Anda di halaman 1dari 10

TUGAS

KEPERAWATAN KRITIS

(LUKA BAKAR)

OLEH

KELOMPOK IV

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa selalu penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan limpahan berkat kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini di
buat guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis yang membahas tentang “ Luka
Bakar ”

Makalah ini kami buat dengan segala kemampuan penulis dan semaksimal mungkin.
Namun, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan
masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu penulis sebagai pembuat makalah
ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca makalah ini terutama Dosen
Mata Kuliah Keperawatan Kritis yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Ambon, 29 Juli 2021

Penulis
Kelompok IV
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia
dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Anonim,
2001). Luka bakar yang luas mempengaruhi metabolisme dan fungsi setiap sel tubuh,
semua sistem dapat terganggu, terutama sistem kardiovaskuler. Luka bakar dibedakan
menjadi: derajat pertama, kedua superfisial, kedua dalam, dan derajat ketiga. Luka
bakar derajat satu hanya mengenai epidermis yang disertai eritema dan nyeri. Luka
bakar derajat kedua superfisial meluas ke epidermis dan sebagian lapisan dermis yang
disertai lepuh dan sangat nyeri. Luka bakar derajat kedua dalam meluas ke seluruh
dermis. Luka bakar derajat ketiga meluas ke epidermis, dermis, dan jaringan subkutis,
seringkali kapiler dan vena hangus dan darah ke jaringan tersebut berkurang (Corwin,
2000). Penanganan dalam penyembuhan luka bakar antara lain mencegah infeksi dan
memberi kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk berproliferasi dan menutup permukaan
luka (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

B. Tujuan
BAB II

TINJAUAN TEORI LUKA BAKAR

A. Defenisi
Luka bakar adalah kejadian kecelakaan trauma yang sering terjadi sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan kulit atau kehilangan jaringan tubuh dan dapat
memengaruhi kinerja sistem tubuh (Giovany dkk, 2015). Luka bakar dapat terjadi
akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda-benda yang menghasilkan panas.
Api secara langsung atau tidak langsung mengenai kulit, terpapar suhu tinggi dari
matahari, listrik, maupun bahan kimia yang bersentuhan langsung dengan kulit
serta zat-zat yang bersifat membakar seperti asam kuat dan basa kuat merupakan
contoh sumber panas (Hardisman, 2014).
Data WHO (2018) menunjukkan bahwa luka bakar adalah salah satu
masalah yang serius di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun sekitar 180.000
kematian terjadi akibat luka bakar. Di India lebih dari satu juta orang mengalami
luka bakar sedang sampai berat setiap tahunnya. Secara global, angka kematian
tertinggi di tempati oleh Asia Tenggara sebanyak 11, 6 kematian per 100.000
populasi pertahun. Sekitar 95 % kejadian luka bakar terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Orang yang berisiko tinggi mengalami luka
bakar yaitu wanita, hal ini dikarenakan mereka memasak menggunakan kompor
yang tidak aman dan api yang terbuka. Sedangkan untuk usia yang berisiko selain
wanita dewasa yaitu anak-anak juga rentan terhadap luka bakar, hal ini
dikarenakan pengawasan dan pengetahuan orang dewasa yang tidak tepat.
Di Indonesia sendiri angka kematian akibat luka bakar masih cukup
tinggi sekitar 40 % yang diakibatkan oleh luka bakar berat. Kematian pasien luka
bakar sebesar 21, 6% dengan penyebab luka bakar oleh api sebesar 56, 6%, air
panas 31, 6%, dan listrik 15, 8%. Sebagian besar (80%) cedera luka bakar terjadi
di rumah tangga dan 20% di tempat kerja (Giovany dkk, 2015). Sedangkan data
dari Kemenkes (2013) Yogyakarta menempati peringkat ke 8 dari 33 provinsi
menurut tempat terjadinya cedera yaitu di rumah dengan persentase sebesar 37,
2%. Kasus kejadian luka bakar 0, 7 %, dimana perempuan berisiko lebih tinggi
terhadap kejadian luka bakar yaitu 0, 8 % dibandingkan laki-laki sebesar 0, 6 %.
Kejadian luka bakar tersebut banyak terjadi pada usia produktif. Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan di Dinas Kesehatan Provinsi Yogyakarta didapatkan
sebanyak kurang lebih 150 wanita yang masuk ke berbagai rumah sakit yang ada
di Yogyakarta akibat luka bakar pada tahun 2018. Dari data tersebut kemudian
peneliti mencari, dan melakukan studi pendahuluan serta menggali gambaran
karakteristik pengetahuan ibu rumah tangga yang ada di Desa Ambarketawang
sehingga dijadikan subjek penelitian. Selain itu populasi terbanyak juga terdapat
di Desa Ambarketawang, Pedukuhan Gamping Tengah yaitu 491 ibu rumah
tangga. Kemudian peneliti melakukan wawancara dengan 10 orang ibu rumah
tangga yang aktif memasak di dapur, 6 februari 2019 didapatkan hasil bahwa
mereka tidak mengetahui penanganan pertama luka bakar yang tepat seperti apa
terlihat dari 9 ibu menggunakan pasta gigi, 1 ibu menggunakan es, dari 9 ibu
rumah tangga yang menggunakan pasta gigi ada 2 orang yang mengatakan
menggunakan madu, 2 ibu rumah tangga yang menggunakan getah papaya dan 1
orang menggunakan kecap, dihisap. Luka bakar tersebut terjadi kerena percikan
minyak panas, air panas, dan terkena setrika.Lebih dari 50 % kejadian luka bakar
dialami oleh wanita dengan usia 25 sampai 60 tahun, cidera tersebut banyak
terjadi di dapur saat memasak dengan angka kejadian luka bakar yang fatal
sebesar 38, 2/1.000.000 orang dan angka kesakitan sebesar 727, 5/ 1.000.000
orang (He et al, 2017). Penelitian yang dilakukan di Perumahan Bagasasi
Cikarang Jakarta juga menunjukkan kejadian luka bakar pada wanita adalah 53,
3% lebih banyak dibandingkan laki-laki 48, 3%. Luka bakar disebabkan oleh air
panas 21, 5%, minyak panas 21, 5%, setrika listrik 16, 4%, knalpot 20, 9%,
tersentrum listrik 17, 5% dan lainnya 2, 2% (Laila, 2015).Pentingnya pertolongan
pertama luka bakar yang benar yaitu untuk mengurangi keparahan serta
kedalaman, mengurangi risiko hipotermia dan memperkecil komplikasi (Lam et
al, 2017). Pertolongan pertama pada luka bakar yang dilakukan oleh masyarakat
belum seluruhnya sesuai, hal ini terlihat dari hampir 50% masyarakat belum
menggunakan air dingin untuk menghentikan luka bakar. Adapun yang dilakukan
yaitu melepaskan pakaian dan aksesoris (72, 1%), penggunaan air dengan
memakai air dingin (88, 6%) dan menggunakan air mengalir selama 15 menit (57,
86%), membungkus bagian yang terkena luka bakar (33, 9%), sebanyak (63, 5%)
mencari pertolongan medis dan masih digunakan obat tradisional seperti madu
(69, 9%), pasta gigi (53, 7%) (Kattan et al, 2016). Suatu penelitian yang dilakukan
di negara berkembang, ada juga masyarakat yang menggunakan telur mentah (12,
5%), air lavage (29, 2%), pap in (9, 5%) dan bahan lainnya (48, 8%) (Fadeyibi et
al, 2015).
Penggunaan bahan alam tradisional yang dilakukan oleh masyarakat
salah satu contoh di desa mataue kawasan taman nasional lore lindu merupakan
salah satu taman nasional yang terletak di Sulawesi tengah, sebesar 95%
masyarakat disana menggunakan daun dari tumbuhan bube sebagai pertolongan
pertama luka bakar, yang kemudian daun bube tersebut diremas-remas kurang
lebih 1 genggaman kemudian ditempelkan pada bagian tubuh yang mengalami
luka bakar (Arham dkk, 2016). Selain itu masyarakat beranggapan penggunaan
obat medis yang dilakukan secara terus-menerus memiliki efek samping, sehingga
masih banyak masyarakat yang menggunakan obat tradisional yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan alami dalam mengobati luka bakar, seperti biji pinang yang
mengandung ekstrak etanol 70%, dan daun alpukat. Jambu biji, sasaladahan
mengandung etanol 95%, daun ubi jalar, kulit kayu jawa, dan kulit buah manggis
juga sering digunakan. Dimana dari penelitian tumbuhan tersebut dapat
menyembuhkan luka bakar karena memiliki kandungan etanol yang memiliki
senyawa tenin yang berfungsi sebagai antibakteri, antifungi, dan adstringen,
sehingga dapat mengecilkan pori-pori kulit, memperkeras kulit, dan bisa
menghentikan pendarahan yang ringan (Anggraeni & Bratadiredja, 2018).Tingkat
pengetahuan masyarakat dalam penanganan luka bakar sebagian besar masih
dalam kategori cukup (47, 9%). Masih banyak masyarakat yang menggunakan
pasta gigi, kecap, salep, minyak dan mentega pada saat terkena luka bakar.
Penelitian tersebut juga membuktikan semakin tinggi pendidikan orang tersebut,
maka pengetahuannya juga semakin baik. Hal ini dibuktikan dengan responden
yang pendidikan SMP memiliki pengetahuan yang kurang, sedangkan pendidikan
SMA cenderung berpengetahuan cukup dan semua responden dengan PT
(Perguruan Tinggi) memiliki pengetahuan yang baik (Suyami, 2018).

B. Etiologi
Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal menurut (Moenadjat, 2009),
diantaranya adalah:
1. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat Luka bakar
thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api ke tubuh
(flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan
objek-objek panas lainnya (logam panas, dan lain-lain)
2. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan dalam bidang industri militer ataupun bahan pembersih yang sering
digunakan untuk keperluan rumah tangga.
3. . Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan.
Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi
paling rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika
intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali
kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus
maupun grown.
4. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radio aktif.
Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan
terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari
yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.

C. Patofisiologi
Pajanan panas yang menyentuh permukaan kulit mengakibatkan kerusakan
pembuluh darah kapiler kulit dan peningkatan permeabilitasnya.Peningkatan
permeabilitas ini mengakibatkan edema jaringan dan pengurangan cairan
intravaskular. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan
terjadi akibat penguapan yang berlebihan di derajat 1, penumpukan cairan pada
bula di luka bakar derajat 2, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar
derajat 3. Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya masih terkompensasi
oleh keseimbangan cairan tubuh, namun jika lebih dari 20% resiko syok
hipovolemik akan muncul dengan tanda-tanda seperti gelisah, pucat, dingin, nadi
lemah dan cepat, serta penurunan tekanan darah dan produksi urin. Kulit manusia
dapat mentoleransi suhu 44°C (111°F) relatif selama 6 jam sebelum mengalami
cedera termal (Prasetyo, Ibrahim, & Somantri, 2014).

D. Manifestasi
Menurut Effendi, 1999 manifestasi klinik yang muncul pada luka bakar sesuai
dengan kerusakannya :
1. Grade I
Kerusakan pada epidermis, kulit kering kemerahan, nyeri sekali,
sembuh dalam 3-7 dan tidak ada jaringan parut.
2. Grade II
Kerusakan pada epidermis dan dermis, terdapat vesikel dan edema
subkutan, luka merah, basah dan mengkilat, sangat nyeri, sembuh
dalam 28 hari tergantung komplikasi infeksi.
3. Grade III
Kerusakan pada semua lapisan kulit, tidak ada nyeri, luka merah
keputih-putihan dan hitam keabu-abuan, tampak kering, lapisan yang
rusak tidak sembuh sendiri maka perlu Skin graff.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien luka bakar sesuai dengan kondisi dan pasien dirawat
melibatkan berbagai lingkungan perawatan dan disiplin ilmu antara lain mencakup
penanganan awal (ditempat kejadian), penanganan pertama di unit gawat darurat,
penanganan diruang intensif atau bangsal. Tindakan yang diberikan antara lain
adalah terapi cairan, fisioterapi dan psikiatri. Pasien dengan luka bakar
memerlukan obat-obatan topical. Pemberian obat-obatan topical anti microbial
bertujuan tidak untuk mensterilkan luka akan tetapi akan menekan pertumbuhan
mikroorganisme dan mengurangi kolonisasi, dengan memberikan obat-obatan
topical secara tepat dan efektif dapat mengurangi terjadinya infeksi luka dan
mencegah sepsis yang sering kali masih menjadi penyebab kematian pasien.
( Effendi. C, 1999)

F. Pemeriksaan penunjang
Menurut Doenges, 2000, diperlukan pemeriksaan penunjang pada luka bakar yaitu
:
1. Laboratorium
Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya
pengeluaran darah yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15%
mengindikasikan adanya cedera, pada Ht (Hematokrit) yang meningkat
menunjukkan adanya kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat
terjadi sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas
terhadap pembuluh darah.
2. Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya
infeksi atau inflamasi.
3. GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya kecurigaaan
cedera inhalasi. Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan
tekanan karbon dioksida (PaCO2) mungkin terlihat pada retensi karbon
monoksida.
4. Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan
dengan cedera jaringan dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada awal
mungkin menurun karena kehilangan cairan, hipertermi dapat terjadi
saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila mulai diuresis.
5. Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan
cairan , kurang dari 10 mEqAL menduga ketidakadekuatan cairan.
6. Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan
perpindahan cairan interstisial atau gangguan pompa, natrium.
7. Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon
stress.
8. Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada
edema cairan.
9. BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau
fungsi ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.
10. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap
efek atau luasnya cedera.
11. EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau
distritmia.
12. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan luka
bakar.

G. Komplikasi
Komplikasi luka bakar dapat berasal dari luka itu sendiri atau dari
ketidakmampuan tubuh saat proses penyembuhan luka (Notoatmodjo, 2010)
1. Infeksi luka bakar
Infeksi pada luka bakar merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.
Sistem integumen memiliki peranan sebagai pelindung utama dalam melawan
infeksi. Kulit yang rusak atau nekrosis menyebabkan tubuh lebih rentan
terhadap patogen di udara seperti bakteri dan jamur. Infeksi juga dapat terjadi
akibat penggunaan tabung dan kateter. Kateter urin dapat menyebabkan
infeksi traktus urinarius, sedangkan tabung pernapasan dapat memicu infeksi
traktus respirasi seperti pneumonia.
2. Terganggunya suplai darah atau sirkulasi
Penderita dengan kerusakan pembuluh darah yang berat dapat menyebabkan
kondisi hipovolemik atau rendahnya volume darah. Selain itu, trauma luka
bakar berat lebih rentan mengalami sumbatan darah (blood clot) pada
ekstremitas. Hal ini akibat lamanya waktu tirah baring pada pasien luka bakar.
Tirah baring mampu mengganggu sirkulasi darah normal, sehingga
mengakibatkan akumulasi darah di vena yang kemudian akan membentuk
sumbatan darah.
3. Komplikasi jangka panjang
Komplikasi jangka panjang terdiri dari komplikasi fisik dan psikologis. Pada
luka bakar derajat III, pembentukan jaringan sikatriks terjadi secara berat dan
menetap seumur hidup. Pada kasus dimana luka bakar terjadi di area sendi.
Hal ini terjadi ketika kulit yang mengalami penyembuhan berkontraksi atau
tertarik bersama. Akibarnya, pasien memiliki gerak terbatas pada area luka.
Selain itu, pasien dengan trauma luka bakar berat dapat mengalami tekanan
stress pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD). Depresi dan
ansietas merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita.

BAB III

TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN LUKA BAKAR

Anda mungkin juga menyukai