Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN COMBUSTIO

PADA NY.S DI RUANGAN ASTER


RSUD KEFAMENANU
TTU

OLEH
NOVENDRI INOILIX LODOH
223111045

PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS CITRA BANGSA
KUPANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

Luka bakar merupakan masalah kesehatan yang banyak di alami oleh masyarakat. Hal ini
di sebabkan karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar, khususnya pada
negara dengan pendapatan rendahmenengah, dimana lebih dari 95% angka kejadian luka bakar
menyebabkan kematian (mortalitas). Bagaimanapun juga, kematian bukanlah satu-satunya akibat
dari luka bakar. Banyak penderita luka bakar yang akhirnya mengalami kecacatan (morbiditas),
hal ini tak jarang menimbulkan stigma dan penolakan masyarakat (Gowri, et al.,2012). Pada
tahun 2014, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa terdapat 265.000
kematian yang terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia akibat luka bakar. Di India, lebih dari satu
juta orang menderita luka bakar sedang-berat per tahun. Di Bangladesh, Columbia, Mesir, dan
Pakistan, 17% anak dengan luka bakar menderita kecacatan sementara dan 18% menderita
kecacatan permanen.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), di Indonesia, prevalensi luka bakar
pada tahun 2013 adalah sebesar 0.7% dan telah mengalami penurunan sebesar 1.5%
dibandingkan pada tahun 2008 2.2%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Papua 2.0%
dan Bangka Belitung 1.4%. Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang
ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas
menyebabkan oedem dan menimbulkan bula yang banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan
berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan
kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk
pada luka bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat tiga. Bila
luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20% akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas,
seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil, dan cepat, tekanan darah menurun, dan
produksi urin berkurrang. Pembengkakkan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan
jam (Yovita, 2012).
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

1. Konsep Dasar Medis Luka bakar


A. Pengertian
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang Sdisebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi (Amin Hudanurarif, Hardhi
Kusuma.2013). Luka bakar bisa merusak kulit yang befungsi menlindungi kita dari kotoran dan
infeksi. Jika banyak permukaan tubuh terbakar hal ini bisa mengancam jiwa karena terjadi
kerusakan pembuluh darah ketidakseimbangan elektrolit dan suhu tubuh, gangguan pernapasan
serta fungsi saraf. (Adibah, Winasis.2014) Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma pada kulit
atau jaringan lainnya yang disebabkan oleh kontak terhadap panas atau pajanan akut lain baik
secara langsung maupun tidak langsung. Luka bakar terjadi saat sel yang ada pada kulit atau
jaringan lainnya mengalami kerusakan akibat cairan panas, benda panas, api, radiasi, bahan
radioaktif, sengatan listrik, dan bahan kimia berbahaya. Proses penyembuhan luka bakar
bervariasi sesuai dengan derajat kedalaman luka bakar. Kedalaman luka bakar ditentukan oleh
berbagai factor seperti besarnya temperatur, luas trauma, lamanya kontak dengan sumber panas,
dan ketebalan kulit (Singer et al., 2014). Jadi, luka bakar (combustio) merupakan luka yang
disebabkan karena kontak langsung atau terpapar oleh termal (suhu), bahan kimia, listrik dan
radiasi yang menyebabkan kerusakan jaringan tubuh terutama kulit yang memberikan gejala
tergantung luas, dan dalamnya lokasi luka.

B. Etiologi
Luka bakar dapat disebabkan oleh berbagai hal diantaranya adalah (Majid, 2013):
1. Paparan api
 Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka dan menyebabkan
cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru
mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat
sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa
cedera kontak.
 Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar
yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya adalah luka
bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
2. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama kontaknya,
semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan
dapat di bedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya
menunjukkan luka percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada
kasus yang disengaja, luka pada umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola
sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
3. Uap panas Uap panas terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator
mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta
dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan
cedera hingga ke saluran nafas distal di paru.
4. Gas panas Inhalasi dapat menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan
oklusi jalan nafas akibat edema.
5. Aliran listrik Cedera timbul akibat aliran listrik yang menembus jaringan tubuh. Umumnya
luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan
membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
6. Zat kimi
7. Radiasi
8. Sunburn sinar matahari, terapi radiasi

C. Patofisiologi
Luka bakar (Combustio) disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas
kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Destruksi
jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi isi sel. Kulit dan mukosa
saluran nafas atas merupakan lokasi destruksi jaringan. Jaringan yang dalam termasuk organ
visceral dapat mengalami kerusakan karena kontak yang lama dengan burning agent. Nekrosis
dan keganasan organ dapat terjadi (Majid & Prayogi, 2013). Sel-sel dapat menahan temperatur
sampai 440⁰C tanpa kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk
tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang kurang
tahan dengan konduksi panas.Kerusakan pembuluh darah ini mengakibatkan cairan 30
intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah, dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein
plasma dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang hampir
menyeluruh, penimbunan jaringan masif di intersitial menyebabakan kondisi hipovolemik.
Volume cairan intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan
proses transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok (Moenadjat, 2013).
Pada luka bakar akibat tersiram air mendidih biasanya hanya mengenai sebagian lapisan
kulit (partial thickness) sementara luka bakar karena api bisa mengenai seluruh lapisan kulit (full
thickness) bila luka terjadi pada wajah dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena asap
atau uap panas yang terhisap. Odem laring yang ditimbulkan dapat menyebabkan hambatan jalan
napas dengan gejala sesak napas, takipnea, suara serak dan dahak. (Youvita, 2013)
Ada tiga mekanisme yang menyebabkan cedera pada trauma inhalasi, yaitu kerusakan
jaringan karena suhu yang sangat tinggi, iritasi paru-paru dan asfiksia. Hipoksia jaringan terjadi
karena sebab sekunder dari beberapa mekanisme. Proses pembakaran menyerap banyak oksigen,
dimana di dalam ruangan sempit seseorang akan menghirup udara dengan konsentrasi oksigen
yang rendah sekitar 10- 13%. Penurunan fraksi oksigen yang diinspirasi (FIO2) akan
menyebabkan hipoksia. Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh
pada kemampuan pengantaran 31 oksigen dalam darah, akibatnya otak juga mengalami
penurunan kebutuhan oksigen (Muflihah et al, 2018)
Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh kegagalan organ
multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multisistem yaitu terjadinya kerusakan kulit
yang mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan ekstrafasasi cairan (H2O,
elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan intraseluler
menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat mengakibatkan hipopolemik dan
hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan. Umumnya jumlah
kebocoran cairan yang tersebar terjadi dalam 24 hingga 36 jam pertama sesudah luka bakar dan
mencapai puncaknya dalam tempo 6-8 jam. Dengan terjadinya pemulihan integritas kapiler, syok
luka bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen vaskuler,
volume darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang
melingkar. Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal
menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
Komplikasi ini di namakan sindrom kompartemen. Volume darah yang beredar akan
menurun secara dramatis pada saat terjadi syok luka bakar. Kehilangan cairan dapat mencapai 3-
5 liter per 24 jam sebelum luka bakar ditutup. Selama syok luka bakar, respon luka bakar dan
respon kadar natrium serum terhadap resusitasi cairan bervariasi. Biasanya hiponatremia terjadi
segera setelah terjadinya luka bakar, hiperkalemia akan dijumpai sebagai akibat destruksi sel
massif. Hipokalemia dapat terhadi kemudian dengan berpindahnya cairan dan tidak memadainya
asupan cairan. Selain itu juga terjadi anemia akibat kerusakan sel darah merah mengakibatkan
nilai hematokrit meninggi karena kehilangan plasma. Abnormalitas koagulasi yang mencakup
trombositopenia dan masa pembekuan serta waktu protrombin memanjang juga ditemui pada
kasus luka bakar (Majid & Prayogi, 2017).
PATHWAY LUKA BAKAR

Termis Bahan kimia Radiasi Listrik

Terpapar sumber Terjadi serangan


Terpapar api, Terkena bahan
radio aktif (sinar listrik
cairan dan objek zat korosif
x)
panas

Jaringan rusak Rangsangan ke


Terpapar dalam saraf dan otot
Kerusakan, jangka panjang
epidermis, dermis
dan sub cutan Timbul energy
panas

Tahanan jaringan
lemah

LUKA BAKAR

Pengeluaran air, Peningkatan Penurunan aliran Manifestasi klinis:


natrium, klorida, permeabilitas darah ke ginjal  Perubahan tekanan darah
protein dalam sel kapiler  Oliguria
 Anuria
Vasokonstriksi Pemeriksaan Diagnostik:
edema Vasodilatasi
 Laboratorium Elektrolit
pembuluh darah
Penatalaksanaan :
Depresi filtrasi  Observasi dehidrasi
Hipovolemi dan glomerulus, dan
Pengeluaran air,  Monitor TTV
hemokonsentrasi oliguria
natrium, klorida,  Observasi status hidrasi
protein dalam sel  Balance cairan
Penurunan aliran Resiko
darah ketidakefektifan
Hipokonsentrasi perfusi ginjal

Penurunan
sirkulasi dan Peningkatan
volume vaskuler viskositas darah Manifestasi klinis:
 Takikardia
 Bradikardia
Peningkatan Hipovolemia Penurunan curah
 Palpitasi
kebutuhan jantung
 Kelelahan
oksigen
 Kulit dingin dan lembab
 Bunyi jantung S3/S4
Pemeriksaan Diagnostik:
Ketidakefektifan Manifestasi Klinis:
 AGD
pola napas  Takipnea
 Pola napas abnormal  EKG
 Penggunaan otot bantu napas  Rontgen Thorax
 Dipnea  Echokardiografi
 Pernapasan cuping hidung Penatalaksanaan:
Resiko infeksi
Penatalaksanaan :  Monitor TTV
 Monitor irama pernapasan  Monitor warna dan kelembapan
 Monitor suara napas tambahan
kulit
 Monitor pola napas
 Monitor sianosis perifer
 Kolaborasi dalam pemberian oksigen
 Kolaborasi dalam pemberian
antikoagulan
Cedera jaringan
kulit
Penatalaksanaan:
 Pertahankan teknik
Peningkatan
Kulit berwarna coklat, aseptif
permeabilitas
Penurunan aliran kemerahan dan hitam  Cuci tangan sebelum
kapiler
darah ke hati dan sesudah tindakan
 Kolaborasi dalam
Kerusakan pada pemberian antibiotik
Penurunan suplai epidermis, dermis, dan
Vasodilatasi darah sub cutan

Pertahanan vaskuler Ketidakseimbangan Kematian sel-sel


menurun suplai dan kebutuhan
oksigen

Volume arteri
menurun Kelemahan

(Majid & Prayogi, 2017).


D. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis luka bakar dapat dikelompokkan menjadi trauma primer dan sekunder,
dengan adanya kerusakan langsung yang disebabkan oleh luka bakar dan morbiditas yang akan
muncul mengikuti trauma awal. Pada daerah sekitar luka, akan ditemukan warna kemerahan,
bulla, edema, nyeri atau perubahan sensasi. Efek sistemik yang ditemukan pada luka bakar berat
seperti syok hipovolemik, hipotermi, perubahan uji metabolik dan darah (Rudall & Green, 2014).
Syok hipovolemik dapat terlihat pada pasien dengan luas luka bakar lebih dari 25%. Hal tersebut
disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas pembuluh darah yang berlangsung secara kontinyu
setidaknya dalam 36 jam pertama setelah trauma luka bakar. Berbagai protein termasuk albumin
keluar menuju ruang interstitial dengan menarik cairan, sehingga menyebabkan edema dan
dehidrasi.

Selain itu, tubuh juga telah kehilangan cairan melalui area luka, sehingga untuk
mengkompensasinya, pembuluh darah perifer dan visera berkonstriksi yang pada akhirnya akan
menyebabkan hipoperfusi. Pada fase awal, curah jantung menurun akibat melemahnya
kontraktilitas miokardium, meningkatnya afterload dan berkurangnya volume plasma. Tumor
necrosis factor-α yang dilepaskan sebagai respon inflamasi juga berperan dalam penurunan
kontraktilitas miokardium (Rudall & Green, 2014). Suhu tubuh akan menurun secara besar
dengan luka bakar berat, hal ini disebabkan akibat evaporasi cairan pada kulit karena suhu tinggi
luka bakar dan syok hipovolemik. Uji kimia darah menunjukkan tingginya kalium (akibat
kerusakan pada sel) dan rendahnya kalsium (akibat hipoalbuminemia). Setelah 48 jam setelah
trauma luka, pasien dengan luka bakar berat akan menjadi hipermetabolik (laju metabolik dapat
meningkat hingga 3 kali lipat). Suhu basal tubuh akan meningkat mencapai 38,5 0C akibat
adanya respon inflamasi sistemik terhadap luka bakar. Respon imun pasien juga akan menurun
karena adanya down regulation pada reseptor sehingga meningkatkan resiko infeksi dan juga
hilangnya barier utama pertahanan tubuh yaitu kulit (Rudall & Green, 2010). 34 Nyeri akibat
luka bakar dapat berasal dari berbagai sumber yaitu antara lain, sumber luka itu sendiri, jaringan
sekitar, penggantian pembalut luka ataupun donor kulit. Setelah terjadinya luka, respon inflamasi
akan memicu dikeluarkannya berbagai mediator seperti bradikinin dan histamin yang mampu
memberi sinyal rasa nyeri (Richardson & Mustard, 2019).
E. Klasifikasi Luka Bakar
Untuk membantu mempermudah penilaian dalam memberikan terapi dan perawatan, luka
bakar diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kedalaman luka, dan keseriusan luka,
yakni:
1) Berdasarkan Penyebab.
Luka bakar karena api, luka bakar karena air panas, luka bakar karena bahan kimia, luka
bakar karena listrik, luka bakar karena radiasi,luka bakar karena suhu rendah (frost bite).
2) Klasifikasi Luka Bakar berdasarkan Derajat dan Kedalaman Luka:
 Luka bakar derajat I (superficial) Terjadi di permukaan kulit (epidermis).
Manifestasinya berupa kulit tampak kemerahan, nyeri, dan mungkin dapat ditemukan
bulla. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 3 hingga 6 hari dan tidak
menimbulkan jaringan parut saat remodeling (Barbara et al., 2013).
 Luka bakar derajat II Melibatkan semua lapisan epidermis dan sebagian dermis. Kulit
akan ditemukan bulla, warna kemerahan, sedikit edem dan nyeri berat. Bila ditangani
dengan baik, luka bakar derajat II dapat sembuh dalam 7 hingga 20 hari dan akan
meninggalkan jaringan parut (Barbara et al., 2013).
Luka bakar derajat II ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Derajat II dangkal (superficial): Kerusakan mengenai bagian superfisial dari
dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh. Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 10-14 hari
(Brunicardi et al, 2013).
2. Derajat II dalam (deep): Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis,
Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
sebagian besar masih utuh. Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung epitel
yang
tersisa, juga dijumpai bula akan tetapi permukaan luka biasanya tampak berwarna
merah muda dan putih segera setelah terjadi cidera karena variasi super darah
dermis. Biasanya penyembuhan terjadi lebih dari sebulan (Brunicardi et al, 2013).
3. Luka bakar derajat III
Derajat III (full thickness) melibatkan kerusakan semua lapisan kulit, termasuk
tulang, tendon, saraf dan jaringan otot. Kulit akan tampak kering dan mungkin
ditemukan bulla berdinding tipis, dengan tampilan luka yang beragam dari warna
putih, merah terang hingga tampak seperti arang. Nyeri yang dirasakan biasanya
terbatas akibat hancurnya ujung saraf pada dermis. Penyembuhan luka yang
terjadi sangat lambat dan biasanya membutuhkan donor kulit (Barbara et
al.,2013).
3) Klasifikasi Luka Bakar Berdasarkan Tingkat Keseriusan Luka
American Burn Association menggolongkan luka bakar menjadi tiga kategori, yaitu :
a) Luka bakar mayor:
 Luka bakar dengan luas lebih dari 25% pada orang dewasa dan lebih dari 20%
pada anak-anak.
 Luka bakar fullthickness lebih dari 20%.
 Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki, dan perineum.
 Terdapat trauma inhalasi dan multiple injuri tanpa memperhitungkan derajat
dan luasnya luka.
 Terdapat luka bakar listrik bertegangan tinggi.
b) Luka bakar moderat:
 Luka bakar dengan luas 15-25% pada orang dewasa dan 10-20% pada anak-
anak.
 Luka bakar fullthickness kurang dari 10%.
 Tidak terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki, dan
perineum.

c) Luka bakar minor:


 Luka bakar dengan luas kurang dari 15% pada orang dewasa dan kurang dari
10 % pada anak-anak.
 Luka bakar fullthickness kurang dari 2%.
 Tidak terdapat luka bakar di daerah wajah, tangan, dan kaki.
 Luka tidak sirkumfer.
 Tidak terdapat trauma inhalasi, elektrik, fraktur

F. Fase - Fase Luka Bakar


1) Fase akut: disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan
circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa
saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera
inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama
penderita pada fase akut. Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik.

2) Fase sub akut: berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah
kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi
menyebabkan: proses inflamasi dan infeksi, problem penutupan luka dengan titik
perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau
organ -organ fungsional dan keadaan hipermetabolisme.

3) Fase lanjut: akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan
fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit
berupa parut yang hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur

G. Luas Luka Bakar

Luas luka tubuh dinyatakan sebagai persentase terhadap luas permukaan tubuh atau Total
Body Surface Area (TBSA). Untuk menghitung secara cepat dipakai Rules of Nine atau Rules of
Walles dari Walles. Perhitungan cara ini hanya dapat diterapkan pada orang dewasa, karena
anak-anak mempunyai proporsi tubuh yang berbeda.

Pada anak-anak dipakai modifikasi Rule of Nines menurut Lund and Browder, yaitu ditekankan
pada umur 15 tahun, 5 tahun dan 1 tahun.
Gambar 2.6 Penilaian luas luka bakar dengan rule of nine / rule of Wallace
Wallace membagi tubuh bagian 9 % atau kelipatan 9 yang terkenal
dengan namarule of nine atau rule of Wallace, yaitu:
1) Kepala sampai leher: 9 %
2) Lengan kanan: 9 %
3) Lengan kiri: 9 %
4) Dada sampai prosessus sipoideus: 9 %
5) Prosessus sipoideus sampai umbilicus: 9 %
6) Punggung: 9 %
7) Bokong: 9 %
8) Genetalia: 1 %
9) Paha sampai kaki kanan depan: 9 %
10) Paha sampai kaki kanan belakang: 9 %
11) Paha sampai kaki kiri depan: 9 %
12) Paha sampai kaki kiri belakang: 9 %
Total: 100%

H. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges, 2015, diperlukan pemeriksaan penunjang pada luka bakar yaitu :

1. Sel darah merah (RBC): dapat terjadi penurunan sel darah merah (Red Blood Cell karena
kerusakan sel darah merah pada saat injuri dan juga disebabkan oleh menurunnya
produksi sel darah merah karena depresi sumsum tulang.
2. Sel darah putih (WBC): dapat terjadi leukositosis (peningkatan sel darah putih/White
Blood Cell) sebagai respon inflamasi terhadap injuri.
3. Gas darah arteri (AGD): Penurunan PaO2 atau peningkatan PaCO2.
4. Karboksihemoglobin (COHbg): kadar COHbg (karboksihemoglobin) dapat meningkat
lebih dari 15 % yang mengindikasikan keracunan karbon monoksida.
5. Serum elektrolit: Potasium pada permukaan akan meningkat karena injuri jaringan atau
kerusakan sel darah merah dan menurunnya fungsi renal; hipokalemi adapat terjadi ketika
diuresis dimulai: magnesium mungkin mengalami penurunan. Sodium pada tahap
permulaan menurun seiring dengan kehilangan air dari tubuh, selanjutnya dapat terjadi
hipernatremia.
6. Sodium urine
Jika lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan resusitasi cairan, sedangkan
jika kurang dari 10 mEq/L menunjukan tidak adekuatnya resusitasi cairan.
7. Alkaline pospatase: Meningkat akibat berpindahnya cairan interstitial/kerusakan pompa
sodium.
8. Glukosa serum: Meningkat sebagai refleksi respon terhadap stres.
9. BUN/Creatinin: Meningkat yang merefleksikan menurunnya perfusi/fungsi renal, namun
demikian creatinin mungkin meningkat karena injuri jaringan.
10. Urin: Adanya albumin, Hb, dan mioglobin dalam urin mengindikasikan kerusakan
jaringan yang dalam dan kehilangan/pengeluaran protein. Warna urine merah kehitaman
menunjukan adanya myoglobin
11. Rontgen dada: Untuk mengetahui gambaran paru terutama pada injuri inhalasi.
12. Bronhoskopi: Untuk mendiagnosa luasnya injuri inhalasi. Mungkin dapat ditemukan
adanya edema, perdarahan dan atau ulserasi padasaluran nafas bagian atas.
13. ECG: Untuk mengetahui adanya gangguan irama jantung pada luka bakar karena elektrik.
14. Foto Luka: Sebagai dokumentasi untuk membandingkan perkembangan penyembuhan
luka bakar.

I. Penatalaksanaan Medik

1. Pertolongan Pertama pada Luka Bakar (Yovita, 2012)

Segera hindari sumber api dan mematikan api pada tubuh, misalnya dengan menyelimuti
dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan pasokan oksigen pada api yang
menyala.
Singkirkan baju, perhiasan dan benda-benda lain yang membuat efek Torniket, karena
jaringan yang terkena luka bakar akan segera menjadi oedem.
Setelah sumber panas dihilangkan rendam daerah luka bakar dalam air atau menyiramnya
dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya lima belas menit. Proses koagulasi
protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi berlangsung terus setelah api
dipadamkan sehingga destruksi tetap meluas. Proses ini dapat dihentikan dengan
mendinginkan daerah yang terbakar dan mempertahankan suhu dingin ini pada jam
pertama sehingga kerusakan lebih dangkal dan diperkecil.
Akan tetapi cara ini tidak dapat dipakai untuk luka bakar yang lebih luas karena bahaya
terjadinya hipotermi. Es tidak seharusnya diberikan langsung pada luka bakar apapun.
Prinsip penanganan pada luka bakar sama seperti penanganan pada luka akibat trauma
yang lain, yaitu dengan ABC (Airway Breathing Circulation) yang diikuti dengan
pendekatan khusus pada komponen spesifik luka bakar pada survey sekunder Anamnesis
secara singkat dan cepat harus dilakukan pertama kali untuk menentukan mekanisme dan
waktu terjadinya trauma. Untuk membantu mengevaluasi derajat luka bakar karena
trauma akibat air mendidih biasanya hanya mengenai sebagian lapisan kulit (partial
thickness), sementara luka bakar karena api biasa mengenai seluruh lapisan kulit
(fullthickness).

2. Kaji ABC (airway, breathing, circulation):

a) Perhatikan jalan nafas (airway)

Menurut Moenadjat (2015), membebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk akibat
edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan (hiperekskresi) dan
mengalami pengentalan. Pada luka bakar kritis disertai trauma inhalasi, intubasi
(pemasangan pipa endotrakeal) dan atau krikotiroidektomi emergensi dikerjakan pada
kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas yang dapat menyebabkan
distres pernafasan. Pada luka bakar akut dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan
pipa nasofaringeal, endotrakeal merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa
menunggu adanya distres nafas. Baik pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau
krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan jalan nafas dari sekret yang diproduksi,
memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial dikerjakan.
Namun pada kondisi sudah dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan indikasi dan
pilihan.

b) Pastikan pernafasan (breathing) adekuat, adanya kesulitan bernafas, masalah pada


pengembangan dada terkait keteraturan dan frekuensinya. Adanya suara nafas tambahan
ronkhi, wheezing atau stridor. Moenadjat (2014), Pastikan pernafasan adekuat dengan:

1. Pemberian oksigen: Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret
banyak, dapat ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah mencukupi, penderita
trauma inhalasi mengalami gangguan aliran masuk (input) oksigen karena patologi
jalan nafas; bukan karena kekurangan oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10
L/mnt) atau dengan tekanan karena akan menyebabkan hiperoksia (dan barotrauma)
yang diikuti terjadinya stress oksidatif.
2. Humidifikasi: Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah
untuk mengencerkan sekret kental (agar mudah dikeluarkan) dan meredam proses
inflamasi mukosa.
3. Terapi inhalasi: Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan
melalui pipa endotrakea atau krikotiroidektomi. Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma
inhalasi akibat uap gas atau sisa pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap
mukosa. Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang potensial terjadi akibat
zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi dengan pemberian atropin sulfas dan mengatasi
proses infalamasi akut menggunakan steroid.
4. Lavase bronkoalveolar: Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk
mengatasi permasalahan yang timbul pada mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan
humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat
dilepas dan dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik
(bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain bertujuan terapeutik, tindakan ini
merupakan prosedur diagnostik untuk melakukan evaluasi jalan nafas.
5. Rehabilitasi pernafasan: Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin.
Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat dilakukan sejak fase akut antara lain:
(a) Pengaturan posisi
(b) Melatih reflek batuk
(c) Melatih otot-otot pernafasan.
Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat
hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih kooperatif.
6. Penggunaan ventilator. Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus - kasus dengan
distress pernafasan secara bermakna memperbaiki fungsi sistem pernafasan dengan
positive end-expiratory pressure (PEEP) dan volume kontrol.
7. Kaji sirkulasi Warna kulit tergantung pada derajat luka bakar, melambatnya capillary
refill time, hipotensi, mukosa kering, nadi meningkat. Menurut Djumhana (2011),
penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IVline dengan kateter yang cukup
besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk mempertahankan volume sirkulasi

3. Resusitasi Cairan.
Sebagai bagian dari perawatan awal pasien yang terkena luka bakar, Pemberian cairan
intravena yang adekuat harus dilakukan, akses intravena yang adekuat harus ada, terutama
pada bagian ekstremitas yang tidak terkena luka bakar. Adanya luka bakar diberikan cairan
resusitasi karena adanya akumulasi cairan edema tidak hanya pada jaringan yang terbakar,
tetapi juga seluruh tubuh. Telah diselidiki bahwa penyebab permeabilitas cairan ini adalah
karena keluarnya sitokin dan beberapa mediator, yang menyebabkan disfungsi dari sel,
kebocoran kapiler.
Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga dan mengembalikan perfusi
jaringan tanpa menimbulkan edema. Kehilangan cairan terbesar adalah pada 4 jam pertama
terjadinya luka dan akumulasi maksimum edema adalah pada 24 jam pertama setelah luka
bakar. Prinsip dari pemberian cairan pertama kali adalah pemberian garam ekstraseluler dan
air yang hilang pada jaringan yang terbakar, dan sel-sel tubuh. Pemberian cairan paling
popular adalah dengan Ringer laktat untuk 48 jam setelah terkena luka bakar. Output urin
yang adekuat adalah 0.5 sampai 1.5mL/kgBB/jam.
Cara yang banyak dipakai dan lebih sederhana untuk resusitasi cairan adalah menggunakan
rumus Baxter yaitu: %Luka Bakar x BB x 4 cc. Separuh dari jumlah cairan ini diberika
dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama
diberikan elektrolit yaitu larutan RL karena terjadi defisit ion Na. Hari kedua diberikan
setengah cairan hari pertama. Contoh:
seorang dewasa dengan BB 50 kg dan luka bakar seluas 20 %
permukaan kulit akan diberikan 50 x 20 % x 4 cc = 4000 cc yang
diberikan hari pertama dan 2000 cc pada hari kedua. (Yovita, 2012).
4. Pergantian Darah
Luka bakar pada kulit menyebabkan terjadinya kehilangan sejumlah sel darah merah sesuai
dengan ukuran dan kedalamanluka bakar. Sebagai tambahan terhadap suatu kehancuran yang
segera pada sel darah merah yang bersirkulasi melalui kapiler yang terluka, terdapat
kehancuran sebagian sel yang mengurangi waktu paruh dari sel darah merah yang tersisa.
Karena plasma predominan hilang pada 48 jam pertama setelah terjadinya luka bakar, tetapi
relative polisitemia terjadi pertama kali. Oleh sebab pemberian sel darah merah dalam 48 jam
pertama tidak dianjurkan, kecuali terdapat kehilangan darah yang banyak dari tempat luka.
Setelah proses eksisi luka bakar dimulai, pemberian darah biasanya diperlukan.
5. Perawatan Luka Bakar
Setelah keadaan umum membaik dan telah dilakukan resusitasi cairan dilakukan perawatan
luka. Perawatan tergantung pada karakteristik dan ukuran dari luka. Tujuan dari semua
perawatan luka bakar agar luka segera sembuh rasa sakit yang minimal. Setelah luka
dibersihkan dan di debridement, luka ditutup. Penutupan luka ini memiliki beberapa fungsi:
pertama dengan penutupan luka akan melindungi luka dari kerusakan epitel dan
meminimalkan timbulnya koloni bakteri atau jamur. Kedua, luka harus benar-benar tertutup
untuk mencegah evaporasi pasien tidak hipotermi. Ketiga, penutupan luka diusahakan
semaksimal mungkin
agar pasien merasa nyaman dan meminimalkan timbulnya rasa sakit (James et al, 201s5).
6. Early Exicision and Grafting (E&G)
Dengan metode ini eschar di angkat secara operatif dan kemudian luka ditutup dengan
cangkok kulit (autograft atau allograft), setelah terjadi penyembuhan, graft akan terkelupas
dengan sendirinya. Tehnik ini dilakukan 3-7 hari setelah terjadi luka, pada umumnya tiap
harinya dilakukan eksisi 20% dari luka bakar kemudian dilanjutkan pada hari berikutnya.
Tapi ada juga ahli bedah yang sekaligus melakukan eksisi pada seluruh luka bakar, tapi cara
ini memiliki resiko yang lebih besar yaitu: dapat terjadi hipotermi, atau terjadi perdarahan
masive akibat eksisi (Yovita, 2012).
Metode ini mempunyai beberapa keuntungan dengan penutupan luka dini, mencegah
terjadinya infeksi pada luka bila dibiarkan terlalu lama, mempersingkat durasi sakit dan lama
perawatan di rumah sakit, memperingan biaya perawatan di rumah sakit, mencegah
komplikasi seperti sepsis dan mengurangi angka mortalitas. Beberapa penelitian
membandingkan teknik E&G dengan teknik konvensional, hasilnya tidak ada perbedaan
dalam hal kosmetik atau fungsi organ, bahkan lebih baik hasilnya biladilakukan pada luka
bakar yang terdapat pada muka, tangan dan kaki (Yovita, 2012).
Pada luka bakar yang luas (>80% TBSA), akan timbul kesulitan mendapatkan donor kulit.
Untuk itu telah dikembangkan metode baru yaitu dengan kultur keratinocyte. Keratinocyte
didapat dengan cara biopsi kulit dari kulit pasien sendiri. Tapi kerugian dari metode ini
adalah membuthkan waktu yang cukup lama (2-3 minggu) sampai kulit (autograft) yang baru
tumbuh dan sering timbul luka parut. Metode ini juga sangat mahal (Yovita, 2012).
7. Escharotomy Luka bakar grade III yang melingkar pada ekstremitas dapat menyebabkan
iskemik distal yang progresif, terutama apabila terjadi edema saat resusitasi cairan, dan saat
adanya pengerutan keropeng. Iskemi dapat menyebabkan gangguan vaskuler pada jarijari
tangan dan kaki. Tanda dini iskemi adalah nyeri, kemudian kehilangan daya rasa sampai baal
pada ujung-ujung distal. Juga luka bakar menyeluruh pada bagian thorax atau abdomen dapat
menyebabkan gangguan respirasi, dan hal ini dapat dihilangkan dengan escharotomy.
Dilakukan insisi memanjang yang membuka keropeng sampai penjepitan bebas (James et al,
2015).
8. Antimikroba
Dengan terjadinya luka mengakibatkan hilangnya barrier pertahanan kulit sehingga
memudahkan timbulnya koloni bakteri atau jamur pada luka. Bila jumlah kuman sudah
mencapai organisme jaringan, kuman tersebut dapat menembus ke dalam jaringan yang lebih
dalam kemudian menginvasi ke pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi sistemik yang
dapat menyebabkan kematian. Pemberian antimikroba ini dapat secara topikal atau sistemik.
Pemberian secara topikal dapat dalam bentuk salep atau Neomycin, Polymiyxin B, Nysatatin,
mupirocin, Mebo (Yovita, 2012).

G. Komplikasi luka bakar


Komplikasi luka bakar dapat berasal dari luka itu sendiri atau dari ketidakmampuan tubuh
saat proses penyembuhan luka (Burninjury, 2013).
1) Infeksi luka bakar
Infeksi pada luka bakar merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Sistem
integumen memiliki peranan sebagai pelindung utama dalam melawan infeksi. Kulit yang
rusak atau nekrosis menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap patogen di udara seperti
bakteri dan jamur. Infeksi juga dapat terjadi akibat penggunaan tabung atau kateter.
Kateter urin dapat menyebabkan infeksi traktus urinarius, sedangkan tabung pernapasan
dapat memicu infeksi traktus respirasi seperti pneumonia (Burninjury, 2013).
2) Terganggunya suplai darah atau sirkulasi
Penderita dengan kerusakan pembuluh darah yang berat dapat menyebabkan kondisi
hipovolemik atau rendahnya volume darah. Selain itu, trauma luka bakar berat lebih
rentan mengalami sumbatan darah (blood clot) pada ekstremitas. Hal ini terjadi akibat
lamanya waktu tirah baring pada pasien luka bakar. Tirah baring mampu menganggu
sirkulasi darah normal, sehingga mengakibatkan akumulasi darah di vena yang kemudian
akan membentuk sumbatan darah (Burninjury, 2013).
3) Komplikasi jangka Panjang
Komplikasi jangka panjang terdiri dari komplikasi fisik dan psikologis. Pada
luka bakar derajat III, pembentukan jaringan sikatriks terjadi secara berat dan menetap
seumur hidup. Pada kasus dimana luka bakar terjadi di area sendi, pasien mungkin akan
mengalami gangguan pergerakan sendi. Hal ini terjadi ketika kulit yang mengalami
penyembuhan berkontraksi atau tertarik bersama. Akibatnya, pasien memiliki gerak
terbatas pada area luka. Selain itu, pasien dengan trauma luka bakar berat dapat
mengalami tekanan stress pasca trauma atau posttraumatic stress disorder (PTSD).
Depresi dan ansietas merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita
(Burninjury, 2013)

2. Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data baik data subyektif maupun data obyektif. Data subyektif didapatkan
berdasarkan hasil wawancara baik dengan pasien ataupun orang lain, sedangkan data obyektif
diperoleh berdasarkan hasil observasi dan pemeriksaan fisik.

1. Pengkajian fokus: Pengkajian focus, Tanggal Masuk Pasien, NO. RM ,Diagnosa


Identitas Pasien: Nama, Tanggal Lahir, Umur, Alamat, Agama, Pekerjaan, Pendidikan

2. Identitas penanggungjawab: Nama, Tanggal Lahir, Umur, Alamat, Agama, Pekerjaan,


Pendidikan

3. Riwayat Kesehatan Pasien

a. Keluhan Utama: Mengenai keluhan yang pasien saat dirasakan saat datang ke
puskesmas. Biasanya pasien akan merasakan panas dan nyeri terbakar.

b. Riwayat kesehatan sekarang: Keluhan yang sudah dirasakan pasien dan upaya yang
dilakukan pasien untuk masalah yang dirasakan. Kondisi luka biasanya kemerahan, kering,
terdapat bula.
c. Riwayat Kesehatan dulu: Riwayat kesehatan pasien dapat mempengaruhi
kesembuhan luka bakar. Seperti riwayat penyakit diabetes.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga: Riwayat keluarga dapat berhubungan dengan riwayat


penyakit menurun, seperti darah tinggi maupun diabetes.

4. Pola Pengkajian Fungsional

a. Pola Manajemen Persepsi Kesehatan: Luka bakar yang didapatkan dikarenakan


kontak api, uap, konduksi alat penghantar panas dan lainnya. Pasien biasanya mencuci
luka maupun menggunakan odol untuk mengurangi rasa nyeri sebagai upaya pertama
ketika mendapatkan luka bakar.

b. Pola Metabolik Nutrisi: Luka bakar membutuhkan asupan nutrisi yang cukup terlebih lagi
protein, vitamin, maupun mineral untuk mendukung kesembuhan. Asupan makanan lebih
banyak dari biasanya. Berat badan dan tinggi badan dapat dipengaruhi IMT untuk
mengetahui status gizi dan postur pasien.

c. Pola Eliminasi: Luka bakar yang mengenai sistem perkemihan perlu dipasang alat bantu
yaitu kateter. Kecukupan cairan tubuh perlu diperhatikan antara 8- 12 gelas setiap harinya.

d. Pola Aktivitas dan Latihan: Luka bakar pada daerah ekstremitas dapat mengakibatkan
adanya hambatan dalam pola aktivitas pasien.

e. Pola Istirahat dan Tidur: Adanya rasa nyeri yang dirasakan dapat mengganggu
kenyamanan pasien saat istirahat.

f. Pola Persepsi Kognitif: Luka bakar yang serius pada derajat III dapat
mempengaruhi kesadaran pasien. Perlu dikaji mengenai kesadaran pasien apakah masih
dapat menjawab

dengan koheren atau tidak.

g. Pola Konsep Diri dan Persepsi: Luka bakar yang dialami pasien dapat
mempengaruhi citra tubuh pasien maupun dalam fungsi kehidupannya sehari-hari.

h. Pola Hubungan Peran: Peran pasien dalam keluarga sebelum maupun sesudah mengalami
luka bakar. Apakah terdapat perubahan peran pasien dalam keluarga atau tidak.
i. Pola Reproduksi dan Seksualitas: Jika luka bakar mengenai organ vital, pasien dapat
mengalami gangguan reproduksi. Apakah sebelumnya pasien sudah memiliki keturunan
atau tidak.

j. Pola Terhadap Stress- Koping: Bagaimana cara pasien dalam menghadapi stress
berupa luka bakar yang diderita.

k. Pola Keyakinan dan Nilai: Berhubungan dengan bagaimana pasien memaknai kejadian
yang dialaminya. Keyakinan dapat berhubungan dengan kesembuhan pasien.

5. Pemeriksaan Fisik:

a. Keadaan Umum

b. Kesadaran

c. Tanda – tanda Vital

d. Kepala

e. Mata

f. Hidung

g. Mulut

h. Kulit

i. Paru- paru

j. Jantung

k. Abdomen

l. Genetalia

m. Ekstremitas

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan HB, Hematokrit; Berhubungan dengan Hb turun menunjukkan adanya
pengeluaran darah yang banyak. Peningkatan 15 % hematokrit menunjukkan adanya
kehilangan cairan.

b. Elektrolit Serum: Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera jaringan
dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada awal mungkin menurun karena kehilangan
cairan, hipertermi dapat terjadi saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila
mulai diuresis.

c. Natrium Urin: Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan cairan, kurang dari 10
mEqAL menduga ketidakadekuatan cairan.

d. Alkali Fosfat: Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan perpindahan cairan interstisial
atau gangguan pompa, natrium.

e. Glukosa Serum: Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon stress.

f. Albumin Serum: Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema cairan.

g. BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau fungsi ginjal, tetapi
kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.

7. Penatalaksanaan

a. Resusitasi cairan; Menghitung jumlah cairan yang dibutuhkan pada pasien luka bakar dengan

rumus. Pemberian cairan diberikan pada 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya.

Cara Evans: 1) Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam

2) Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam

3) cc glukosa 5% per 24 jam

b. Resusitasi Nutrisi: Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric
tube. Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat
dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus.
c. Perawatan luka bakar: Pembersihan luka menggunakan larutan normal saline. Jika ada bula
usahakan untuk tidak memecah karena akan terjadi risiko infeksi. Pemberian obat
topikal utuk megatisipasi infeksi.

3. Diagnosa

Diagnosa keperawatan ditegakkan atas dasar data pasien. Kemungkinan diagnose


keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah sebagai berikut (Brunner&Sudart,
2013 dan SDKI, 2016):

1. Nyeri akut b.d agen pencedera kimiawi di buktikan dengan mengeluh nyeri pada dada
kanan dan kaki sebelah kiri, rasanya seperti di tusuk-tusuk jarum menjalar hingga ke
pundak belakang dengan skala ringan (3), nyeri yang di rasakan hilang timbul berdurasi
tidak menentu akan bertambah nyeri jika melakukan aktivitas.
2. Kerusakan integritas kulit / jaringan b. d faktor mekanis (energi listrik bertegangan
tinggi) di buktikan dengan adanya kerusakan pada jaringan atau lapisan kulit dan
kemerahan.
3. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri di buktikan dengan mengeluh nyeri pada kaki sebelah
kanan dan dada sebelah kanan, nyeri terasa seperti di tusuk – tusuk jarum menjalar
hingga ke pinggang dan Pundak belakang dengan skala nyeri 3 (ringan), nyeri yang di
rasa kan hilang timbul berdurasi tidak menentu dan akan bertambah nyeri jika melakukan
aktivitas.

Diagnosa Prioritas:

1. Nyeri akut b.d agen pencedera kimiawi (terbakar) di buktikan dengan mengeluh nyeri
pada dada kanan dan kaki sebelah kiri, rasanya seperti di tusuk-tusuk jarum menjalar
hingga ke pnggang dan pundak belakang dengan skala ringan (3), nyeri yang di rasakan
hilang timbul berdurasi tidak menentu akan bertambah nyeri jika melakukan aktivitas.

Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil SLKI Intervensi Keperawatan SIKI


SDKI
1 Nyeri akut b.d agen SLKI Tingkat Nyeri SIKI:
Manajemen nyeri (I.08238)
pencedera kimiawi di Tingkat nyeri
Tindakan
buktikan dengan (L.08066) Observasi:
1. lokasi, karakteristik, durasi,
mengeluh nyeri pada dada Kriteria Hasil:
frekuensi, kualitas, intensitas
kanan dan kaki sebelah  kemampuan nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
kiri, rasanya seperti di menuntaskan 3. Identifikasi respon nyeri
tusuk-tusuk jarum aktivitas nonverbal
4. Identifikasi faktor yang
menjalar hingga ke meningkat (5) memperberat dan
pundak belakang dengan  keluhan nyeri memperingan nyeri
Terpeutik:
skala ringan (3), nyeri menurun (5) 1. Berikan teknik
yang di rasakan hilang  meringis menurun nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
timbul berdurasi tidak (5) TENS, hypnosis, akupresur,
menentu akan bertambah  gelisah menurun terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma terapi,
nyeri jika melakukan (5) teknik imajinasi terbimbing,
aktivitas.  kesulitan tidur kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
menurun (5) 2. Control lingkungan yang
 menarik diri memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
menurun (5) kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
 berfokus pada diri
4. Pertimbangkan jenis dan
sendiri menurun sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
(5)
 frekuensi nadi Terapeutik:
membaik (5) 1. berikan tehnik non
 tekanan darah farmakologis untuk
membaik (5) mengurangi rasa nyeri
 pola tidur (mis. TENS, hypnosis,
membaik (5) akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi:
1. Jelaskan penyebab dan
periode nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Ajarkan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
5. Kolaborasi:
6. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

4. Implementasi Keperawatan

Setelah dilakukan perumusan tahapan-tahapan intervensi dalam perencanaan


keperawatan, maka selanjutnya dilakukan proses implementasi, yaitu melakukan tahapan-
tahapan intervensi tersebut. Pelaksanaan implementasi ini dilakukan dengan melibatkan pasien
dan keluarga ataupun dengan tim kesehatan lain. Pelaksanaan atau implementasi adalah fase
tindakan dari proses keperawatan yang terkait dengan pelaksanaan rencana yang berfokus pada
proses penyembuhan pasien(Anderson & McFarlane, 2013). Implementasi berguna untuk
mencapai tujuan yang telah dibuat. Selain itu, implementasi intervensi keperawatan berfungsi
untuk meningkatkan, memelihara, atau memulihkan kesehatan, mencegah penyakit, dan
memfasilitasi rehabilitasi.
5. Evaluasi

Sebagai tahap terakhir dari proses keperawatan dilakukan evaluasi yang tidak hanya
sekedar melaporkan intervensi keperawatan telah dilakukan, namun juga untuk menilai apakah
hasil yang diharapkan sudah terpenuhi (Majid & Prayogi, 2013), Evaluasi adalah penilaian
keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan pasien. Pada pasien Combustio
dapat dinilai hasil pelaksanaan perawatan dengan melihat catatan perkembangan, hasil
pemeriksaan pasien, melihat langsung keadaan dari keluhan pasien, yang timbul sebagai
masalah.

Evaluasi dapat dilihat 4 kemungkinan yang menentukan tindakan yang menentukan


tindakan perawatan selanjutnya antara lain:

1) Apakah pelayanan keperawatan sudah tercapai atau belum

2) Apakah masalah yang ada telah terpecahkan/teratasi atau belum

3) Apakah maslah sebagian terpecahkan/tidak dapat di pecahkan

4) Apakah tindakan dilanjutkan atau perlu pengkajian ulang.


DAFTAR PUSTAKA

Bulechek Gloria,dkk,2013, Nurshing Interventions Classification (NIC) Edisi keenam, Edisi


Bahasa Indonesia,Yogyakarta : Moco Media.

Huddak & Gallo, 2013. Keperawatan Kritis: Pedekatan Asuhan Holistic Vol 1.

Jakarta: EGC,

Brunner & Suddarth.2014. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC

moenadjat Y. Luka bakar masalah dan tata laksana Jakarta Balai Penerbit Fakultas Kedokyeran
Univeristas Indonesia. 2013:13

Carpenito-Moyet, Linda Jual. 2015. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 10.

Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J. 2014. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC

Doenges, E. Marilynn. 2014. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Herdman Heather & Kamitsuru Shigemi, NANDA-I Diagnosa Keperawatan Defenisi dan
Klasifikasi,Edisi 11, Jakarta,
Buku Kedokteran Moorhead Sue,dkk, 2013, Nurshing Outcomes Classification (NOC), Edisi
Kelima, Edisi Bahasa Indonesia, Yogyakarta : Moco Media.

Price, A. Sylvia. 2015. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC Santosa Budi. 2015.

Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Prima Medika Smeltzer, 2014. Keperawatan Medikal
Bedah Vol. 3.ECG : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai