Anda di halaman 1dari 27

Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan

Pada Pasien Trauma Luka Bakar

DISUSUN OLEH
Ayu Rohani Nainggolan
042020001

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN TAHAP AKADEMIK


JALUR TRANSFER STIKes Santa Elisabeth Medan
2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu fasilitas
pelayanan kesehatan utama di rumah sakit. Ada beberapa hal yang
membuat situasi di IGD menjadi khas, diantaranya adalah pasien yang
perlu penanganan cepat walaupun riwayat kesehatannya belum jelas. Yang
dimaksud dengan Pelayanan Gawat Darurat (Emergency Care) adalah
bagian dari pelayanan yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera
(Imediately) untuk menyelamatkan kehidupannya (Lifesaving) (John,
2013).
Luka bakar merupakan penyebab umum terjadinya cedera
traumatik dan kondisi kegawatan utama di ruang gawat darurat yang
memiliki berbagai jenis permasalahan, tingkat mortalitas dan morbiditas
tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal pada fase syok
sampai fase lanjut (Young et al, 2019). Kompleksitas masalah yang timbul
pada fase emergency menyebabkan kesulitan petugas kesehatan dan
perawat melakukan perawatan luka bakar pasien tersebut. Fase Emergency
merupakan waktu awal (0 menit) yang dibutuhkan untuk mengatasi
masalah kegawatan pasien khususnya hemodinamik pasien selama 24-48
jam pertama (Artawan, 2016).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2012,
secara global, trauma luka bakar termasuk kedalam peringkat
ke 15 penyebab utama kematian pada anak-anak dan dewasa muda yang
berusia 5-29 tahun. Angka mortalitas akibat trauma luka bakar sekitar
195.000 jiwa pertahun. Lebih dari 95% trauma luka bakar yang serius
terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Asia Tenggara
merupakan wilayah penyumbang terbesar kasus luka bakar di dunia
dengan angka kematian tertinggi adalah perempuan dan anak-anak
dibawah usia 5 tahun serta orang tua yang berusia lebih dari 70 tahun.
Sedangkan luka bakar karena lsitrik menyebabkan sekitar 1.000 kematian
per tahun. Sekitar 90% luka bakar terjadi di negara berkembang, secara
keseluruhan hampir 60% dari luka bakar yang bersifat fatal terjadi di Asia
Tenggara dengan tingkat kejadian 11,6 per 100.000 penduduk (Hasdianah
& Suprapto, 2014).
Data dari American Burn Association (ABA) tahun 2010 insiden
tentang luka bakar di Amerika Serikat sejak tahun 2001 hingga Juni 2010
diperkirakan lebih dari 163.000 kasus, dimana 70% pasien adalah laki-laki
dengan rata-rata usia sekitar 32 tahun, 18% anak-anak yang berusia di
bawah 5 tahun dan 12% kasus berusia lebih dari 60 tahun. Luka bakar
dengan luas 10% Total Body Surface Area (TBSA) sebesar 7%. Penyebab
tertinggi akibat flame burn (44%) dan tingkat kejadian paling sering di
rumah (68%). Pada tahun 2016 sekitar 486.000 orang mengalami luka
bakar dan mendapatkan perawatan medis di Amerika Serikat, 40.000 orang
membutuhkan rawat inap dirumah sakit, jumlah rata-rata yang
sembuh 93% dan 3275 orang meninggal sebelum dan sesudah
dirawat (American Burn Association, 2016). Di Indonesia, belum ada angka
pasti mengenai kejadian luka bakar, ini disebabkan karena tidak semua
rumah sakit di Indonesia memiliki unit pelayanan luka bakar. dr I Nyoma
Putu Riasa (Ketua Perhimpunan Luka Bakar dan Penyembuhan Luka
Indonesia) (2015) menyatakan bahwa sepanjang 2012-2014 terdapat 3.518
kasus luka bakar di 14 rumah sakit besar di Indonesia.
Menurut Grace dan Borley (2006) luka bakar merupakan respon
kulit dan jaringan subkutan terhadap paparan yang berasal dari sumber
panas, listrik, zat kimia, dan radiasi. Hal ini akan menimbulkan gejala
berupa nyeri, pembengkakan, dan terbentuknya lepuhan Semua luka bakar
(kecuali luka bakar ringan atau luka bakar derajat I) dapat menimbulkan
komplikasi berupa shock, dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit,
infeksi sekunder, dan lainlain (Rismana, et al.,2013).
9

BAB II
TINJAUAN KASUS KELOLAAN

2.1 Tinjauan Teori


a. Definisi

Luka bakar yaitu kerusakan secara langsung maupun tidak


langsung pada jaringan kulit yang tidak menutup kemungkinan sampai
ke organ dalam yang di sebabkan kontak langsung dengan sumber
panas yaitu, api, air atau uap panas, bahan kimia, radiasi, dan arus
listrik (Majid, 2013).
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan
jaringan yang disebabkan adanya kontak dengan sumber panas seperti
api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kerusakan jaringan
yang disebabkan api dan koloid (misalnya bubur panas) lebih berat
dibandingkan air panas. Ledakan dapat menimbulkan luka bakar dan
menyebabkan kerusakan organ. Bahan kimia terutama asam
menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga
terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses
penyembuhan. Lama kontak jaringan dengan sumber panas
menentukan luas dan kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama
waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi
(Wong, 2014)
Jadi luka bakar merupakan luka yang terjadi akibat sentuhan
permukaan tubuh dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api,
air panas, listrik) atau zat-zat yang bersifat membakar (asam kuat, basa
kuat).

b. Etiologi
Etiologi Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal
(Brunner & Suddart, 2015), diantaranya adalah :
1) Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat.
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas
(scald), jilatan api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam),
dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas lainnya
(logam panas, dan lain-lain).

2) Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn). Luka bakar kimia


biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan pembersih
yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga.
3) Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn). Listrik
menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan
ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang
memiliki resistensi paling rendah. Kerusakan terutama pada
pembuluh darah, khusunya tunika intima, sehingga menyebabkan
gangguan sirkulasi ke distal. Sering
kali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan
sumber arus maupun grown.
4) Luka bakar radiasi (Radiasi Injury). Luka bakar radiasi
disebabkan karena terpapar dengan sumber radio aktif. Tipe
injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk
keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat
terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan
luka bakar radiasi.

c. Patofisiologi

Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di


wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap,
atau uap panas yang terhisap. Oedem laring yang ditimbulkannya dapat
menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas,
takipnea, stridor, suara serak dan dahak bewarna gelap akibat jelaga
(Yovita, 2012).
Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas
langsung atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan
temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna, kecepatan
kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap drajat kenaikan
temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang kurang
tahan dengan konduksi panas.Kerusakan pembuluh darah ini
mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah,
dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein plasma dan elektrolit.
Pada luka bakar ekstensif
dengan perubahan permeabilitas yang hampir menyeluruh,
penimbunan jaringan masif di intersitial menyebabakan kondisi
hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami defisit, timbul
ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan,
kondisi ini dikenal dengan syok (Moenadjat, 2001).
Ada tiga mekanisme yang menyebabkan cedera pada trauma
inhalasi, yaitu kerusakan jaringan karena suhu yang sangat tinggi,
iritasi paru-paru dan asfiksia. Hipoksia jaringan terjadi karena sebab
sekunder dari beberapa mekanisme. Proses pembakaran menyerap
banyak oksigen, dimana di dalam ruangan sempit seseorang akan
menghirup udara dengan konsentrasi oksigen yang rendah sekitar 10-
13%. Penurunan fraksi oksigen yang diinspirasi (FIO2) akan
menyebabkan hipoksia. Dengan terhirupnya CO maka molekul oksigen
digantikan dan CO secara reversible berikatan dengan hemoglobin
sehingga membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan
dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada kemampuan
pengantaran oksigen dalam darah, akibatnya otak juga mengalami
penurunan kebutuhan oksigen (Muflihah et al, 2018)
Karbonmonoksida mempengaruhi berbagai organ di dalam
tubuh, organ yang paling terganggu adalah organ yang mengkonsumsi
oksigen dalam jumlah besar, seperti otak dan jantung. Beberapa
literatur menyatakan bahwa hipoksia
ensefalopati yang terjadi akibat dari keracunan CO adalah
karena injuri reperfusi dimana peroksidasi lipid dan pembentukan
radikal bebas yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas. Efek
toksisitas utama adalah hasil dari hipoksia seluler yang disebabkan
oleh gangguan transportasi oksigen (Muflihah et al, 2018)
Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan
oleh kegagalan organ multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ
multisistem yaitu terjadinya kerusakan kulit yang mengakibatkan
peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan ekstrafasasi cairan
(H2O, elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan onkotik
dan tekanan cairan intraseluler menurun, apabila hal ini terjadi terus
menerus dapat mengakibatkan hipopolemik dan hemokonsentrasi yang
mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan. Apabila sudah
terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan mengakibatkan gangguan
sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi organ-organ penting seperti:
otak, kardiovaskuler, hepar, traktus gastrointestinal dan neurologi yang
dapat mengakibatkan kegagalan organ multi system (Moenajat, 2001).

d. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis luka bakar dapat dikelompokkan menjadi trauma
primer dan sekunder, dengan adanya kerusakan langsung yang
disebabkan oleh luka bakar dan morbiditas yang
akan muncul mengikuti trauma awal. Pada daerah sekitar luka, akan
ditemukan warna kemerahan, bulla, edema, nyeri atau perubahan
sensasi. Efek sistemik yang ditemukan pada luka bakar berat seperti
syok hipovolemik, hipotermi, perubahan uji metabolik dan darah
(Rudall & Green, 2010).
Syok hipovolemik dapat terlihat pada pasien dengan luas luka
bakar lebih dari 25% LPTT. Hal tersebut disebabkan oleh
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah yang berlangsung secara
kontinyu setidaknya dalam 36 jam pertama setelah trauma luka bakar.
Berbagai protein termasuk albumin keluar menuju ruang interstitial
dengan menarik cairan, sehingga menyebabkan edema dan dehidrasi.
Selain itu, tubuh juga telah kehilangan cairan melalui area luka,
sehingga untuk mengkompensasinya, pembuluh darah perifer dan
visera berkonstriksi yang pada akhirnya akan menyebabkan
hipoperfusi. Pada fase awal, curah jantung menurun akibat
melemahnya kontraktilitas miokardium, meningkatnya afterload dan
berkurangnya volume plasma. Tumour necrosis factor-α yang
dilepaskan sebagai respon inflamasi juga berperan dalam penurunan
kontraktilitas miokardium (Rudall & Green, 2010).
Suhu tubuh akan menurun secara besar dengan luka bakar berat,
hal ini disebabkan akibat evaporasi cairan pada kulit karena suhu tinggi
luka bakar dan syok hipovolemik. Uji kimia darah menunjukkan
tingginya kalium (akibat kerusakan pada sel)
dan rendahnya kalsium (akibat hipoalbuminemia). Setelah 48 jam
setelah trauma luka, pasien dengan luka bakar berat akan menjadi
hipermetabolik (laju metabolik dapat meningkat hingga 3 kali lipat).
Suhu basal tubuh akan meningkat mencapai 38,5 0C
akibat adanya respon inflamasi sistemik terhadap luka bakar. Respon
imun pasien juga akan menurun karena adanya down regulation pada
reseptor sehingga meningkatkan resiko infeksi dan juga hilangnya
barier utama pertahanan tubuh yaitu kulit (Rudall & Green, 2010).
Nyeri akibat luka bakar dapat berasal dari berbagai sumber yaitu
antara lain, sumber luka itu sendiri, jaringan sekitar, penggantian
pembalut luka ataupun donor kulit. Setelah terjadinya luka, respon
inflamasi akan memicu dikeluarkannya berbagai mediator seperti
bradikinin dan histamin yang mampu memberi sinyal rasa nyeri
(Richardson & Mustard, 2009).

e. Klasifikasi Luka Bakar


Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal,
antara lain yaitu:
1) Klasifikasi Luka Bakar berdasarkan Derajat dan Kedalaman
Luka:
a) Luka bakar derajat I (superficial)
Terjadi di permukaan kulit (epidermis).
Manifestasinya berupa kulit tampak kemerahan, nyeri,
dan mungkin dapat ditemukan bulla. Luka bakar derajat I
biasanya sembuh dalam 3 hingga 6 hari dan tidak
menimbulkan jaringan parut saat remodeling (Barbara et al.,
2013).

b) Luka bakar derajat II


Melibatkan semua lapisan epidermis dan sebagian
dermis. Kulit akan ditemukan bulla, warna kemerahan, sedikit
edem dan nyeri berat. Bila ditangani dengan baik, luka bakar
derajat II dapat sembuh dalam 7 hingga 20 hari dan akan
meninggalkan jaringan parut (Barbara et al., 2013).
c) Luka bakar derajat III
Derajat III (full thickness) melibatkan kerusakan
semua lapisan kulit, termasuk tulang, tendon, saraf dan
jaringan otot. Kulit akan tampak kering dan mungkin
ditemukan bulla berdinding tipis, dengan tampilan luka
yang beragam dari warna putih, merah terang hingga
tampak seperti arang. Nyeri yang dirasakan biasanya
terbatas akibat hancurnya ujung saraf pada dermis.
Penyembuhan luka yang terjadi sangat lambat dan biasanya
membutuhkan donor kulit (Barbara et al., 2013).

2) Klasifikasi Luka Bakar berdasarkan Luas Luka Bakar


Luas luka tubuh dinyatakan sebagai persentase terhadap
luas permukaan tubuh atau Total Body Surface Area (TBSA).
Untuk menghitung secara cepat dipakai Rules of Nine atau Rules
of Walles dari Walles. Perhitungan cara ini hanya dapat
diterapkan pada orang dewasa, karena anak-anak mempunyai
proporsi tubuh yang berbeda. Pada anak-anak dipakai modifikasi
Rule of Nines menurut Lund and Browder, yaitu ditekankan pada
umur 15 tahun, 5 tahun dan 1 tahun (Yapa, 2009)

Gambar 2.1 Rules of nine

Sumber: health.state.mn.us. (2019)

Wallace membagi tubuh bagian 9 % atau kelipatan 9 yang


terkenal dengan nama rule of nine atau rule of Wallace, yaitu:
a) Kepala sampai leher :9%
b) Lengan kanan :9%

c) Lengan kiri :9%

d) Dada sampai proses sussipoideus :9%

e) Prosessus sipoideus sampai umbilicus : 9 %

f) Punggung :9%

g) Bokong :9%

h) Genetalia :1%

i) Paha sampai kaki kanan depan :9%

j) Paha sampai kaki kanan belakang :9%

k) Paha sampai kaki kiri depan :9%

l) Paha sampai kaki kiri belakang :9%

100%

f. Fase Luka Bakar

Pembagian fase luka bakar menurut Yusuf (2016) terbagi


menjadi:
1) Fase Akut
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal
penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan
nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan circulation
(sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat
terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih
dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi
dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab
kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase akut sering
terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera
termal yang berdampak sistemik.
2) Fase Subakut
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi
adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak denga
sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
a) Proses inflamasi dan infeksi.
b) Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka
telanjang atau tidak berbaju epitel luas dan atau pada struktur
atau organ -organ fungsional.
c) Keadaan hipermetabolisme.
3) Fase Lanjut
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi
parut akibat luka dan pemulihan fungsi organ-organ fungsional.
Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut
yang hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan
kontraktur.

g. Tingkat Keseriusan Luka Bakar


American Burn Association menggolongkan luka bakar menjadi
tiga kategori, yaitu:
1) Luka bakar mayor
a) Luka bakar dengan luas lebih dari 25% pada orang dewasa
dan lebih dari 20% pada anak-anak.
b) Luka bakar fullthickness lebih dari 20%.
c) Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki,
dan perineum.
d) Terdapat trauma inhalasi dan multiple injuri tanpa
memperhitungkan derajat dan luasnya luka.
e) Terdapat luka bakar listrik bertegangan tinggi.

2) Luka bakar moderat


a) Luka bakar dengan luas 15-25% pada orang dewasa dan
10-20% pada anak-anak.
b) Luka bakar fullthickness kurang dari 10%.
c) Tidak terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga,
kaki, dan perineum.
3) Luka bakar minor
Luka bakar minor seperti yang didefinisikan oleh Trofino (1991)
dan Griglak (1992) adalah:
a) Luka bakar dengan luas kurang dari 15% pada orang
dewasa dan kurang dari 10 % pada anak-anak.
b) Luka bakar fullthickness kurang dari 2%
c) Tidak terdapat luka bakar di daerah wajah, tangan, dan
kaki.
d) Tidak terdapat trauma inhalasi, elektrik, fraktur

h. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges, 2000, diperlukan pemeriksaan


penunjang pada luka bakar yaitu :
1) Sel darah merah (RBC)
Dapat terjadi penurunan sel darah merah (Red Blood Cell) karena
kerusakan sel darah merah pada saat injuri dan juga disebabkan
oleh menurunnya produksi sel darah merah karena depresi
sumsum tulang.
2) Sel darah putih (WBC)
Dapat terjadi leukositosis (peningkatan sel darah putih/White Blood
Cell) sebagai respon inflamasi terhadap injuri.
3) Gas darah arteri (AGD)
Penurunan PaO2 atau peningkatan PaCO2.
4) Karboksihemoglobin (COHbg)
Kadar COHbg (karboksihemoglobin) dapat meningkat lebih dari 15
% yang mengindikasikan keracunan karbon monoksida
5) Serum elektrolit:
Potasium pada permukaan akan meningkat karena injuri jaringan atau
kerusakan sel darah merah dan menurunnya fungsi renal;
hipokalemiadapat terjadi ketika diuresis dimulai; magnesium
mungkin mengalami penurunan. Sodium pada tahap permulaan
menurun seiring dengan kehilangan air dari tubuh; selanjutnya
dapat terjadi hipernatremia.
6) Sodium urine
Jika lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan resusitasi
cairan, sedangkan jika kurang dari 10 mEq/L menunjukan tidak
adekuatnya resusitasi cairan.
7) Alkaline pospatase
meningkat akibat berpindahnya cairan interstitial/kerusakan pompa
sodium.
8) Glukosa serum
Meningkat sebagai refleksi respon terhadap stres.
9) BUN/Creatinin
Meningkat yang merefleksikan menurunnya perfusi/fungsi renal,
namun demikian creatinin mungkin meningkat karena injuri
jaringan.
10) Urin
Adanya albumin, Hb, dan mioglobin dalam urin
mengindikasikan kerusakan jaringan yang dalam dan
kehilangan/pengeluaran protein. Warna urine merah kehitaman
menunjukan adanya mioglobin
11) Rontgen dada
Untuk mengetahui gambaran paru terutama pada injuri inhalasi.
12) Bronhoskopi
Untuk mendiagnosa luasnya injuri inhalasi. Mungkin dapat
ditemukan adanya edema, perdarahan dan atau ulserasi
padasaluran nafas bagian atas.
13) ECG
Untuk mengetahui adanya gangguan irama jantung pada luka bakar
karena elektrik.
14) Foto Luka
Sebagai dokumentasi untuk membandingkan perkembangan
penyembuhan luka bakar.

i. Komplikasi
Komplikasi luka bakar dapat berasal dari luka itu sendiri atau dari
ketidakmampuan tubuh saat proses penyembuhan luka (Burninjury,
2013).
1) Infeksi luka bakar

Infeksi pada luka bakar merupakan komplikasi yang paling


sering terjadi. Sistem integumen memiliki peranan sebagai
pelindung utama dalam melawan infeksi. Kulit yang rusak atau
nekrosis menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap patogen di
udara seperti bakteri dan jamur. Infeksi juga dapat terjadi akibat
penggunaan tabung atau kateter. Kateter urin dapat menyebabkan
infeksi traktus urinarius, sedangkan tabung pernapasan dapat
memicu infeksi traktus respirasi seperti pneumonia (Burninjury,
2013).

2) Terganggunya suplai darah atau sirkulasi

Penderita dengan kerusakan pembuluh darah yang berat


dapat menyebabkan kondisi hipovolemik atau rendahnya volume
darah. Selain itu, trauma luka bakar berat lebih rentan mengalami
sumbatan darah (blood clot) pada ekstremitas. Hal ini terjadi
akibat lamanya waktu tirah baring pada pasien luka bakar.
Tirah baring mampu
menganggu sirkulasi darah normal, sehingga mengakibatkan
akumulasi darah di vena yang kemudian akan membentuk
sumbatan darah (Burninjury, 2013).
3) Komplikasi jangka Panjang

Komplikasi jangka panjang terdiri dari komplikasi fisik dan


psikologis. Pada luka bakar derajat III, pembentukan jaringan
sikatriks terjadi secara berat dan menetap seumur hidup. Pada
kasus dimana luka bakar terjadi di area sendi, pasien mungkin
akan mengalami gangguan pergerakan sendi. Hal ini terjadi ketika
kulit yang mengalami penyembuhan berkontraksi atau tertarik
bersama. Akibatnya, pasien memiliki gerak terbatas pada area
luka. Selain itu, pasien dengan trauma luka bakar berat dapat
mengalami tekanan stress pasca trauma atau posttraumatic stress
disorder (PTSD). Depresi dan ansietas merupakan gejala yang
sering ditemukan pada penderita (Burninjury, 2013).
Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan yang


bertujuan untuk mengumpulkan data baik data subyektif maupun data
obyektif. Data subyektif di dapatkan berdasarkan hasil wawancaraa baik
dengan pasien ataupun keluarga pasien, sedangkan data obyektif diperoleh
berdasarkan hasil observasi dan pemeriksaan fisik.

I. Pengkajian
Pengkajian menurut Majid (2013), meliputi:

1. Pengkajian Primer (Primary Survey)


Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien
trauma, karenanya harus dicek airway, breathing dan circulation,
disability, dan exposure terlebih dahulu.
a. Airway

Pada luka bakar ditemukan adanya sumbatan akibat


edema mukosa jalan nafas di tambah secret yang di produksi
berlebihan (hipersekresi) dan mengalami pengentalan.
Apabila terdapat kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka
segera pasang Endotracheal Tube (ET). Tanda-tanda adanya
trauma inhalasi antara lain adalah: terkurung dalam api, luka
bakar pada wajah, bulu hidung yang terbakar, dan sputum
yang hitam.
b. Breathing

Eschar yang melingkari dada dapat menghambat


pergerakan dada untuk bernapas, segera lakukan
escharotomi. Periksa juga apakah ada trauma-trauma lain
yang dapat menghambat pernapasan, misalnya
pneumothorax, hematothorax, dan fraktur costae. Kaji
pergerakan dinding thorax simetris atau tidak, ada atau
tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya
dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah
ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling, ronkhi
atau wheezing. Selain itu dikaji juga kedalaman nafas
pasien.
c. Circulation

Luka bakar menimbulkan kerusakan jaringan


sehingga menimbulkan edema, pada luka bakar yang luas
dapat terjadi syok hipovolumik karena kebocoran plasma
yang luas. Kaji ada tidaknya penurunan tekanan darah
kelainan detak jantung misalnya takikardi, bradikardia.
Kaji juga ada tidaknya sianosis, capiler refil time
memanjang, kondisi akral, dan nadi pasien. Manajemen
cairan pada pasien luka bakar, dapat diberikan dengan
Formula Baxter.
Formula Baxter
i. Total cairan: 4cc x berat badan x luas
luka bakar
ii. Berikan 50% dari total
cairan dalam 8 jam
pertama, sisanya dalam 16
jam berikutnya.
d. Disability

Moenadjat (2009), pada pasien penurunan kesadaran,


kehilangan sensasi dan reflex, pupil anisokor dan nilai
GCS

e. Exposure

Pada pasien dengan luka bakar terdapat hipertermi


akibat inflamasi (Moenadjat, 2009). Suhu tubuh akan
menurun secara besar dengan luka bakar berat, hal ini
disebabkan akibat evaporasi cairan pada kulit karena suhu
tinggi luka bakar dan syok hipovolemik. Uji kimia darah
menunjukkan tingginya kalium (akibat kerusakan pada sel)
dan rendahnya kalsium (akibat hipoalbuminemia). Setelah
48 jam setelah trauma luka, pasien dengan luka bakar berat
akan menjadi hipermetabolik (laju metabolik dapat
meningkat hingga 3 kali lipat). Suhu basal tubuh akan
meningkat mencapai 38,5 0C akibat adanya respon
inflamasi sistemik terhadap luka bakar. Respon imun
pasien juga akan menurun karena adanya down regulation
pada reseptor sehingga meningkatkan resiko infeksi dan
juga hilangnya barier utama pertahanan tubuh yaitu kulit
(Rudall & Green, 2010).

2. Pengkajian sekunder (Secondary Survey)

Secondary Survey ini merupakan pemeriksaan secara


lengkap yang dilakukan secara head to toe, dari depan hingga
belakang.
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis
riwayat pasien yang merupakan bagian
penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan
utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis,
riwayat keluarga, social, dan system (Emergency Nursing
Association, 2007).
Keluhan utama: Luas cedera akibat dari intesitas panas (suhu) dan
durasi pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan
keluhan stridor, takipnea, dyspnea, dan penafasan seperti bunyi
burung gagak (Kidd, 2010)
a. Riwayat penyakit sekarang: Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting,
apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga kecurigaan terhadap trauma
inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi
(Sjaifuddin, 2006).
b. Riwayat penyakit dahulu: Penting dikaji untuk menentukan apakah pasien mempunyai
penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk mengatasi perpindahan cairan dan
melawan infeksi (misalnya diabetes melitus, gagal jantung kongestif, dan sirosis) atau
bila terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intertisnal. Beberapa
masalah seperti diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran.
Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung
kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat terganggu (Hudak dan Gallo, 1996).
c. Riwayat penyakit keluarga: kaji riwayat keluarga yang kemungkinan bisa ditularkan
atau diturunkan secara genetic kepada pasien seperti penyakit DM, hipertensi, asma,
TBC, dll

d. Review of system.

II. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu kesimpulan yang dihasilkan


dari Analisa data (Capernito, 2009). Diagnosa keperawatan adalah
langkah kedua dari proses dari proses keperawatan yang
menggambarkan penilaian klinis tentang respon individu, keluarga,
kelompok maupun potensial. Dimana perawat mempunyai lisensi
dan kompetensi untuk mengatasinya (Sumijatun, 2010).
Menurut teori Amin Huda Nurarif (2013), diagnose
keperawatan yang muncul pada kasus luka bakar, yaitu:
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan cedera alveolar
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
adanya obstruksi jalan nafas
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (mis,
biologis, zat kimia, fisik)
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agen cedera
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan aktif
6. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan penurunan ketahanan
tubuh dan penurunan kekuatan otot.
8. Resiko infeksi faktor risiko pertahanan primer tidak adekuat;
kerusakan kulit; jaringan traumatic. Pertahanan sekunder tidak
adekuat; penurunan Hb, penekanan respon inflamasi.

III. Intervensi Keperawatan

Tabel 2.1 Intervensi keperawatan berdasarkan Nursing Intervention


Classification (NIC)
No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
1 Gangguan Setelah dilakukanAirway Management
pertukaran gas tindakan keperawatan 1. Bebaskan jalan napas
berhubungan status pernapasan 2. Atur kelembaban udara
dengan seimbang antara yang sesuai
perubahan konsentrasi udara dalam 3. Posisikan pasien untuk
membrane darah arteri dengan kriteria memaksimalkan ventilasi
kapiler hasil: 4. Monitor frekuensi dan
alveolar a. Menunjukan kedalaman napas
peningkatan ventilasiMonitor Respirasi
dan oksigen cukup a. Monitor kecepatan, irama,
b. AGD dalam batas kedalaman dan upaya
normal bernapas
c. Tanda-tanda vital b. Catat pergerakan dada,
dalam rentang lihat kesimetrisan dada,
normal apakah menggunakan alat
d. Tidak ada sianosis bantu, dan adakah
dan dyspnea penggunaan alat bantu dan
(mampu retraksi otot interkosta
mengeluarkan sputum c. Monitoring pernapasan,
mampu hidung, adanya suara
bernafas dengan mudah ngorok
tidak ada pursed lips). d. Monitoring pola napas,
bradypnea, takipnea,
hiperventilasi, respirasi
kusmaul dan lain-lain
e. Palpasi kesamaan ekspansi
paru-paru
f. Monitor adanya
kelelahan otot
diafragma
g. Austkultasi suara
napas, catat area
penurunan dan
ketidakadanya ventilasi
dan bunti napas
2 Ketidakefektif an Setelah dilakukanAirway Suction
bersihan tindakan keperawatan a. Pastikan kebutuhan
jalan nafas status respirasi: oral/tracheal suctionic
berhubungan kepatenan jalan napas b. Auskultasi suara napas
dengan dengan kriteria hasil: sebelum dan sesudah

adanya a. Mendemonstrasikan Suctioning


obstruksi batuk efektif dan c. Berikan O2 dengan
jalan nafasa suara napas yang menggunakan nasal untuk
bersih memfasilitasi suction
b. Menunjukan jalan nasotrakeal
nafas yang paten d. Gunakan alat yang steril
c. Mampu setiap melakukan
mengidentifikasi dan tindakan
mencegah e. Anjurkan pasien untuk
faktor yang dapat istirahat dan napas dalam
menghambat jalan setelah kateter dikeluarkan
napas dari nasotrakeal
f. Monitor status oksigen
pasien
Airway Management
a. Buka jalan nafas, gunakan
teknik chin lift atau jaw
thrust bila perlu
b. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
c. Identifikasi pasien
perlunya pemasangan alat
jalan nafas buatan
d. Lakukan fisioterapi dada
jika perlu
e. Keluarkan sekret
dengan batuk atau suction
f. Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara
tambahan
g. Berikan broncodilator bila
perlu
h. Monitor respirasi dan
status O2
3 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan tindakan keperawatan 1. Lakukan pengkajian
dengan klien mampu nyeri secara
kerusakan menunjukan tingkat komprehensif termasuk
kulit/jaringan kenyamanan dengan lokasi,
kriteria hasil: karakterisitik, durasi,
a. Melaporkan nyeri frekuensi, kualitas dan
berkurang / hilang faktor presipitasi.
(skala 0-3) 2. Kaji tanda-tanda vital
b. Tanda-tanda vital 3. Observasi reaksi
dalam batas normal nonverbal dari
(TD: 120/80 mmHg, ketidaknyamanan.
Nadi: 80x/I, Suhu: 4. Berikan posisi
360C, P: 20x/i) nyaman
c. Frekuensi nyeri 5. Ajarkan teknik non
berkurang/hilang farmakologis: tekni
d. Ketegangan otot relaksasi napas
berkurang/hilang dalam, distraksi,
e. Dapat berisitirahat kompres hangat
f. Skala nyeri 6. Berikan informasi
berkurang/ menurun mengenai nyeri
seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri
dirasakan.
7. Tingkatkan istirahat
8. Kolaborasi pemberian
analgetic untuk
mengurangi nyeri
4 Kerusakan Setelah dilakukan a. Kaji/catat ukuran,
integritas kulit tindakan keperawatan warna kedalaman luka,
berhubungan diharapkan tidak terjadi perhatikan jaringan
dengan agen kerusakan integritas kulit nektrotik dan kondisi
cedera dengan kriteria hasil: sekitar luka
a. Tidak adanya infeksi b. Lakukan perawatan
pada luka luka bakar yang tepat
b. Kelembaban luka dan tindakan control
tetap terjaga infeksi
c. Adanya jaringan c. Pertahankan penutupan
granulasi luka sesuai indikasi
d. Tinggikan area graft
bila mungkin/tepat
e. Pertahankan posisi yang
diinginkan dan
imobilisasi area bila di
indikasikan
f. Pertahankan balutan
diatas area graft baru
dan sisi donor sesuai
indikasi
5 Kekurangan Setelah dilakukan Fluid management
volume cairan tindakan keperawatan 1. Monitor diare atau
berhubungan klien dapat menunjukan muntah
dengan adanya peningkatan 2. Awasi tanda-tanda
kehilangan keseimbangan cairan hipovolemik (oliguria,
cairan aktif dengan kriteria hasil: abdominal pain,
a. Mempertahankan urin bingung)
output sesuai dengan 3. Monitor balance cairan
usia, BB, BJ 4. Monitor pemberian

urin normal, HT cairan parenteral


normal 5. Monitor BB jika terjadi
b. Tanda-tanda vital penurunan BB drastic
dalam batas normal 6. Monitor tanda-tanda
c. Tidak ada dehidrasi
tanda-tanda dehidrasi, 7. Monitor tanda-tanda
elastisitas turgor vital
kulit baik, 8. Berikan cairan per oral
membrane mukosa sesuai kebutuhan
lembab, tidak ada 9. Kolaborasi pemberian
rasa haus yang terapi
berlebihan
6 Hipertermi Setelah dilakukan Fever Treatment
berhubungan tindakan keperawatan a. Monitor suhu sesering
dengan proses temperature pasien mungkin
inflamasi dalam batas normal b. Tingkatkan sirkulasi
dengan kriteria hasil: udara
a. Suhu tubuh dalam c. Monitor intake dan
rentang normal output
(360C-370C) d. Berikan antipiretik
b. Nadi dan RR dalam Temperature Regulation
rentang normal a. Monitor suhu dan warna
c. Tidak ada kulit
perubahan warna b. Monitor tanda-tanda
kulit dan tidak hipotermi dan hipertermi
pusing c. Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
Vital Sign Monitor
a. Monitor TD, nadi, suhu
dan RR
b. Monitor suhu, warna
dan kelembaban kulit
c. Monitor sianosis perifer
d. Monitor kualitas dari
nadi
7 Hambatan Setelah dilakukan a. Kaji tingkat kemampuan
mobilitas fisik tindakan keperawatan mobilisasi dengan skala 0-
berhubungan diharapkan klien 4
penurunan menunjukkan mobilitas 0: pasien tidak
ketahanan optimal dengan kriteria tergantung pada
tubuh dan hasil: orang lain
penurunan a. Mempertahankan 1: pasien butuh sedikit
kekuatan otot. posisi fungsional. bantuan
b. Menunjukkan teknik 2: pasien butuh bantuan
yang memampukan sederhana
melakukan aktivitas 3: pasien butuh bantuan
banyak

4: pasien sangaat
tergantung pada orang
lain
b. Observasi kemampuan
gerak motoric,
keseimbangan
c. Ubah posisi pasien tiap 2
jam
d. Bantu pasien dalam
memenuhi
kebutuhannya
e. Bantu pasien
melakukan perubahan
gerak (ROM) aktif dan
pasif
f. Kolaborasi dengan tim
kesehatan lain
(fisioterapi)
8 Resiko infeksi Setelah dilakukan Kontrol Infeksi
faktor risiko tindakan keperawatan a. Monitor tanda dan
pertahanan diharapkan tidak ada gejala infeksi
primer tidak tanda-tanda infeksi b. Pertahankan tekhnik
adekuat; dengan kriteria hasil: aseptik
kerusakan Status imun c. Batasi pengunjung bila
kulit; jaringan setelah dilakukan perlu
traumatic. tindakan keperawatan d. Pertahankan hand
Pertahanan pasien tidak mengalami hygiene
sekunder tidak infeksi dengan kriteria e. Penatalaksanaan
adekuat; hasil : pemberian antibiotik
penurunan Hb, a. Klien bebas dari tanda f. Inspeksi kulit untuk
penekanan dan gejala infeksi adanya iritasi
respon (Rubor, Kalor, Tumor, g. Perhatikan keluhan klien
inflamasi. Dolor, dan fungsi terhadap keluhan
Laesa) peningkatan nyeri, rasa
b. Menunjukkan terbakar, eritema atau
kemampuan untuk bau tak sedap.
mencegah timbulnya h. Observasi luka
infeksi terhadap pembentukan
c. Jumlah leukosit bula, perubahan warna
dalam batas normal luka, bau
4,0-10,0 drainase yang
tidak sedap.
i. Lakukan perawatan luka
sesuai protocol dengan
tehnik steril.
j. Lakukan perlindungan
infeksi.
k. Berikan therapy
obat-obatan sesuai
indikasi; anti biotic, TT
dll.
l. Bersihkan lingkungan
dengan baik setelah
digunakan untuk
setiap pasien

IV. Implementasi Keperawatan

Setelah dilakukan perumusan tahapan-tahapan intervensi dalam


perencanaan keperawatan, maka selanjutnya dilakukan proses
implementasi, yaitu melakukan tahapan-tahapan intervensi tersebut.
Pelaksanaan implementasi ini dilakukan dengan tim kesehatan lain.
Pelaksanaan atau implementasi adalah fase tindakan dari proses
keperawatan yang terkait dengan pelaksanaan rencana yang berfokus
pada proses penyembuhan pasien (Anderson & McFarlane, 2007).
Implementasi berguna untuk mencapai tujuan yang telah dibuat. Selain
itu, implementasi intervensi keperawatan berfungsi untuk
meningkatkan, memelihara, atau memulihkan kesehatan, mencegah
penyakit, dan memfasilitasi rehabilitasi.

V. Evaluasi

Sebagai tahap terakhir dari proses keperawatan dilakukan


evaluasi yang tidak hanya sekedar melaporkan intervensi keperawatan
telah dilakukan, namun juga untuk menilai apakah hasil yang
diharapkan sudah terpenuhi (Potter & Perry, 2009)
Majid & Prayogi (2013), evaluasi adalah penilaian keberhasilan
rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan
pasien. Pada pasien Combutio dapat dinilai hasil pelaksanaan
perawatan dengan melihat catatan perkembangan, hasil pemeriksaan
pasien, melihat langsung keadaan dari keluhan pasien, yang timbul
sebagai masalah. Evaluasi dapat dilihat 4 kemungkinan yang
menentukan tindakan yang perawatan selanjutnya antara lain:

1. Apakah pelayanan keperawatan sudah tercapai atau belum


2. Apakah massalah yang ada telah terpecahkan/teratasi atau belum
3. Apakah masalah sebagian terpecahkan/tidak dapat
dipecahkan
4. Apakah tindakan dilanjutkan atau perlu pengkajian ulang

Anda mungkin juga menyukai