Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Luka bakar merupakan luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh

dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api secara langsung maupun

tidak langsung, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan

kimia, air, dll) atau zat-zat yang bersifat membakar (asam kuat, basa kuat).

Luka bakar berat dapat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang

relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. (Kairupan dkk,

2015).

Pada tahun 2016, insiden total terjadinya luka bakar diperkirakan sekitar

2,4 kasus dari berbagai negara yang berbeda di dunia. Menurut data WHO

2016, kurang lebih 250.000 orang mengalami luka bakar setiap tahunnya.

Dari angka tersebut, 112.000 penderita luka bakar membutuhkan tindakan

emergensi, dan sekitar 210 penderita luka bakar meninggal dunia (Febriyanto

dkk, 2016) .

Berdasarkan laporan hasil Riskesdas (2018) prevalensi data luka bakar di

Indonesia secara nasional (1,3%). Data tertinggi luka bakar di Indonesia

ditemukan di provinsi Papua (2,1%) dan terendah di provinsi Sulawesi Utara

(0,5%). Sedangkan prevalensi pada daerah Aceh ditemukan data pasien yang

mengalami luka bakar sebanyak (0,9%), dan lebih banyak kaum perempuan

yang mengalami luka bakar yaitu sebanyak (1,4%) dibandingkan dengan laki-

laki sebanyak (1,2%) (Riskesdas, 2018).

1
2

Luka bakar berdampak paling berat terhadap fisik psikologis maupun

ekonomi bagi yang mengalaminya, dan mengakibatkan penderitaan sepanjang

hidup seseorang, dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Luka

bakar masih merupakan tantangan bagi para tenaga kesehatan dan juga salah

satu masalah kesehatan utama bagi masyarakat secara global dimana

diantaranya dampak fisik yang ditimbukan seperti gangguan permanen pada

penampilan dan fungsi diikuti oleh ketergantungan pasien, sehingga

berdampak pada ekonomi penderitanya yang berakibat bisa kehilangan

pekerjaan dan ketidakpastian akan masa depan. Disamping itu pada beberapa

Negara pula, luka bakar masih merupakan masalah yang berat, perawatannya

masih sulit, memerlukan ketekunan dan membutuhkan biaya yang mahal

serta waktu yang lama sehingga juga ikut berdampak mempengaruhi ekonomi

penderita (Kemenkes, 2019).

Luka bakar menimbulkan gangguan kegawatan psikologis yang dapat

memicu suatu keadaan stress pasca trauma atau post traumatic stress disorder

(PTSD). Disamping itu pula gangguan permanen pada penampilan dan

fungsi, perawatan yang lama pada luka bakar sering membuat pasien putus

asa dan mengalami stress, gangguan seperti ini sering menjadi penyulit

terhadap kesembuhan optimal dari pasien luka bakar. Oleh karena itu pasien

luka bakar memerlukan penanganan yang serius dari berbagai multidisiplin

ilmu serta sikap dan pemahaman dari orang-orang sekitar baik dari keluarga

maupun dari tenaga kesehatan sangat penting bagi support dan penguatan

strategi koping pasien untuk menerima serta beradaptasi dalam menjalani


3

perawatan lukanya juga untuk mengurangi stres psikologis sehingga

mempercepat penyembuhan luka (Anik & Elsye, 2015).

Luka bakar merupakan luka yang unik karena luka tersebut meliputi

sejumlah besar jaringan mati yang tetap berada pada tempatnya untuk jangka

waktu yang lama. Luka bakar paling sering terjadi di rumah dan paling

banyak ditemukan adalah luka bakar derajat II. Kelompok anak-anak dan luka

bakar akibat insiden kerja sering kali memerlukan perawatan pada fasilitas

khusus luka bakar. Oleh karena itu, perawatan luka bakar memegang peranan

penting dalam proses penyembuhan luka (Kusuma, 2014).

Komplikasi pada pasien luka bakar adalah terkait dengan proses infeksi.

Luka bakar mempengaruhi fungsi kulit sebagai barrier utama dalam melawan

mikroba. Kerusakan pada kulit akan memudahkan mikroorganisme untuk

menginfiltrasi tubuh yang nantinya akan menyebabkan infeksi. Pasien luka

bakar juga mengalami imunosupresi sehingga memiliki risiko tinggi untuk

berkembangnya proses infeksi. Pneumonia, infeksi saluran kemih, selulitis

dan sepsis merupakan komplikasi tersering pada pasien luka bakar.

(Febriyanto, 2016).

Luka bakar dapat mengakibatkan masalah yang kompleks yang dapat

mempengaruhi semua sistem tubuh dan beberapa keadaan yang mengancam

kehidupan. Seorang dengan luka bakar 50% dari luas permukaan tubuh dan

mengalami komplikasi dari luka dan pengobatan dapat terjadi gangguan

fungsional, hal ini mempunyai harapan hidup kurang dari 50%. Pengurangan

waktu penyembuhan, antisipasi dan penanganan secara dini untuk mencegah


4

komplikasi, pemeliharaan fungsi tubuh dalam perawatan luka dan tehnik

rehabilitasi yang lebih efektif semuanya dapat meningkatkan rata-rata

harapan hidup pada sejumlah klien dengan luka bakar serius (Sitohang,

2019).

Berdasarkan survei data pencatatan dan pelaporan di rumah sakit umum

Zainoel Abidin Banda Aceh, tercatat pada 1 Januari sampai dengan 31

Desember 2020, pasien luka bakar sebanyak 57 pasien dengan rincian 41

pasien laki-laki dan 16 pasien perempuan dengan angka kematian 4 orang,

sedangkan 1 Januari sampai dengan 31 Maret 2021 pasien luka bakar

sebanyak 12 pasien dengan rincian 6 laki-laki dan 6 perempuan dengan angka

kematian 1 orang (Rekam Medis RSUDZA, 2021)

Beberapa karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan tindakan

khusus yang berbeda. Karakteristik ini meliputi luasnya, penyebab (etiologi)

dan anatomi luka bakar. Pengetahuan umum perawat tentang anatomi

fisiologi kulit, patofisiologi luka bakar sangat diperlukan untuk mengenal

perbedaan dan derajat luka bakar tertentu dan berguna untuk mengantisipasi

harapan hidup serta terjadinya komplikasi multiorgan yang menyertai

(Sitanggang, 2019).

Penatalaksanaan luka bakar menyangkut tiga hal utama, yaitu: (1)

penatalaksanaan awal kejadian, (2) penatalaksanaan kegawatdaruratan, (3)

resusitasi cairan. Penatalaksanaan yang kurang tepat akan berakibat

infeksi, sepsis, kecacatan, kehilangan cairan berlebih, shock, dan

kematian. Sehingga peran perawat dalam memenuhi kebutuhan cairan pasien


5

merupakan tindakan utama yang sangat harus diperhatikan agar status

hemodinamaik kembali normal. Pemberian resusitasi cairan pada pasien luka

bakar termasuk salah satu dari sekian banyak peran perawat. Perawat juga

berperan penting dalam melakukan perawatan luka untuk mencegah infeksi

dan memenuhi kebutuhan nutrisi pasien luka bakar. Penatalaksanaan nyeri

juga menjadi prioritas dalam merawat pasien luka bakar. Dan kepekaan dalam

melihat masalah menjadi suatu tuntutan keterampilan perawat (Artawan,

2017).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Post

Operasi Luka Bakar Di BLUD RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka didapatkan suatu

perumusan masalah dalam tinjauan literatur ini yaitu Bagaimanakah

Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Luka Bakar Di

BLUD RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan post operasi

luka bakar di BLUD RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian pada pasien dengan post operasi luka bakar di

BLUD RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.


6

b. Menegakkan diagnosis keperawatan pada pasien dengan post operasi luka

bakar di BLUD RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

c. Menyusun perencanaan keperawatan pada pasien dengan post operasi

luka bakar di BLUD RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan post operasi

luka bakar di BLUD RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

e. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan post operasi luka

bakar di BLUD RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Rumah Sakit

Hasil penulisan proposal karya tulis ilmiah ini semoga dapat bermanfaat

bagi mahasiswa praktik keperawatan di rumah sakit untuk sumber bacaan

dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan luka bakar.

2. Bagi Institusi pendidikan.

Semoga dapat bermanfaat dalam proses kegiatan belajar mengajar

mengajar tentang asuhan keperawatan, terutama pada pasien yang mengalami

luka bakar.

3. Penulis

Hasil penulisan proposal karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menjadi

salah satu referensi untuk meningkatkan pelaksanaan asuhan keperawatan

pada pasien dengan luka bakar.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar

1. Pengertian

Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang dapat

disebabkan oleh panas (api, cairan/lemak panas, uap panas), radiasi, listrik,

kimia. Luka bakar merupakan jenis trauma yang merusak dan merubah

berbagai sistem tubuh. Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan

permukaan tubuh dengan dengan benda-benda yang menghasilkan panas

baik kontak secara langsung maupun tidak langsung (Anggowarsito, 2014).

Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas arus listrik,

bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih

dalam. Luka bakar yang luas mempengaruhi metabolisme dan fungsi setiap

sel tubuh, semua sistem dapat terganggu, terutama sistem kardiovaskuler

(Rahayuningsih, 2012).

Luka bakar bisa merusak kulit yang berfungsi melindungi kita dari

kotoran dan infeksi. Jika banyak permukaan tubuh terbakar, hal ini bisa

mengancam jiwa karena terjadi kerusakan pembuluh darah ketidak-

seimbangan elektrolit dan suhu tubuh, gangguan pernafasan serta fungsi

saraf (Adibah dan Winasis, 2014).

2. Etiologi

a. Luka Bakar Termal

7
8

Luka bakar termal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak

dengan api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya. Penyebab

paling sering yaitu luka bakar yang disebabkan karena terpajan dengan

suhu panas seperti terbakar api secara langsung atau terkena permukaan

logam yang panas (Fitriana, 2014).

b. Luka Bakar Kimia

Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit

dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan

banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat

kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan

zat– zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah

tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri,

pertanian dan militer (Rahayuningsih, 2012).

c. Luka Bakar Elektrik

Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakkan dari

energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka

dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang

elektrik itu sampai mengenai tubuh (Rahayuningsih, 2012). Luka bakar

listrik ini biasanya lukanya lebih serius dari apa yang terlihat di

permukaan tubuh (Fitriana, 2014).

d. Luka Bakar Radiasi

Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif.

Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion


9

pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada

dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang

terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi

(Rahayuningsih, 2012).

3. Manifestasi Klinik dan Klasifikasi Luka Bakar

Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan luas luka bakar dan

derajat luka bakarnya, dan harus objektif. Patokan yang masih dipakai dan

diterima luas adalah mengikuti Rules of Nines dari Wallace. Luka bakar

yang terjadi pada daerah muka dan leher jauh lebih berbahaya daripada luka

bakar di tungkai bawah, kita mesti sangat waspada terhadap timbulnya

obstruksi jalan napas (Kemenkes, 2019).

Gambar 1. Penentuan Luas Luka Bakar (Total Body Surface Area/TBSA)


10

Berdasarkan dalamnya jaringan yang rusak akibat luka bakar tersebut,

luka bakar dapat diklasifikasikan menjadi derajat I, II, III dan IV. Pada luka

bakar derajat 1 (superficial burn), kerusakan hanya terjadi di permukaan

kulit. Kulit akan tampak kemerahan, tidak ada bulla, sedikit oedem dan

nyeri, dan tidak akan menimbulkan jaringan parut setelah sembuh. Luka

bakar derajat 2 (partial thickness burn) mengenai sebagian dari ketebalan

kulit yang melibatkan semua epidermis dan sebagian dermis. Pada kulit

akan ada bulla, sedikit oedem, dan nyeri berat. Pada luka bakar derajat 3

(full thickness burn), kerusakan terjadi pada semua lapisan kulit dan ada

nekrosis. Lesi tampak putih dan kulit kehilangan sensasi rasa, dan akan

menimbulkan jaringan parut setelah luka sembuh. Luka bakar derajat 4

disebut charring injury. Pada luka bakar ini kulit tampak hitam seperti arang

karena terbakarnya jaringan. Terjadi kerusakan seluruh kulit dan jaringan

subkutan begitu juga pada tulang akan gosong. Beratnya luka bakar

berdasarkan derajat dan luasnya kulit yang terkena dan dapat dikategorikan

menjadi 3 yaitu ringan, sedang dan berat. Disebut ringan jika terdapat luka

bakar derajat I seluas 20% atau derajat III seluas >10% atau mengenai

wajah, tangan-kaki, alat kelamin/persendian sekitar ketiak atau akibat listrik

tegangan tinggi (>1000V) atau dengan komplikasi patah tulang/kerusakan

jaringan lunak/gangguan jalan nafas (Anggowarsito, 2014).

4. Patofisiologi Dan Pathway Luka Bakar

Pajanan panas yang menyentuh permukaan kulit mengakibatkan

kerusakan pembuluh darah kapiler kulit dan peningkatan permeabilitasnya.


11

Peningkatan permeabilitas ini mengakibatkan edema jaringan dan

pengurangan cairan intravaskular. Kerusakan kulit akibat luka bakar

menyebabkan kehilangan cairan terjadi akibat penguapan yang berlebihan di

derajat 1, penumpukan cairan pada bula di luka bakar derajat 2, dan

pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat 3. Bila luas luka bakar

kurang dari 20%, biasanya masih terkompensasi oleh keseimbangan cairan

tubuh, namun jika lebih dari 20% resiko syok hipovolemik akan muncul

dengan tanda-tanda seperti gelisah, pucat, dingin, nadi lemah dan cepat,

serta penurunan tekanan darah dan produksi urin. Kulit manusia dapat

mentoleransi suhu 44ºC (111ºF) relatif selama 6 jam sebelum mengalami

cedera termal (Anggowarsito, 2014).

Sedangkan menurut Tiwari (2012), proses terjadinya luka bakar juga

tidak jauh berbeda Panas yang mengenai tubuh tidak hanya mengakibatkan

kerusakan lokal tetapi memiliki efek systemic. Perubahan ini khusus terjadi

pada luka bakar dan umumnya tidak ditemui pada luka yang disebabkan

oleh cedera lainnya. Karena efek panas terdapat perubahan systemic

peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan plasma bocor

keluar dari kapiler ke ruang interstitial. Peningkatan permeabilitas kapiler

dan kebocoran plasma maksimal muncul dalam 8 jam pertama dan berlanjut

sampai 48 jam. Setelah 48 jam permeabilitas kapiler kembali kembali

normal atau membentuk trombus yang menjadikan tidak adanya aliran

sirkulasi darah. Hilangnya plasma merupakan penyebab hypovolemic shock

pada penderita luka bakar. Jumlah kehilangan cairan tergantung pada luas
12

luka bakar pada permukaan tubuh yang dihitung dengan aturan Wallace

rules of 9 pada orang dewasa dan Lund dan Browder grafik pada orang

dewasa dan anak-anak. Orang dewasa dengan luka bakar lebih dari 15% dan

pada anak-anak lebih dari 10% dapat terjadi hypovolemic shock jika

resuscitation tidak memadai. Peningkatan permeabilitas kapiler secara

systemic tidak terjadi pada luka lainnya. Hanya terdapat reaksi lokal pada

lokasi luka karena inflamasi menyebabkan vasodilation progresif persisten

dan edema. Hypovolemic shock yang terjadi pada trauma lain disebabkan

hilangnya darah dan membutuhkan tranfusi segera.


13

Pathway Luka Bakar

Bahan Bakar Termis Radiasi Listrik / Petir

Biologis LUKA BAKAR Psikologis Masalah :


Gangguan konsep
diri
Kurang
Pada Wajah Di ruang tertutup Kerusakan kulit
pengetahuan
Anxietas
Kerusakan mukosa Keracunan gas CO Penguapan meningkat

Oedema laring CO mengikat Hb Peningkatan pembuluh


Masalah :

Obstruksi jalan nafas Hb tidak mampu Ekstravasasi cairan Risiko tinggi terhadap infeksi
mengikat O2 Gangguan rasa nyaman
Gangguan aktifitas
Tekanan onkotik
Gagal nafas Kerusakan integritas kulit
menurun
Hipoxia otak
Masalah : Jalan nafas
tidak efektif Tekanan cairan intravaskuler

Masalah :
Hipovolemia
Kerusakan volume cairan
Gangguan perfusi jaringan
Gangguan
sirkulasi

Gambar 2.1 Pathway

Luka Bakar (Musliha, 2012)


14

5. Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan diantaranya adalah pemeriksaan

darah perifer lengkap, metabolik dasar, analisis gas darah, kadar mioglobin,

urinalisis dan profil faktor pembekuan. Sel darah putih biasanya meningkat

pada pasien luka bakar akibat respons terhadap kondisi akut yang terjadi

atau disebabkan oleh infeksi. Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat

meningkat akibat kehilangan cairan atau perdarahan. Penilaian fungsi ginjal

sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya asidosis metabolik dan

nekrosis tubular akut (Rismala, 2014).

Sedangkan menurut menurut Doenges (2000), diperlukan pemeriksaan

penunjang pada luka bakar yaitu pemeriksaan laboratorium diantaranya :

a. Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya

pengeluaran darah yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15%

mengindikasikan adanya cedera, pada Ht (Hematokrit) yang meningkat

menunjukkan adanya kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat

terjadi sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas

terhadap pembuluh darah.

b. Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya infeksi

atau inflamasi.

c. GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya kecurigaaan

cedera inhalasi. Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan

tekanan karbon dioksida (PaCO2) mungkin terlihat pada retensi karbon

monoksida. Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal


15

sehubungan dengan cedera jaringan dan penurunan fungsi ginjal,

natrium pada awal mungkin menurun karena kehilangan cairan,

hipertermi dapat terjadi saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat

terjadi bila mulai diuresis.

d. Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan

cairan, kurang dari 10 mEqAL menduga ketidakadekuatan cairan.

e. Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan

perpindahan cairan interstisial atau gangguan pompa, natrium.

f. Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon

stress. Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein

pada edema cairan.

g. BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau

fungsi ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.

h. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek

atau luasnya cedera.

i. EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau

distritmia. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk

penyembuhan luka bakar.

6. Penatalaksanaan Medis

Tata laksana luka bakar menurut Anggowarsito (2014), sangat tergantung

pada derajat, luas, dan lokasi luka bakarnya. Pada anak yang mengalami

luka bakar yang berat, evaluasi dan tata laksana awal harus diberikan secara

simultan, meliputi menjaga patensi jalan napas, pernapasan, sirkulasi,


16

menghentikan dan penilaian proses luka bakar dan pemberian cairan

resusitasi. Penanganan pertama sebelum ke rumah sakit dengan

menyingkirkan sumber luka bakar tanpa membahayakan penolong,

kemudian penatalaksanaan mengikuti prinsip dasar resusitasi trauma :

lakukan survei primer singkat dan segera atasi permasalahan yang

ditemukan, singkirkan pakaian dan perhiasan yang melekat, jika pernafasan

dan sirkulasi telah teratasi lakukan survei sekunder.

a. Airway dan Breathing

Managemen airway pada luka bakar penting dilakukan karena jika tidak

dilakukan Luka bakar ringan Luka bakar sedang Luka bakar berat dengan

baik akan mengakibatkan komplikasi serius. Kondisi serius yang perlu

dicermati adalah adanya cedera inhalasi, terutama jika luka bakar terjadi

pada ruang tertutup. Cedera inhalasi lebih jarang terjadi pada ruang terbuka

atau pada ruang dengan ventilasi baik. Hilangnya rambut-rambut wajah dan

sputum hitam memberikan tanda adanya cedera inhalasi.

Pemberian oksigen dengan saturasi yang diharapkan setinggi >90% harus

segera diberikan. Pasien dengan luka bakar luas sering membutuhkan

intubasi. Stidor dapat dijumpai dalam beberapa jam pada pasien dengan

airway stabil seiring dengan terjadinya edema pada saluran nafas.

b. Circulation

Akses intravena dan pemberian resusitasi cairan sangat penting untuk

segera dilakukan. Lokasi ideal akses pemberian cairan pada kulit yang tidak

mengalami luka bakar, namun jika tidak memungkinkan maka dapat


17

dilakukan pada luka bakar. Akses intravena sebaiknya dilakukan sebelum

terjadi edema jaringan yang akan menyulitkan pemasangan infus.

Pemasangan infus di vena sentral perlu dipertimbangkan jika tidak ada

akses pada vena perifer. Cairan Ringer laktat dan NaCl 0,9% tanpa glukosa

dapat diberikan pada 1-2 akses intravena. Kateter Foley digunakan untuk

memonitor produksi urin dan keseimbangan cairan.

c. Evaluasi lanjut

Selang nasogastic digunakan untuk dekompresi lambung dan jalur masuk

makanan. Evaluasi semua denyut nadi perifer dan dinding thoraks untuk

kemungkinan timbulnya sindroma kompatermen terutama pada luka bakar

sirkumferensial. Observasi menyeluruh terhadap edema jaringan terutama

pada ektremitas dan kemungkinan terjadinya gagal ginjal. Elevasi tungkai

dapat dilakukan untuk mengurangi edema pada tungkai (Rismala, 2014).

Kriteria American Burn Association untuk merujuk ke rumah sakit pusat

luka bakar diantaranya :

a. Derajat keparahan luka bakar sedang

b. Luka bakar derajat III >5%

c. Luka bakar derjat II atau III pada wajah, telinga, mata, tangan, kaki, dan

genitalia/ perineum

d. Cedera inhalasi

e. Luka bakar listrik atau petir

f. Luka bakar dengan trauma, jika trauma lebih beresiko maka sebaiknya

dirujuk ke pusat trauma terlebih dahulu


18

g. Penyakit penyerta yang mempersulit managemen luka bakar

h. Luka bakar kimia

i. Luka bakar sirkumferensial

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada pasien dengan masalah Luka Bakar

a. Pengkajian

Pengkajian menurut Price, A (2014) pada pasien luka bakar

ditujukan sebagai pengumpulan data dan informasi terkini mengenai status

pasien dengan pengkajian system Integumen sebagai prioritas pengkajian.

Pengkajian sistematis pada pasien mencakup riwayat khususnya yang

berhubungan dengan sulit bergerak, palpitasi. Masing-masing gejala harus

dievaluasi waktu dan durasinya serta factor pencetusnya.

1) Identitas klien: selain nama klien, usia jenis kelamin agma suku

pekerjaan dan penidikan.

2) Aktifitas/istirahat. Tanda: penurunan kekuatan, tahanan, keterbatasan

rentang gerak pada area yang sakit, gangguan masa otot, perubahan

tonus.

3) Sirkulasi. Tanda: hipotensi (syok), penurunan nadi perifer distal pada

ekstremitas yang cedera, vasokontriksi perifer umum dengan

kehilangan nadi, kulit putih dan dingin (syok listrik), takicardia,

disritmia, pembentukan odema jaringan.

4) Integritas ego. Gejala: masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan,

kecacatan. Tanda: ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,

menarik diri, marah.


19

5) Eleminasi. Tanda: haluaran urin menurun/ tak ada selama fase darurat,

warna mungkin hitam kemerahan bila terjadi mioglobin,

mengindikasikan kerusakan otot dalam, diuresis (setelah kebocoran

kapiler dan mobilisasi cairan kedalam sirkulasi), penurunan bising

usus tidak ada.

6) Makanan atau cairan Tanda: oedema jaringan umum, anoreksia,

mual/muntah. Gejala: penurunan nafsu makan, bising usus dan

peristaltic usus penurun perubahan pola BAB.

7) Neurosensorik. Gejala: area batas, kesemutan. Tanda: perubahan

orientasi, afek, perilaku, penurunan reflex tendon dalam pada cedera

ekstremitas, aktifitas kejang, laserasi korneal, kerusakan retinal,

penurunan ketajaman penlihatan.

8) Nyeri/kenyamanan. Gejala: berbagai nyeri contoh luka bakar derajat

pertama secara ektren sensitive untuk disentu, ditekan, gerakan udara,

dan perubahan suhu, luka bakar ketebalan sedang derajat dua sangat

nyeri, sementara respon pada luka bakar ketebalan derajat kedua

tergantung pada keutuhan ujung saraf, luka bakar derajat tiga dan

nyeri.

9) Pernafasan. Gejala: terkurung dalam ruang tertutup, terpajan lama

(kemungkinan cedera inhalasi). Tanda: sesak, batuk mengi, partikel

karbon dalam sputum, ketidakmampuan menelan sekresi oral dan

sianosis, indikasi cedera inhalasi. Pengembangan thoraks mungkin

terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada, jalan nafas atau
20

stridor/mengii (obstruksi sehubungan dengan laringospasme oedema

laryngeal), bunyi nafas: secret jalan nafas dalam (ronchi).

10) Keamanan. Tanda: kulit umum: distruksi jaringan dalam mungkin

tidak terbukti sselama 3-5 hari sehubungan dengan proses trobus

mikrovaskuler pada beberapa luka.

11) Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama: infeksi pada luka bakar

b. Riwayat penyakit sekarang: Sebagian besar atau penyebab

terbanyak luka bakar adalah akibat sengatan listrik, panas, suhu,

mediator kimia.

c. Riwayat penyakit dahulu: klien tidak mempunyai riwayat

penyakit dahulu yang berhubungan dengan luka bakar.

d. Riwayat penyakit keluarga: tidak terdapat korelasi kasus pada

anggota keluarga terhadap kejadian infeksi luka bakar.

Fatah (2019) menyatakan dalam penelitiannya bahwa perlu

dilakukan pula pemeriksaan fisik pada pasien dengan luka bakar, dimana

pada pengkajiannya yang harus diperhatikan diantaranya :

1) Pre operatif

a. B1 (Breath)

Klien dengan luka bakar biasana menampakkan gejala dispneu,

nafas dangkal dan cepat, ronchi (-), wheezing (-), perkusi sonor,

taktil premittus tidak ada gerakan tertinggal.

b. B2 (Blood)
21

Biasanya menampakkan adanya peningkatan nadi, penurunan

ntekanan darah (pre syok), perfusi dingin kering, suara jantung

normal, S1/S2 tunggal, perkusi pekak pada lapang paru kiri ICS 2-

5, iktus kordis ICS 4-5, balance cairan deficit.

c. B3 (Brain)

Klien nampak lemah, biasanya mengalami penurunan kesadaran,

convulsion (-), pupil isokor, lateralisasi (-)

d. B4 (Bladdder)

Klien Nampak mengalmi penurunan nafsu makan dan minum,

distensi/retensi (-)

e. B5 (Bowel)

Klien nampak mengalami penurunan nafsu makan, bising usus dan

peristaltik usus menurun, perubahan pola BAB.

f. B6 (Bone)

Klien dengan luka bakar biasanya nampak kulit tidak utuh, letih

dan lesu, klien nampak bedrest, mengalami penurunan massa dan

kekuatan otot

2) Intra operatif

a. Breathing : Konpensasi pada batang otak akan mengakibatkan

gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola

napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bias berupa

Cheyne, Stokes atau Ataxia breathing, bapas berbunyi stridor,


22

rinchi, whezzing (kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi

peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

b. Brain : Pada sistem saraf pusat dinilai kesadaran pasien dengan

GCS (Glasgow Coma Scale) dan perhatikan gejala kenaikan

Tekanan Intrakranial (TIK).

c. Blood : Pada sistem kardiovaskular dinilai takanan darah, nadi,

perfusi perifer, Hb.

d. Bowel : Pada sistem gastrointestinal diperiksa: adanya dilatasi

lambung, tanda-tanda cairan bebas, dan periksa apakah pasien

mengalamami muntah selama operasi.

e. Bladder : Pada sistem urogenetalis diperiksa kualitas, kuantitas,

warna, kepekatan urine, untuk menilai intak dan output urine.

f. Bone : Pada sistem musculoskeletal dinilai adanya tanda-tanda

sianosis, warna kuku, perdarahan

3) Post Operatif

a. Breathing : Pasien belum sadar dilakukan evaluasi seperti pola

napas, tanda-tanda obstruksi, pernapasan cuping hidung, frekuensi

napas, pergerakan rongga dada: apakah simetris atau tidak, suara

napas tambahan: apakah tidak ada obstruksi total, udara napas yang

keluar dari hidung, sianosis pada ekstremitas, auskultasi: adannya

wheezing atau ronchi.

b. Blood : Pada sistem kardiovaskular dinilai takanan darah, nadi,

perfusi perifer, status hidrasi (hipotermi ± syok) kadar Hb.


23

c. Brain : Pada sistem saraf pusat dinilai kesadaran pasien dengan

GCS (Glasgow Coma Scale) dan perhatikan gejala kenaikan

Tekanan Intrakranial (TIK).

d. Bladder : Pada sistem urogenetalis diperiksa kualitas, kuantitas,

warna, kepekatan urine, untuk menilai: apakah pasien masih

dehidrasi.

e. Bowel : Kaji apakah ada mual muntah, pasien masih di puasakan,

kesulitan menelan, adanya dilatasi lambung, tanda-tanda cairan

bebas, distensi abdomen.

f. Bone : Kaji balutan, posisi pasien, gelisah dan banyak gerak,

kekuatan otot, tanda-tanda sianosis, warna kuku, perdarahan post

operasi, gangguan neurologis: gerakan ekstremitas.

b. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yaitu suatu penilaian klinis mengenai

respons pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang

dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial (Herdman,

2018).

1. Nyeri akut berhubungan dengan post operasi luka bakar

Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional tidak

menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau

potensial, atau yang digambarkan sebagai kerusakan (International

Association for the Study of Pain), awitan yang tiba-tiba atau lambat

dengan intensitas ringan hingga berat, dengan berakhirnya dapat


24

diantisipasi atau diprediksi dan dengan durasi kurang dari 3 bulan

Faktor yang berhubungan terkait munculnya masalah keperawatan

nyeri akut yaitu agen cidera biologis (misalnya infeksi, iskemia,

neoplasma), agen cidera fisik (misalnya abses, amputasi, luka bakar)

(Herdman, 2018).

Diagnosa ini menjadi diagnosa utama karena berdasarkan teori

Maslow menyebutkan bahwa nyeri akut merupakan kebutuhan

kenyamanan dan keamanan yang berada pada tingkat kedua setelah

kebutuhan fisiologi, dan nyeri sangat mengganggu rasa nyaman pasien

(Dalami & Dewani, 2016).

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan post operasi luka

bakar

Diagnosa yang kedua ialah kerusakan integritas kulit yaitu

keadaan dimana terjadinya kerusakan pada epidermis dan/atau dermis

kulit. Batasan karakteristik: nyeri akut, gangguan integritas kulit,

kemerahan, area panas local. Faktor yang berhubungan: lembab

(Herdman, 2018).

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri setelah post

operasi luka bakar

Hambatan mobilitas fisik merupakan suatu keadaan dimana

individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan

gerakan fisik antara lain : lansia, individu dengan penyakit yang

mengalami penurunan kesadaran lebih dari 3 hari, individu yang


25

kehilangan fungsi anatomic dan sensorik seperti post amputasi, stroke,

luka bakar (Herdman, 2018).

Diagnosa ketiga ini penulis munculkan, sebab nyeri merupakan

masalah keperawatan dalam diagnosa pertama. Jika masalah diagnosa

pertama teratasi maka diagnosa hambatan mobilitas ditempat tidur

juga akan teratasinya dengan sendiri.

4. Risiko infeksi berhubungan dengan perawatan luka post operasi luka

bakar

Resiko infeksi berhubungan dengan pathogen. Resiko infeksi

adalah rentan mengalami infasi dan multiplikasi organisme patogenik

yang mengganggu kesehatan. Dengan Faktor resiko, gangguan

perstalsis, gangguan integritas kulit, kurang pengetahuan untuk

menghindari pemajanan pathogen. Dan populasi beresiko, terpajan

pada wabah (Herdman, 2018).

c. Rencana keperawatan

Intervensi keperawatan di definisikan sebagai “berbagai perawatan,

berdasarkan penilaian klinis dan pengetahuan, yang dilakukan oleh

seorang perawat untuk meningkatkan hasil klien/pasien”. Nursing

interventions classification (NIC) adalah sebuah taksonomi tindakan

komprehensif berbasis bukti yang perawat lakukan di berbagai tatanan

perawatan (Herdman, 2018).


26

Tabel 2.1 Rencana keperawatan

No Rencana keperawatan
Diagnosa
NOC NIC

1 Nyeri akut Setelah dilakukan (Manajemen nyeri) :


perawatan 1 x 24 jam
diharapkan pain level, 1. Lakukan
pengkajian nyeri
(levelnyeri), pain control secara
(control nyeri) komprehensif
comfortlevel (level termasuk lokasi,
kenyamanan) normal karakteristik,
dengan kriteria hasil : durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor
1. Mampu mengontrol presipitasi.
nyeri (tahu penyebab 2. Observasi reaksi
nyeri, mampu nonverbal dari
menggunakan tehnik ketidaknyamanan.
non farmakologi 3. Gunakan teknik
untuk mengurangi komunikasi
nyeri, mencari terapeutik untuk
bantuan). mengetahui
2. Melaporkan bahwa pengalaman nyeri
nyeri berkurang pasien.
dengan menggunakan 4. Ajarkan tentang
3. manajemen nyeri. teknik non
4. Mampu mengenali farmakologi.
nyeri(skala,intensits, 5. Berikan analgetik
frekuensi dan tanda untuk mengurangi
nyeri). nyeri.
5. Menyatakan rasa 6. Kolaborasikan
nyaman setelah nyeri dengan dokter jika
berkurang. ada keluhan dan
6. Tanda vital dalam tindakan nyeri
rentang normal. tidak berhasil
27

2 Kerusakan Setelah dilakukan 1. Jaga kebersihan kulit


integritas kulit perawatan 1 x 24 jam sekitar luka
diharapkan Integritas agar tetap bersih dan
jaringan kulit terjaga dan kering
Membran mukosa baik. 2. Mobilisasi
Dengan kriteria hasil: pasien(ubah posisi
pasien) setiap dua
1. Integritas kulit yang jam sekali
baik bisa 3. Monitor kulit akan
dipertahankan adanya kemerahan
2. Perfusi jaringan baik 4. Oleskan lotion atau
3. Menunjukan minyak /baby oil
pemahaman dalam pada daerah yang
proses perbaikan kulit tertekan
dan mencegah 5. Monitor aktivitas dan
terjadinya sedera mobilisasi pasien
berulang 6. Monitor status nutrisi
4. Mampu melindungi pasien
kulit dan
mempertahankan
kelembapan kulit

3 Hambatan Setelah dilakukan 1. Kolaborasikan


mobilitas fisik perawatan selama 1 x24 dengan Tenaga
jam diharapkan hambatan Rehabilitasi Medik
dalam merencanakan
mobilitas fisik teratasi
progran terapi yang
dengan kriteria hasil : tepat,
2. bantu klien untuk
1. Klien dapat ikut serta
mengidentifikasi
dalam program
aktivitas yang
latihan,
mampu dilakukan,
2. klien terlihat mampu
3. bantu untuk memilih
melakukan mobilisasi
aktivitas konsisten
secara bertahap,
yang sesuai dengan
3. mempertahankan
kemampuan fisik,
koordinasi dan
psikologi dan social,
mobilitas sesuai
4. bantu untuk
tingkat optimal
mendapatkan alat
bantuan aktivitas
seperti kursi roda,
5. bantu klien untuk
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang,
28

6. bantu pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas,
7. bantu pasien
untukmengembangka
n motivasi diri dan
penguatan.

4 Risiko infeksi Setelah dilakukan Infection Protection


perawatan selama 1 x24 (proteksi terhadap
jam diharapkan tidak infeksi) :
terjadi Keparahan
infeksi. Dengan kriteria 1. Monitor tanda dan
gejala infeksi
hasil : sistemik dan lokal,
2. Monitor hasil
Tidak ditemukan tanda-
laboratorium
tanda infeksi ; (lekosit).
Kemerahan, demam, 3. Monitor kerentanan
nyeri, ketidakstabilan terhadap infeksi.
suhu. 4. Monitor masukkan
nutrisi dan cairan
yang cukup.
5. Instruksikan pasien
untuk minum
antibiotik sesuai
resep.
6. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi.
7. Ajarkan cara
menghindari infeksi

d. Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan bagian dari proses

keperawatan. Tujuan implementasi adalah mengatasi masalah yang

terjadi pada manusia. Setelah rencana keperawatan disusun, maka


29

rencana tersebut diharapkan dalam tindakan nyata untuk mencapai tujuan

yang diharapkan, tindakan tersebut harus terperinci sehingga dapat

diharapkan tenaga pelaksanaan keperawatan dengan baik dan sesuai

dengan waktu yang ditentukan. Implementasi ini juga dilakukan oleh

perawat dan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat sebagai

manusia yang unik (Hidayat, 2017).

Implementasi nyeri akut mengkaji keluhan nyeri, mencatatt

intensitasnya, lokasinya dan lamanya dengan tujuan mengidentifikasi

karakteristik nyeri merupakan faktor yang penting untuk menentukan

terapi yang cocok serta mengevaluasi keefektifan dari terapi. Mencatatat

kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya adanya infeksi, trauma

servikal dengan tujuan pemahaman terhadap penyakit yang mendasarinya

membantu dalam memilih intervensi yang sesuai. Memberikan tindakan

kenyamanan, misal pedoman imajinasi, visualisasi, latihan nafas dalam,

berikan aktivitas hiburan, kompres dengan tujuan menfokuskan kembali

perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat meningkatkan koping,

tindakan alternatif mengontrol nyeri. Mengkolaborasikan dengan

pemberian obat anti nyeri, sesuai indikasi misal, dentren (dantrium)

analgesik; antiansietas missal diazepam (valium) dengan tujuan

dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot atau untuk

menghilangkan ansietas dan meningkatkan istirahat (Herdman, 2018).

Implementasi yang dapat dilakukan pada diagnosa kerusakan

intergritas kulit adalah menjaga kebersihan kulit sekitar luka agar tetap
30

bersih. Tujuannya untuk menjaga keadaan kulit klien dalam keadaan

yang baik yang di tandai dengan warna kulit yang sehat, suhu kulit dalam

batas normal, tekstur kulit lembab, intergritas kulit baik, dan tidak

terdapat luka pada kulit (Herdman, 2018).

Implementasi hambatan mobilitas fisik yang dapat dilakukan

memeriksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada

kerusakan yang terjadi dengan tujuan mengidentifikasi kerusakan secara

fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.

Memberikan bantuan untuk latihan rentang gerak dengan tujuan

mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi/ posisi normal ekstrimitas

dan menurunkan terjadinya vena statis. Membantu pasien dalam program

latihan dan penggunaan alat mobilisasi, tingkatkan aktivitas dan

partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan dengan tujuan

proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai trauma kepala

dan pemulihan fisik merupakan bagian yang sangat penting, keterlibatan

pasien dalam program latihan sangat penting untuk meningkatkan kerja

sama atau keberhasilan program (Herdman, 2018).

Implementasi yang dapat dilakukan yaitu : melakukan perawatan

luka ; Ukur luas luka yang sesuai. membersihkan dengan normal saline

atau pembersih yang tidak beracun dengan tepat. Memberikan perawatan

insisi pada luka yang diperlukan. Memberikan salep yang sesuai dengan

jenis luka. Memberikan balutan yang sesuai dengan jenis luka.

Mempertahankan teknik balutan steril ketika melakukan perawatan luka


31

dengan tepat. Mengganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan

drainase. Memeriksa luka setiap kali perubahan balutan. Menganjurkan

pasien atau anggota keluarga pada prosedur perawatan luka.

Menganjurkan pasien dan keluarga untuk mengenal tanda dan gejala

infeksi (Herdman, 2018).

e. Evaluasi

Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi

menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah

direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan

kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi

keperawatan adalah fase akhir dalam proses keperawatan (Potter & Perry,

2012).

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan

(SOAP) adalah sebagai berikut: S adalah respon subjektif pasien terhadap

tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dapat di ukur dengan

menanyakan kepada pasien langsung. O adalah respon objektif pasien

terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Dapat diukur

dengan mengobservasi perilaku pasien pada saat dilakukan tindakan. A

adalah analisis ulang atas data yang subjektif dan objektif untuk

menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau

ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada. P adalah perencanaan

atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon pasien yang
32

terdiri dari tindakan lanjut pasien dan tindakat lanjut oleh perawat. (Dereja,

2011).

Menurut Hutahean (2017), adapun ukuran pencapaian tujuan tahap

evaluasi dalam keperawatan meliputi :

1. Masalah teratasi, jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan

tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.

2. Masalah teratasi sebagian, jika klien menunjukan perubahan sebagian

dari kriteria hasil yang telah ditetapkan.

3. Masalah tidak teratasi, jika klien tidak menunjukan perubahan dan

kemajuan sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil

yang telah ditetapkan dan atau bahkan timbul masalah / diagnosa

keperawatan baru.
33

BAB III

METODE PENULISAN

A. Pendekatan/Desain

Jenis penulisan proposal karya tulis ilmiah ini adalah deskriptif dalam

bentuk studi kasus untuk mengeksplorasikan masalah asuhan keperawatan pada

pasien. Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan pendekatan proses asuhan

keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi

keperawatan, implementasi keperawatan, evaluasi keperawatan.

B. Subjek

Dalam penulisan ini penulis memilih Tn. A sebagai informan dengan

diagnosa medis luka bakar. Adapun kriteria subjek dalam penulisan karya ilmiah

ini adalah:

1. Pasien yang kooperatif

2. Pasien dengan diagnosa medis luka bakar

3. Pasien post op luka bakar

4. Pasien yang bersedia dilakukan asuhan keperawatan

C. Lokasi dan Waktu

Pelaksanaan asuhan keperawatan untuk penulisan karya ilmiah ini

dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin sekitar bulan April

2021 dengan waktu sejak pasien post op selama 3 hari.

33
34

D. Prosedur Penulisan

Penulisan KTI diawali dengan usulan judul KTI. Setelah disetujui oleh

tim, maka selanjutnya penyusunan proposal KTI. Jika proposal KTI telah disetujui

oleh tim penguji, langkah selanjutnya adalah penyusunan laporan akhir KTI dan

sidang hasil KTI.

E. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data

Tekhnik dan instrumen pengumpulan data yang di butuhkan dalam penelitian ini

berupa metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu :

a. Wawancara

Wawancara atau biasa juga disebut dengan anamnesa adalah menanyakan

atau tanya jawab yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi pasien

dan merupakan suatu komunikasi yang direncanakan. Dalam

berkomunikasi ini perawat mengajak pasien dan keluarga pasien untuk

bertukar pikiran dan perasaannya yang diistilahkan teknik komunikasi

terapeutik (Hidayat, 2011).

b. Observasi dan Pemeriksaan Fisik

Observasi adalah mengamati perilaku dan keadaan pasien untuk

memperoleh data tentang masalah kesehatan dan keperawatan pasien.

Tujuan dari observasi adalah mengumpulkan data tentang masalah yang

dihadapi pasien melalui kepekaan alat panca indera.

Pemeriksaan fisik dalam keperawatan digunakan untuk mendapatkan data

objektif dari riwayat keperawatan pasien. Pemeriksaan fisik sebaiknya


35

dilakukan bersamaan dengan wawancara. Fokus pengkajian fisik

keperawatan adalah pada kemampuan fungsional pasien. Tujuan dari

pemeriksaan fisik dalam keperawatan adalah untuk menentukan status

kesehatan pasien, mengidentifikasi masalah pasien dan mengambil data

dasar untuk menentukan rencana tindakan (Hidayat, 2011).

c. Studi Dokumentasi (hasil pemeriksaan diagnostik)

Studi dokumentasi merupakan metode pengumpulan data yang berasal dari

dokumen asli. Dokumen asli tersebut berupa gambar, tabel atau daftar

periksa dan film dokumentasi (Hidayat, 2011). Dokumentasi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medis pasien.

Sedangkan alat atau instrumen pengumpulan data menggunakan format

pengkajian Asuhan Keperawatan sesuai dengan bidang peminatan (lampiran 1).

F. Analisa Data

Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan sejak penelitian di Rumah

Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin, analisa data dilakukan dengan cara

menemukan fakta, kemudian membandingkan kategori data tersebut dengan

konsep teori yang ada dan menghasilkan satu kesimpulan. Analisa data dalam

karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui penerapan asuhan keperawatan

pada satu responden pasien luka bakar secara holistic dan komprehensif. Adapun

Jenis-jenis pengumpulan data sebagai berikut :

1. Data Primer
36

Data yang dikumpulkan langsung dari responden berdasarkan format

pengkajian asuhan keperawatan medikal bedah.

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari Medical Record (MR) rumah sakit, wawancara

dengan keluarga pasien dan laporan status pasien. Informasi yang di peroleh

berupa data tambahan dalam merumuskan diagnose keperawatan. Data yang di

peroleh biasanya berupa data penunjang dari laboratorium seperti hasil

pemeriksaan darah lengkap dan terapi pengobatan yang digunakan untuk kasus

luka bakar.
37

BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN DAN PEMBAHASAN

Asuhan keperawatan pada pasien Post Operasi Luka Bakar dengan pendekatan

proses keperawatan, penulis laksanakan terhadap pasien Tn. A, umur 36 tahun, laki-laki,

status belum kawin, pendidikan SLTA/Sederajat dan pekerjaan sebagai pegawai swasta

yang dirawat di Ruang Rawat di RSUD dr. Zainoel Abidin Kota Banda Aceh. Asuhan

keperawatan diberikan selama 3 (tiga) hari dari tanggal 10 sampai 12 Februari 2020.

Hasil pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Post Operasi Luka Bakar

secara terfokus adalah sebagai berikut:

A. Hasil

1. Pengkajian

Pada tanggal 10 Februari 2021, penulis melakukan pengkajian diruang Raudhah

4 RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dengan Tn. A. Dari wawancara yang dilakukan

terhadap Tn. Adan keluarga, penulis mendapatkan data yang didapatkan meliputi pasien

mengatakan umurnya saat ini yaiitu 36 tahun dan berstatus belum kawin. Pekerjaan

pasien yaitu sebagai pegawai swasta dan saat ini pasien dan keluarganya tinggal di Desa

Cot Lambideng, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara. Pasien juga mengatakan

telah dilakukan tindakan operasi pada tanggal 09 Februari 2021.

Penulis mendapatkan keluhan pasien dengan merasa tidak nyaman dengan nyeri

area post operasi luka bakar pada kedua tangan dan kepalanya, tampak luka terbalut

36
38

perban pada kedua tangan dan kepala, terasa pusing, dan kesulitan untuk bergerak.

Penulis melihat adanya luka basah post operasi luka bakar pada kedua tangan dan

kepalanya dengan luas luka bakar pasien 18% karena mengenai keseluruhan tangan

pasien kiri dan kanan dan pada bagian kepala pasien luas luka bakar sebesar 4,5%,

dengan skala nyeri pada pasien adalah 5, nyeri terasa terus menerus seperti ditusuk-

tusuk dan akan terasa berat ketika aktivitas pasien meningkat.

Dalam pengkajian riwayat kesehatan masa lalu pasien mengatakan tidak pernah

mengalami luka bakar sebelumnya, dan tidak ada penyakit lain yang menyertai. Dan

dalam pengkajian riwayat kesehatan keluarga penulis tidak menemukan adanya riwayat

luka bakar pada salah satu anggota keluarga pula. Namun pasien mengatakan bahwa

ayahnya adalah penderita hipertensi dengan riwayat perokok aktif. Penulis juga

mendapatkan data genogram pasien yaitu :

Gambar 4.1 Genogram keluarga pasien

Tn. MH
Ny. A
(62 Th)
(60 Th)

MN Tn. A NB MB

(37 Th) (36 Th) (30 Th) (27 Th)


39

Keterangan

: Laki – laki

: Perempuan

: Pasien

: Tinggal serumah

: Meninggal

Pada pengkajian riwayat psikologi, penulis mendapatkan pasien berkomunikasi

dengan keluarganya menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Aceh. Pasien dan

keluarga juga mengerti dan sesekali berkomunikasi dengan petugas kesehatan

menggunakan bahasa indonesia. Suara pasien dalam berkomunikasi cukup jelas dan

pasien tidak memiliki suatu gangguan yang berhubungan dengan komunikasi, pasien

juga dapat mengekspresikan apabila timbul nyeri. Pasien mengatakan tidak mengalami

hal-hal yang mengganggu jiwanya.

Pada pengkajian pemeriksaan fisik pasien, keadaan umum didapatkan pasien

dalam keaadan lemas, kesadaran composmentis yaitu keadaan seseorang sadar penuh

dan dapat menjawab pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya. Penulis juga

mendapatkan data vital sign denyut nadi 96 kali/menit, tekanan darah : 120/90 mmHg,

pernafasan 24 kali/menit dan suhu 37,5ºC.

Pada pemeriksaan kepala pasien mengeluh terasa pusing terutama saat mau

berdiri. Penulis mendapatkan tidak ada keluhan pada mata, hidung, dan telinga. Pada
40

pemeriksaan mulut didapatkan mukosa bibir kering, keadaan gigi dan gusi bersih dan

pada pemeriksaan integumen tidak ada kelainan pada kulit.

Pada pengkajian pola tidur dan kebiasaan , penulis mendapatkan data selama

dirawat pasien akan tidur setelah pemberian obat siang dan malam dengan kapasitas

tidur yaitu 7 jam perhari. Pasien juga akan dibangunkan oleh keluarga saat masuknya

waktu shalat. Untuk kebiasaan pasien seperti makan, minum, membersihkan badan,

membersihkan BAK dan BAB dibantu oleh keluarga.

Pada pengkajian pola eliminasi penulis mendapatkan data bahwa pola buang air

kecil (BAK) pasien 3-4 kali dalam sehari, karakter urin berbau pesing, tidak ada

kesulitan atau nyeri saat pasien BAK, pasien juga tidak ada riwayat penyakit

ginjal/kandung kemih. Pasien mengatakan pola buang air besar (BAB) 1 kali dalam

sehari, karakter feses bewarna kuning dan konsistensi agak keras, tidak ada riwayat

perdarahan dan tidak ada penggunaan laxative, pasien juga mengatakan tidak

mengalami diare.

Dalam pengkajian pola makan, pasien mengatakan makan makanan yang

disediakan oleh rumah sakit dan pasien selalu menghabiskannya dalam satu porsi. Jenis

makanan yang dikonsumsi pasien yaitu makanan padat. Keluarga juga mengatakan

pasien juga ada makan seperti roti yang dibawakan oleh keluarga dan makanan yang

dibawakan oleh tamu yang datang untuk menjenguk. Pasien juga mengatakan minum air

putih setiap lebih waktu lebih kurang 6 – 8 gelas/hari.

Data dari pengkajian pada tahap personal hygine pasien terlihat bersih tempat

tidurnya namun badan pasien tampak kurang bersih, pada pemeliharaan mulut dan gigi
41

pasien terlihat bersih dan gigi pasien masih lengkap dan rapi, kuku pasien pendek dalam

pemeliharaan yang baik dibantu oleh anggota keluarga.

Data dalam pemeriksaan penunjang pasien, penulis mendapatkan kadar

haemoglobin darah pasien 10,8 g/dl, hematokrit 32%, eritrosit 3, 9 10³/mm³, leukosit 9,3

10³/mm³. Penulis tidak menemukan data pemeriksaan penunjang lainnya pada pasien,

seperti pemeriksaan EKG, CT Scan, dan MRI.

2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan hasil data pengkajian tanggal 10 Januari 2021 yang penulis lakukan

pada Tn. A, penulis mengangkat 3 diagnosa keperawatan untuk Tn.A yaitu dianosa

pertama nyeri akut yang disebabkan oleh post operasi luka bakar pada kedua tangan dan

kepala. Data subjektif yang didapatkan adalah pasien mengatakan nyeri seperti ditusuk-

tusuk dan pusing dan data objektif wajah pasien tampak meringis, vital sign denyut

nadi 96 kali/menit, tekanan darah : 120/90 mmHg, pernafasan 24 kali/menit dan suhu

37,5ºC.

Diagnosa yang kedua yaitu kerusakan integritas kulit berhubungan dengan post

operasi luka bakar. Data subjektif yang didapat kan pasien mengatakan luka bakar pada

area kedua tangan dan kepalanya segera dioperasi dan data objektif tampak kepala dan

tangan terbalut perban, luas luka bakar pada kedua tangan 18% dan kepala 4,5%, wajah

tampak meringis, vital sign denyut nadi 96 kali/menit, tekanan darah : 120/90 mmHg,

pernafasan 24 kali/menit dan suhu 37,5ºC.

Diagnosa yang ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik yang disebabkan oleh

nyeri. Data subjektif yang penulis temukan pasien mengatatakan sulit untuk
42

menggunakan kedua tangannya karena akan terasa sangat nyeri apabila digerakkan dan

pasien mengatakatan pusing, data objektif pasien tampak lemah dan dibantu keluarga

dalam pemenuhan aktivitasnya, vital sign denyut nadi 96 kali/menit, tekanan darah :

120/90 mmHg, pernafasan 24 kali/menit dan suhu 37,5ºC.

3. Intervensi Keperawatan

Setelah menegakkan diagnosa keperawatan, selanjutnya penulis membuat

sebuah perencanaan keperawatan untuk diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan.

Dalam menyusun rencana tindakan keperawatan kepada pasien penulis menerapkan

berdasarkan prioritas masalah yang ditemukan, tidak semua rencana tindakan pada

teori dapat ditegakkan pada tinjauan kasus karena rencana tindakan pada tinjauan

kasus disesuaikan dengan keluhan dan keadaan klien, untuk Tn.A yaitu : Untuk

diagnosa pertama nyeri akut disebabkan luka post operasi luka bakar di tandai

dengan pasien tampak meringis. Rencana tindakan yang dilakukan kepada klien yaitu

identifikasi karakteristik nyeri, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri,

identifikasi respon nyeri non verbal, identifikasi faktor yang memperberat dan

memperingan nyeri, monitor efek samping penggunaan analgetik.

Untuk diagnosa kedua kerusakan integritas kulit disebabkan luka post operasi

luka bakar. Rencana tindakan yang akan dilakukan kepada Tn. A yaitu monitor

karakteristik luka (dranase, warna, ukuran, bau), monitor tanda-tanda infeksi,

lepaskan balutan dan plaster secara perlahan, bersihkan dengan NACL atau

pembersih nontoksik, bersihkan jaringan nekrotik, berikan salep yang sesuai dengan

luka/lesi, pasang balutan sesuai jenis luka, pertahankan teknik steril saat perawatan
43

luka, ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan drenase, jadwalkan perubahan

posisi setiap 2 jam atau sesuai dengan kondisi pasien, jelaskan tanda dan gejala

infeksi.

Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri

luka post operasi di tandai dengan pasien nyeri saat bergerak. Rencana tindakan yang

akan dilakukan kepada Tn. A yaitu identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik

lainnya, identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan, monitor frekuensi jantung

dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi, fasilitasi pasien melakukan

pergerakan, libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan

pergerakan.

4. Implementasi Keperawatan

Pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan tang telah disusun pada

tahap perencanaan (intervensi). Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat

pada kebutuhan pasien, faktor-fakor lain yang mempengaruhi kebutuhan

keperawatan, strategi implementasi keperawatan dan kegiatan komunikasi. Setelah

rencana tindakan ditetapkan, maka dilanjutkan dengan melakukan rencana tersebut

dalam bentuk nyata, sebelum diterapkan kepada pasien terlebih dahulu melakukan

pendekatan kepada pasien dan keluarga pasien agar tindakan yang akan diberikan

dapat disetujui pasien dan keluarga pasien, sehingga seluruh rencana tindakan asuhan

keperawatan sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien.

Untuk diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi luka

bakar di tandai dengan pasien tampak meringis, implementasi yang penulis lakukan
44

kepada Tn. A yaitu mengidentifikasi karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,

intensitas nyeri, mengidentifikasi respon nyeri non verbal, mengidentifikasi faktor

yang memperberat dan memperingan nyeri, memonitor efek samping penggunaan

analgetik, mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri, memfasilitasi

istirahat dan tidur, menjelaskan strategi meredakan nyeri, menganjurkan memonitor

nyeri secara mandiri, mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri.

Untuk diagnosa kedua kerusakan integritas kulit disebabkan oleh post operasi

luka bakar, implementasi yang penulis lakukan kepada Tn. A yaitu monitor

karakteristik luka (dranase, warna, ukuran, bau), monitor tanda-tanda infeksi,

melepaskan balutan dan plaster secara perlahan, membersihkan dengan NACL atau

pembersih nontoksik, membersihkan jaringan nekrotik, memberikan salep yang

sesuai dengan luka, memasang balutan sesuai jenis luka, mempertahankan teknik

steril saat perawatan luka, mengganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat,

menjadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai dengan kondisi pasien.

Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik disebabkan oleh nyeri luka

post operasi di tandai dengan pasien nyeri saat bergerak, implementasi yang penulis

lakukan kepada Tn. A yaitu mengidentifikasi kebutuhan dilakukan latihan rentang

gerak aktif dan pasif, menjelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedur sebelum

dilakukan tindakan, mengidentifikasi langkah-langkah yang sesuai, menempatkan

ekstremitas yang cedera dalam posisi fungsional, mengkolaborasikan dengan ahli

fisioterapi untuk latihan fisik klien, menganjurkan membatasi gerak pada area

cedera.
45

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi terhadap masalah nyeri akut pada kasus Tn. A dengan luka

bakar selama tiga hari diperoleh hasil: 1) pasien mengetahui penyebab nyeri; 2)

pasien belum mampu melakukan teknik nafas dalam; 3) pasien mengatakan nyeri

belum berkurang; dan 4) pasien sudah mengetahui skala nyeri dan tanda nyeri.

Hasil evaluasi ini menyimpulkan bahwa masalah nyeri akut pada Tn. A belum

teratasi dan tindakan masih perlu dilanjutkan.

Evaluasi terhadap masalah ketidakefektifan jaringan kulit pada kasus Tn. A

dengan luka bakar selama tiga hari rawatan diperoleh hasil: 1) perfusi jaringan

pasien membaik 2) menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit 3) belum

mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit. Hasil evaluasi ini

menyimpulkan bahwa masalah kerusakan integritas kulit pada Tn. A sudah teratasi

sebahagian dan tindakan tetap dilanjutkan.

Evaluasi terhadap masalah hambatan mobilitas fisik pada kasus Tn. A dengan

luka bakar selama tiga hari rawatan diperoleh hasil: 1) pasien belum mampu

melakukan aktivitas fisik seperti mandi; dan 2) pasien mengatakan nyeri berkurang

sedikit dan masih merasa lemah. Hasil evaluasi ini menyimpulkan bahwa masalah

hambatan mobilitas fisik pada Tn. A sudah teratasi sebahagian dan tindakan tetap

dilanjutkan.

B. Pembahasan

1. Pengkajian
46

Keluhan utama pada kasus Tn. A adalah nyeri pada bagian post operasi luka

bakar seperti ditusuk, pusing dan kerusakan integritas kulit. Pengkajian keluhan

saat ini juga diketahui bahwa nyeri semakin parah saat beraktivitas dengan skala 5.

Keluhan yang dialami oleh Tn. A ini sejalan dengan gejala dan tanda dari penyakit

luka bakar seperti yang dikemukakan oleh Anggowarsito (2014), yaitu manifestasi

klinis pada luka bakar sangat khas berupa keluhan nyeri, kerusakan yang terjadi di

permukaan kulit, kulit akan tampak kemerahan, tidak atau ada timbul bulla sesuai

derajat luka, oedem. Lebih lanjut Price A (2014) mengatakan bahwa berbagai

reaksi nyeri pada luka bakar tergantung pada derajat luka bakar seperti derajat

pertama secara ektren sensitive untuk disentuh, ditekan, gerakan udara, dan pada

perubahan suhu, luka bakar ketebalan sedang derajat dua sangat nyeri, sementara

respon pada luka bakar ketebalan derajat kedua tergantung pada keutuhan ujung

saraf.

Keluhan kerusakan integritas kulit pada kasus Tn. A dengan luka bakar

menurut Adibah dan Winasis (2014) disebabkan karena luka bakar bisa merusak

kulit yang berfungsi melindungi kita dari kotoran dan infeksi. Jika banyak

permukaan tubuh terbakar, hal ini bisa mengancam jiwa karena terjadi kerusakan

pembuluh darah, ketidakseimbangan elektrolit dan suhu tubuh, gangguan

pernafasan serta fungsi saraf.

Selanjutnya pada kasus Tn. A dengan luka bakar juga adanya keluhan bahwa

nyeri yang timbul pada pasien post operasi luka bakar semakin parah saat

beraktivitas. Hal ini menurut Tiwari (2012) disebabkan karena pada pasien luka
47

bakar panas yang mengenai tubuh tidak hanya mengakibatkan kerusakan lokal

tetapi memiliki efek systemic. Diantaranya penurunan kekuatan, tahanan,

keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit, gangguan masa otot, dan

perubahan tonus. Hal ini menyebabkan semakin pasien melakukan aktivitas

kondisi ini semakin parah untuk meningkatkan dan menimbulkan nyeri (Price A,

2014).

Pengkajian riwayat kesehatan masa lalu pada kasus Tn. A dengan luka bakar

diperoleh informasi bahwa pasien tidak memiliki riwayat luka bakar sebelumnya

dan tidak memiliki riwayat penyakit lain. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan

oleh Ariningrum dan Subandono (2018), yaitu terdapat hubungan yang positif

antara penyakit lain yang dapat menghambat penyembuhan luka karena

mengganggu deposisi kolagen jaringan, berkurangnya vaskularisasi berakibat

penurunan suplai oksigen dan nutrisi, berkurangnya mobilitas, dan berpengaruh

terhadap metabolisme sel.

Pengkajian riwayat kesehatan keluarga pada kasus Tn. A dengan luka bakar

diketahui bahwa tidak ada nggota keluarga yang mengalami riwayat luka bakar

namun ayahnya penderita hipertensi dan perokok aktif. Hal ini sesuai dengan

pendapat yang dikatakan oleh Price A (2014) bahwa tidak terdapat korelasi kasus

pada anggota keluarga terhadap kejadian infeksi luka bakar.

Pengkajian pola kebiasaan sehari-hari pada kasus Tn. A dengan luka bakar

diketahui bahwa seluruh kebutuhan pasien selama sakit dan dirawat di bantu oleh

keluarga. Kondisi ini disebabkan karena Tn. A merasa keterbatasan gerak, dan
48

timbul nyeri pada area luka jika terlalu banyak aktivitas. Pernyataan yang sama

juga dikemukakan oleh Fatah (2019), yaitu klien dengan luka bakar biasanya

nampak kulit tidak utuh, letih dan lesu, klien nampak bedrest, mengalami

penurunan massa dan kekuatan otot

Pemeriksaan fisik khusus pada kasus Tn. A dengan luka bakar ditemukan

total luas luka bakar pasien pada kedua tangan 18% dan pada area kepala 4,5 % dan

saat ini area luka bakar pasien terbalut perban. Hasil pemeriksaan fisik ini sejalan

dengan yang dikemukakan oleh Sitanggang. (2019) yaitu pada beberapa

karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan tindakan khusus yang berbeda.

Karakteristik ini meliputi luasnya, penyebab (etiologi) dan anatomi luka bakar.

Sehingga sangat penting untuk diukur.

Pemeriksaan fisik lainnya ditemukan pemenuhan activity of daily livimg pada

kasus Tn. A dengan luka bakar sepenuhnya dibantu oleh keluarga. Hasil tersebut

sejalan dengan yang dikemukakan oleh Doengoes. (2000), yaitu pada pasien

dengan luka bakar ditemukan adanya gejala pasien biasanya nampak kulit tidak

utuh, letih dan lesu, klien nampak bedrest, mengalami penurunan massa dan

kekuatan otot sehingga apabila seorang mengalami luka bakar akan sangat

mempengaruhi sistem muskuloskeletal dimana pula nyeri berat yang tiba – tiba atau

bahkan mungkin terlokalisasi pada area jaringan yang dapat menyebabkan

berkurang untuk imobilisasi.

Pemeriksaan diagnostik, yaitu periksaan laboratorium darah lengkap

pada kasus Tn. A dengan luka bakar ditemukan kadar haemoglobin 10,8
49

haematokrit 32 dan eritrosit 3,9. Hal ini sejalan dengan teori sel darah putih

biasanya meningkat pada pasien luka bakar akibat respons terhadap kondisi akut

yang terjadi atau disebabkan oleh infeksi. Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat

meningkat akibat kehilangan cairan atau perdarahan. Sehingga pemeriksaan

laboratorium darah lengkap pada pasien luka bakar sangat penting untuk dilakukan

(Rismala, 2014).

2. Diagnosa Keperawatan

Analisa data pada kasus Tn. A dengan luka bakar diperoleh diagnosa

keperawatan, yaitu 1) nyeri akut; 2) kerusakan integritas kulit; dan 3) hambatan

mobilitas fisik. Ketiga diagnosa keperawatan ini sesuai dengan yang dikemukakan

dalam NANDA International Nursing Diagnosis and Calssification 2018-2020 .

Diagnosa keperawatan nyeri akut pada kasus Tn. A dengan luka bakar

muncul didukung dengan data 1) pasien mengeluh nyeri seperti ditusuk; 2) nyeri

semakin parah saat beraktivitas; 3) nyeri berada pada skala 5; 5) wajah meringis; 6)

denyut nadi 96 kali/menit; 7) TD: 120/90 mmHg; 8) pernafasan 24 kali/menit.

Diagnosa keperawatan nyeri dada akut pada Tn. A ini sejalan dengan yang

dikemukakan oleh NANDA International Nursing Diagnosis and Calssification

2018-2020, yaitu nyeri akut didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan

emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau

potensial, atau dijelaskan dalam hal kerusakan tersebut (International Association

for the Study of Pain); tiba-tiba atau lambat mulai dari intensitas apa saja dari

ringan ke berat dengan akhir yang diantisipasi atau diprediksi, dan dengan durasi
50

kurang dari 3 bulan. Adapun batasan karakteristiknya adalah mengeluh nyeri,

tampak meringis, bersikap protektif (posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi

nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu

makan berubah, proses berpikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri

dan diaforesis .

Diagnosa keperawatan kerusakan integritas kulit kasus Tn. A dengan luka

bakar didukung data, yaitu 1) pasien mengeluh nyeri seperti ditusuk; 2) nyeri

semakin parah saat beraktivitas; 3) nyeri berada pada skala 5; 5) wajah meringis; 6)

denyut nadi 96 kali/menit; 7) TD: 120/90 mmHg; 8) pernafasan 24 kali/menit; 9)

luasa area luka bakar pasien kedua tangan 18% dan kepala 4,5%; 10) area luka

bakar pasien terbalut perban.

Diagnosa keperawatan kerusakan integritas kulit kasus Tn. A dengan luka

bakar ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh NANDA International Nursing

Diagnosis and Calssification 2018-2020, yaitu kerusakan integritas kulit adalah

keadaan dimana terjadinya kerusakan pada epidermis dan/atau dermis kulit.

Batasan karakteristik: nyeri akut, gangguan integritas kulit, kemerahan, area panas

local. Faktor yang berhubungan: lembab .

Selanjutnya diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik pada kasus Tn. A

dengan luka bakar didukung oleh data, yaitu 1) nyeri saat beraktivitas; 2) pasien

bedrest; 3) kekuatan otot menurun; 4) kebutuhan sehari-hari pasien dibantu; dan 5)

pasien terbaring lemah. Diagnosa keperawatan ini juga sesuai dengan NANDA

International Nursing Diagnosis and Calssification 2018-2020, yang


51

mendefinisikan hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan gerakan fisik atau satu

atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah. Hal ini terjadi dikarenakan pasien

yang mengalami luka bakar biasanya akan ikut terganggu sistem neurologis serta

sistem muskuluskletalnya, sehingga mengakibatkan gangguan pergerakan pada

pasien atau pasien harus dibantu dalam pemenuhan kebutuhannya. Faktor ini

berhubungan dengan intoleransi aktivitas pasien, penurunan kekuatan otot,

penurunan kendali otot, serta penurunan massa otot pasien. Karakteristik diagnosa

keperawatan hambatan mobilitas fisik ditandai dengan tanda-tanda dan gejala-

gejala; 1) penurunan keterampilan motorik halus; 2) penurunan keterampilan

motorik kasar; 3) penurunan rentang gerak; 4) kesulitan membolak-balik posisi .

3. Intervensi Keperawatan

Rencana keperawatan pada kasus Tn. A dengan luka bakar disusun

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh Nursing Outcomes Classification

(NOC) dan Nursing Interventions Classification (NIC) yang dikutip dari Herdman

dan kamitsuru (2018). Rencana keperawatan untuk mengatasi masalah nyeri akut

pada Tn. A dengan luka bakar disusun dengan tujuan sesuai NOC, yaitu 1) pain

Level; 2) pain control; dan 3) comfort level. Indikator yang ditetapkan juga

mengacu pada NOC, yaitu 1) mampu mengontrol nyeri; 2) melaporkan bahwa nyeri

berkurang; dan 3) mampu mengenali nyeri. Rencana tindakan keperawatan untuk

mengatasi masalah nyeri akut pada Tn. A dengan luka bakar juga disusun

berdasarkan NIC (lampiran 4). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui

bahwa tujuan, indikator dan rencana tindakan keperawatan yang disusun dalam
52

kasus Tn. A dengan luka bakar untuk mengatasi masalah nyeri akut tidak berbeda

dengan yang dikemukakan secara teoritis dalam NOC dan NIC .

Rencana keperawatan untuk mengatasi masalah kerusakan integritas kulit

pada Tn. A dengan luka bakar disusun dengan tujuan sesuai NOC, yaitu 1)

integritas jaringan; 2) penyembuhan luka. Indikator yang ditetapkan juga mengacu

pada NOC, yaitu 1) integritas kulit yang baik bisa dipertahankan 2) perfusi jaringan

baik 3) menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah

terjadinya cedera berulang 4) mampu melindungi kulit dan mempertahankan

kelembapan kulit. Rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah

penurunan curah jantung pada Tn. A dengan luka bakar juga disusun berdasarkan

NIC (lampiran 4). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa tujuan,

indikator dan rencana tindakan keperawatan yang disusun dalam kasus Tn. A

dengan luka bakar untuk mengatasi masalah kerusakan integritas kulit tidak

berbeda dengan yang dikemukakan secara teoritis dalam NOC dan NIC .

Selanjutnya rencana keperawatan untuk mengatasi masalah hambatan

mobilitas fisik pada Tn. A dengan luka bakar disusun dengan tujuan sesuai NOC,

yaitu 1) gerakan sendi aktif; 2) tingkat mobilitas; 3) perawatan diri (ADL).

Indikator yang ditetapkan juga mengacu pada NOC, yaitu 1) berpartisipasi dalam

aktivitas fisik; 2) meningkatkan aktivitas secara bertahap; 3) mengungkapkan

pemahaman tentang perlunya menyeimbangkan istirahat dan aktivitas; dan 4)

menunjukkan peningkatan toleransi aktivitas. Rencana tindakan keperawatan untuk

mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik pada Tn. A dengan luka bakar juga

disusun berdasarkan NIC (lampiran 4). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
53

diketahui bahwa tujuan, indikator dan rencana tindakan keperawatan yang disusun

dalam kasus Tn. A dengan luka bakar untuk mengatasi masalah hambatan mobilitas

fisik tidak berbeda dengan yang dikemukakan secara teoritis dalam NOC ) dan NIC

4. Implementasi Keperawatan

Tindakan keperawatan yang diberikan kepada Tn. A dengan luka bakar

penulis lakukan selama 3 hari sesuai dengan rencana keperawatan yang telah

disusun. Seluruh masalah keperawatan yang muncul pada kasus Tn. A dengan luka

bakar dapat penulis berikan tindakan keperawatan sesuai dengan perencanaan.

Adapun masalah keperawatan yang penulis berikan tindakan selama Tn. A dirawat

adalah: 1) nyeri akut; 2) kerusakan integritas kulit; dan 3) hambatan mobilitas fisik.

Tindakan keperawatan untuk masalah nyeri akut pada Tn. A dengan luka

bakar yang penulis lakukan, dari 10 tindakan yang direncanakan sesuai dengan

Nursing Interventions Classification (NIC) dari Herdman dan Kamitsuru (2018),

seluruhnya dapat dilaksanakan yaitu 1) mengkaji nyeri, meliputi lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi; 2) mengkaji ekspresi

wajah pasien terhadap ketidaknyamanan akibat nyeri; 3) membantu pasien dan

keluarga untuk manajemen nyeri; 4) mengatur lingkungan yang nyaman seperti

suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan; 5) menganjurkan pasien bedrest total

untuk mengurangi faktor presipitasi nyeri; 6) mengkaji tipe dan sumber nyeri; 7)

mengajarkan pasien teknik napas dalam; 8) memberikan terapi oksigen; 9)

memberikan analgetik; 10) meningkatkan istirahat bagi pasien; dan 11)


54

menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang nyeri seperti penyebab nyeri,

berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa tindakan keperawatan yang

diberikan dalam kasus Tn. A dengan luka bakar untuk mengatasi masalah nyeri

akut tidak berbeda dengan yang dikemukakan secara teoritis dalam NIC .

Tindakan keperawatan untuk masalah kerusakan integritas kulit pada Tn. A

dengan luka bakar yang penulis lakukan, dari 5 tindakan yang direncanakan sesuai

dengan Nursing Interventions Classification (NIC) dari Herdman dan Kamitsuru.

(2018), seluruhnya dapat dilaksanakan yaitu 1) menjaga kebersihan kulit sekitar

luka agar tetap bersih dan kering 2) memobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap

dua jam sekali 3) memonitor kulit akan adanya kemerahan 4) memonitor aktivitas

dan mobilisasi pasien 5) memonitor status nutrisi pasien. Berdasarkan hal tersebut,

maka dapat diketahui bahwa tindakan keperawatan yang diberikan dalam kasus Tn.

A dengan luka bakar untuk mengatasi masalah kerusakan integritas kulit tidak

berbeda dengan yang dikemukakan secara teoritis dalam NIC .

Tindakan keperawatan untuk masalah hambatan mobilitas fisik pada Tn. A

dengan luka bakar yang penulis lakukan, terdapat 7 tindakan yang direncanakan

sesuai dengan Nursing Interventions Classification (NIC) dari Herdman dan

Kamitsuru. (2018) yang dapat dilaksanakan yaitu 1) mengkolaborasikan dengan

tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan progran terapi yang tepat 2)

membantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan 3)

membantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik,

psikologi dan social 4) membantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti
55

kursi roda 5) membantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang 6)

bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas 7)

membantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan. Berdasarkan

hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa tindakan keperawatan yang diberikan

dalam kasus Tn. A dengan luka bakar untuk mengatasi masalah hambatan mobilitas

fisik tidak berbeda dengan yang dikemukakan secara teoritis dalam NIC . Akan

tetapi karena faktor kelemahan pasien, tidak semua tindakan dapat diberikan.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi tindakan keperawatan yang penulis lakukan pada kasus Tn. A

dengan luka bakar didasarkan pada kriteria yang ditetapkan oleh NOC dari

Herdman (2018). Evaluasi terhadap masalah nyeri akut pada kasus Tn. A dengan

luka bakar selama tiga hari rawatan diperoleh hasil: 1) pasien mengetahui penyebab

nyeri; 2) pasien belum mampu melakukan teknik nafas dalam; 3) pasien

mengatakan nyeri belum berkurang; dan 4) pasien sudah mengetahui skala nyeri

dan tanda nyeri. Hasil evaluasi ini menyimpulkan bahwa masalah nyeri akut pada

Tn. A belum teratasi dan tindakan masih perlu dilanjutkan.

Evaluasi terhadap masalah ketidakefektifan jaringan kulit pada kasus Tn. A

dengan luka bakar selama tiga hari rawatan diperoleh hasil: 1) perfusi jaringan

pasien membaik 2) menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit 3) belum

mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit. Hasil evaluasi ini
56

menyimpulkan bahwa masalah kerusakan integritas kulit pada Tn. A sudah teratasi

sebahagian dan tindakan tetap dilanjutkan.

Evaluasi terhadap masalah hambatan mobilitas fisik pada kasus Tn. A dengan

luka bakar selama tiga hari rawatan diperoleh hasil: 1) pasien belum mampu

melakukan aktivitas fisik seperti mandi; dan 2) pasien mengatakan nyeri berkurang

sedikit dan masih merasa lemah. Hasil evaluasi ini menyimpulkan bahwa masalah

hambatan mobilitas fisik pada Tn. A sudah teratasi sebahagian dan tindakan tetap

dilanjutkan. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa evaluasi keperawatan yang

dinilai sudah sesuai dengan teori.


57

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengkajian.

Hasil pengkajian pada kasus Tn. A dengan luka bakar ditemukan data adanya

nyeri seperti ditusuk dan luas luka bakar di kedua tangan 18% dan kepala 4,5%,

nyeri semakin parah saat beraktivitas, tidak ada riwayat penyakit lain, seluruh

kebutuhan pasien selama sakit dan dirawat di bantu oleh keluarga,

2. Diagnosa Keperawatan.

Diagnosa keperawatan prioritas pada kasus Tn. A dengan luka bakar yang

muncul, 3 diagnosa keperawatan sudah sesuai dengan NANDA International

Nursing Diagnosis and Calssification 2018-2020 dari Herdman dan Kamitsuru

(2018), yaitu 1) nyeri akut; 2) kerusakan integritas kulit; dan 3) hambatan mobilitas

fisik.

3. Rencana Keperawatan.

Rencana keperawatan pada kasus Tn. A dengan luka bakar disusun

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh Nursing Outcomes Classification

(NOC) dan Nursing Interventions Classification (NIC).

4. Tindakan Keperawatan.

Tindakan keperawatan pada kasus Tn. A dengan luka bakar secara umum

dapat dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah disusun. Akan

56
58

tetapi ada beberapa tindakan yang tidak dapat dilaksanakan karena faktor kondisi

fisik pasien yang masih lemah.

5. Evaluasi

Evaluasi keberhasilan tindakan pada kasus Tn. A dengan luka bakar

dilakukan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh Nursing Outcomes

Classification (NOC). Tiga masalah keperawatan yang diberikan tindakan selama 3

hari rawatan, seluruh masalah keperawatan teratasi sebahagian.

B. Saran

1. Pasien dan Keluarga.

Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang

perawatan pada pasien luka bakar, agar lebih memahami dalam proses perawatan

pasien luka bakar.

2. Rumah Sakit.

Diharapkan dapat menyusun Standar Prosedur Operasional (SPO) dalam

asuhan keperawatan pada pasien luka bakar, agar lebih baik perawat yang

memberikan layanan mampu merawat pasien luka bakar dengan baik.

3. Penulis.

Penulis merasakan masih perlu meningkatkan pengetahuan, sikap dan

keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien luka bakar sesuai

dengan standar yang telah ditetapkan oleh NANDA, NOC dan NIC.

50

Anda mungkin juga menyukai