung jawab atas niatnya untuk membuat kebaikan atau keburukan
secara moral.
Teori ini menekankan pada etika kewajiban yang tidak menuntut adanya
kebahagiaan atau pengaruh faktor-faktor yang berasal dari luar. Selain itu, etika Kant
tidak mengharuskan adanya konsekuensi namun lebih mengutamakan adanya konsistensi.
Sebagaimana yang ia katakan “ consistency is the highest obligation of a philosopher
and yet the most rarely found”. Dapat disimpulkan pada teori ini mengutamakan tindakan
yang dilakukan berdasarkan kehendak baik sesuai kewajiban dan maksim atau prinsip
subjektif yang menyesuaikan keadaan dan terdapat alasan yang logis dengan
memperhatikan imperatif kategoris yang universal.

3. Virtue Ethics Theory


Teori virtue (Teori Keutamaan) merupakan konsep keutamaan pada manusia
berorientasi pada karakter tiap individu. Pada teori ini bukan ditekankan pada baik atau
buruknya suatu tindakan melainkan apakah seorang individu baik atau tidak. Apabila
karakter individu tersebut baik akan berdampak pada tindakannya yang baik pula.
Menurut Thomson, teori keutamaan membahas tentang karakter atau kualitas yang
dimiliki individu seperti bagaimana menjadi pribadi yang baik sehingga konsisten untuk
mempunyai pemikiran dan perilaku yang baik serta menghasilkan perbuatan baik.
Dalam usaha pengembangan moral individu tidak berdasar pada kepatuhan akan
peraturan di masyarakat melainkan berfokus pada pembentukan watak mulia dan terbaik
sehingga lebih mudah tertanam nilai-nilai etis di masyarakat. Menjadi individu yang
berwatak mulia dan sikap terpuji menghasilkan keseimbangan dan kebahagian hidup.
Misalnya apabila seseorang telah memiliki sifat yang tegas akan menjadikan dirinya
untuk tidak mudah dipengaruhi oleh situasi dan menjadi orang yang berprinsip. Menurut
Aristoteles, manusia untuk mendapatkan kebahagiaan bukan dengan mengejar
kesenangan maupun menghindari kesakitan tetapi dapat dengan mengaktualisasikan
potensi dalam dirinya.
Teori keutamaan berkaitan erat dengan moral dari tiap profesi di bidang
kesehatan. Dengan tiap individu memiliki kepribadian yang baik akan berpengaruh juga
pada bagaimana bertindak ketika melakukan pekerjaannya. Dalam hal ini bagaimana
mereka menjalankan perannya dengan mengimplementasikan kaidah bioetika, melakukan
tindakan berdasarkan kewajiban serta menaati kode etik profesi yang berlaku yang
terwujud dengan sikap dalam berinteraksi dengan pasien ataupun berkolaborasi dengan
teman sejawat atau profesi lainnya di bidang kesehatan.

4. Casuistry Theory
Teori casuistry dalam praktek kesehatan dikembangkan oleh Jonsen dan Toulmin
sebagai model alternatif dalam membuat keputusan etik dengan tidak menghilangkan
penggunaan prinsip bioetika namun juga menggunakan hasil dari pengalaman
sebelumnya. Casuistry menyajikan sebuah metode penalaran analitis berbasis kasus yang
mengaplikasikan pengalaman sebelumnya dalam permasalahan baru sehingga dapat
menemukan solusinya. Dalam prosesnya casustry mengesampingkan aspek kebahagian
dan tidak berbasis teori.
Menurut Jonsen dan Toulmin dalam casuistry terdapat tiga kategori penting
dalam menganalisis kasus yakni morfologi, taksonomi, dan kinetika. Morfologi sebagai
gambaran keadaan rincian kasus seperti tindakan yang dilakukan, waktu, lokasi, orang-
orang yang terlibat, dan lain-lain. Pada morfologi dapat melihat moral yang relevan pada
kasus tersebut. Ahli penanganan kasus dapat menentukan benar dan salah suatu moral
pada kasus setelah memahami kasus tersebut dengan analogi berupa argumen maxim
yang didukung oleh berbagai bukti yang sudah teridentifikasi berkaitan dengan kasus.
Dalam taksonomi mencakup melakukan paradigmatik dan pengkategorian kasus dalam
jenis kasus yang relevan. Kemudian pada kinetika kasus tersebut dibandingkan dengan
kasus paradigmatik yang relevan dan menentukan keputusan.

Referensi

Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius.


Kristanto, N.H., Lestari, N. and Subekti, S., n.d. Etika Profesi Kearsipan. [ebook] pp.126-127.
Available at: <http://repository.ut.ac.id/4146/1/ASIP4406-M1.pdf> [Accessed 4 October 2020].
Maiwan, M., 2018. MEMAHAMI TEORI-TEORI ETIKA: CAKRAWALA DAN
PANDANGAN. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 17(2), pp.190-212.
Sumarna, E., n.d. [online] File.upi.edu. Available at:
<http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/196708282005011-
ELAN_SUMARNA/Artikel/Filsafat_Etika_Kant-Edit.pdf> [Accessed 4 October 2020].
Adelson, B., 1994. The Virtues in Medical Practice. JAMA: The Journal of the American
Medical Association, 272(16), p.1303.
Paulo, N., 2015. Casuistry as common law morality. Theoretical Medicine and Bioethics, 36(6),
pp.373-389.

Anda mungkin juga menyukai