Anda di halaman 1dari 81

MAKALAH

PROGRAM PENANGGULANGAN PENYAKIT ASMA


DI INDONESIA

Penanggung Jawab Mata Ajar


Dr. dr. Krisnawati Bantas, M.Kes.

Disusun Oleh:
Kelompok 14

Ika Rania Annisa (1806140584)


Saila Hadayna (1806204221)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Program Pengendalian Penyakit Asma”
dengan baik dan tepat waktu.
Adapun makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Program
Penanggulangan Penyakit. Penulis berharap makalah ini juga dapat memberikan ilmu dan
menambah wawasan bagi semua orang yang bersangkutan baik pembaca, penulis, organisasi,
maupun pihak-pihak lainnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Krisnawati Bantas
selaku Dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah Program Penanggulangan Penyakit (P3). Tak lupa
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dan
membantu dalam pembuatan makalah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
menerima kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Depok, 22 Juni 2021


Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 5
2.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 6
2.1. Aspek Klinis ..................................................................................................................... 6
2.1.1 Definisi Penyakit ....................................................................................................... 6
2.1.2 Etiologi...................................................................................................................... 6
2.1.3 Patofisiologi ............................................................................................................ 11
2.1.4 Gejala dan Tanda .................................................................................................... 16
2.1.5 Diagnosa Penyakit Asma ........................................................................................ 20
2.1.6 Pengobatan .............................................................................................................. 27
2.1.7 Tatalaksana Penyakit Asma .................................................................................... 35
2.1.8 Prognosis ................................................................................................................. 40
2.1.9 Komplikasi .............................................................................................................. 41
2.2 Aspek Epidemiologis .......................................................................................................... 44
2.2.1 Epidemiologi Penyakit Asma di Dunia................................................................... 44
2.2.2 Epidemiologi Penyakit Asma di Indonesia ............................................................. 48
2.2.3 Faktor risiko ............................................................................................................ 51
2.2.4 Upaya Pencegahan .................................................................................................. 54
2.3. Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Asma ............................................... 56
2.3.1 Struktur Organisasi ................................................................................................. 56
2.3.2 Tujuan (Jangka Panjang dan Pendek) ..................................................................... 57
2.3.3 Visi-Misi ................................................................................................................. 57
2.3.4 Strategi .................................................................................................................... 57
2.3.5 Sasaran Program ..................................................................................................... 58
2.3.6 Program yang dijalankan ........................................................................................ 58
2.3.7 Target dan Indikator Program ................................................................................. 69
2.3.8 Hasil Kegiatan Surveilans ....................................................................................... 70

3
2.3.9 Capaian dan Evaluasi Program ............................................................................... 72
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 76
3.1 Apresiasi dan Kritik ............................................................................................................ 76
3.2 Saran .................................................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 78

4
BAB I
PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang


Asma adalah penyakit tidak menular kronis yang dapat menyerang anak-anak dan orang
dewasa dimana terjadi penyempitan saluran udara (bronkus) pada paru-paru dikarenakan
inflamasi atau kontraksi otot saluran pernafasan (WHO, 2021). Penyempitan saluran
pernafasan ini akan menimbulkan beberapa gejala seperti sesak nafas, mengi, dan batuk. Bagi
sebagian orang, asma dengan derajat ringan hanya mengganggu sebagian kecil aktivitas
mereka namun bagi orang lain dengan derajat asma yang berat atau parah, ini bisa menjadi
masalah besar yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan dapat menyebabkan serangan asma
yang mengancam jiwa (Healthline, n,d). Gejala asma yang timbul pada seseorang biasanya
terjadi karena ada faktor pemicu, dimana faktor pemicu ini bervariasi pada setiap penderitanya
seperti debu, asap, infeksi virus, jamur, cuaca, serbuk sari, bulu binatang, dam lain-lainl
(WHO, 2021)
Menurut WHO, diestimasikan sebanyak 262 juta orang mengidap penyakit asma di tahun
2019 dan 461.000 kematian akibat penyakit asma di seluruh dunia. Penyakit ini dapat terjadi
di segala usia namun sering terjadi pada anak-anak dan bisa juga berkembang pada awal masa
dewasa. Kematian akibat asma paling banyak terjadi di negara dengan pendapatan rendah
sampai menengah dimana banyaknya kasus asma yang under-diagnosed dan under-treatment
pada penderitanya. Asma merupakan penyakit yang under-diagnosed dan under-treatment
dikarenakan gejala penyakit asma yang tidak memiliki karakteristik khusus dan menyebabkan
pasien merasa tidak perlu mendapatkan pemeriksaan oleh dokter (WHO, 2021). Hal ini
merupakan sebuah tantangan yang perlu diatasi karena asma merupakan penyakit kronis yang
tidak dapat disembuhkan namun dapat dikontrol penyakitnya dengan melakukan perawatan
atau pengobatan gejala agar tidak memperburuk kondisi penderita (NHS, 2021). Oleh karena
itu, diagnosa dini pada penderita asma merupakan hal yang sangat penting agar penyakit asma
dapat dikontrol dan tidak bertambah parah atau bahkan dapat berujung pada kematian.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aspek Klinis

2.1.1 Definisi Penyakit


Kata “asthma” dalam bahasa Yunani berarti “terengah-engah” (GAN,
2021). Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai
dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat
di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel
baik dengan atau tanpa pengobatan. (Kemenkes, 2008; PDPI, 2003; CDC, 2019;
GAN, 2021). Karakteristik utama asma ditandai dengan adanya peradangan saluran
napas kronik, obstruksi aliran udara yang reversibel, dan terjadi peningkatan
reaktivitas bronkus (GAN, 2021).
Adanya asma menyebabkan tiga perubahan utama pada paru-paru yaitu,
pembengkakan pada lapisan saluran udara, bronkokonstriksi (pengencangan pita
otot polos di sekitar bronkus), dan produksi lendir yang berlebih sehingga semakin
mempersempit saluran udara (ALA, 2020). Akibatnya membuat kesulitan untuk
bernapas, memicu batuk, dan mengi ketika menarik napas (Mayo Clinic, 2020).
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi (serangan asma) dengan gejala
ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Serangan asma sebagai
episode peningkatan progresif dari gejala akibat bronkospasme yang dipicu oleh
faktor pencetus. Serangan asma dapat memburuk dengan cepat sehingga perlu
segera untuk diobati.

2.1.2 Etiologi
Secara etiologi, hingga kini penyebab pasti dari asma tidak diketahui. Asma
merupakan proses penyakit multifaktorial yang terjadi akibat interaksi antara faktor

6
risiko yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik memainkan peran
besar untuk seseorang dapat terkena asma. Faktor-faktor genetik yang
mempengaruhi seseorang dapat mengidap asma adalah predisposisi genetik,
riwayat atopi, lahir dengan kondisi hiperresponsif saluran pernafasan, jenis
kelamin, dan ras. Seseorang dengan riwayat atopik keluarga dan terdapat
keluarganya yang memiliki asma berisiko besar untuk menderita asma. Sangat
Tanpa adanya faktor genetik sangat kecil untuk potensi seseorang menderita asma.
Sedangkan faktor lingkungan berperan dalam mempengaruhi berkembangnya
penyakit asma pada seseorang yang secara genetik berisiko tinggi terkena asma.
Faktor lingkungan ini dapat termasuk alergen dalam ruangan (alergen binatang,
jamur, mite domestic), alergen di luar ruangan (serbuk sari, jamur), bahan di
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan dan parasit, status
sosial ekonomi, pola makan, obat-obatan, dan obesitas (PDPI, 2003).
Serangan asma dapat muncul ketika telah terpapar oleh faktor pencetus.
Faktor pencetus adalah segala sesuatu yang terdapat di lingkungan yang
mengakibatkan sel imun menghasilkan proses inflamasi di paru-paru dan memicu
timbulnya dan atau memperparah gejala asma. Faktor pencetus yang dimiliki setiap
orang dapat berbeda-beda. Jumlah faktor pencetus yang dimiliki seseorang dapat
menunjukkan tingkat keparahan asma yang diderita. Umumnya penderita asma
derajat ringan memiliki satu faktor sebagai faktor pencetus sedangkan ama dengan
tingkat yang parah memiliki faktor pencetus yang banyak. Berdasarkan akibat yang
ditimbulkan, terdapat beberapa faktor pencetus yang menyebabkan asma
(H.Boutin, 2005):
A. Faktor Inflamasi
1. Asma yang disebabkan oleh alergen
Alergen adalah zat yang menyebabkan reaksi alergi.
a. Tungau debu
Organisme mikroskopik yang banyak ditemukan di sekitar manusia
seperti pada karpet, tempat tidur, bantal, dan barang-barang berlapis
kain. Mereka memakan sisa-sisa materi organik seperti serpihan
kulit manusia. Bagian tubuh dan kotoran dari tungau debu yang

7
terpapar pada individu khususnya anak-anak dapat menyebabkan
asma yang sebelumnya tidak menunjukkan gejala asma. Sekitar
98% akan timbul gejala asma.
b. Jamur
Jamur dapat ditemukan di tempat lembab seperti toilet, atap bocor,
tanaman, koran bekas, dan lain-lain. Spora jamur dapat mengapung
di udara dan mendarat di tempat lembab untuk tumbuh dan
berkembang biak. Seseorang yang sensitif terhadap jamur ketika
menghirup spora jamur maka dapat memicu serangan asma.
c. Hewan peliharaan
Beberapa hewan peliharaan seperti anjing, kucing, hewan pengerat
(marmut dan hamster) dan mamalia berdarah panas lainnya dapat
memicu asma pada individu yang alergi terhadap bulu binatang.
Urin, feses, air liur, rambut, dan protein dalam serpihan kulit hewan
peliharaan dapat memicu asma.
d. Serbuk sari dari rumput, pohon, tanaman berbunga, dan gulma
e. Hama seperti kecoa dan tikus
Kotoran atau bagian tubuh kecoa dan hama lainnya dapat memicu
asma. Protein tertentu ditemukan dalam kotoran dan air liur kecoa
dan dapat menyebabkan reaksi alergi atau memicu gejala asma pada
beberapa individu.
f. Makanan
Beberapa makanan yang menjadi alergen yaitu kacang-kacangan,
cokelat, makanan mengandung protein tinggi seperti telur, ikan laut,
udang, kepiting , dan lain-lain. Banyak terjadi pada anak-anak.
2. Infeksi
Infeksi akibat paparan virus menimbulkan sekitar 80-85% episode asma
pada masa kanak-kanak. Bukti menunjukkan bahwa penyakit rhinovirus
yang dialami bayi merupakan faktor risiko perkembangan mengi pada anak-
anak pra sekolah dan sering memicu terjadinya asma. Orang dengan riwayat
asma bila terkena flu dapat lebih lama sakitnya, orang normal biasanya

8
membutuhkan waktu 3-5 hari untuk sembuh sedangkan orang dengan asma
dapat mengalami flu 1-2 minggu sampai terjadi serangan asma. Beberapa
orang dengan asma juga memiliki penyakit sinusitis bersamaan. Sinusitis
dapat berkontribusi untuk memperburuk gejala serangan asma.
3. Asma Akibat Kerja
Asma akibat kerja banyak menyumbang pada kasus asma orang dewasa.
Pekerjaan yang berisiko tinggi berada di bidang pertanian, pengecatan,
pekerja kebersihan, dan manufaktur. Asma akibat kerja mencakup dua jenis,
asma pekerjaan yang disebabkan oleh paparan bahan kimia atau debu
industri di tempat kerja dan asma yang sudah diderita sebelumnya namun
diperburuk karena faktor pekerjaan. Bila dikaitkan dengan sistem imunitas
dapat membagi dua jenis asma akibat kerja yaitu kekebalan dan non
kekebalan. Asma berkaitan dengan kekebalan dimaksudkan pada seseorang
yang telah terpapar pajanan namun asma muncul setelah berbulan-bulan
atau bertahun-tahun setelah paparan. Hal ini sebenarnya terjadi karena
memiliki masa laten yang panjang. Jenis lainnya yaitu asma non imun atau
asma yang terjadi karena iritasi pada saluran napas sehingga terjadi
disfungsi reaktif saluran napas. Serangan asma dapat muncul dalam 24 jam
setelah terpapar pajanan dengan konsentrasi tinggi.
B. Iritasi
1. Olahraga
Asma dapat terjadi selama latihan fisik yang kuat sehingga memicu
bronkokonstriksi akut dan meningkatkan reaktivitas saluran napas. Hal ini
dapat terjadi disebabkan oleh udara dingin dan kering yang tidak normal di
cabang bronkial menghasilkan spasme pada saluran napas yang kemudian
menimbulkan gejala-gejala asma.
2. Udara dingin
Temperatur rendah dan udara dingin akan mempersempit saluran
pernapasan sehingga udara akan sulit untuk keluar masuk.
3. Perubahan Suhu

9
Perubahan suhu yang tiba-tiba dapat mempengaruhi timbulnya gejala asma.
Penderita asma yang memiliki hipersensitivitas pernapasan menyebabkan
mudah terjadinya peradangan ketika terjadi perubahan suhu. Adanya udara
dingin akan mempersempit saluran pernapasan sehingga udara akan sulit
untuk keluar masuk. Sedangkan udara panas juga dapat memicu asma untuk
kambuh. Pada musim panas, asap dan kabut yang meningkat serta banyak
ditemukannya alergen tungau, jamur, dan polutan lainnya dapat
membahayakan para pengidap asma.
4. Bau yang kuat
5. Stres dan emosi
Seseorang penderita asma yang sedang stress dan dalam emosi yang tidak
stabil seperti tertawa atau menangis yang berlebihan akan memengaruhi
kondisi fisiologis saluran pernapasan sehingga terjadinya konstriksi pada
bronkus dan terjadinya kekambuhan sesak napas.
C. Lain-lain
1. Rokok
Asap rokok mengandung lebih dari empat ribu zat yang bersifat
karsinogenik. Asap rokok dapat memicu episode asma dan meningkatkan
keparahan serangan. Asap rokok menjadi faktor risiko pada kasus baru
asma anak usia pra sekolah. Anak-anak yang menjadi perokok pasif lebih
rentan terkena asma karena ukuran asap rokok yang kecil sehingga mudah
untuk anak-anak menghirup lebih banyak dibandingkan orang dewasa.
Selain itu, asap dari tungku perapian apabila terhirup juga dapat
menyebabkan serangan asma dan bronkitis parah.
2. Obat-obatan
Penderita asma umumnya sensitif terhadap beberapa obat-obatan seperti
aspirin atau obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), dan beta bloker.
Mereka tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi aspirin atau obat NSAID
karena dapat mengakibatkan serangan asma akut yang disertai dengan
rhinorrhea, iritasi konjungtiva, dan kemerahan pada kepala dan leher. Hal
ini terjadi disebabkan oleh peningkatan eosinofil dan sisteinil leukotrien

10
pada paru-paru. Mengonsumsi beta bloker pada penderita asma juga tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan bronkospasme yaitu kondisi
mengencang dan menegangnya otot yang melapisi bronkus paru-paru
3. Refluks esofagus
Kondisi refluks asam lambung yang berarti terjadinya kenaikan asam
lambung yang mana dapat meningkatkan resistensi saluran napas dan
reaktivitas saluran napas.
4. Bahan tambahan makanan
5. Polusi udara luar ruangan
Salah satu jenis polutan udara adalah NO2. NO2 merupakan gas yang berasal
dari penggunaan peralatan bahan bakar seperti gas dan minyak tanah yang
dapat mengiritasi mata, hidung, dan tenggorokan serta mengakibatkan sesak
napas. Pada penderita asma, apabila terpapar NO2 dalam kadar rendah dapat
meningkatkan reaktivitas bronkus dan membuat anak kecil lebih rentan
terhadap ISPA. Sedangkan paparan NO2 jangka panjang dapat
menyebabkan bronkitis kronis.

2.1.3 Patofisiologi
Mekanisme seseorang dapat mengidap asma hingga timbulnya gejala asma
bermula pada adanya interaksi faktor genetik dengan faktor lingkungan pejamu.
Pejamu tersebut secara genetik memiliki riwayat keluarga menderita asma dan atau
riwayat atopik dan memiliki risiko lingkungan seperti alergen dalam ruangan
(alergen binatang, jamur, mite domestic), alergen di luar ruangan (serbuk sari,
jamur), bahan di lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, dan lain-lain. Ketika
pejamu dengan risiko genetik dan lingkungan telah terpajan pemicu (inducer) yaitu
alergen di dalam dan di luar ruangan, maka akan terjadi proses sensitisasi dalam
tubuh. Proses sensitisasi ini belum menentukan seseorang telah menderita asma.
Kemudian apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan
faktor pemacu (enhancer) yaitu infeksi virus, ozon, dan faktor lainnya akan
menghasilkan proses inflamasi pada saluran napas. Proses inflamasi yang
berlangsung lama atau berat ini berhubungan dengan adanya hipereaktivitas

11
bronkus. Lalu, apabila seseorang dengan kondisi saluran napasnya telah terdapat
inflamasi mendapatkan paparan dari faktor pencetus (trigger) yaitu faktor yang
terdiri dari pemicu, pemacu, aktivitas fisik, udara dingin, dan lain-lain maka
bronkus yang mengalami hiperaktivitas akan memicu obstruksi jalan dan
menimbulkan serangan asma atau munculnya gejala asma berupa mengi (Gambar
1) (PDPI, 2003).

Gambar 1 Fisiologi bronkus penderita asma

sumber: NHS medlineplus magazine, 2011

Patofisiologis Asma dalam tubuh dapat terjadi berhubungan dengan sel-sel


yang berperan dalam proses imunitas dalam tubuh. Berdasarkan respon sel imun
yang terlibat dalam patogenesis penyakit, asma dikategorikan dalam 2 jenis yaitu,
Asma T2 dan Asma Non T2. Asma tipe T2 dicirikan dengan terjadinya inflamasi
yang dimediasi oleh sel T helper tipe 2 (Th2) sedangkan asma non tipe T2 berkaitan
dengan Th1 dan Th17.
1. Asma Alergik (Asma tipe T2)
Asma alergik sebagai respon sistem kekebalan tubuh terhadap
alergen tertentu terjadi diawali dengan fase sensitisasi. Pada fase sensitisasi

12
menunjukkan proses tubuh dalam menghadapi alergen yang masuk.
Alergen yang telah masuk ke dalam saluran napas seseorang dengan risiko
genetik asma, akan menempel pada epitel dan ditangkap oleh sel dendrit.
Lalu, sel dendrit akan mencerna alergen tersebut dan bertemu dengan sel T
helper untuk menyampaikan bahwa terdapat patogen yang masuk. Alergen
yang diperkenalkan pada sel T helper selanjutnya akan berikatan dengan
reseptor TCR dan memicu sel T helper untuk melepaskan IL-4 dan IL-13.
Setelah itu, IL-4 akan menstimulasi sel B untuk berproliferasi dan
menghasilkan antibodi yaitu IgE sebagai reaksi terhadap alergen. IgE ini
sebagai tanda bahwa tubuh telah menyimpan memori alergen dan apabila
alergen datang kembali, IgE akan berperan dalam mediasi terhadap alergen
tersebut.
Selanjutnya apabila terpapar lagi oleh alergen tersebut maka IgE
yang telah berikatan dengan reseptor pada sel Mast akan bertemu dengan
alergen. Kemudian alergen tersebut akan berikatan dengan IgE yang
akibatnya sel Mast akan degranulasi dan mengeluarkan mediator-mediator
yang ada dalam tubuhnya. Mediator- mediator tersebut seperti histamin,
prostaglandin, leukotriene, dan lain-lain yang merupakan zat pemicu
peradangan. Sitokin akan menyebabkan peregangan pada sel epitel
sehingga dapat masuk ke lapisan lamina peoria dan berikatan dengan saraf
vagus sehingga dapat menstimulasi untuk melepaskan asetilkolin. Akibat
pelepasan tersebut, asetilkolin dapat berikatan dengan reseptor mediator
dan menyebabkan konstriksi pada otot polos. Sel Mast yang terdapat dalam
lapisan lamina propria selanjutnya juga mengeluarkan mediator-mediator
inflamasi lainnya dan sel imun yaitu neutrofil dan eosinofil. Neutrofil dapat
mengeluarkan senyawa inflamatori yang dapat memperparah peradangan.
Mediator-mediator inflamasi ini apabila berikatan dengan reseptornya maka
dapat memicu terjadinya bronkokonstriksi, edema, dan sekresi kelenjar
mukus yang berlebih. Kelenjar mukus yang menebal maka akan
menyebabkan obstruksi saluran napas dan hiperplasia otot polos bronkus.
Akibatnya dapat menimbulkan gejala asma seperti mengi, batuk, sesak

13
napas, dan dada sakit. Muncul gejala pada serangan asma ini disebut dengan
reaksi asma cepat. Eosinofil yang diaktivasi oleh IL-5 akan berperan dalam
reaksi fase lambat, dimana pasca munculnya serangan asma selang
beberapa jam sekitar 1-2 jam akan timbul gejala kembali (Y Taher, 2010).
2. Asma Non Alergik (Asma tipe non T2)
Pada asma non alergik proses terjadinya asma tidak terlalu berbeda.
Fase sensitisasi hanya terjadi akibat dipicu oleh alergen. Seseorang dapat
terjadi asma non alergik karena telah tersensitisasi sebelumnya kemudian ia
terpapar dengan faktor pemacu non alergen. Patogen non alergi seperti
polusi, virus, jamur, dan lainnya yang masuk ke dalam saluran napas akan
merusak lapisan epitel sehingga menyebabkan sel limfosit (ILC2s) akan
memproduksi IL-5 dan IL-13. IL-13 akan melepaskan senyawa yang
memicu peradangan sedangkan IL-5 nantinya akan mengaktivasi eosinofil
yang berperan dalam reaksi fase lambat serangan asma. Akibat dari
peradangan ini akan memicu terjadinya hipersensitivitas bronkus. Dan
apabila terpapar dengan patogen non alergen lagi sebagai faktor pencetus
maka tubuh akan merespon kembali seperti proses yang sama dan
munculnya gejala serangan asma (Gambar 2) (Kostakou, et. al., 2019) .

Gambar 2 Patofisiologi terjadinya asma alergik dan non alergik

14
sumber: Kostakou, Kaniaris, Filiou, Vasileiadis, Katsaounou, Tzortzaki,
Koulouris, Koutsoukou and Rovina, 2019. Acute Severe Asthma in Adolescent
and Adult Patients: Current Perspectives on Assessment and Management. Journal
of Clinical Medicine, 8(9), p.1283.
3. Airway remodelling
Proses inflamasi pada asma yang berlangsung lama pada saluran
napas akan menyebabkan kerusakan jaringan fisiologis dan proses
regenerasi jaringan. Akibat proses ini akan menghasilkan perubahan
struktur yang dikenal dengan airway remodeling (PDPI, 2003). Mekanisme
tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari
diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit
jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau
perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan
peningkatan otot polos dan kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi
antara lain yaitu hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas, hipertrofi
dan hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membran reticular basal,
pembuluh darah meningkat, matriks ekstraseluler fungsinya meningkat,
perubahan struktur parenkim, dan peningkatan fibrogenic growth factor
menjadikan fibrosis. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah
peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktivitas jalan napas,
masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Pada
asma kronis sedang hingga berat, perilaku epitel mirip dengan skenario luka
kronis dimana lebih rentan terhadap cedera lingkungan dan virus daripada
biasanya dan menunjukkan gangguan perbaikan. Selain itu, epitel tidak lagi
mengalami penyembuhan dengan alami melainkan mengalami proses yang
melibatkan produksi faktor pertumbuhan yang mendorong respons
remodeling di dinding saluran napas yang mendasarinya (Gambar 3)
(Holgate, et.al., 2015).

15
Gambar 3 Remodeling epitel pada asma kronis

sumber: Holgate, S., Wenzel, S., Postma, D., Weiss, S., Renz, H. and Sly, P., 2015.
Asthma. Nature Reviews Disease Primers, 1(1).

2.1.4 Gejala dan Tanda


Gejala asma dapat bervariasi pada setiap orang. Namun umumnya tanda dan gejala
utama dari episode asma meliputi sesak napas, muncul mengi saat menghembuskan
napas, batuk, dan dada sesak (Kemenkes, 2008). Serangan asma yang terjadi
menunjukkan gejala yang lebih buruk dan dapat muncul pada waktu-waktu tertentu
seperti ketika berolahraga dan malam hari. asma dapat diklasifikasikan berdasarkan
berat penyakit yang ditunjukkan dari gambaran klinis yang ada. Berdasarkan
gambaran klinisnya, asma terbagi atas asma saat tanpa serangan dan asma saat
serangan.
a. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari empat
derajat yaitu intermitten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten
berat (Tabel 1).

16
Tabel 1 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis pada orang dewasa

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru

Intermitten Bulanan APE ≥80%

• Gejala<lx/minggu ≤ 2 kali sebulan • VEP1 ≥80%


• Tanpa gejala nilai prediksi
diluar serangan
• APE ≥80%
• Serangan singkat
nilai terbaik
• Variabiliti
APE< 20%.

Persisten Mingguan APE >80%


Ringan

• Gejala> lx/minggu >2 kali sebulan • VEP1 ≥80%


tetapi<lx/hari. nilai prediksi
• Serangan dapat • APE ≥80%
mengganggu nilai terbaik
aktivitas dan tidur • Variabiliti
APE 20-30%.

Persisten Harian APE 60-80%


Sedang

• Gejala setiap hari >1 kali seminggu • VEP1 60-80%


• Serangan nilai prediksi
mengganggu • APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik
• Membutuhkan • Variabiliti
bronkodilator APE>30%.
setiap hari

Persisten berat Kontinyu APE ≤60%

• Gejala terus Sering • VEP1 ≤60%


menerus nilai prediksi
• Sering kambuh • APE ≤60%
• Aktivitas fisik nilai terbaik
terbatas • Variabiliti
APE 20-30%.

Sumber: PDPI, Pedoman dan Penatalaksanaan Paru di Indonesia, 2003

17
Sedangkan pada anak, asma secara arbiteri Pedoman Nasional Asma
Anak (PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi tiga derajat yaitu
asma episode jarang, asma episode sering, dan asma persisten (Tabel 2).

Tabel 2 Klasifikasi derajat asma pada anak

Parameter klinis, Asma episode Asma episode Asma persisten


kebutuhan obat, jarang sering
dan faal paru

Frekuensi serangan < 1x/bulan > 1x/bulan Sering

< 1minggu > 1 minggu Hampir sepanjang


tahun, tidak ada
Lama serangan
periode bebas
serangan

Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat

Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam

Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu

Pemeriksaan fisik Normal (tidak Mungkin Tidak pernah


di luar serangan ditemukan terganggu normal
kelainan) (ditemukan
kelainan)

Obat pengendali Tidak perlu Perlu Perlu


(anti inflamasi)

Uji faal paru (diluar PEV atau FEV1 PEV atau FEV1 PEV atau FEV
serangan) >80% <60-80% <60%

Variabilitas faal Variabilitas>l5% Variabilitas>30% Variabilitas 20-30%


paru (bila ada Variabilitas>50%
serangan)
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak),
FEV1 =Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)
Sumber: Kepmenkes RI No. 1023 Tahun 2008, Pedoman pengendalian penyakit
asma

b. Asma saat serangan

18
Penilaian berat-ringan serangan asma dilakukan sebagai prediksi dalam
penanganan pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan, Penilaian
tingkat serangan dapat membantu dalam penentuan jenis terapi dan
pengobatan yang diberikan. (Tabel 3)

Tabel 3 Klasifikasi asma menurut derajat serangan

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman


fungsi faal paru, henti napas
laboratorium

Bisa berbaring Lebih suka Duduk


Posisi tubuh duduk membungkuk
ke depan

Cara Bicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata

Kesadaran Tidak gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk,


gelisah,
kesadaran
menurun

Mengi Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Silent Chest


hanya pada sepanjang dapat terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi dan tanpa stetoskop
inspirasi

Frekuensi napas Meningkat Meningkat 20- >30/menit


<20/menit 30/menit

Frekuensi nadi <100 100-120 >120 Bradikardia


kali/menit kali/menit kali/menit

Pulsus paradoksus Tidak ada (10 Ada (± 10-20 mmHg) Ada (> 25 Tidak ada,
mmHg) mmHg) ditandai
dengan
kelelahan otot

Saturasi udara 90-95% <90

APE >80% 60-80% <60%

Otot bantu napas dan Tidak Tidak Ya Ya


retraksi suprasternal

19
sumber: PDPI, Pedoman dan Penatalaksanaan Paru di Indonesia, 2003; GINA,
2021

2.1.5 Diagnosa Penyakit Asma

Gambar 4 flowchart diagnosis Asma

sumber: Global Initiative for Asthma, 2020

Berdasarkan studi epidemiologi, ternyata penyakit asma merupakan


penyakit yang underdiagnosed di seluruh dunia dikarenakan berbagai hal seperti
gambaran klinis yang umum (tidak khas), beratnya penyakit yang sangat bervariasi,
dan gejala yang bersifat episodik sehingga membuat penderita merasa tidak perlu
melakukan pemeriksaan ke dokter (PDPI, 2003). Global Initiative for Asthma
(2020) memberikan flowchart diagnosa untuk penyakit asma pada praktik klinis
sebagai berikut:
Hal pertama yang perlu diketahui adalah gejala yang dialami oleh pasien,
apakah pasien tersebut memiliki gejala penyakit asma seperti mengi, nafas yang
pendek, sesak pada dada, dan batuk. Jika terdapat gejala asma, maka hal yang perlu

20
diketahui selanjutnya adalah apakah pasien memiliki riwayat/pemeriksaan yang
mendukung diagnosa asma. Jika pasien memiliki riwayat/pemeriksaan yang
mendukung diagnosa asma, maka perlu dilakukan konfirmasi kembali melalui tes
spirometri dengan tes reversibilitas. Jika hasil tes spirometri/PEF mendukung
diagnosis asma maka pasien perlu mendapatkan perawatan dan pengobatan untuk
penyakit asma.
Jika pasien memiliki gejala asma dan memerlukan urgensi perawatan klinis
serta tidak mungkin memiliki diagnosa penyakit lain, maka dilakukan pengobatan
untuk penyakit asma dengan memperhatikan respon pasien setelahnya, kemudian
dilakukan test diagnosa kembali dalam 1-3 bulan berikutnya.
Jika sejak awal pasien tidak memiliki gejala penyakit asma maka perlu
dilakukan pengecekan lebih lanjut terkait riwayat pasien dan dilakukan
pemeriksaan untuk alternatif diagnosis penyakit yang lainnya. Jika terkonfirmasi
diagnosis penyakit alternatif lain, maka selanjutnya dilakukan perawatan
menyesuaikan dengan diagnosa penyakit alternatif pasien. Namun jika tidak
terkonfirmasi diagnosis penyakit alternatif lain, maka perlu dilakukan serangkaian
pemeriksaan ulang termasuk pemeriksaan untuk penyakit asma, dan jika
terkonfirmasi diagnosa asma pasien akan diberikan perawatan untuk penyakit
asma, kemudian jika tidak terkonfirmasi diagnosa asma, maka akan
dipertimbangkan untuk melakukan percobaan perawatan pada penyakit yang
diagnosanya cukup mirip ataupun akan dilakukan investigasi lebih lanjut.
Kriteria Diagnosa Penyakit Asma
Melengkapi diagnosa pada praktik klinis, penyakit asma juga dapat di
diagnosa melalui beberapa kriteria pada pasien (GINA, 2020) seperti :
a. Riwayat Gejala Pernafasan yang Bervariasi
Gejala umum pada sistem pernafasan seseorang yang mengidap
penyakit asma adalah mengi, nafas yang pendek, sesak pada dada, dan
batuk. Seseorang yang mengidap penyakit asma dapat mengalami
beberapa kondisi yang berkaitan dengan gejala tersebut diantaranya :
- Memiliki lebih dari satu gejala dan tanda pada sistem
pernafasannnya

21
- Gejala yang terjadi bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya
juga bervariasi
- Gejala sering muncul atau lebih buruk di alami saat malam atau
bangun tidur
- Gejala sering dipicu oleh aktivitas/latihan fisik, tertawa, alergen atau
udara dingin
- Gejala sering muncul atau diperburuk dengan adanya infeksi virus

b. Pemeriksaan Batas Aliran Ekspirasi (Expiratory Flow Limitation)


• Setidaknya sekali dalam tes diagnostik didapatkan bahwa rasio
FEV1/FVC di bawah batas bawah normal
• Dokumentasikan bahwa variasi fungsi paru-paru lebih besar
daripada orang yang sehat. Misalnya, variabilitas berlebih dicatat
jika:
○ FEV1 meningkat >200 mL dan >12% dari nilai awal (atau pada
anak-anak, meningkat dari nilai awal sebesar >12% dari nilai
prediksi) setelah menghirup bronkodilator.
○ Variabilitas PEF harian rata-rata harian adalah >10% (pada
anak-anak, > 13%)
○ FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 mL dari baseline (pada
anak-anak, >12% dari nilai prediksi) setelah 4 minggu
pengobatan anti-inflamasi (di luar infeksi saluran pernapasan)
c. Semakin besar variasinya, atau semakin banyak variasi yang terlihat,
semakin yakin Anda akan diagnosis asma.
d. Pengujian mungkin perlu diulang selama gejala, di pagi hari, atau
setelah menahan obat bronkodilator.
e. Reversibilitas bronkodilator yang signifikan mungkin tidak ada selama
eksaserbasi berat atau infeksi virus. Jika reversibilitas bronkodilator
yang signifikan tidak ada saat pertama kali diuji, langkah selanjutnya
tergantung pada urgensi klinis dan ketersediaan tes lain.
f. Melakukan tes lain untuk membantu diagnosis penyakit asma.

22
Tercantum pada buku Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Asma di
Indonesia (PDPI) (2003), diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat
episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti
yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan
diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru
terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Beberapa diagnosa asma yang dapat dilakukan yaitu:
a. Anamnesis
Untuk mendiagnosa penyakit asma, dokter dapat melakukan
anamnesis dengan menanyakan beberapa pertanyaan berikut (Kemenkes
RI, 2008):
1. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang
dini hari?
2. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk
setelah terpajan alergen atau polutan?
3. Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (common cold)
merasakan sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan
(10 hari atau lebih)?
4. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah
melakukan aktifitas atau olahraga?
5. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah
pemberian obat pelega (bronkodilator)?
a. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi
perubahan musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
6. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi,
konjuktivitis alergi)?
7. Apakah dalam keluarga ada riwayat menderita asma atau alergi?
b. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan
jasmani dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering

23
ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita,
auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal
paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan,
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas
pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas (PDPI, 2003). Menurut Kemenkes RI (2008), Secara umum pasien
yang sedang mengalami serangan asa dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut, sesuai dengan derajat serangan :
○ Inspeksi
1. Pasien terlihat gelisah
2. Sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,
retraksi suprasternal)
3. Sianosis
○ Palpasi
1. Ditemukan kelainan saat melakukan palpasi
2. Pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
○ Auskultasi
1. Ekspirasi memanjang
2. Mengi
3. Suara lendir
c. Spirometri
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal
paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan
parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan
untuk menilai obstruksi jalan napas, reversibiliti kelainan faal paru, dan
variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas (PDPI, 2003). Spirometri merupakan salah satu metode yang
digunakan dan telah menjadi standar untuk menilai faal paru. Teknik

24
spirometri dilakukan untuk mengukur udara yang dapat diinspirasi dan
diekspirasi untuk menilai fungsi paru (Alomedika, n.d). Pengukuran
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari
2-3 nilai yang didapatkan. Berikut ini merupakan Interpretasi dari hasil
spirometri:
Tabel 4 Interpretasi hasil Spirometri

sumber: PDPI, Pedoman dan Penatalaksanaan Paru di Indonesia, 2003

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma:


• Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
• Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis
asma
• Menilai derajat berat asma
d. Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Arus Puncak Ekspirasi (APE) dapat diperoleh melalui pemeriksaan
spirometri atau pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak
expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah

25
dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat
layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat.
Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah seharihari
untuk memantau kondisi asmanya.
Manfaat APE dalam diagnosis asma :
• Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
• Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai
derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)
e. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus
mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil
negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif
tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat
terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan
penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
f. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut
mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan
kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan. Uji kulit adalah cara utama
untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick
test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi,
tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga
konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan

26
gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada
keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism,
dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain).
Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/
atopi.

2.1.6 Pengobatan
Obat untuk asma terbagi menjadi dua kategori, yaitu obat pengontrol asma
yang berfungsi untuk menjaga agar gejala asma tidak kambuh dan obat asma reaksi
cepat yang berfungsi untuk melegakan pernapasan di kala serangan asma kumat.
Keduanya terdiri dari beberapa jenis dengan bentuk dan kegunaannya masing-
masing.
1. Meredakan gejala penyakit asma (Reliever Medication)
Obat pada kategori ini digunakan saat serangan asma terjadi. Obat asma
jenis ini, mampu bekerja dengan cepat untuk meredakan gejalanya.
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Beberapa
obat yang termasuk dalam obat pereda gejala asma yaitu:
a. Short-acting beta agonists (SABAs) / Beta2 agonis kerja cepat
Beta agonis akan meredakan bronkospasme reversibel
dengan merelaksasi otot polos bronkus. Agen ini bertindak sebagai
bronkodilator dan digunakan untuk mengobati bronkospasme pada
serangan asma dan mencegah bronkospasme yang berkaitan dengan
asma akibat olahraga (exercise-induced asthma) atau asma
nokturnal (Medscape, 2020).
Obat yang termasuk golongan ini adalah salbutamol,
terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.
Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Obat ini dapat

27
segera meredakan gejala asma hanya dalam beberapa menit sejak
serangan terjadi. Karena efek kerjanya yang cepat, biasanya hanya
dalam hitungan beberapa menit setelah pemberian, maka obat ini
umumnya diberikan pada saat serangan asma atau gejala asma
kumat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama.
Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi
mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak
ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi
otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi
penglepasan mediator dari sel mast (PDPI, 2003).
b. Antikolinergik
Antikolinergik merupakan obat-obatan untuk menghambat
aktivitas neurotransmitter asetilkolin. Obat-obatan ini mencegah
aktivitas asetilkolin agar tidak memicu pergerakan otot secara tak
sadar termasuk pada organ paru-paru (Sehatq, 2020). Pemberiannya
secara inhalasi dan obat ini berfungsi untuk merelaksasi saluran
pernapasan dengan durasi yang cukup cepat. Obat yang termasuk
dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium
bromide. Ipratropium memiliki sifat antisekresi dan, ketika
digunakan akan menghambat sekresi dari kelenjar serosa dan
seromukosa yang melapisi mukosa hidung (Medscape, 2020).
Selain itu juga terdapat penelitian menunjukkan ipratropium
bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-
2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan
menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna (PDPI,
2003). Oleh karena itu disarankan menggunakan kombinasi inhalasi
antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai
bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada
serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2 saja,
sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat

28
diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada
penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2
kerja singkat inhalasi seperti takikardia, aritmia dan tremor. Efek
samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.
c. Metilxantin
Metilxantin termasuk dalam bronkodilator walau efek
bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja
singkat. Aminofilin dapat mengatasi gejala asma yang kambuh
meskipun onsetnya lebih lama dibandingkan dengan short acting
beta agonis. Selain itu juga terdapat teofilin yang memiliki manfaat
untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan dan
mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di
antara pemberian satu dengan berikutnya (PDPI, 2003). Obat ini
digunakan sebagai obat tambahan untuk gejala asma yang tidak
dapat diatasi dengan obat lainnya. Cara kerja teofilin, yaitu
membantu melebarkan saluran pernapasan dengan mengendurkan
otot-otot di sekitarnya, sehingga pasien asma dapat bernapas dengan
lancar (Alodokter, 2020). Teofilin ini perlu diawasi penggunaan dan
dosisnya sehingga jarang digunakan pada seseorang dengan
penyakit asma (Medscape, 2020).
d. Kortikosteroid Sistemik
Selain untuk mencegah kekambuhan gejala asma,
kortikosteroid juga dapat digunakan untuk membantu mengobati
serangan asma ketika kumat. Hanya saja bedanya terdapat pada
dosis pemberiannya. Dosis obat kortikosteroid yang digunakan
untuk mengobati gejala asma yang sedang kambuh biasanya lebih
tinggi dibandingkan dosis kortikosteroid sebagai pencegah gejala
asma. Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil
belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan
bronkodilator lain (PDPI, 2003).

29
2. Mencegah atau mengontrol kambuhnya penyakit asma (Controller
Medication)
Penderita asma perlu menggunakan obat asma jenis setiap hari
untuk mengurangi risiko serangan asma, sehingga tidak sering kambuh dan
asma menjadi lebih terkontrol. Beberapa obat pengontrol asma yaitu :
a. Long-acting Beta Agonist
Obat ini merupakan obat jenis bronkodilator yang berfungsi
untuk menjaga agar jalan napas tetap lapang dan tidak menyempit.
Obat ini umumnya digunakan dengan cara dihirup. Meski dapat
dikonsumsi sebagai obat asma jangka panjang, obat ini tidak
disarankan untuk dikonsumsi ketika serangan asma sedang kambuh
menyerang. Hal ini karena obat sesak napas jenis ini membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk menghasilkan efek melegakan
pernapasan. Oleh karena itu, obat golongan agonis beta kerja lambat
hanya digunakan untuk mencegah kekambuhan gejala asma.
Obat yang termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama
inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu
kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai
efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil (PDPI, 2003). Obat
ini dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid untuk rangkaian
pencegahan terhadap gejala asma (Medscape, 2020).
Tabel 5 Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2

sumber: PDPI, Pedoman dan Penatalaksanaan Paru di Indonesia, 2003

30
Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan agonis
beta-2 kerja lama inhalasi (salmeterol atau formoterol) pada asma
yang tidak terkontrol dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis
rendah atau tinggi, akan memperbaiki faal paru dan gejala serta
mengontrol asma menjadi lebih baik dibandingkan meningkatkan
dosisnya.
b. Glukokortikosteroid Inhalasi
Untuk menjaga agar gejala asma tidak kambuh, dokter juga
akan memberikan pengobatan kortikosteroid. Obat ini berfungsi
untuk mencegah dan mengurangi peradangan di dalam saluran
napas. Glukokortikosteroid inhalasi Adalah medikasi jangka
panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualitas hidup Steroid inhalasi adalah pilihan bagi
pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi
ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang
direkomendasikan. Berikut ini adalah dosis dari glukokortikosteroid
inhalasi untuk penyakit asma :
Tabel 6 Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi

sumber: PDPI, Pedoman dan Penatalaksanaan Paru di Indonesia, 2003

c. Glukokortikosteroid Sistemik

31
Obat ini diberikan melalui oral atau parenteral. Steroid
inhalasi sebenarnya lebih efektif digunakan dibandingkan dengan
steroid oral, namun tablet steroid mungkin akan diresepkan dokter
jika penyakit asma masih sulit untuk dikendalikan, misalnya pada
keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum
terkontrol (walau telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai
berat asma). Pengobatan ini biasanya dipantau oleh dokter spesialis
paru yang menangani penderita asma karena dibutuhkan selama
jangka waktu tertentu saja. Jika digunakan secara jangka panjang
(misalnya lebih dari tiga bulan), berisiko menyebabkan efek
samping tertentu, seperti hipertensi, kenaikan berat badan, otot
melemah, pengeroposan tulang, kulit menipis dan mudah memar.
Oleh karena itu pengobatan dengan steroid oral hanya dianjurkan
jika Anda telah melakukan cara pengobatan lainnya, namun belum
berhasil. Sebagian besar orang hanya perlu menggunakan steroid
oral selama 1-2 minggu dan sebagai obat tambahan untuk
menangani infeksi tambahan (seperti infeksi pada paru). Biasanya
mereka akan kembali ke pengobatan sebelumnya setelah asma dapat
dikendalikan.
d. Metilxantin
Selain untuk obat pelega ternyata metilsantin juga dapat
digunakan sebagai obat pengontrol penyakit asma. Beberapa
penelitian menunjukkan pemberian Teofilin atau aminofilin jangka
lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Selain
itu juga terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa metilsantin
sebagai terapi tambahan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah
atau tinggi adalah efektif mengontrol asma meskipun tidak seefektif
agonis beta-2 kerja lama inhalasi, namun dapat dijadikan suatu
pilihan karena harga yang jauh lebih murah. Efek samping obat
berpotensi jika diberikan pada dosis tinggi sehingga perlu
pemberian dosis yang tepat dengan monitor yang ketat. Gejala

32
gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling
dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardia,
aritmia dan kadangkala merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin
dapat menyebabkan kejang bahkan kematian.
e. Leukotriene Modifier
Senyawa Leukotriene diketahui dapat menyebabkan
bronkospasme, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema
mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi. Hal ini menyebabkan timbulnya
konsep modifikasi leukotriene dengan menggunakan agen
farmakologis atau biasanya disebut dengan Lukotriene Modifiers
(Medscape, 2020). Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru
dan pemberiannya melalui oral. Obat ini bekerja dengan cara
mencegah alergi dan peradangan yang dapat menyebabkan
penyempitan saluran napas pada penderita asma. Obat ini juga dapat
mengurangi peradangan yang terjadi di saluran pernapasan, sehinga
membuat pernapasan lebih nyaman.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga
memblok sintesis semua leukotrin (contohnya zileuton) atau
memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target
(contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja
tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain
bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.
Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene
modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid
inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol
asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau
dengan glukokortikosteroid inhalasi (PDPI,2003). Saat ini yang
beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien
sisteinil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan

33
dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati dianjurkan apabila
diberikan terapi zileuton.
Beberapa obat pengontrol dan pelega yang tersedia di Indonesia menurut
PDPI (2003) adalah sebagai berikut:
Tabel 7 Jenis Obat Asma

sumber: PDPI, Pedoman dan Penatalaksanaan Paru di Indonesia, 2003

Obat asma yang dikonsumsi oleh penderita juga perlu diperhatikan jenis dan
dosisnya sesuai dengan derajat berat dari asma seperti pada gambar berikut (PDPI,
2003) :

34
Tabel 8 Pengobatan sesuai berat Asma

sumber: PDPI, Pedoman dan Penatalaksanaan Paru di Indonesia, 2003

2.1.7 Tatalaksana Penyakit Asma


1. Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah

35
Gambar 5 Tatalaksana serangan asma di rumah

sumber: PDPI, Pedoman dan Penatalaksanaan Paru di Indonesia, 2003

Penatalaksanaan serangan asma di rumah dimulai dari melakukan


penilaian berat serangan yang terjadi dengan gejala klinis seperti batuk,
sesak di dada, mengi, dada terasa berat yang terus bertambah, dengan
perkiraan APE <80%. Kemudian dilakukan terapi awal dengan obat pelega
yaitu Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (setiap 20 menit, 3 kali dalam 1
jam), atau Bronkodilator oral. Jika setelah menggunakan obat pelega dan
mendapatkan respons yang baik seperti gejala mengalami perbaikan dan
bertahan selama 4 jam, maka selanjutnya adalah terus mengonsumsi agonis
beta-2 inhalasi lebih lanjut setiap 3-4 jam sekali dalam waktu 24-48 jam.
Obat pelega alternatif yang dapat digunakan yaitu bronkodilator oral setiap
6-8 jam. Penggunaan Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis tinggi (bila
sedang menggunakan steroid inhalasi) selama 2 minggu, kmd kembali ke
dosis sebelumnya. Setelah itu untuk memeriksakan penyakit asma lebih
lanjut, pasien dapat menghubungi dokter untuk instruksi selanjutnya.
Namun jika menunjukkan respons yang buruk yaitu gejala menetap atau
bertambah berat maka tambahkan kortikosteroid oral dan mengulang obat

36
agonis beta-2 kerja singkat kemudian segera ke dokter/IGD/Rumah Sakit
(PDPI, 2003)
2. Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit

Gambar 6 Tatalaksana serangan asma di Rumah Sakit

sumber: PDPI, Pedoman dan Penatalaksanaan Paru di Indonesia, 2003


Penatalaksanaan serangan asma di Rumah Sakit dapat dilakukan
sesuai dengan skema gambar diatas, yang mana seseorang yang datang ke
rumah sakit dalam kondisi terjadinya serangan asma akan dilakukan
penilaian awal berupa pemeriksaan fisik yang nantinya dapat menunjukan
jenis serangan asma dan menentukan treatment yang diberikan. Untuk
pasien dengan serangan asma ringan dan asma sedang/berat dapat diberi
pengobatan awal. Selama pemberian pengobatan awal, jangan dilakukan
sedasi (anestesi) pada pasien meskipun kondisi pasien sangat gelisah. Hal
ini akan menekan saluran napas pasien sehingga mempersulit untuk
bernapas. Namun untuk pasien dengan serangan asma mengancam nyawa

37
perlu segera mendapatkan perawatan intensif di ICU. Setelah diberikan
pengobatan awal, pasien diharapkan untuk tidak segera pulang dan dokter
perlu melakukan penilaian ulang setelah 1 jam pasca munculnya serangan.
Hasil penilaian ulang akan menunjukkan jenis respon yang dapat
memutuskan apakah pasien dalam kondisi stabil dan dapat pulang atau perlu
mendapatkan perawatan lanjutan. Pasien dengan kondisi saturasi O 2 yang
tidak menunjukkan perbaikan perlu mendapatkan rawat inap di rumah sakit
dengan pemberian obat tambahan yaitu aminofilin drip.Apabila setelah 6-
12 jam belum terdapat perbaikan, pasien harus segera dirawat di ICU.
Sedangkan pada pasien yang menunjukkan respon buruk pasca 1 jam
setelah serangan asma dengan ditandai kesadaran yang menurun dan
kondisi fisik yang berat perlu segera diberikan perawatan intensif di ICU.
Apabila pasien dalam kondisi kesulitan bernapas, dapat pula dibantu dengan
melakukan intubasi dan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).
3. Penatalaksanaan Serangan Asma di FKTP (Puskesmas)

38
Gambar 7 Tatalaksana serangan asma di FKTP

sumber: Kemenkes, Infodatin Asma di Indonesia, 2015

Penatalaksanaan serangan asma di FKTP (Puskesmas) dapat


dilakukan sesuai dengan skema gambar diatas, yang mana seseorang yang
datang ke puskesmas dengan kondisi serangan asma akan dilakukan
penilaian derajat serangan dan pemberian tatalaksana awal yaitu nebulisasi
ß-2 agonis sesuai dengan derajat serangan asma. Pada serangan ringan
setelah pemberian nebulisasi 1 kali telah menunjukkan respon baik, dapat
dilakukan pemantauan selama 1-2 jam dan apabila tidak muncul gejala
kembali diperbolehkan untuk pulang dan melakukan pengobatan di rumah.
Pada pasien serangan sedang diberikan oksigen, infus, dan nebulisasi
sebanyak 2-3 kali per 20 menit. Setelah dilakukan pemantauan ulang
menunjukkan respon parsial maka harus mendapatkan perawatan di
ruangan rawat sehari dan diberikan nebulisasi setiap 2 jam serta steroid oral.

39
Apabila setelah 12 jam belum ada perbaikan dapat dirujuk untuk
mendapatkan ruang rawat inap. Sedangkan pada pasien dengan serangan
berat sejak awal diberikan oksigen saat nebulisasi, infus, dan nebulisasi
sebanyak 3 kali per 20 menit. Setelah dilakukan pemantauan ulang
menunjukkan respon yang buruk maka harus mendapatkan perawatan di
ruangan rawat inap dan diberikan nebulisasi setiap 2 jam, steroid oral setiap
8 jam, dan aminofilin. Apabila setelah 24 jam belum ada perbaikan bahkan
timbul ancaman henti napas dapat dirujuk ke rumah sakit untuk
mendapatkan perawatan intensif di ICU (Kemenkes, 2015).

2.1.8 Prognosis
Secara global, angka kematian asma dilaporkan setinggi 0,86 kematian per
100.000 orang di beberapa negara. Kematian terutama terkait dengan fungsi paru-
paru dan kegagalan manajemen asma, terutama pada orang muda. Faktor lain yang
mempengaruhi kematian termasuk usia lebih tua dari 40 tahun, merokok lebih dari
20 bungkus-tahun, eosinofilia darah, volume ekspirasi paksa dalam satu detik
(FEV1) diperkirakan 40-69%, dan reversibilitas yang lebih besar (Medscape,
2020).
Sekitar 500.000 rawat inap tahunan (40,6% pada individu berusia 18 tahun
atau lebih muda) disebabkan oleh asma. Setiap tahun, diperkirakan 1,7 juta orang
(47,8% diantaranya berusia 18 tahun atau lebih muda) memerlukan perawatan di
unit gawat darurat. Bahkan pengeluaran tahunan untuk kesehatan dan kehilangan
produktivitas karena asma diproyeksikan menjadi $20,7 miliar. (Medscape, 2020)
Hampir setengah dari anak-anak yang didiagnosis dengan asma akan
mengalami penurunan gejala dan membutuhkan perawatan yang lebih sedikit pada
masa remaja akhir atau dewasa awal. Dalam sebuah penelitian terhadap 900 anak
dengan asma, 6% tidak memerlukan pengobatan setelah 1 tahun, dan 39% hanya
memerlukan pengobatan intermiten.
Pada pasien dewasa prognosis asthma umumnya baik apabila terkontrol,
namun jika pasien dengan asma yang tidak terkontrol dengan baik maka akan
mengalami perubahan jangka panjang dari waktu ke waktu yakni remodeling

40
saluran nafas. Hal ini dapat menyebabkan gejala kronis dan komponen ireversibel
yang signifikan untuk penyakit mereka. Banyak pasien yang mengembangkan asma
pada usia yang lebih tua juga cenderung memiliki gejala kronis (Medscape, 2020).
Seiring penuaan, tumpang tindih asthma dan penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) semakin sering. Penurunan fungsi paru yang lebih signifikan ditemui pada
pasien asthma dewasa yang tumpang tindih mengalami PPOK. Kematian yang
berhubungan dengan asthma pada pasien dewasa jarang ditemui. Namun meningkat
pada pasien asthma yang juga mengalami PPOK (Fu J dkk, 2014).

2.1.9 Komplikasi
Penyakit asma dapat menimbulkan beberapa komplikasi pada penderitanya.
Orang dewasa dan anak-anak penderita asma biasanya mengalami gejala dan tanda
asma yang serupa. Namun komplikasi yang mereka alami memiliki dampak yang
berbeda sesuai dengan usia mereka. Pada anak-anak dapat terjadi komplikasi
seperti
a. Keterlambatan pertumbuhan dan pubertas
Permasalahan pertumbuhan cukup sering terjadi pada anak yang
mengidap penyakit asma. Dalam penelitian Wolthers (2002) menunjukkan
bahwa penyakit asma pada anak-anak dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan terutama pada anak laki-laki. Terjadi penurunan pada grafik
pertumbuhan anak laki-laki yang menderita asma pada rentang umur 8-15
tahun dan hal ini cukup sering dihubungkan dengan keterlambatan kronis
pada pertumbuhan dan pubertas. Keterlambatan kronis dalam pertumbuhan
dan pubertas ini terjadi pada anak laki-laki penderita asma dengan
prevalensi lebih dari 30%. Keterlambatan pertumbuhan ini berhubungan
dengan keterlambatan sekresi androgen adrenal pada penderita asma dan
keterbelakangan pertumbuhan tulang (Wolthers, 2002). Meskipun belum
mendapatkan bukti yang memadai, penggunaan obat kortikosteroid pada
anak juga diperkirakan dapat memberikan efek pada pertumbuhan anak-
anak, oleh karena itu pengobatan dengan kortikosteroid sistemik dosis

41
apapun harus diantisipasi untuk menekan laju pertumbuhan selama
pengobatan dipertahankan.
b. Risiko yang lebih tinggi akan ketidakmampuan belajar
Berdasarkan penelitian Taha (2017) yang meneliti antara kelompok
anak dengan asma dengan non-asma menunjukkan bahwa kelompok
penderita asma memiliki kinerja yang buruk dalam belajar berdasarkan
semua parameter psikometrik Wisconsin Card Sorting Test (WCST) dan
terutama kesalahan perseverative. Hasil tes yang buruk ini dapat dikaitkan
dengan kesulitan belajar anak-anak penderita asma (Taha, 2017).
Pada kedua kategori usia anak-anak dan dewasa dapat terjadi komplikasi
penyakit asma berupa:
a. Penyempitan permanen saluran bronkial
Pada sebagian orang, asma menyebabkan peradangan kronis yang
berkelanjutan pada saluran napas. Hal ini dapat menyebabkan perubahan
struktural permanen di saluran udara, atau remodeling saluran napas.
Remodeling saluran napas mencakup semua perubahan dalam sel struktural
dan jaringan di saluran napas asma.
b. Efek samping pengobatan
Obat-obatan yang dikonsumsi oleh penderita asma secara
berkelanjutan dapat menimbulkan berbagai efek samping seperti detak
jantung cepat, suara yang serak,iritasi tenggorokan, infeksi jamur pada
mulut, insomnia, refluks gastroesofageal (Health Line, n.d)
Sedangkan pada orang dewasa, komplikasi penyakit asma yang dapat
dialami yaitu dsssnskdjksjdsjsdjsjsd :
a. Kelelahan berlebih saat beraktifitas
Pasien dengan asma sering melaporkan kelelahan, kekurangan
energi, dan kantuk di siang hari (Herck dkk, 2018). Gejala asma, seperti
batuk, mengi, dan sesak napas tidak hanya melelahkan, tetapi jika parah
dapat menurunkan kadar oksigen dalam darah. Hal ini dapat menyebabkan
kelelahan berlebih pada pasien dengan asma saat beraktifitas ataupun
bekerja (Health Line, n.d).

42
b. Kesehatan Mental yang Terganggu
Penyakit asma yang diderita oleh seseorang sangat menyulitkan
terlebih pada mereka yang menderita penyakit asma yang cukup berat.
Penyakit asma tidak dapat disembuhkan namun hanya dapat di kontrol saja
oleh karena itu sebagian orang mungkin merasa penyakit asma merupakan
ancaman secara terus-menerus dalam kehidupan mereka. Kecemasan
(anxiety) dapat menyebabkan kekhawatiran, stres bersama dengan gejala
fisik yang dapat menyebabkan kecemasan lebih lanjut dan serangan panik
(Severe Asthma Toolkit, 2019). Berdasarkan World Mental Health Surveys
didapatkan bahwa berbagai gangguan mental umum terjadi dengan
frekuensi yang lebih besar pada orang dewasa yang mengidap penyakit
asma seperti gangguan mental, gangguan kecemasan, dan juga depresi
(Scott dkk, 2007)
c. Pneumonia
Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi paru-paru yang
menjadi satu dari sejumlah komplikasi asma yang tidak diobati dengan
segera. Pneumonia menyebabkan jaringan yang ada di salah satu atau kedua
paru-paru mengalami peradangan (inflamasi) atau pembengkakan. Kondisi
ini dipicu oleh adanya infeksi pada paru-paru (Dokter Sehat, 2019). Asma
bukanlah penyebab langsung dari pneumonia, namun orang dengan
penyakit pernafasan kronis seperti asma yang parah memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengembangkan penyakit pneumonia (Ryan, 2019).
Komplikasi pneumonia ini berkembang dan terjadi karena adanya
kerusakan paru dan lemahnya jaringan paru akibat asma (American Lung
Association, 2020).
d. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah kondisi dimana salah satu paru-paru atau
keduanya mengalami kolaps akibat adanya udara yang terjebak di antara
paru-paru dan dinding dada (Mayoclinic, n.d). Meskipun komplikasi
pneumotoraks pada penyakit asma tidak cukup sering terjadi namun
terdapat beberapa penelitian yang mendapatkan bahwa kasus pneumotoraks

43
terjadi pada beberapa pasien pengidap penyakit asma. Secara keseluruhan,
pada pasien asma, temuan penurunan masuknya udara pada auskultasi dada
dapat menunjukkan pneumotoraks (Porpodis dkk, 2014). Pneumotoraks
dapat menjadi komplikasi pada asma akut karena peningkatan tekanan jalan
napas atau sebagai akibat dari ventilasi mekanis (Medscape, 2020).
e. Gagal Nafas (Status Asmatikus)
Gagal Nafas atau Status asmatikus adalah bentuk ekstrim dari
eksaserbasi pada penyakit asma yang parah sehingga menyebabkan
hipoksemia, hiperkarbia, dan gagal napas sekunder. Status Asmatikus
mengacu pada serangan asma tingkat tinggi yang tidak responsif terhadap
obat (bronkodilator) (Medscape, 2020). Serangan ini dapat berlangsung
selama beberapa menit atau bahkan berjam-jam dan dapat berujung
kematian (Health Line, 2019).

2.2 Aspek Epidemiologis

2.2.1 Epidemiologi Penyakit Asma di Dunia


Pada tahun 2016, studi Global Burden of Disease (GBD) memperkirakan
ada 339,4 juta orang di seluruh dunia terkena penyakit asma (Global Asthma
Report, 2018). Kemudian pada tahun 2017 tercatat bahwa terdapat 43,12 juta kasus
baru asma di seluruh dunia (incidence = 0,56%) dan 0.49 juta kematian akibat asma
(mortality rate = 0,006%), dengan angka prevalensi serta kematian di tahun yang
sama sebesar 272,68 juta kasus (prevalence = 3,57%) (Mattiuzzi dan Lippi, 2019).

44
Gambar 8 Prevalensi Asma di dunia

Gambar di atas merupakan peta yang menggambarkan angka prevalensi


penyakit asma di dunia. Jika dibandingkan prevalensi antara tahun 2012 dengan
2017, ternyata angka prevalensi penyakit asma ini tidak mengalami perubahan yang
terlalu signifikan. Hanya terdapat peningkatan prevalensi di beberapa negara
seperti Australia, UK, dan Afrika Selatan. Bahkan Canada mengalami penurunan
angka prevalensi untuk penyakit asma. Asma adalah penyakit yang cukup umum
di negara-negara industri seperti Kanada, Inggris, Australia, Jerman, dan Selandia
Baru, di mana banyak data penyakit asma telah dikumpulkan. Angka prevalensi
asma berat di negara industri berkisar antara 2-10% (Medscape, 2020).

Gambar 9 Grafik Insidens, Prevalens, dan Kematian penyakit asma tahun 1992-2017

Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa dari tahun 1992 - 2017 angka
insidens, prevalens, dan kematian penyakit asma hampir menunjukkan angka yang

45
stabil selama 25 tahun terakhir ketika disesuaikan dengan pertumbuhan populasi di
seluruh dunia (Mattiuzzi dan Lippi, 2019). Bahkan terdapat sedikit penurunan
untuk angka kematian akibat penyakit asma pada rentang nilai 0.0010%.

Gambar 10 Grafik Insidens, Prevalens, dan Kematian penyakit asma berdasarkan umur

Grafik di atas merupakan data insidens, prevalens, dan kematian penyakit


asma yang dibagi berdasarkan umur. Jika dilihat berdasarkan grafik tersebut,
insiden penyakit asma tertinggi ada pada anak-anak yang berusia kurang dari 5
tahun. Sedangkan prevalensi paling tinggi terdapat pada anak-anak usia 5-9 tahun.
Namun angka kematian akibat penyakit asma terbesar disumbangkan oleh kategori
usia yang paling tua yaitu lebih dari 80 tahun. Prevalensi dan insiden asma
meningkat pada orang yang sangat muda karena responsivitas saluran napas dan
tingkat fungsi paru yang lebih rendah. Dua pertiga dari semua kasus asma
didiagnosis sebelum pasien berusia 18 tahun. Sekitar setengah dari semua anak
yang didiagnosis dengan asma mengalami penurunan atau hilangnya gejala pada
awal masa dewasa (Medscape, 2020).

46
Pada grafik di atas dapat dilihat kasus penyakit asma per tahun yang di
derita oleh anak-anak usia kurang dari 5 tahun sampai dengan 19 tahun. Grafik
menunjukkan bahwa kasus yang paling tinggi terdapat pada anak dengan usia
kurang dari 5 tahun, dan bahkan mengalami peningkatan kasus mulai dari tahun
2002 - 2017. Asma terutama terjadi pada anak laki-laki pada masa kanak-kanak,
dengan rasio laki-laki-perempuan 2:1 sampai pubertas, ketika rasio laki-laki-
perempuan menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita setelah pubertas,
dan sebagian besar kasus onset dewasa yang didiagnosis pada orang yang lebih tua
dari 40 tahun terjadi pada wanita. Anak laki-laki lebih mungkin dibandingkan anak
perempuan untuk mengalami penurunan gejala pada akhir masa remaja (Medscape,
2020).

Dalam penelitian muzzi dan lippi (2019) didapatkan data bahwa ternyata
beban penyakit asma di seluruh dunia terus mengalami penurunan dari waktu ke
waktu. Laporan spesifik penyakit asma dari tiap negara sebelumnya menyoroti

47
bahwa episode asma dapat dimulai pada hampir semua usia, tetapi beban asma
tampaknya lebih sering terjadi pada masa kanak-kanak karena predisposisi genetik
dan infeksi virus yang berkembang selama 3 tahun pertama kehidupan. Meskipun
asma secara konvensional dianggap sebagai penyakit orang yang lebih muda, bukti
sebelumnya telah diberikan bahwa dampaknya terhadap penurunan kesehatan dapat
meningkat secara bertahap pada kelompok usia di atas 55 tahun, dan telah dikaitkan
dengan penuaan fisiologis, yang disertai dengan gangguan mekanis. misalnya,
dinding dada terbatas karena kekakuan dan komplians yang lebih rendah dari
komponen rangka, kerusakan dan kalsifikasi artikulasi tulang rusuk, penurunan
sifat kontraktil diafragma), berkurangnya elastisitas jaringan paru (karena
hilangnya serat elastis), dan penurunan kapasitas vital (Mattiuzzi and Lippi, 2019).

2.2.2 Epidemiologi Penyakit Asma di Indonesia


Berdasarkan hasil Survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, menunjukkan
prevalensi asma nasional Indonesia pada penduduk seluruh umur mencapai 2,4%. Kondisi
ini menunjukkan terjadi penurunan jumlah kasus dari tahun 2013 sebanyak 2,1% yang
semula berada di 4,5%.

Gambar 11 Prevalensi Asma menurut Provinsi Tahun 2013 dan 2018

Sumber: Riskesdas 2018, Balitbangkes, Kemenkes RI

48
Pada grafik diatas terlihat bahwa pada tahun 2018 terdapat 15 dari 34 provinsi yang
memiliki prevalensi asma melebihi angka nasional, dengan lima provinsi teratas
diantaranya adalah DI Yogyakarta (4,5%), Kalimantan Timur (4%), Bali (3,9%),
Kalimantan Tengah (3,4%), dan Kalimantan Utara (3,3%). Sedangkan provinsi dengan
prevalensi asma terendah adalah Sumatera Utara sebesar 1%. Apabila dibandingkan
dengan tahun 2013, didapatkan trend prevalensi asma mengalami penurunan di seluruh
provinsi kecuali provinsi Bengkulu dan Riau. Akan tetapi hasil ini tidak dapat
menggambarkan kondisi sebenarnya di populasi dari kejadian asma di Indonesia. Trend
penurunan kasus yang termuat dalam grafik tidak dapat dibandingkan karena terdapat
perbedaan dalam mendiagnosa penyakit asma yang dilakukan untuk Riskesdas 2013
dengan wawancara semua umur berdasarkan gejala sedangkan Riskesdas 2018 melalui
wawancara semua umur berdasarkan diagnosis dokter. Dapat dikatakan masih banyak
kasus yang underreporting dikarenakan sebenarnya penemuan kasus asma mudah sekali
dilakukan, melalui tanda klinis dapat langsung terlihat. Sedangkan melalui diagnosa dokter
hanya menunjukkan beberapa orang saja yang berkunjung ke fasilitas layanan kesehatan
atau mendapatkan pengobatan.

Gambar 12 Prevalensi Asma Berdasarkan Karakteristik Gambar 13 Prevalensi Asma Berdasarkan


Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2018 Karakteristik Pekerjaan dan Pendidikan Tahun 2018

Sumber: Riskesdas 2018, Balitbangkes, Kemenkes RI

Pada grafik diatas menunjukkan penderita asma di Indonesia pada tahun 2018
dengan jumlah tertingginya ditemukan pada kelompok usia lanjut, 65-74 tahun dan 75
tahun keatas. Namun hasil ini apabila dibandingkan dengan data dunia mengalami
perbedaan yang besar. Pada distribusi kelompok umur, menurut data dunia dinyatakan
penderita asma banyak ditemukan pada kelompok usia bayi dan balita. Perlu dipertanyakan

49
apakah data ini bisa disimpulkan bahwa dengan perkembangan teknologi upaya
pencegahan anak menderita asma semakin baik atau underreporting yang menunjukkan
pelaksanaan skrining pada kelompok berisiko yang masih belum optimal. Jumlah penderita
asma di tahun 2018 tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan
perempuan. Perbandingan ini dapat terjadi karena sesuai dengan beberapa penelitian
sebelumnya bahwa pada kasus anak-anak banyak diderita oleh laki-laki sedangkan pada
usia dewasa banyak diderita perempuan. Seharusnya akan lebih baik apabila informasi
yang diberikan dapat pula menampilkan perbandingan jenis kelamin berdasarkan tiap
kelompok umur. Berdasarkan grafik diatas, banyak penderita asma yang tinggal di daerah
perkotaan dibandingkan pedesaan. Hal ini dapat terjadi karena kondisi lingkungan
perkotaan yang tidak baik dapat menjadi ladang sumber ditemukannya faktor-faktor
pencetus asma. Dari latar pendidikan dan pekerjaan hampir setiap tingkatan pendidikan
dan bidang pekerjaan memiliki proporsi yang sama. Informasi ini dapat menunjukkan
bahwa penderita asma tidak bergantung akan latar pendidikan dan pekerjaan yang dimiliki.

Gambar 14 Proporsi Kekambuhan Asma dalam 12 bulan terakhir pada Penderita


Asma menurut Provinsi Tahun 2018

Sumber: Riskesdas 2018, Balitbangkes, Kemenkes RI

Berdasarkan grafik diatas, rata-rata proporsi kekambuhan asma dalam 12


bulan terakhir pada penderita asma tahun 2018 Indonesia mencapai 57,5% dengan

50
tertingginya mencapai 68,9% di provinsi Aceh dan terendahnya di provinsi DI
Yogyakarta 46,1,%. Dari informasi ini, seluruh provinsi terbilang tinggi terjadinya
kekambuhan asma. Namun dari data ini hanya dapat diinterpretasikan mengenai
pernah tidak pernahnya penderita asma mengalami kekambuhan asma bukan
mengarah pada frekuensi penderita asma terjadi kekambuhan. Salah satu faktor
yang mungkin dapat meningkatkan risiko terjadinya kekambuhan/serangan asma
adalah tingkat pengetahuan penderita asma mengenai faktor pencetus yang
dimiliki. Karena meskipun penyakit asma dimiliki seumur hidup dan tidak dapat
disembuhkan namun masih dapat dikontrol.

2.2.3 Faktor risiko


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Secara umum faktor risiko asma dibedakan
menjadi 2 kelompok yaitu faktor pejamu (genetik) dan faktor lingkungan. Faktor
pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi), hipereaktiviti bronkus,
jenis kelamin, dll. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan
kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan
terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap (PDPI,
2003). Beberapa faktor risiko penyakit asma ada yang dapat dimodifikasi dan ada
yang tidak dapat dimodifikasi, diantaranya:
a. Dapat dimodifikasi
1. Faktor Lingkungan
Polusi udara dalam ruangan seperti asap rokok, jamur, dan asap
berbahaya dari pembersih dan cat rumah tangga dapat menyebabkan reaksi
alergi dan asma. Faktor lingkungan seperti polusi, sulfur dioksida, nitrogen
oksida, ozon, suhu dingin, dan kelembapan tinggi diketahui dapat memicu
asma pada individu yang rentan. Faktanya, gejala asma dan rawat inap di
rumah sakit sangat meningkat selama periode polusi udara yang parah.
Selain itu juga terdapat studi menunjukkan bahwa orang yang memasak

51
dengan gas lebih mungkin mengalami mengi, sesak napas, serangan asma,
dan demam daripada mereka yang memasak dengan metode lain. Hal ini
dikarenakan kompor gas adalah sumber utama nitrogen dioksida dalam
ruangan. Perubahan cuaca juga dapat mengakibatkan serangan asma pada
beberapa orang. Misalnya, udara dingin menyebabkan kemacetan jalan
napas dan peningkatan produksi lendir. Peningkatan kelembaban juga dapat
menyebabkan kesulitan bernapas pada beberapa orang.
2. Kelahiran Prematur
Bayi yang lahir prematur memiliki kemungkinan 1,64 kali lebih
besar dapat mengidap penyakit asma dibandingkan dengan bayi yang lahir
normal (Zhang dkk, 2018). Hal yang mungkin untuk menjelaskan hubungan
ini adalah bahwa kelahiran prematur berhubungan dengan
kekurangan/ketidaksempurnaan struktur dan fungsi paru-paru pada bayi
yang dilahirkan secara prematur, dimana hal ini dapat meningkatkan risiko
perkembangan asma berikutnya.
3. Merokok
Merokok dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit asma (American
Lung Assosiation, 2020). Ada juga bukti bahwa merokok di kalangan
remaja meningkatkan risiko asma. Bahkan lebih banyak temuan yang
menghubungkan paparan asap rokok dengan perkembangan asma pada
awal kehidupan (Carol, 2020). Ibu yang merokok atau terpapar asap rokok
(perokok pasif) pada masa kehamilan juga dapat menyebabkan penurunan
fungsi paru-paru pada janin sehingga nantinya bayi memiliki kemungkinan
menderita asma (Health Line, 2020).
4. Obesitas
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asma lebih sering terjadi
pada orang dewasa dan anak-anak yang kelebihan berat badan. Meskipun
masih sedikit penelitian yang meneliti hubungan obesitas dengan asma,
beberapa ahli menunjukkan terdapat inflamasi tingkat rendah pada tubuh
dengan berat badan yang berlebih (Health Line, 2019). Obesitas pada masa

52
kanak-kanak memiliki efek yang signifikan pada fungsi paru. Penderita
asma yang kelebihan berat badan tampaknya memiliki asma yang lebih
tidak terkontrol dan lebih banyak hari untuk pengobatan asma (Carol,
2020). Obesitas pada masa kanak-kanak dikaitkan dengan disanapsis
saluran napas, ketidaksesuaian antara pertumbuhan parenkim paru dan
kaliber saluran udara yang tercermin dalam FEV1 dan FVC normal atau
supra-normal, tetapi dengan efek yang lebih besar pada FVC yang
menyebabkan dengan rasio FEV1/FVC yang rendah. Sedangkan pada orang
dewasa obesitas menyebabkan perubahan signifikan pada fisiologi paru
normal. Akumulasi lemak yang berlebihan di rongga dada dan perut
menyebabkan kompresi paru-paru dan penurunan volume paru-paru (Carol,
2020).
b. Tidak dapat dimodifikasi
1. Genetik
Asma adalah penyakit yang diturunkan secara genetik dan telah
terbukti dari berbagai penelitian. Seseorang yang memiliki orangtua dengan
penyakit asma memiliki risiko 3 sampai 6 kali lebih besar mengidap
penyakit asma dibandingkan dengan orangtua tanpa riwayat asma
(American Lung Association, 2020). Predisposisi genetik untuk
berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan untuk terjadinya
penyakit asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa
kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara`lain
CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1;
dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2,
IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA,
TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya (PDPI, 2003).
2. Jenis Kelamin dan Usia
Asma terutama terjadi pada anak laki-laki pada masa kanak-kanak,
dengan rasio laki-laki-perempuan 2:1 sampai pubertas, ketika rasio laki-
laki-perempuan menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita
setelah pubertas, dan sebagian besar kasus onset dewasa yang didiagnosis

53
pada orang yang lebih tua dari 40 tahun terjadi pada wanita (Medscape,
2020). Masih belum diketahui dengan jelas mengapa hal ini dapat terjadi,
namun beberapa ahli menemukan bahwa ternyata anak laki-laki memiliki
saluran pernafasan yang lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan
(Carol, 2020).
3. Atopi
Atopi merupakan kecenderungan genetik untuk mengembangkan
eksim (dermatitis atopik), rinitis alergi, konjungtivitis alergi, dan asma.
Atopi menyebabkan kepekaan yang meningkat terhadap alergen umum,
terutama yang ada dalam makanan dan udara. Beberapa anak dengan eksim
atau dermatitis atopik mengembangkan asma. Beberapa temuan
menunjukkan bahwa anak-anak dengan dermatitis atopik mungkin
memiliki asma yang lebih parah dan persisten saat dewasa (Carol, 2020).
4. Alergi yang Berhubungan dengan Asma
Alergi dan asma sering muncul bersamaan. Alergi dalam ruangan
adalah prediktor siapa yang mungkin berisiko untuk diagnosis asma. Satu
studi nasional menunjukkan tingkat racun bakteri yang disebut endotoksin
dalam debu rumah berhubungan langsung dengan gejala asma. Sumber
alergen dalam ruangan lainnya termasuk protein hewani (terutama alergen
kucing dan anjing), tungau debu, kecoa, dan jamur.

2.2.4 Upaya Pencegahan


Berdasarkan Levell dan Chark, tingkatan pencegahan dalam komunitas terdiri dari
pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Upaya pencegahan untuk penyakit asma sebagai
berikut:
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer sebagai upaya untuk menghindari terjadinya penyakit pada
orang sehat dan kelompok berisiko yang belum terkena penyakit. Beberapa bentuk
upaya pencegahan primer asma adalah:
a. Health promotion

54
- KIE untuk menghindari faktor risiko asma yang dapat dimodifikasi
- Penyuluhan kesehatan mengenai penyakit asma secara lengkap bagi
masyarakat umum dan keluarga pasien
b. Perlindungan khusus bagi kelompok berisiko (memiliki riwayat genetik
asma)
- Menghindari paparan pajanan (alergen/rokok/polutan lainnya)
termasuk pada masa kehamilan
- Menerapkan diet hipoalergik pada ibu hamil (jika tidak mengganggu
asupan janin) dan ibu menyusui
- Pemberian ASI Eksklusif sampai usia 6 bulan
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder sebagai upaya yang dilakukan terhadap orang yang sudah
terpapar risiko atau terhadap orang yang sudah muncul gejala asma untuk
meminimalisir keparahan penyakit dan mempersingkat kesakitan. Beberapa bentuk
upaya pencegahan sekunder asma adalah:
a. Deteksi dini
- Deteksi dini dilakukan pada anak usia kurang dari 3 tahun yang yang
memiliki riwayat genetik atopi/asma/eksim
- Deteksi dini pada seseorang yang memiliki riwayat genetik
asma/atopi/eksim dan menunjukkan gejala adanya asma
b. Pengobatan
- segera diberikan pengobatan sesuai dengan manajemen kasus yang
tepat dan akurat
- Ikuti arahat pengobatan sesuai dengan arahan dokter
- Rutin minum obat dan membawa alat pelega pernafasan dimana saja
- Mengenali dan menghindari faktor pencetus (inflammatory, irritan,
dan environment) yang memicu serangan asma dan bersifat personal
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier sebagai upaya untuk menghindari kecacatan/komplikasi akibat
adanya gejala sisa yang bersifat kronis dari penyakit asma. Beberapa bentuk upaya
pencegahan tersier asma adalah:

55
a. Manajemen kasus berdasarkan penyakit komplikasi asma
b. Pemberian vaksinasi infeksi virus
c. Pemberian fisioterapi dan psikoterapi pada penderita komplikasi asma
d. Operasi dapat dilakukan apabila diperlukan
e. menghindari faktor pencetus yang memicu serangan asma
f. Promosi kesehatan untuk mengetahui tatalaksana dan pengobatan serangan
asma
.

2.3. Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Asma

2.3.1 Struktur Organisasi

Gambar 15 Struktur Organisasi P2PTM

Program pengendalian penyakit asma telah tercantum pada Keputusan


Menteri Kesehatan No. 1023 Tahun 2008. Dimana dalam keputusan tersebut telah
tertuang berbagai penjelasan mengenai program untuk mengendalikan penyakit
asma di Indonesia. Pada struktur organisasi kementerian kesehatan, program
pengendalian penyakit asma ini berada dibawah direktorat pencegahan dan

56
pengendalian penyakit tidak menular sub direktorat penyakit paru kronik dan
gangguan imunologi pada seksi penyakit paru kronik.

2.3.2 Tujuan (Jangka Panjang dan Pendek)


Berdasarkan Keputusan Menteri No. 1023 tahun 2008 mengenai Pedoman
Pengendalian Penyakit Asma, tujuan umum program pengendalian asma adalah
sebagai berikut :
1. Meningkatkan partisipasi (kemandirian) masyarakat dalam upaya
pencegahan asma
2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma
3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat yang berisiko asma
4. Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai
standar/kriteria
5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma
6. Menurunnya angka kematian akibat asma

2.3.3 Visi-Misi
Keputusan Menteri No. 1023 tahun 2008 mengenai Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma, visi program adalah masyarakat yang mandiri dalam menghindari
asma. Sedangkan misi programnya adalah Membuat masyarakat terhindar dari
asma dengan melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi), kemitraan,
perlindungan khusus, penemuan dan tatalaksana kasus (termasuk deteksi dini),
surveilans epidemiologi (kasus termasuk kematian dan faktor risiko), upaya
peningkatan peran serta masyarakat dallam pencegahan dan penanggulangan asma
serta pemantauan dan penilaian.

2.3.4 Strategi
Strategi program pengendalian penyakit asma juga tertuang dalam Keputusan
Menteri No. 1023 Tahun 2008, beberapa strategi program yaitu :

57
1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat dalam pencegahan asma
2. Memfasilitasi dan mendorong tumbuhnya gerakan dalam pencegahan asma
di masyarakat
3. Memfasilitasi kebijakan publik dalam pengendalian asma
4. Meningkatkan kemampuan SDM (Sumber Daya Manusia) dalam
pengendalian asma
5. Meningkatkan sistem surveilans epidemiologi (kasus termasuk kematian
dan faktor risiko) asma
6. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan (penemuan/deteksi
dini, dan tatalaksana) asma yang berkualitas
7. Melaksanakan sosialisasi dan advokasi pada pemerintah daerah, legislatif
dan stakeholder dalam memberikan dukungan pendanaan dan operasional

2.3.5 Sasaran Program


1. Petugas kesehatan
2. Jejaring kerja (Pemda, Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota, Unit
pelayanan kesehatan, lintas program dan lintas sektor, swasta, perguruan
tinggi, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lain-
lain)
3. Masyarakat
a. Umum
b. Kelompok masyarakat khusus (kelompok masyarakat yang berisiko
asma)

2.3.6 Program yang dijalankan


Terdapat program pengendalian penyakit asma yang tercantum dalam
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1023 Tahun 2008, yaitu:
1. Penyuluhan (KIE)
a. Tujuan
1. Untuk meningkatkan pengetahuan, motivasi dan partisipasi masyarakat

58
serta merangsang dan memfasilitasi kegiatan masyarakat dalam
pengendalian asma.
2. Untuk merubah sikap dan perilaku masyarakat dalam pengendalian
asma.
3. Untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam pengendalian
asma.
b. Sasaran
1. Tenaga kesehatan
2. Masyarakat umum (keluarga dan kelompok yang berpengaruh dan
berperan di masyarakat)
3. Masyarakat khusus (kelompok masyarakat yang berisiko asma)
c. Kegiatan
1. Menyusun materi penyuluhan dan mengadakan pelatihan KIE tentang
asma secara menyeluruh antara lain perjalanan penyakit, gejala dan
tanda serta pencegahan dan penanggulangan asma bagi petugas
kesehatan (medis dan para medis), kader kesehatan maupun tokoh
masyarakat termasuk guru disekolah
2. Meningkatkan ketrampilan penggunaan obat/alat inhalasi pada petugas
kesehatan (medis dan para medis), pasien asma dan keluarganya
3. Melaksanakan penyuluhan atau KIE (komunikasi, informasi dan
edukasi) tentang asma dan faktor risikonya melalui berbagai media
penyuluhan, seperti:
a. Penyuluhan tatap muka
b. Radio (radio spot) dan televisi (Filler TV) dan media elektronik
lain
c. Poster, leaflet, pamflet, surat kabar dan media cetak lain yang
dianggap efektif untuk mencapai kelompok sasaran.
4. Penyuluhan perorangan atau penyuluhan kelompok yang dilaksanakan
oleh petugas puskesmas, kader kesehatan dan lain-lain seperti klinik
konseling asma
5. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan

59
penanggulangan asma.
d. Jenis kegiatan penyuluhan asma
Asma mempunyai faktor pencetus yang berbeda, maka setiap pasien
atau keluarga pasien perlu mengenali faktor pencetus tersebut guna
menghindari serangan asma. Adapun jenis kegiatan penyuluhan asma bagi
pasien dan keluarga pasien antara lain:
1. Penyuluhan tentang strategi pengobatan asma (7 langkah mengatasi
asma) yaitu:
a. Mengenal seluk beluk asma
b. Menentukan klasifikasi
c. Mengenali dan menghindari pencetus asma melalui daftar
pertanyaan pemicu
Tabel 9 Daftar Pertanyaan Identifikasi Faktor Pencetus Asma

Alergen yang dihirup


• Apakah memelihara binatang di dalam rumah, dan binatang apa?
• Apakah terdapat bagian di dalam rumah lembab? (kemungkinan jamur)
• Apakah di dalam rumah ada dan banyak di dapatkan kecoa?
• Apakah menggunakan karpet berbulu atau sofa kain? (mite)
• Berapa sering mengganti tirai, alas kasur/kain sprei? (mite)
• Apakah banyak barang di dalam kamar tidur (mite)?
• Apakah pasien (asma anak) sering bermain dengan boneka berbulu? (mite)
Pajanan lingkungan kerja
• Apakah pasien batuk, mengi, sesak napas selama bekerja, tetapi keluhan
menghilangkan bila libur kerja (hari minggu)?
• Apakah pasien mengalami lakrimasi pada mata dan hidung sebagai iritasi
segera setelah tiba di tempat kerja?
• Apakah pekerja lainnya mengalami keluhan yang sama?
• Bahan - bakan apa yang digunakan pada pabrik/pekerjaan anda?
• Anda bekerja sebagai apa?
• Apakah anda bekerja di lingkungan jalan raya?

60
Polutan dan Iritan di dalam dan di luar ruangan
• Apakah kontak dengan bau-bauan merangsang seperti parfum, bahan
pembersih spray, dll
• Apakah anda menggunakan kompor berasap atau bahkan kayu bakar di dalam
rumah?
• Apakah sering memasak makanan yang menghasilkan bau merangsang
(tumisan)?
• Apakah pasien sering terpajan dengan debu jalan?
Asap Rokok
• Apakah pasien merokok?
• Adakah orang lain yang merokok di sekitar pasien saat di rumah/di lingkungan
kerja?
• Apakah orang tua pasien (asma anak) merokok?
Refluks Gastroesofagus
• Apakah pasien mengeluh nyeri ulu hati (heart burn)?
• Apakah pasien kadangkala regurgitasi atau bahkan makanan kembali
ketenggorokan?
• Apakah pasien mengalami batuk, sesak dan mengi saat malam?
• Apakah pasien asma muntah diikuti oleh batuk atau mengi malam hari? Atau
gejala memburuk setelah makan?
Sensitif dengan obat-obatan
• Obat apakah yang digunakan pasien?
Apakah ada obat penghambat/beta blocker?
• Apakah pasien sering menggunakan aspirin atau antiinflamasi nonsteroid?
• Apakah pasien sering eksaserbasi setelah minum obat tersebut?
sumber: PDPI, Pedoman dan Penatalaksanaan Paru di Indonesia, 2003

d. Merencanakan pengobatan jangka panjang,


e. Mengatasi serangan asma dengan tepat
f. Memeriksakan diri dengan teratur, dan
g. Menjaga kebugaran dan olahraga misalnya senam asma

61
2. Penyuluhan tentang penanganan segera pada saat serangan pada pasien
asma.
2. Kemitraan dan Jejaring
a. Tujuan
Umum
Meningkatnya ketersediaan informasi dan kerja sama aktif seluruh potensi
di lingkungan pemerintah dan masyarakat untuk menekan kecenderungan
peningkatan kejadian asma dan pajanan faktor risiko.
Khusus
1. Menggalang kekuatan dengan berbagai lintas program, lintas sektor, dan
masyarakat dalam pengendalian asma
2. Meningkatnya komitmen pemerintah dan berbagai mitra potensial di
masyarakat dalam upaya pengendalian asma
3. Adanya sinergi dan keterpaduan dalam berbagai kegiatan pengendalian
asma
4. Meningkatkan kemampuan bersama dalam pengendalian asma
5. Tercapainya upaya pengendalian asma yang efektif dan efisien
b. Sasaran
Lintas Program, Lintas Sektor, Swasta, Perguruan Tinggi, Organisasi
Profesi, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Badan lnternasional, dan
lain-lain.
c. Kegiatan
1. Membangun dan memantapkan kemitraan dan jejaring kerja dengan
Dinas/lnstansi terkait (lintas program dan lintas sektor), organisasi
profesi (POPI= Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, IDAl=lkatan
Dokter Anak Indonesia, PAPDl=Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam
Indonesia, organisasi profesi IDl=lkatan Dokter Indonesia), dan
lembaga swadaya masyarakat (YAl=Yayasan Asma Indonesia,
YAPNAS=Yayasan Penyantun Anak Asma Indonesia, dan lain-lain)
atau Lembaga lain yang diperlukan secara berkesinambungan
2. Membuat rencana strategis (instansi kesehatan bersama-sama mitra

62
terkait), sosialisasi dan advokasi program pengendalian asma kepada
pemerintah daerah, DPRD, lintas program, lintas sektor, organisasi
profesi, LSM, dan swasta untuk memperoleh dukungan kegiatan
pengendalian dan pendanaan
3. Perlindungan Khusus
a. Tujuan
Memberikan perlindungan dan menurunkan jumlah kelompok masyarakat
yang terpajan faktor risiko asma
b. Sasaran
Masyarakat umum dan kelompok masyarakat khusus (kelompok
masyarakat yang berisiko asma)
c. Kegiatan
1. Penerapan Hunian Bebas Rokok (HBR) di lingkungan masyarakat dan
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai instansi/Dinas serta tempat-
tempat umum/keramaian dengan mengacu Peraturan Perundangan
tentang Pengendalian Masalah Rokok dan Peraturan Daerah tentang
Kawasan Tanpa Rokok
2. Melakukan upaya minimalisasi pencemaran udara (asap pabrik, asap
kendaraan bermotor, asap dapur rumah tangga, dll) dengan penerapan
program udara bersih/langit biru
3. Mencegah terjadinya sensitisasi pada pasien, seperti faktor lingkungan
(tungau debu yang sering terdapat pada debu Kasur dan bantal kapuk,
selimut, lantai, karpet gordin perabot rumah, dan lain-lain). Sebaiknya
laci/rak dibersihkan dengan lap basah, gordin dan selimut dicuci setiap
2 minggu , karpet, majalah, mainan , buku dan pakaian yang jarang
dipakai diletakkan di luar kamar tidur dan lantai dipel setiap hari),
menghindari makanan yang mempunyai tingkat alerginitis tinggi, asap
rokok, inhalan, perubahan cuaca dan emosi sebagai faktor pencetus
serta aktivitas fisik yang berlebihan, Menghindari kontak dengan hewan
yang memiliki bulu lebat dan mudah rontok yang dapat sebagai faktor
pemicu asma (kucing, anjing, dan lain lain).

63
4. Sosialisasi penggunaan alat pelindung diri (masker, misalnya hepha
filter, N95, dan lain-lain) pada individu atau kelompok masyarakat yang
berisiko (terpajan faktor risiko)
5. Sosialisasi ventilasi dan cerobong asap dapur rumah tangga, fasilitas
umum dan industri yang memenuhi syarat serta menghindari kondisi
rumah yang lembab. Secara umum ventilasi yang memenuhi syarat
adalah dengan luas 10% dari luas lantai atau menggunakan exhouse fan
4. Penemuan (termasuk deteksi dini) dan Tatalaksana kasus
a. Deteksi dini
Kelompok anak dibawah usia 3 tahun jika ada gejala mengi, anak dengan
orang tua asma, dermatitis atopi perlu dicurigai untuk menderita asma di
kemudian hari.
b. Penemuan dan tatalaksana kasus.
1. Penemuan/surveilans kasus asma secara aktif
2. Penemuan kasus asma secara pasif di unit pelayanan kesehatan.
3. Tatalaksana pasien asma sesuai standar
a. Puskesmas (pelayanan kesehatan primer)
1. Penemuan dan tatalaksana pasien asma dipelayanan
kesehatan primer
2. Sistem rujukan asma.
3. Rehabilitasi pasien asma.
4. Edukasi pasien dan keluarga.
b. Rumah sakit
Tindak lanjut penanganan asma
5. Surveilans epidemiologi (kasus dan faktor risiko)
a. Surveilans Kasus
1. Tujuan
a. Terselengaranya pengumpulan data kasus (termasuk kematian)
asma
b. Terselenggaranya pengolahan dan analisis data kasus asma
c. Terselenggaranya diseminasi informasi hasil kajian/analisis

64
kasus asma
d. Terselenggaranya rencana tindak lanjut.
2. Sasaran
Seluruh pasien asma baik anak maupun dewasa untuk seluruh
derajat klasifikasi
3. Kegiatan
Surveilans kasus (kesakitan dan kematian) dilaksanakn secara rutin
dan berjenjang (dinas kesehatan propinsi, kabupaten/kota, dan
puskesmas/fasilitas kesehatan lainnya) di seluruh wilayah Indonesia
yang diintegrasikan dengan sistim pelaporan penyakit yang telah
ada termasuk surveilans terpadu penyakit (STP) berbasis puskesmas
sentinel dan surveilans terpadu penyakit (STP) berbasis rumah sakit
sentinel.
b. Surveilans Faktor Risiko
1. Tujuan
a. Terselengaranya pengumpulan data (survei secara berkala)
faktor risiko asma
b. Terselenggaranya pengolahan dan analisis data factor risiko
perilaku dan lingkungan yang berhubungan dengan asma
c. Terselenggaranya pemetaan factor risiko menurut
kabupaten/kota
d. Terselenggaranya diseminasi informasi hasil kajian/analisis
factor risiko perilaku dan lingkungan yang berhubungan dengan
asma
e. Terselenggaranya rencana tindak lanjut.
2. Sasaran
Masyarakat umum di kabupaten/kota di seluruh Indonesia
3. Pelaksanaan
Surveilans faktor risiko dilaksanakan melalui:
a. Survei faktor risiko menggunakan instrumen survei faktor risiko
PTM atau mengacu pada instrumen yang dikembangkan oleh

65
WHO (STEP wise).
b. Pemeriksaan HBR (rumah Hunian Bebas asap Rokok) berkala
dilaksanakan setiap tahun di Kabupaten/Kota di masing-masing
propinsi, menggunakan instrumen pemeriksaan HBR dan
formulir rekapitulasi pemeriksaan HBR
c. Pendataan faktor risiko lingkungan
d. Melalui survei khusus atau memanfaatkan sistem yang sudah ada
(SKRT, Susenas, Surkenas, Surkesda, dan lain-lain) dan hasil-
hasil survei yang dilaksanakan oleh instansi terkait lainnya.
6. Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Asma
Upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian
asma dimulai dengan Kajian Aspek Sosial Budaya dan Perilaku
Masyarakat yang kemudian digunakan sebagai dasar dalam
pengembangan program peningkatan partisipasi masayarakat dalam
pencegahan asma.
a. Tujuan
1. Diketahuinya gambaran sosial-budaya dan partisipasi masyarakat
dalam pencegahan asma serta faktor-faktor yang berhubungan dengan
partisipasi masyarakat tersebut di masing-masing kabupaten/kota.
2. Meningkatnya pemberdayaan atau partisipasi masyarakat dalam
pencegahan asma
b. Manfaat
1. Diketahuinya potensi yang ada di masyarakat, itra kerja (melalui apa
dan siapa atau instansi mana) atau kelompok masyarakat yang mana
pencegahan asma efektif dilakukan.
2. Diperolehnya kontribusi / partisipasi masyarakat.
3. Tingkat aktivitas/partisipasi keluarga dan kelompok masyarakat lainnya
(seperti tokoh formal, tokoh informal, jajaran kesehatan sendiri, kader
kesehatan, instansi terkait, LSM dan pihak swasta) sehingga perlu lebih
meningkatkan kontribusi tersebut. Misalnya dengan penyuluhan yang
lebih intensif kepada masyarakat, dengan pelatihan (kader, petugas

66
kesehatan, pengelola program), sosialisasi, advokasi dan sebagainya.
c. Sasaran
Keluarga, kelompok masyarakat, lintas program, lintas sector, dan
Lembaga/instansi terkait lainnya
d. Kegiatan
1. Melaksanakan survei/kajian aspek sosial budaya dan perilaku
masyarakat di salah satu kabupaten di masing-masing propinsi di
Indonesia.
2. Pengembangan model pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan
asma yang sesuai dengan kondisi setempat di masing-masing
kabupaten/kota berdasarkan hasil survei/kajian.
3. Membuat daerah percontohan di masing-masing kabupaten/kota yang
dilakukan survei/kajian. Salah satu contoh adalah Posbindu (Pas
Pembinaan Terpadu) yang telah terbentuk dan dikembangkan di Kata
Depok, Propinsi Jawa Barat, dengan kegiatan KIE, pemeriksaan fisik
dan faktor risiko, serta pemerisaan penunjang
4. Kajian ini dapat dilakukan bersamaan dengan penyakit tidak menular
lainnya dan pelaksanaannya oleh kabupaten bersama-sama dengan
perguruan tinggi, pusat, propinsi, serta lintas program dan lintas sektor.
7. Pemantauan dan Penilaian
a. Tujuan
1. Terlaksananya kegiatan fasilitasi upaya peningkatan pengetahuan,
motivasi dan partisipasi pengelola program, dokter dan paramedis, mitra
kerja dan stakeholder lainnya dalam pengendalian asma
2. Terlaksananya kegiatan fasilitasi upaya peningkatan keinginan untuk
kemajuan diantara pengelola program dan petugas kesehatan dalam
pengendalian asma
3. Terlaksananya pemantauan, penilaian, supervisi/bimbingan teknis dan
monitoring pelaksanaan dan pencapaian program
4. Terlaksananya upaya untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi
program.

67
b. Kegiatan
1. Mengukur kemajuan pelaksanaan program dan memberikan koreksi atas
penyimpangan berdasarkan atas indikator input, proses, dan output.
2. Mengevaluasi dan mengukur pencapaian tujuan program dan bagaimana
efektifitas dan efisiensi pencapaian menggunakan indikator efek
(outcome) dan dampak.
3. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi secara berjenjang mulai dari
pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan puskesmas
4. Mengevaluasi dan mengukur pencapaian program sesuai dengan target
pencapaian program yang telah ditetapkan.
Selain beberapa program pengendalian penyakit asma yang tercantum pada
Keputusan Menteri Kesehatan No.1023 Tahun 2008, terdapat program yang
berhubungan dengan penyakit asma yang juga tercantum pada Buku Pedoman
Manajemen Penyakit Tidak Menular. Beberapa program tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Penerapan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah
Program ini merupakan Kegiatan penerapan KTR di sekolah sebagai bentuk
pencegahan perilaku merokok pada warga sekolah. Kegiatan ini meliputi
penetapan KTR, pembentukan satgas, dan memenuhi 8 indikator penerapan
KTR. Sasaran dari program ini adalah setiap warga yang berada di sekolah
dengan pelaksana programnya adalah satgas provinsi/Kab/Kota (dinas
pendidikan, dinas kesehatan, satpol pp, hukum pemda, kanwil agama) dan
satgas sekolah (guru BK, satpam, dan kader murid).
2. Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas (GENTAS)
Suatu gerakan yang melibatkan masyarakat dalam rangka pencegahan
obesitas sebagai faktor risiko PTM. Kegiatan meliputi : pengukuran Indeks
Massa Tubuh (BB, Lingkar perut dan tinggi badan). wawancara perilaku
berisiko, dan edukasi perilaku gaya hidup sehat.
Sasaran: Setiap warga negara usia 15 tahun keatas yang berada di wilayah
tersebut

68
Pelaksana: Dokter, Perawat, Kader Terlatih, Pengelola Program Puskesmas,
dan Masyarakat

2.3.7 Target dan Indikator Program


Berikut merupakan target dan indikator yang berkaitan dengan program
pengendalian Asma di Indonesia:
A. Target Global
Berdasarkan target global yang diusung oleh Kementerian Kesehatan untuk
program penyakit tidak menular, terdapat 3 dari 11 indikator yang berkaitan
dengan program pengendalian penyakit Asma:
1. Penurunan kematian dini akibat PTM 25% tahun 2025
2. Penurunan konsumsi tembakau 30%
3. Tidak ada peningkatan diabetes/obesitas (0%)
4. Penurunan asupan garam 30%
5. Penurunan kurang aktivitas fisik 10%
6. Penurunan tekanan darah tinggi 25%
7. Cakupan pengobatan esensial dan teknologi untuk pengobatan
PTM 80%
8. Cakupan terapi farmakologis dan konseling untuk mencegah
serangan jantung dan stroke 50%
9. Penurunan konsumsi alkohol 10%
10. Penurunan prevalensi kebutaan yang dapat dicegah sebesar 25%
pada tahun 2020
11. Penurunan prevalensi gangguan pendengaran sebesar 90% pada
tahun 2030
B. Target RPJMN 2015-2019
Berdasarkan target RPJMN 2015-2019 yang diusung oleh Kementerian
Kesehatan untuk program penyakit tidak menular, terdapat pada poin kedua
dan ketiga yang berkaitan dengan program pengendalian penyakit Asma:
1. Penurunan prevalensi hipertensi dari 25,8% pada tahun 2013

69
menjadi 23,4% tahun 2019
2. Pengendalian obesitas usia ≥18 tahun tetap 15,4%
3. Penurunan Prevalensi merokok ≤ 18 tahun dari
7,2% tahun 2013 menjadi 5,4% tahun 2019
C. Target Renstra 2015-2019
Berdasarkan target Renstra 2015-2019 yang diusung oleh Kementerian
Kesehatan untuk program penyakit tidak menular, terdapat 3 dari 5
indikator yang berkaitan dengan program pengendalian penyakit Asma:
1. 50% puskesmas melaksanakan pengendalian terpadu PTM
(PANDU PTM)
2. 50% Desa/kelurahan melaksanakan posbindu PTM
3. 50% Puskesmas yang melaksanakan deteksi dini kanker serviks dan
payudara pada Perempuan usia 30-50 tahun
4. 50% kab/kota melaksanakan kebijakan KTR minimal 50%
sekolah
5. 30% puskesmas yang melakukan deteksi dini dan rujukan katarak

2.3.8 Hasil Kegiatan Surveilans


1. Hasil Surveilans PTM di Puskesmas

Berdasarkan grafik diatas, pada tahun 2016 jumlah orang dengan


penyakit asma yang dilaporkan oleh Puskesmas melalui sistem informasi
surveilans PTM menurut jenis kelamin adalah 18,740 orang dengan jumlah
terbanyak merupakan perempuan.

70
Sedangkan pada grafik diatas, jumlah orang dengan penyakit asma
yang dilaporkan oleh Puskesmas melalui sistem informasi surveilans PTM
menurut kelompok umur paling banyak ditemukan pada kelompok umur
35-59 tahun yaitu sebanyak 7.694 orang.
2. Hasil Data SIRS

Berdasarkan grafik diatas, menurut data SIRS tahun 2016 jumlah


kasus rawat inap asma menurut provinsi paling banyak ditemukan di
Provinsi Jawa Tengah yaitu 2.998 kasus. Kemudian diikuti oleh provinsi
Jawa Barat sebanyak 2.840 kasus. Sedangkan jumlah kasus asma terendah
ada pada Provinsi Maluku Utara yaitu 38 kasus.

71
Berdasarkan grafik diatas, pada tahun 2015 jumlah kasus rawat inap
asma di rumah sakit menurut kelompok umur paling banyak ditemukan
pada kelompok umur 15-44 tahun dengan 8.789 kasus dan paling sedikit
pada kelompok umur 65 tahun ke atas sebesar 2.719 kasus.

2.3.9 Capaian dan Evaluasi Program


1. Capaian Target Indikator
Berikut merupakan capaian target dan indikator Program P2PTM yang
berkaitan dengan program pengendalian Asma di Indonesia:
a. Target RPJMN 2015-2019

Berdasarkan tabel diatas, diketahui realisasi indikator RPJMN


2015-2019 untuk mempertahankan prevalensi obesitas sebesar 15,4%
belum mampu dicapai pada tahun 2017. Pada kenyataannya prevalensi
obesitas di tahun 2017 mencapai 20,7%. Capaian tersebut masih cukup jauh
dari target yang direncanakan. Sama halnya dengan prevalensi obesitas,
prevalensi merokok pada penduduk usia ≤ 18 tahun tahun 2017 juga

72
mengalami peningkatan. Apabila dibandingkan dengan tahun 2014 yang
mencapai 7,2%, pada tahun 2017 jumlah perokok remaja dan anak-anak
sebanyak 8,8%. Hal ini menunjukkan dari 2014-2017 jumlah orang dengan
obesitas dan jumlah perokok terus bertambah. Kejadian ini dapat terus
bertambah apabila gaya hidup berisiko masih terus diterapkan.

Informasi terbaru yang didapatkan dari Riskesdas 2018, pada grafik


diatas menunjukkan trend prevalensi merokok pada populasi usia 10-18
tahun tahun 2013, 2016, dan 2018 terus mengalami peningkatan.
b. Target Renstra 2015-2019
Berdasarkan tabel diatas, diketahui realisasi indikator Renstra pada
tahun 2018, ketiga target yang relevan dengan program asma mengalami
peningkatan dan berhasil melampaui target. Sebanyak 74,25% puskesmas
di Indonesia telah menerapkan pengendalian PTM terpadu. Keadaan ini
menunjukkan terjadinya peningkatan 1,5 kalinya bila dibandingkan dengan
capaian 2017 sebesar 49,7%. Sebanyak 43,92% atau sekitar 35.749
desa/kelurahan di Indonesia yang telah melaksanakan kegiatan Posbindu
PTM. Yang mana telah terbukti berhasil mengatasi masalah pada tahun
2017 yang saat itu angkanya masih belum mencapai target yaitu 24,3% dari
30%. Selain itu, jumlah kabupaten/ kota yang telah menerapkan kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) lebih dari 50% sekolah terus bertambah.

73
Terhitung pada tahun 2018, sebanyak 218 kabupaten/kota atau 42,4% telah
berhasil melaksanakan kebijakan KTR di sekolah-sekolah.
2. Evaluasi Program
a. Program Pengendalian Penyakit Asma
1. Capaian Kinerja: -
2. Cara Evaluasi: -
3. Kegiatan yang dilakukan: Melakukan pemantauan,
penilaian, supervisi/bimbingan teknis dan monitoring
pelaksanaan dan pencapaian program serta mengirimkan
laporan program secara rutin
b. Program Penerapan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah
1. Capaian Kinerja
a. Provinsi: Menentukan jumlah kab/kota yang
minimal 50% sekolah yang ada di wilayahnya telah
menerapkan KTR

74
b. Kab/kota: Menentukan jumlah sekolah di
wilayahnya yang telah menerapkan KTR
2. Cara Evaluasi

a. Program Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas (GENTAS)


1. Capaian Kinerja
Persentase warga Negara yang berusia yang diperiksa Indeks
Massa Tubuh (IMT) dan atau Lingkar Perut di suatu
wilayah.
2. Cara Evaluasi

75
BAB III
PENUTUP

3.1 Apresiasi dan Kritik


Terdapat beberapa apresiasi yang kami ingin sampaikan terkait dengan program
pengendalian penyakit asma di Indonesia yang tertuang pada Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1023 Tahun 2008 dan Program Penerapan Kawasan Tanpa Rokok di
Sekolah yaitu :
1. Terdapat beberapa program pengendalian asma yang sudah dijelaskan dengan jelas
dan rinci (tujuan, sasaran, rangkaian kegiatan)
2. Susunan program sudah sesuai dengan upaya pencegahan pada primer dan
sekunder
3. Program pengendalian asma dijelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami

Selain itu kami juga memiliki kritik terkait program pengendalian penyakit asma di
Indonesia, yaitu:
1. Buku pedoman pengendalian asma yang terakhir dikeluarkan oleh Kemenkes RI
dan dapat diakses sudah terlalu lama (Tahun 2008)
2. Terdapat buku pedoman pengendalian asma yang terbaru (terbit 2015) namun tidak
tersedia dalam bentuk e-book
3. Tidak terdapat indikator pada setiap program pengendalian asma
4. Tidak adanya laporan evaluasi program pengendalian asma yang dilakukan secara
jelas
5. Tidak terdapat program pengendalian khusus untuk penyakit asma pada buku
manajemen PTM 2019

3.2 Saran
Demi terciptanya program pengendalian penyakit asma di Indonesia yang lebih baik lagi
di masa depan, kami memiliki beberapa saran terkait program tersebut diantaranya:

76
1. Dapat menerbitkan buku pedoman penanggulangan asma yang terbaru, infodatin,
dan laporan indikator kinerja subdit Penyakit Paru setiap tahunnya
2. Informasi mengenai asma seperti bulletin data dan buku pedoman seharusnya dapat
diunggah dalam bentuk soft file di web resmi Kemenkes, sehingga dapat diakses
dengan mudah oleh masyarakat
3. Perlu adanya program yang fokus terhadap pencegahan dan pengendalian dari
faktor pencetus asma di Indonesia
4. Setiap program pengendalian asma perlu diberikan indikator agar dapat mengukur
ketercapaian program secara jelas
5. Setiap program yang dicanangkan seharusnya mengikuti kaidah 5 level of
prevention termasuk di dalamnya promosi kesehatan, proteksi spesifik, deteksi dini,
pembatasan kecacatan, dan rehabilitasi.
6. Dalam tujuan program belum memasukkan penurunan aspek morbiditas dan
mortalitas penyakit asma serta penyakit komplikasi yang disebabkan asma
7. Perlu adanya monitoring dan evaluasi serta laporan secara rutin terkait program
pengendalian asma yang dapat dengan mudah diakses informasinya oleh
masyarakat sehingga dapat diketahui bagaimana hasil dan pencapaian program
pengendalian penyakit asma di Indonesia

77
DAFTAR PUSTAKA

Alodokter. 2020. Pengobatan Asma. [online] Available at:


<https://www.alodokter.com/asma/pengobatan> [Accessed 22 June 2021].
Alodokter. n.d. Macam-Macam Obat Sesak Napas untuk Asma. [online] Available at:
<https://www.alodokter.com/catat-deretan-obat-sesak-napas-untuk-asma-berikut-
ini> [Accessed 22 June 2021].
Alomedika. n.d. Prognosis Asthma - Alomedika. [online] Available at:
<https://www.alomedika.com/penyakit/pulmonologi/asma/prognosis> [Accessed
22 June 2021].
American Lung Association. (2020). Asthma 101.
https://www.lung.org/getmedia/269288f5-5d64-4825-a101-
08c309e02634/asthma-101-english.pdf.pdf
American Lung Association, 2021. Asthma Risk Factors. [online] Lung.org. Available at:
<https://www.lung.org/lung-health-diseases/lung-disease-lookup/asthma/asthma-
symptoms-causes-risk-factors/asthma-risk-factors> [Accessed 22 June 2021].
CDC. (2019). What is Asthma? Retrieved June 20, 2021, from
https://www.cdc.gov/asthma/faqs.htm#what
Emedicine.medscape.com. 2020. Asthma Medication. [online] Available at:
<https://emedicine.medscape.com/article/296301-medication> [Accessed 22 June
2021].
Emedicine.medscape.com. 2020. Asthma: Practice Essentials, Background, Anatomy.
[online] Available at: <https://emedicine.medscape.com/article/296301-
overview#a6> [Accessed 22 June 2021].
Emedicine.medscape.com. 2020. Status Asthmaticus: Practice Essentials, Background,
Etiology. [online] Available at: <https://emedicine.medscape.com/article/2129484-
overview#a1> [Accessed 22 June 2021].
Enilari, O. and Sinha, S., 2019. The Global Impact of Asthma in Adult Populations. Annals
of Global Health, 85(1).
Globalasthmareport.org. 2018. The Global Asthma Report 2018. [online] Available at:
<http://globalasthmareport.org/> [Accessed 22 June 2021].

78
Healthline. n.d. Status Asthmaticus: Symptoms, Causes, Diagnosis, and Treatment.
[online] Available at: <https://www.healthline.com/health/status-asthmaticus>
[Accessed 22 June 2021].
Emedicine.medscape.com. 2020. Asthma: Practice Essentials, Background, Anatomy.
[online] Available at: <https://emedicine.medscape.com/article/296301-
overview#a7> [Accessed 22 June 2021].
EPA. (2021). Asthma Triggers: Gain Control. Retrieved June 21, 2021, from
https://www.epa.gov/asthma/asthma-triggers-gain-control#shs
Fu, J., Gibson, P., Simpson, J. and McDonald, V., 2014. Longitudinal Changes in Clinical
Outcomes in Older Patients with Asthma, COPD and Asthma-COPD Overlap
Syndrome. Respiration, 87(1), pp.63-74.
GAN. (2021). About Asthma. Retrieved June 20, 2021, from
http://globalasthmanetwork.org/patients/asthma.php
Healthline. n.d. Asthma Complications: Long- and Short-Term Effects. [online] Available
at: <https://www.healthline.com/health/asthma-complications#medical>
[Accessed 22 June 2021].
Healthline. n.d. Does Asthma Make You Tired? Reasons for Fatigue. [online] Available
at: <https://www.healthline.com/health/asthma/does-asthma-make-you-
tired#causes> [Accessed 22 June 2021].
Holgate, S., Wenzel, S., Postma, D., Weiss, S., Renz, H. and Sly, P., 2015. Asthma. Nature
Reviews Disease Primers, 1(1).
Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan - DokterSehat. n.d. 10 Komplikasi Asma. [online]
Available at: <https://doktersehat.com/komplikasi-asma/> [Accessed 22 June
2021].
Kemenkes RI. (2008). Pedoman Pengendalian Asma.
Kementerian Kesehatan RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar 2018. [online] Available at:
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-
riskesdas-2018_1274.pdf [Accessed 22 June 2021].
Kostakou, Kaniaris, Filiou, Vasileiadis, Katsaounou, Tzortzaki, Koulouris, Koutsoukou and
Rovina, 2019. Acute Severe Asthma in Adolescent and Adult Patients: Current
Perspectives on Assessment and Management. Journal of Clinical Medicine, 8(9), p.1283.

79
Lung.org. 2020. Pneumonia and Asthma... Why Should I Worry?. [online] Available at:
<https://www.lung.org/blog/pneumonia-and-asthma> [Accessed 22 June 2021].
Mattiuzzi, C. and Lippi, G., 2019. Worldwide asthma epidemiology: insights from the
Global Health Data Exchange database. International Forum of Allergy &
Rhinology, 10(1), pp.75-80.
Mayo Clinic. n.d. Pneumothorax - Symptoms and causes. [online] Available at:
<https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/pneumothorax/symptoms-
causes/syc-20350367> [Accessed 22 June 2021].
Mayo Clinic. (2020). Asthma. Retrieved June 20, 2021, from
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/asthma/symptoms-causes/syc-
20369653
Medicalnewstoday.com. 2019. Asthma and pneumonia: What's the link?. [online]
Available at: <https://www.medicalnewstoday.com/articles/325312> [Accessed 22
June 2021].
Medscape.com. 2020. What causes pneumothorax in status asthmaticus?. [online]
Available at: <https://www.medscape.com/answers/2129484-46298/what-causes-
pneumothorax-in-status-asthmaticus> [Accessed 22 June 2021].
P2PTM Kementerian Kesehatan RI. 2019d. Buku Pedoman Manajemen Penyakit Tidak
Menular [online] Available at:
http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/VHcrbkVobjRzUDN3UCs4eUJ0dVBndz09/2
019/03/Buku_Pedoman_Manaje men_PTM.pdf [Accessed 22 June 2021].
P2PTM Kementerian Kesehatan RI. n.d. Program P2PTM dan Indikator. [online]
Available at: http://p2ptm.kemkes.go.id/profil-p2ptm/latar-belakang/program-
p2ptm-dan-indikator [Accessed 22 June 2021].
P2PTM Kementerian Kesehatan RI. n.d. Profil Penyakit Tidak Menular 2016. [online]
Available at:
http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/VHcrbkVobjRzUDN3UCs4eUJ0dVBndz09/2
017/10/PROFIL_Penyakit_Tidak_Menular_Tahun_2016.pdf[Accessed 22 June
2021]
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Asma di Indonesia.

80
Scott, K., Von Korff, M., Ormel, J., Zhang, M., Bruffaerts, R., Alonso, J., Kessler, R.,
Tachimori, H., Karam, E., Levinson, D., Bromet, E., Posada-Villa, J., Gasquet, I.,
Angermeyer, M., Borges, G., de Girolamo, G., Herman, A. and Haro, J., 2007.
Mental disorders among adults with asthma: results from the World Mental Health
Survey. General Hospital Psychiatry, 29(2), pp.123-133.
Taha, H., 2017. Poor Executive Functions among Children with Moderate-into-Severe
Asthma: Evidence from WCST Performance. Frontiers in Psychology, 8.
Taher, Y., & Henricks, P.A.J. (2010). Allergen-specific subcutaneous immunotherapy in
allergic asthma: Immunologic mechanisms and improvement. Libyan Journal of
Medicine. 10.3402/ljm.v5i0.5303
Porpodis, K., 2014. Pneumothorax and Asthma. Journal of thoracic disease, [online] 6(1),
pp.152-161. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3966154/> [Accessed 22 June
2021].
hang, J., Ma, C., Yang, A., Zhang, R., Gong, J. and Mo, F., 2018. Is preterm birth associated
with asthma among children from birth to 17 years old? -A study based on 2011-
2012 US National Survey of Children’s Health. Italian Journal of Pediatrics, 44(1).
Van Herck, M., Spruit, M., Burtin, C., Djamin, R., Antons, J., Goërtz, Y., Ebadi, Z.,
Janssen, D., Vercoulen, J., Peters, J., Thong, M., Otker, J., Coors, A., Sprangers,
M., Muris, J., Wouters, E. and van ’t Hul, A., 2018. Fatigue is Highly Prevalent in
Patients with Asthma and Contributes to the Burden of Disease. Journal of Clinical
Medicine, 7(12), p.471.
Wolthers, O., 2002. Growth Problems in Children with Asthma. Hormone Research in
Paediatrics, 57(2), pp.83-87.

81

Anda mungkin juga menyukai