Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS KASUS

Combustio

Pembimbing :

dr. Yuanita Puspa Candra, Sp. BP-RE

Oleh :

R.Aj.Erlinda Manggarsari

202220401011171

SMF ILMU BEDAH RSUD JOMBANG

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

MALANG FAKULTAS KEDOKTERAN

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya, Responsi kasus SMF Bedah yang berjudul

Combustio dapat saya selesaikan. Laporan kasus kasus ini disusun

sebagai bagian dari proses belajar selama kepaniteraan klinik di bagian

SMF Bedah dan saya menyadari bahwa responsi kasus ini tidaklah

sempurna. Untuk itu saya mohon maaf atas segala kesalahan dalam

pembuatan responsi kasus ini.

Saya berterima kasih kepada dokter pembimbing dr. Yuanita Puspa

Candra, Sp.BP-RE. atas bimbingan dan bantuannya dalam penyusunan

responsi kasus ini. Saya sangat menghargai segala kritik dan saran

sehingga responsi kasus ini bisa menjadi lebih baik dan dapat lebih

berguna bagi pihak-pihak yang membacanya di kemudian hari.

Jombang, 27 Februari 2024

Penulis
BAB 1

PENDAH

ULUAN

1.1 Latar Belakang

Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan (diskontinuitas)

jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air

panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis

trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan

penatalaksanaan khusus sejak awal sampai fase lanjut (KEMENKES,

2019).

Menurut European Burns Association (EBA) luka bakar

merupakan trauma kompleks yang memerlukan terapi multidisiplin dan

berkelanjutan. Luka bakar terjadi melalui kontak panas yang intensif ke

tubuh, yang menghancurkan dan / atau merusak kulit manusia (luka bakar

termal). Selain luka bakar termal, juga terdapat luka bakar listrik, kimia,

radiasi,frostbite dan inhalasi (Greenhalgh, 2019).

Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di

masyarakat Sekitar 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika

Serikat setiap tahunnya dari kelompok ini 200.000 pasien memerlukan

penanganan rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit, sekitar

12.000 meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) 2013, prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar 0,7%.

Prevalensi tertinggi terjadi pada usia 1-4 tahun (Arif, 2017).


Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh

dokter, biaya yang dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannya.

Luka bakar masih menjadi masalah karena angka morbiditas dan

mortalitas yang tinggi, terutama pada luka bakar derajat II dan III yang

lebih dari 40%, dengan angka kematian 37,38% (Hakim, 2020).

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui

lebih jauh tentang luka bakar mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,

klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, prognosis, dan komplikasi

1.3 Manfaat

Penulisan laporan kasus ini diharapkan mampu menambah

pengetahuan dan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai luka

bakar.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan

yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan

kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan

morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus

sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut (Sulastri et al., 2022)

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap

trauma suhu/ termal seperti api, air panas, listrik atau zat-zat yang bersifat

membakar seperti asam kuat dan basa kuat. Luka bakar dengan ketebalan

parsial merupakan luka bakar yang tidak merusak epitel kulit maupun

hanya merusak sebagian dari epitel. Luka bakar dengan ketebalan penuh

merusak semua sumber-sumber pertumbuhan kembali epitel kulit (Jeschke

et al., 2020).

2.2 Epidemiologi

Data yang diperoleh dari WHO menyebutkan bahwa wanita di

wilayah Asia Tenggara memiliki angka kejadian luka bakar yang tertinggi,

27% dari angka keseluruhan secara global meninggal dunia dan hampir

70% diantaranya adalah wanita. Dari studi epidemiologi di Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun 2011-2012 data pasien yang dirawat

selama periode 2 tahun adalah 303 pasien. Perbandingan antara pria dan

wanita adalah 2,26: 1 dan usia rata-rata adalah 25,7 tahun (15-54 tahun).
Sebagian besar pasien dengan luka bakar berat 20-50% adalah 45, 87%.

Rata-rata pasien dirawat adalah 13,72 hari dengan angka kematian

sebanyak 34% pada tahun 2012 dan sebanyak 33% pada tahun 2011. Data

dari RSUP daerah diluar Jakarta, RSU. Sanglah Denpasar tahun 2012 dari

total 154 pasien yang dirawat 13 orang meninggal (8,42%) akibat ledakan

api dengan lukabakar luas dan dalam, RSUP Sardjito Yogyakarta, pada

tahun 2012 terjadi bencana gunung merapi meletus yag kedua kali, dari

total pasien 49 yang dirawat di unit luka bakar, 30 pasien adalah korban

gunung meletus dimana 21 orang (70%) terkena trauma inhalasi dan

meninggal sebanyak 16 pasien (53.3%), selanjutnya RSUD Soetomo

Surabaya tahun 2011 dari total pasien 145, 127 pasien (87.6%)

sembuh dipulangkan, dan 15 pasien (10.3%) meninggal

(KEMENKES ,2019).

Angka mortalitas luka bakar sudah banyak berkurang bersama dengan

kemajuan dalam perawalan luka bakar. Walaupun luka bakar pada pasien

sangat muda dan tua masih inembawa peningkatan, namun risiko

mortalitas. Gambaran untuk kelompok umur 14-44 tahun menunjukkan

banyak perbaikan (KEMENKES, 2019).

2.3 Etiologi

Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi

menjadi:

 Paparan api

o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka,

dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat


membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh.

Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar,

sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala

dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.

o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan

benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area

tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah

luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau

peralatan masak (Wang et al., 2018).

 Scalds (air panas)

Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental

cairan dan semakin lama waktu kontaknya, semakin besar

kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau

akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka

bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya

menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan

oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka

umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola

sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan

cairan.

 Uap panas

Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat

kecelakaan radiator mobil. Uap panas menimbulkan cedera

luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi
oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap

panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas

distal di paru.

 Gas panas

Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas

bagian atas dan oklusi jalan nafas akibat edema.

 Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat

menembus jaringan tubuh. Umumnya luka bakar mencapai

kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api

dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar

tambahan.

 Zat kimia (asam atau basa)

 Radiasi

2.4 Patofisiologi

Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena konduksi panas

langsung atau radiasi elektromagnetik. Derajat luka bakar berhubungan

dengan beberapa faktor, termasuk konduksi jaringan yang terkena, waktu

kontak dengan sumber tenaga panas dan pigmentasi permukaan. Saraf dan

pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan terhadap konduksi

panas, sedang tulang, paling tahan. Jaringan lain memiliki konduksi

sedang. Sumber-sumber radiasi elektromagnetik meliputi sinar x,

gelombang mikro, sinar ultraviolet, dan cahaya tampak. Radiasi ini dapat
merusak jaringan baik dengan panas (gelombang mikro) atau ionisasi

(sinar x) Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 44 oC tanpa kerusakan

bermakna. Antara 44oC dan 5loC, kecepatan kerusakan jaringan berlipat

ganda untuk setiap derajat kenaikan temperatur dan waktu penyinar- an

yang terbatas yang dapat ditoleransi. Diatas 5loC, protein terdenaturasi dan

kecepatan kerusakan jaringan sangat hebat. Temperatur di atas 70 oC

menyebabkan kerusakan selular yang sangat cepat dan hanya periode

penyinaran sangat singkat yang dapat ditahan. Pada rentang panas yang

lebih rendah, tubuh dapat mengeluarkan tenaga panas dengan perubahan

sirkulasi; tetapi pada rentang panas lebih tinggi, hal ini tidak efektif

(Stanojcic et al., 2018) . Akibat pertama luka bakar adalah syok karena

kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan

permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak

sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan

edema dan menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu

menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit

akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang

berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar

derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat I.

Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi

tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi

syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin,

berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi

urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi


setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di

wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau

uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat

menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea,

stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga ( Sjamsuhidajat

& De Jong, 2017).

Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan

terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh

darah. Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis. Luka bakar umumnya

tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang

baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini

sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang

mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan

tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain

berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman

saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit.

Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya

banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik ( Sjamsuhidajat &

De Jong, 2017).

Akibat kontak dengan sumber termis, jaringan mengalami kerusakan yang

dibedakan atas 3 (tiga) area kerusakan menurut jackson :

1. Zona koagulasi, zona nekrosis

Daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi, denaturasi

protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan


jaringan ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak;

karenanya disebut juga sebagai zona nekrosis

2. Zona statis

Daerah yang langsung berada di luar/ di sekitar zona koagulasi. Di

daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai

kerusakan trombosit dan leukosit, diikuti perubahan permeabilitas

kapiler dan respons inflamasi lokal. Akibatnya terjadi gangguan

perfusi (no flow phenomena), dan proses ini berlangsung selama

12-24 jam pasca cedera; mungkin berakhir dengan nekrosis

jaringan

3. Zona hiperemi

Daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa

vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi seluler. Tergantung

keadaan umu dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat

mengalami penyembuhan spontan; atau berubah menjadi zona

kedua bahkan zona pertama (degradasi luka) (Australian and New

Zealand Burn Association, 2016)


2.5 Klasifikasi

Luka bakar dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab

dan kedalaman kerusakan jaringan; yang perlu dicantumkan dalam

diagnosis, yaitu

a. Berdasarkan penyebab

- Luka bakar karena api

- Luka bakar karena minyak panas

- Luka bakar karena air panas


- Luka bakar karena bahan kimia (yang bersifat asam kuat atau

basa kuat)

- Luka bakar karena listrik dan petir

- Luka bakar karena radiasi

- Cedera akibat suhu sangat rendah (frost bite)

b. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan

Berdasarkan kedalaman luka, luka bakar dibedakan menurut

derajat kerusakan, luka bakar dibedakan menjadi :

 Luka Bakar Derajat I

Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial).

Ditandai dengan kulit kering, berwarna kemerahan berupa eritem.

Tidak dijumpai bulae. Terasa nyeri akibat ujung saraf sensoris yang

teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10

hari ( Jeschke , et al., 2020


 Luka Bakar Derajat II

Terjadinya kerusakan pada epidermis dan sebagian dermis berupa

reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Ditandai dengan timbulnya

bulae. Terasa nyeri akibat ujung saraf sensoris yang teriritasi. Dasar luka

berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi diatas kulit

normal. Dalam fase penyembuhan akan tampak daerah bintik-bintik biru

dari kelenjar keringat dan akar rambut ( Jeschke , et al., 2020).

Derajat 2 ini dibagi menjadi :


Derajat II-A superficial : Dapat sembuh secara spontan dalam 2

minggu (10-14 hari) tanpa terdapat sikatrik. Kerusakan mengenai

bagian epidermis dan lapisan atas dari corium dermis. Folikel

rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat masih utuh


Derajat II-B dalam : Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian

dermis. Organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan

kelenjar keringat sebagian besar masih utuh. Penyembuhan lebih

lama dari derajat II-A tergantung pada jumlah epitel yang masih

tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari 1

bulan disertai jaringan parut dan hipertrofi


 Luka Bakar Derajat III

Kerusakan seluruh lapisan dermis atau lebih dalam mencapai

jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit seperti folikel

rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar keringat mengalami

kerusakan. Tidak ada bula, dan tidak terasa nyeri dan hilang

sensasi akibat ujung-ujung saraf sensoris mengalami kerusakan

/ kematian. Kulit yang terbakar berwarna putih atau abu-abu

pucat karena koagulasi protein pada dermis. Dermis yang

terbakar kemudian dapat mengering dan menciut, letaknya

lebih rendah dibandingkan dengan kulit sekitar dan dikenal

sebagai eskar. Bila eskar melingkar akan menekan arteri, vena,

saraf perifer, yang pertama tertekan biasanya syaraf dengan

gejala kesemutan. Setelah minggu kedua eskar mulai lepas

karena lesi diperbatas dengan jaringan sehat kemudian tampak

jaringan granulasi dan memerlukan penutupan dengan skin

graft. Bila granulasi dibiarkan, akan menebal dan berakhir

dengan jaringan parut yang tebal dan menyempit yang biasa

disebut kontraktur. Proses penyembuhan tersebut terjadi lama

karena tidak ada proses epitelisasi spontan dasar luka.


Luas Luka Bakar

Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya

kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan

peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi

kehilangan cairan secara evaporasi, dan viskositas plasma meningkat dengan

resultan pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan

syok hipovolemik, tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon

terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik

dan energi metabolisme.

Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya

meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar

dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode

cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu :

 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien.

Luas telapak tangan individu mewakili ± 1% luas permukaan tubuh. luas

luka bakar hanya dhitung pada pasien dengan derajat luka II (IIA & IIB)

atau III.

 Rumus 9 atau Rule of Nine untuk orang dewasa.

Pada dewasa digunakan “Rumus 9”, yaitu luas kepala dan leher, dada,

punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas

kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki
kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini

membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang

dewasa (Anderson, et al., 2019) .

 Metode Lund and Browder

Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh

di kepala anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas

permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tersedia tabel tersebut,

perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan “Rumus 9”

dan disesuaikan dengan usia:

o Pada anak dibawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai
o 14%. Torso dan lengan presentasenya sama dengan dewasa

o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0,5% untuk

tiap tungkai dan turunkan presentasi kepala sebesar 1% hingga

tercapai nilai dewasa (Anderson, et al., 2019).

 Metode palmar
Metode palmar digunakan untuk mengestimasi luas luka bakar

pada luka bakar yang tidak luas dapat menggunakan area palmar

(jari dan telapak tangan) dari tangan pasien yang dianggap memiliki

1% total body surface area (TBSA). Metode ini sangat berguna bila

pasien memiliki luka bakar kecil yang tersebar sehingga tidak dapat

menggunakan metode “Rule of Nine” (Anderson, et al., 2019)


2.6 Fase dan Waktu

Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka
bakar, yaitu:

1. Fase awal, fase akut, fase syok

Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi

pada saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini

dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel

di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan

cairan elektrolit, syok hipovolemia.

2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut

Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory

Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction

Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau

perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah

yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)

3. Fase lanjut

Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya

maturasi jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka

bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang

terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses

inflamasi yang hebat dan berlangsung lama ( Sjamsuhidajat & De

Jong, 2017).
2.7 Tatalaksana

Penatalaksanaan pada kasus luka bakar dibedakan berdasarkan berbagai hal,


yaitu:

- Berdasarkan penyebab

- Berdasarkan berat-ringannya luka bakar

- Tindakan awal dan tindakan lanjut

Secara sistematik dapat dilakukan 6C : Clothing, Cooling, Cleaning,

Chemoprophylaxis, Covering dan Comforting (contoh: pengurang nyeri).

Untuk pertolongan pertama dapat dilakukan langkah clothing dan cooling,

baru selanjutnya dilakukan pada fasilitas kesehatan (KEMENKES, 2019).

2.8.1 Penatalaksanaan Awal

Berikut adalah beberapa prinsip dalam penatalaksanaan luka bakar secara umum,
antara lain :

a. Hentikan proses kombusio dan Clothing

Tindakan pertolongan yang pertama dan utama dalam kasus luka

bakar adalah menghentikan kontak dengan sumber panas; tindakan

ini akan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah. Tindakan

yang perlu dilakukan, antara lain :

- Bila sumber panas adalah api, segera hentikan proses kombusio

dengan air atau bahan yang tidak mudah terbakar (karung

basah,handuk basah, dsb)

- Pakaian (khususnya yang terbuat dari bahan yang mudah

terbakar seperti nilon, tetoron, dsb) segera dilepaskan


b. Upaya mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah

- Apapun penyebab luka bakar, segera netralisir suhu tinggi

dengan upaya menurunkan suhu dengan cara

mendinginkannya dengan menggunakan kompres air dingin

atau air mengalir selama 15-20 menit. Hindari hipotermia

(penurunan suhu di bawah normal, terutama pada anak dan

orang tua). Cara ini efektif sampai dengan 3 jam setelah

kejadian luka bakar

- Kompres dengan air dingin (air sering diganti agar efektif

tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia (penghilang

rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi

- Jangan pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh

darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan

memperberat derajat luka dan risiko hipotermia

- Tidak benar melakukan pertolongan dengan memberikan

minyak, margarine, kopi, dsb karena akan menimbulkan reaksi

dengan jaringan yang menambah derajat kerusakan jaringan

yang menambah derajat kerusakan jaringan, termasuk infeksi

Bila penyebabnya zat kimia, ada ketentuan yang harus diperhatikan,

yaitu : luka bakar yang bersifat asam kuat jangan diatasi dengan

pemberian zat kimia yang bh bersifat basa karena akan timbul

reaksi yang justru akan memperberat kerusakann Hal yang harus

dilakukan adalah menetralisir dengan air

c. Segera pindahkan penderita


2.8.2 Tatalaksana 24 jam pertama

Primary Survey

Airway dan Breathing

Perhatikan adanya stridor (mengorok), suara serak, dahak berwarna

jelaga (black sputum), gagal napas, bulu hidung yang terbakar, bengkak

pada wajah. Luka bakar pada daerah orofaring dan leher membutuhkan

tatalaksana intubasi (pemasangan pipa saluran napas ke dalam

trakea/batang tenggorok) untuk menjaga jalan napas yang adekuat/tetap

terbuka. Intubasi dilakukan di fasilitas kesehatan yang lengkap

Circulation

Penilaian terhadap keadaan cairan harus dilakukan. Pastikan luas luka

bakar untuk perhitungan pemberian cairan. Pemberian cairan intravena

(melalui infus) diberikan bila luas luka bakar >10%. Bila kurang dari itu

dapat diberikan cairan melalui mulut. Cairan merupakan komponen

penting karena pada luka bakar terjadi kehilangan cairan baik melalui

penguapan karena kulit yang berfungsi sebagai proteksi sudah rusak dan

mekanisme dimana terjadi perembesan cairan dari pembuluh darah ke

jaringan sekitar pembuluh darah yang mengakibatkan timbulnya

pembengkakan (edema). Bila hal ini terjadi dalam jumlah yang banyak

dan tidak tergantikan maka volume cairan dalam pembuluh darah dapat

berkurang dan mengakibatkan kekurangan cairan yang berat dan

mengganggu fungsi organ-organ tubuh.


Secondary Survey

Merupakan pemeriksaan menyeluruh mulai dari kepala sampai kaki.

Pemeriksaan dilaksanakan setelah kondisi mengancam nyawa diyakini tidak

ada atau telah diatasi. Tujuan akhirnya adalah menegakkan diagnosis yang

tepat.

a. Riwayat penyakit Informasi yang harus didapatkan mengenai riwayat

penyakit yang diderita pasien sebelum terjadi trauma :

A (Allergies) : Riwayat alergi

M (Medications) : Obat – obat yang di konsumsi

P (Past illness) : Penyakit sebelum terjadi trauma

L (Last meal) : Makanterakhir

E (Events) : Peristiwa yang terjadi saat trauma

b. Mekanisme trauma

Informasi yang harus didapatkan mengenai interaksi antara pasien dengan


lingkungan:

1) Luka bakar :

- Durasi paparan

- Jenis pakaian yang digunakan

- Suhu dan Kondisi air, jika penyebab luka bakar adalah air
panas

- Kecukupan tindakan pertolongan pertama

2) Trauma tajam :

- Kecepatan proyektil

- Jarak
- Panjang pisau, jarak dimasukkan, arah

3) Trauma tumpul:

- Kecepatan dan arah benturan

- Penggunaan sabuk pengaman

- Jumlah kerusakan kompartemen penumpang

- Ejeksi (terlontar)

- Jatuh dari ketinggian

- Jenis letupan atau ledakan dan jarak terhempas

c. Pemeriksaan survei sekunder

1) Lakukan pemeriksaan head to toe examination merujuk pada

pemeriksaan sekunder ATLS course (advanced trauma life

support)

2) Monitoring / Chart / Hasil resusitasi tercatat (KEMENKES, 2019)

Tatalaksana bedah emergensi

a. Eskarotomi

Tindakan insisi eskar yang melingkari dada atau ekstremitas. Tujuan:

1) Mencegah gangguan breathing.

2) Mencegah penekanan struktur penting pada ekstremitas (pembuluh


darah, saraf).

Indikasi: pada luka bakar yang mengenai seluruh ketebalan dermis

sehingga timbul edema yang dapat menjepit pembuluh darah,

misalnya luka bakar melingkar di ekstremitas dan dada.

Prosedur:

1) Diagnosis:
a) Eskar melingkar di dada dan esktremitas.

b) Eskar : struktur putih / pucat yang bersifat tidak nyeri dan

umumnya akan mengeras.

c) Tanda-tanda gangguan breathing: frekuensi napas meningkat.

d) Tanda-tanda penekanan struktur penting: jari-jari terasa

baal, nyeri, pucat, dingin, tidak bisa digerakkan.


b. Fasciotomi

Dilakukan bila ada indikasi tanda-tanda sindroma kompartemen:

terasa keras pada palpasi, sensasi perifer menghilang secara

progresif, dan nadi tidak teraba (KEMENKES, 2019)

2.8.3 Tatalaksana setelah 24 jam pertama

1. Kebutuhan cairan

Luas luka bakar dikalkulasi menggunakan rule of nines. Jika

memungkinkan timbang berat badan pasien atau tanyakan saat anamnesis.

Data-data ini sangat diperlukan untuk menghitung menggunakan formula

resusitasi cairan yaitu Parkland formula

Parkland formula: 3 - 4ml x kgBB x %TBSA


Perhitungan kebutuhan cairan dilalukan pada waktu pasien mengalami

trauma luka bakar, bukan saat pasien datang. Disarankan menggunakan

cairan RL, 50% total perhitungan cairan dibagi menjadi 2 tahap dalam

waktu 24 jam pertama. Tahap I diberikan 8 jam dan tahap 2 diberikan 16

jam setelahnya. Cairan harus diberikan menggunakan 2 jalur IV line (ukuran

16 G untuk dewasa), diutamakan untuk dipasang pada kulit yang tidak

terkena luka bakar.

Rumus maintenance dewasa (Post resusitasi fase akut 24 jam pertama) :


(1500xTBSA) + ((25+%LB) x TBSA))
Untuk pasien anak dengan prinsip yang sama menggunakan Formula

Parkland + Cairan Rumatan : 3-4 ml x kgBB x %TBSA dan ditambah rumus

maintenance cairan mengandung NaCl dengan Na+ 1-2 mEq/kg/24 jam dan

glukosa 4-5 mg/kg berat badan/menit (untuk neonatus glukosa dapat

diberikan hingga 8 mg/kg berat badan/menit).

Rumus maintenance anak (Post resusitasi fase akut

24 jam pertama): 100ml/kg untuk 10 kg pertama

+50ml/kg untuk 10 kg kedua

+20ml/kg untuk 10 berikutnya

Pemilihan cairan resusitasi yang digunakan adalah yang dapat secara

efektif mengembalikan volum plasma pada pasien tanpa munculnya efek

samping. Cairan kristaloid, hipertonik dan koloid sering diganakan untuk

memenuhi tujuan ini

Penggunaan yang cukup popular dan direkomendasikan yaitu cairan Ringer

Lactate (RL) yang mengandung 130 meq/L sodium.

a. Jalur pemberian cairan Rute oral, dengan larutan-garam-seimbang

dapat diberikan jika peralatan untuk resusitasi formal (intravena)

terbatas, tidak lupa untuk memperhatikan kondisi saluran cerna

pasien. Resusitasi dengan rute oral dapat dilakukan juga pada TBSA

< 20%

Cairan rumatan harus diberikan pada pasien anak sebagai tambahan,

diluar dari perhitungan cairan awal yang berdasarkan KgBB dan %

TBSA.

b. Monitor kecukupan cairan dan elektrolit Pemantauan


1) Lakukan pemantauan intake dan output setiap jam

2) Lakukan pemantauan gula darah, elektrolit Na, K, Cl,

Hematokrit, albumin Pedoman ini tidak dilaksanakan dengan kaku,

artinya selalu harus melakukan penyesuaian dengan kondisi klinis pasien

(contoh: urine yang sedikit dapat disebabkan karena kekurangan cairan, kateter

urine yang tersumbat, SIADH dll.) Pemantauan resusitasi: Cara yang paling

mudah dan dapat dipercaya untuk memonitor kecukupan resusitasi adalah

pemasangan kateter urin. Pemasangan kateter urin menjadi sangat penting pada

pemantauan dan menjadi suatu keharusan dilakukan pada:

1) Luka Bakar >10% pada anak-anak, dan

2) Luka Bakar > 20% pada dewasa.

Urine Output (UO) harus dipertahankan dalam level 0.5-1.0

ml/kgBB/jam pada dewasa dan 1.0-1.5 ml/kgBB/jam pada anak untuk

menjaga perfusi organ. Lakukan pemeriksaan diagnosis laboratorium: Darah

perifer lengkap, analisis gas darah, elektrolit serum, serum lactate, albumin,

SGOT, SGPT, Ureum/ Creatinin, glukosa darah, urinalisa, dan foto toraks.

2. Kebutuhan Nutrisi

Kebutuhan nutrisi (makro dan mikronutrien) pada pasien luka bakar

harus diberikan secara adekuat, karena mengalami perubahan dan

peningkatan metabolisme (hipermetabolik), serta peningkatan kehilangan

nitrogen yang tinggi (pemecahan protein 80-90%). Apabila asupan nutrisi

pasien ini tidak terpenuhi, maka akan meningkatkan risiko malnutrisi pada

pasien, gangguan penyembuhan luka, disfungsi berbagai organ, peningkatan

kerentanan terhadap infeksi dan kematian

Proses hipermetabolisme dan katabolisme ini pada pasien luka bakar


berat masih terus terjadi sampai dengan satu tahun pasca trauma. Jalur

pemberian nutrisi enteral dini lebih direkomendasikan dibandingkan nutrisi

parenteral total karena dengan masuknya makanan melalui saluran cerna,

dapat melindungi mukosa usus halus dari kerusakan yang timbul pasca

trauma, mencegah translokasi bakteri melalui dinding usus, perbaikan fungsi

imun, kadar hemoglobin dan kadar albumin serum lebih baik menurunkan

insiden infeksi, lama waktu pemberian antibiotik, sehingga dapat mencegah

terjadinya sepsis (KEMENKES, 2019).

2.8.4 Pemberian analgesic pada luka bakar

- Memberikan air (20-25 ° C) ke area yang terbakar penting untuk

menghilangkan rasa sakit dan penyebaran panas terakumulasi di

jaringan.

- Opioid intravena diberikan untuk menghilangkan stres kecemasan

yang diinduksi pada tahap awal. Karena vasokonstriksi lokal, rute

intravena adalah pilihan pertama,


meskipun jika tidak memungkinkan intramuskular atau subkutan.

suntikan, masing- masing, bisa digunakan.

- Pemberian morfin dengan peningkatan yang stabil sampai

menghilangkan rasa sakit adalah metode yang paling disukai. Pada

pasien dengan cedera pernapasan, opioid hanya bisa menjadi pilihan

dengan close monitoring dan / atau ventilator mekanis.

- Obat harus dititrasi dengan hati-hati dan diberikan melalui infus

lambat untuk meminimalkan kemungkinan efek samping pernapasan

dan hemodinamik sambil memberikan dosis analgesik yang

memadai.

- Tramadol dan ketamin dapat diandalkan dalam berbagai pendekatan

bedah seperti eskarotomi luka bakar ketebalan penuh. Idealnya,

prosedur eskarotomi / fasiotomi harus diterapkandihujani di unit /

pusat luka bakar

(KEMENKES, 2019)
2.8 Komplikasi

Luka bakar dapat memberikan komplikasi pada setiap fasenya. Antara lain :

- Fase Akut: syok, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

- Fase Subakut: infeksi dan sepsis

- Fase Lanjut: parut hipertropik

1. Syok hipovolemik

Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi akan rusak dan

permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak

sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas

menyebabkan udem dan menimbulkan bula dengan membawa serta

elektrolit. Hal ini menyebabkan berkurangnya volume cairan

intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan

kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang berlebihan,

cairan yang masuk ke bula pada luka bakar derajat II dan

pengeluaran cairan dari kropeng pada luka bakar derajat III .

Bila luas luka bakar < 20% biasanya mekanisme kompensasi

tubuh masih bisa mengatasi tetapi bila > 20 % terjadi Syok

hipovolemik dengan gejala yang khas seperti gelisah, pucat, dingin ,

berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan

produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan lahan dan

maksimal pada delapan jam.

2. Oedem laring

Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bila luka terjadi di

muka dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas , asap,
uap panas yang terhisap, udem yang terjadi dapat menyebabkan

gangguan berupa hambatan jalan napas karena udem laring. Gejala

yang timbul adalah sesak napas, takipnea, stridor, suara serak, dan

dahak berwarna gelap karena jelaga.

3. Keracunan gas CO

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lain.

Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga

hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda-tanda

keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah.

Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila > 60 % hemoglobin

terikat dengan CO, penderita dapat meninggal.

4. SIRS (systemic inflammatory respone syndrome)

Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang

merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan

mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit untuk mengalami

penyembuhan karena tidak terjangkau oleh pembuluh darah kapiler

yang mengalami trombosis. Kuman penyebab infeksi berasal dari

kulitnya sendiri, juga dari kontaminasi kuman dari saluran nafas atas

dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi

nosokomial ini biasanya berbahaya karena banyak yang sudah

resisten terhadap antibiotik.


Prosesnya dimulai oleh aktivasi makrofag, netrofil, dan pelepasan

mediator – mediator, yang kemudian diikuti oleh :

- Gangguan hemodinamik berupa vasodilatasi, depresi

miokardium, gangguan sirkulasi dan redistribusi aliran.

- Perubahan mikrovaskuler karena endotel dan edema jaringan,

mikroemboli, dan maldigesti aliran.

- Gangguan oksigenasi jaringan. Ketiganya menyebabkan

hipoksia seluler dan menyebabkan kegagalan fungsi organ. Yang

ditandai dengan meningkatnya kadar limfokin dan sitokin dalam

darah.

5. MOF (Multi Organ Failure)

Adanya perubahan permeabilitas kapiler pada luka bakar


menyebabkan gangguan sirkulasi. Di tingkat seluler, gangguan
perfusi menyebabkan perubahan metabolisme. Pada tahap awal
terjadi proses perubahan metabolisme anaerob yang diikuti
peningkatan produksi dan penimbunan asam laktat menimbulkan
asidosis. Dengan adanya gangguan sirkulasi dan perfusi, sulit untuk
mempertahankan kelangsungan hidup sel, iskemi jaringan akan
berakhir dengan nekrosis.

Gangguan sirkulasi makro menyebabkan gangguan perfusi ke


jaringan – jaringan organ penting terutama otak, hepar, paru, jantung,
ginjal, yang selanjutnya mengalami kegagalan menjalankan
fungsinya. Dalam mekanisme pertahanan tubuh, terjadi gangguan
pada sistem keseimbangan tubuh (homeostasis), maka organ yang
dimaksud dalam hal ini adalah ginjal. Dengan adanya penurunan atau
disfungsi ginjal ini, beban tubuh semakin berat .
6. Kontraktur

Kontraktur merupakan salah satu komplikasi dari penyembuhan


luka, terutama luka bakar. Kontraktur adalah jenis scar yang terbentuk
dari sisa kulit yang sehat di sekitar luka, yang tertarik ke sisi kulit
yang terluka. Kontraktur yang terkena hingga lapisan otot dan
jaringan tendon dapat menyebabkan terbatasnya pergerakan.

( Sjamsuhidajat & De Jong, 2017).

2.9 Prognosis

Prognosis pada kasus luka bakar ditentukan oleh beberapa faktor, dan
menyangkut mortalitas dan morbiditas atau burn illness severity and
prediction of outcome ; yang mana bersifat bersifat kompleks. Prognosis luka
bakar tergantung pada

1. Derajat Luka Bakar


2. Luas Permukaan
3. Daerah yang terkena luka bakar seperti perineum, ketiak,
leher, dan tangan lama sembuh karena sulit perawatan dan mudah
kontraktur.
4. Usia dan kesehatan penderita

Hal yang dapat terjadi pada penderita luka bakar setelah mengalami suatu cedera
luka bakar diantaranya sebagai berikut :

1. Sembuh tanpa cacat/ bekas luka

2. Sembuh dengan cacat/ bekas luka

3. Meninggal

(Australian and New Zealand Burn Association, 2016).


LAPORAN KASUS

 Identitas

Nama : An. Y
Usia : 6 th

BB/TB :18,9 kg/ 90 cm

Agama : Islam

Pendidikan : TK

Alamat : Jombang

Tgl Pemeriksaan : 04 Februari 2024

 Anamnesis

Dilakukan secara auto dan allo anamnesis di bangsal lantai 1

gedung yudhistira di RSUD Jombang .

Keluhan Utama

 Luka setelah terkena air panas

Keluhan tambahan

- -
RPS

 Pasien datang dengan keluhan nyeri di area kemaluan

dan paha atas setelah tersiram teh panas di rumah pada

pukul 08:00 pagi. Menurut ibu pasien, ibu pasien sempat

menyiram luka dengan air lalu diberikan lidah buaya dan

kemudian diberikan bioplacenton. Orang tua pasien

segera membawa pasien ke IGD RSUD Kab. Jombang.


Demam (-), batuk (-), sesak (-).

 Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat Penyakit Keluarga :

I. PEMERIKSAAN UMUM

 Keadaan umum: Baik

 Kesadaran: composmentis

 GCS: 456

 TB: 90 cm

 BB: 18,9 kg

 TD: 90/60 mmHg

 Nadi: 114 x/menit

 RR: 28 x/menit

 Suhu aksila: 37o C

II. PEMERIKSAAN FISIK

a. Status Interna

Kepala : Konjunctiva anemis - / -

Sclera icterus - / -

Mukosa bibir sianosis (-)

Dyspnea (-)

Leher : massa (-), pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-),


Thorax : simetris, vesikuler, rh -/-, wh -/-

Abdomen : soefl, BU dbn, combustio gr I pada sekitar umbilikal : 1 %

Combustio gr. I-III pada area paha atas dan kemaluan

serta bokong: 14%

Extremitas : dBN, akral hangat, CRT<2”,

Combustio gr. I-IIA 4% cruris sinistra

b. Status Lokalis
Kepala dan Leher: 0%

Trunkus Anterior: 0%

Trunkus Posterior: 0%

Abdomen : 1 %

Bokong : 5%

Ekstremitas atas kanan: 0%

Ekstremitas atas kiri: 0%

Ekstremitas bawah kanan: 4 %

Ekstremitas bawah kiri: 4 + 4 %

Genetalia: 1%

Total: 19 %

 PLANNING DIAGNOSIS

III. DIAGNOSIS

- Combustio 19% gr I-II B

IV. PLANNING TERAPI

- Terapi Cairan Baxter:

Kristaloid (RL): 2cc x KgBB x % LB  2cc x 18,9kg x 19% =

718 cc

Kebutuhan Faal : kgBB x 50 cc  18,9 kg x 50 cc = 945 cc


(mon crief)

Total 1663 cc -> 831 cc 8 jam pertama, 831 cc 16 jam kedua

(inf RL)

- Rumus Moncrief  RL:Dextran = 17:3

- RL = 17/20 x 1663 cc = 1413 cc

- Dextran = 3/20 x 1663 = 250 cc.

- Maka 8 jam I  ½ dari 1663 cc  831 cc (RL+Dextran)

- Selanjutnya 16 jam berikutnya  sisanya 831 cc

(RL+Dextran)

- Analgetik Paracetamol inj drip 100mg/kali tiap 6 jam

- Antibiotik topical silver Sulfadiazine 1%

- Pasang DK

- Konsul dokter spesialis bedah plastik

V. PLANNING MONITORING

 Keluhan pasien

 Keseimbangan cairan dan elektrolit

 Produksi urine

 Observasi luka

 Nutrisi

VI. KIE

• Pasien harus MRS

• Tatalaksana yang sudah diberikan dan yang akan diberikan


• Komplikasi yang dapat terjadi jika tidak ditangani dengan segera
Bab 4

Kesimpulan

Luka bakar adalah suatu kehilangan jaringan yang disebabkan

oleh kontak langsung dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik,

bahan kimia dan radiasi.

Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan

mortalitas tinggi yang memerlukan tinggi yang memerlukan

penatalaksanaan khusus sejak awal sampai fase lanjut. Luka bakar

dangkal dan ringan (superfisial) dapat sembuh dengan cepat dan tidak

menimbulkan jaringan parut.

Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh

kedalaman luka bakar. Beratnya luka tergantung pada dalam, luas, dan

letak luka. Umur dan kesehatan penderita sebelumnya juga

mempengaruhi prognosis. Kedalaman luka bakar ditentukan oleh

tingginya suhu dan lamanya pajanan suhu tinggi


DAFTAR PUSTAKA

KEMENKES, 2019. PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA

LAKSANA LUKA BAKAR. s.l., s.n., pp. 1-126.

Sjamsuhidajat, R. & De Jong, W., 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah

Sjamsuhidajat-De Jong.. 4 penyunt. Jakarta: EGC.

Greenhalgh, D. G., 2019. Management of Burns. New England Journal of

Medicine, 380(24), p. 2349–2359..

Habib, M. E., 2014. Initial Burn Management. Austin Journal of Surgery,


1(2), pp.1-5.

Jeschke , M. G. et al., 2020. Burn injury. Nature Reviews Disease Primers,

6(11), pp. 1-25.

Australian and New Zealand Burn Association, 2016. Emergency

Management of Severe Burns. s.l., ANZBA Ltd. 1996.

Bolenbaucher, R., Cotner-Pouncy, T. & Edwards, C., 2016. Burn Clinical Practice

Guideline, Austin: s.n.

Anderson, J., Mandell, S. & Gibran, N., 2019. Burns. Dalam: Schwartz’s

Principles of Surgery. 11th edition penyunt. s.l.:McGraw-HIll, pp. 251-

262.

Arif, M. (2017). Pengaruh Madu Terhadap Luka Bakar. Medula, 7(5).

Hakim, A. M. (2020). Efektifitas Aloe vera terhadap Luka Bakar. Jurnal Ilmiah

Kedokteran Wijaya Kusuma, 9(2). https://doi.org/10.30742/jikw.v9i2.800


Jeschke, M. G., van Baar, M. E., Choudhry, M. A., Chung, K. K., Gibran, N. S.,

& Logsetty, S. (2020). Burn injury. Nature Reviews Disease Primers, 6(1).

https://doi.org/10.1038/s41572-020-0145-5

Stanojcic, M., Abdullahi, A., Rehou, S., Parousis, A., & Jeschke, M. G. (2018).

Pathophysiological Response to Burn Injury in Adults. Annals of Surgery,

267(3). https://doi.org/10.1097/SLA.0000000000002097

Sulastri, T., Safitri, R., & Luzien, N. (2022). Edukasi Kesehatan Penanganan

Pertama Pada Luka Bakar (Combustio) Kepada Anggota Dharma Wanita

Persatuan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Jurnal Pengabdian Dan

Pengembangan Masyarakat Indonesia, 1(1).

https://doi.org/10.56303/jppmi.v1i1.25

Wang, Y., Beekman, J., Hew, J., Jackson, S., Issler-Fisher, A. C., Parungao, R.,

Lajevardi, S. S., Li, Z., & Maitz, P. K. M. (2018). Burn injury: Challenges

and advances in burn wound healing, infection, pain and scarring. In

Advanced Drug Delivery Reviews (Vol. 123).

https://doi.org/10.1016/j.addr.2017.09.018

Anda mungkin juga menyukai