Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Luka bakar merupakan bentuk cedera yang bisa terjadi baik secara kontak
langsung maupun paparan terhadap sumber panas, listrik, kimia, serta terpapar
radiasi. Cedera luka bakar terjadi ketika energy dari sumber panas
dipindahkan ke jaringan tubuh. Kedalaman cidera berhubungan dengan suhu.
Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di
masyarakat. Sekitar 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat
setiap tahunnya dari kelompok ini 200.000 pasien memerlukan penanganan
rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit, sekitar 12.000
meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013, prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar 0,7%.
Prevalensi tertinggi terjadi pada usia 1-4 tahun.
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter,
biaya yang dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannya. Luka bakar
masih menjadi masalah karena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
terutama pada luka bakar derajat II dan III yang lebih dari 40%, dengan angka
kematian 37,38%. Penanganan dalam penyembuhan luka bakar antara lain
mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk
berpoliferasi dan menutup permukaan luka. Penyembuhan luka melewati tiga
fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling. Faktor yang
bisa mengganggu dan menghambatmproses penyembuhan ini adalah infeksi.
Permasalahan yang terjadi pada luka bakar yaitu terjadinya kerusakan
intergritas kulit atau kehilangan jaringan yang merupakan pintu masuknya
kuman sehingga infeksi selalu dapat terjadi (Effendi, 1999; Wong &
Whaley’s, 2003). Cedera akibat luka bakar, terutama luka bakar yang parah
akan menyebabkan respons imun dan inflamasi, perubahan metabolik, dan
syok distributif yang sulit ditangani dan dapat menyebabkan kegagalan
banyak organ. Hal yang paling penting adalah bahwa luka bakar tidak hanya
mempengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental dan kualitas
hidup pasien (Jeschke et al., 2020).
Perawatan luka bakar telah meningkat dalam beberapa decade terakhir,
menyebabkan tingkat mortalitas korban cedera luka bakar yang lebih rendah.
Kemajuan dalam perawatan prarumah sakit dan rawat inap telah menyumbang
banyak terhadap ketahanan hidup (Church et al., 2006; Tong et al., 2020).
Namun, disamping kemajuan itu, banyak orang yang msaih mengalami cedera
dan meningkat setiap tahunnya akibat luka bakar. Diperkirakan Sekitar 265
ribu kematian yang terjadi diseluruh Dunia disebabkan luka bakar (WHO,
2018). Di Amerika Serikat, diperkirakan 486.000 orang ditangani setiap
tahunya untuk luka bakar diperawatan medis. Jumlah ini termasuk 2.745
kematian akibat kebakaran pemukiman, 310 dari kebakaran kecelakaan
kendaraan, dan dari sumber lain. Angka kematian meningkat pada rentang
usia anak-anak dan orang tua dibandingkan rentang usia dewasa muda dan
usia pertengahan. Penderita luka bakar luas harus dipindahkan ke fasilitas
khusus perawatan luka bakar untuk mendapatkan perawatan sesegera mungkin
(American Burn Association, 2016). Sedangkan untuk di Indonesia sendiri
sekitar 2,6 juta jiwa yang mengalami luka bakar tiap tahunnya dengan
prevalensi berada pada provinsi Riau dan NAD.
Perawatan luka bakar merupakan tindakan asuhan keperawatan medikal
bedah yang sering diberikan perawat untuk merawat pasien dengan luka bakar
dengan tindakan perawatan luka yang tepat, sehingga penyembuhan luka
bakar akan cepat. Impikasinya adalah waktu perawatan akan pendek sehingga
biaya yang akan ditanggung pasien akan semakin rendah. Hasil yang
diharapkan untuk penyembuhan luka bakar adalah jika diperoleh waktu
penyembuhan yang minimal dengan komplikasi yang sedikit. Salah satu
faktor dalam penyembuhan luka bakar yaitu perawatan luka bakar. Perawatan
luka bakar bersifat kompleks dan menantang. Luka bakar yang terinfeksi
dapat menyebabkan cacat lanjut atau kematian. Biaya perawatan pasien yang
menderita luka bakar yang luas sangat besar yang harus ditanggung oleh
keluarganya. Jika pasiennya orang dewasa, tidak hanya berpengaruh pada
hilangnya penghasilan tetapi juga pada perawatan pasien tersebut yang harus
terus menerus dan mahal.
Banyak perawatan yang dapat dilakukan untuk luka bakar salah satunya
adalah dengan mengunakan madu. Madu merupakan pemanisi yang sangat
popular dan produk rumah tangga yang umum diseluruh dunia. Madu berisfat
tidak irritant,tidak beracun, mudah didapatkan dan murah (Bansal et al.,
2005). Madu telah digunakan sejak zaman kuno sebagai metode dalam
mempercepat penyembuhan luka. Madu telah dikenal selama bertahun-tahun
dan digunakan bagai sebagai pengobatan berbagai penyakit (van den Berg, E.
van den Worm Hoekstra, 2008). Madu terdiri dari air, gula, asam organik,
senyawa nitrogen, bio-elemen, flavonoid, karotenoid, minyak ethereal,
fosfolipid, vitamin dan mikro. Karbohidrat yang meliputi terutama
monosakarida (glukosa, fruktosa dan jumlah sedikit polisakarida: sukrosa dan
maltosa) sementara senyawa protein yang terutama enzim, sederhana protein -
Albumin dan globulin dan asam amino bebas yang berasal dari kelenjar lebah
fauces yang dapat dimanfaatkan sebagai pengobatan. Madu memiliki efek
sinergis dengan mengintensifkan aktivitas antibakteri antibiotik dikenal
terhadap multi-resisten mikroorganisme. Ini menunjukkan aktivitas
bakterisida secara signifikan lebih kuat terhadap G + bakteri, menghasilkan
efek pada Staphylococcus aureus, streptokokus: Streptococcus pyogenes dan
Strep. Pneumonia, namun memiliki efek yang lebih lemah pada bakteri Gdari
Enterobacteriacae keluarga: E. coli, Proteus vulgaris, Salmonella, Klebsiella
pneumoniae, Shigella atau non fermentasibatang keluarga Pseudomonas.
Selain itu, madu adalah produk energiknya yang berfungsi sebagai anti-
oksidasi detoxication, kekebalan modulasi, anti-alergi, regenerasi dan
penenang. Konsentrasi madu 1% merangsang monosit untuk melepaskan
sitokin IL-1 dan IL6 dan TNF-α yang mengaktifkan respon imunologi]. Sifat
madu yang tercantum di atas memungkinkan untuk aplikasi yang luas di
berbagai bidang kedokteran, misalnya, dalam kedokteran gigi, ginekologi,
urologi, dermatologi, penyakit internal yang [32-36], dalam pengobatan sulit
untuk menyembuhkan luka, luka bakar, luka baring, ulserasi crural trofik,
ulserasi mukosa lambung, radang saluran napas atas, rongga mulut dan
penyakit parodontium, dan terutama dalam mengobati dry socket (Zaneta et
al., 2013).
Madu terbukti secara efektif dapat dalam penyembuhan luka, hampir
semua jenis luka seperti abrasi, abses, amputasi, luka bakar, fistula, dll.
Aplikasi dari madu sebagai pembalut luka menyebabkan penyembuhan cepat,
memberishkan infeksi, menstimulus regulasi jaringan, mengurangi peradangan
dan non perekat pembalut jaringan(Gethin & Cowman, 2005; Lusby et al.,
2006). Banyak penelitian yang menyebutkan madu efektif dalam
penyembuhan berbagai macam luka termasuk luka bakar.
Dalam Evidence Based Practice ini, penulis ingin membahas tentang
Efektivitas Penggunaan Madu Terhadap Penyebuhan Luka Bakar

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalah pada evidence beded
practice ini adalah apakah penggunaan madu efektif terhadap penyembhan luk
bakar.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui efektivitas penggunaan madu terhadap penyembuhan luka
bakar.
1.4 Manfaat
1. Bagi Profesi Keperawatan
Dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi perawat mengenai aplikasi
pengobatan luka bakar pada manusia dengan menggunakan madu.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi instansi dalam mengetahui
penanganan luka bakar dengan menggunakan bahan alam seperti madu.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya untuk
mengembangkan penelitian yang lebih dalam terkait aplikasi pengobatan
luka bakar pada manusia dengan menggunakan madu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hasil Jurnal
No. Judul Nama Peneliti Tujuan Populasi/Sampel Metode Hasil
1. Formulasi Dan Aprianti Sigala, Tujuan dalam Populasi dalam Metode penelitian yang Hasil penelitian
Efektifitas Krim Sugiyanto penelitian ini penelitian ini adalah digunakan dalam penelitian menunjukkan bahwa
Madu Hutan Dari adalah untuk hewan uji (kelinci). ini adalah menggunakan Fhitung lebih besar dari
Daerah Suli Barat menentukan Pemilihan kelinci jantan penelitian Rancangan Ftabel pada taraf α=0,05
Kabutapen Luwu formulasi dan sebagai hewan uji karena Eksperimen Murni (True- (8,70 > 2,78) maka
Untuk Terapi Luka efektivitas krim kelinci memiliki struktur Experimental Design). hipotesis Ho ditolak dan
2022 madu hutan dari dan sistem pencernaan Rancangan penelitian Ha diterima. Kesimpulan
daerah Suli yang unik hampir mirip ekperimen ini digunakan menunjukkan bahwa
Barat Kabupaten dengan manusia. Sampel untuk mengungkapkan adanya pengaruh/efek
Luwu untuk dalam penelitian ini hubungan sebab-akibat yang bermakna dari
terapi luka bakar adalah sebanyak 5 ekor dengan cara melibatkan pemberian madu hutan
grade II kelinci yang telah kelompok control disamping dengan konsentrasi tinggi
memenuhi kriteria untuk kelompok eksperimental, terhadap luka bakar pada
dibuat luka bakar. yang pemilihan kedua hewan uji kelinci.
Kriteria tersebut yaitu kelompok tersebut
kelinci jantan dewasa, menggunakan tekhnik acak.
berat badan 2 – 3 kg,
sehat, dan nutrisi sama,
yaitu jenis dan
kuantitasnya yang sama.
Kemudian akan dibuat
luka bakar dengan luas
luka bakar sama, yaitu
dengan diameter ± 2 cm.
2. Perbandingan Arif Mz , Penelitian ini Pada penelitian Penelitian ini merupa Dari hasil penelitian luka
Tingkat Kesembuhan Muhartono bertujuan menggunakan 9 ekor kan penelitian eksperimental bakar pada kulit tikus
Luka Bakar dengan membandingkan tikus jantan galur laboratorik yang akan menunjukann rata-rata
Pemberian Madu dan tingkat Spraque dawley menggunakan metode kesembuhan kulit secara
Pemberian kesembuhan dijadikan subyek rancangan acak terkontrol histopatologis pada K1,
Gentamisin Topikal luka bakar penelitian. Tikus dibagi dengan pola post test only K2, dan K3 adalah
pada Tikus Putih dengan menjadi 3 kelompok controlled group design. 0,817±2,57, 0,774±4,23,
(Rattus Norvegicus) pemberian madu secara random yaitu: K1 dan 0,691±4,27 dengan
dan gentamisin (kontrol), K2 (madu nilai P=0,001 pada uji
topikal. 100%), K3 ( Gentamisin Kruskal-Wallis. Pada
Topikal Gel 0,1%×10gr) analisa Mann-Whitney
setelah 14 hari test nilai p pada tiap
pengamatan kelompok adalah: antara
K1 dan K2 p=0,001
kemudian K1 dan K3
p=0,001, untuk uji
kelompok K2 dan K3
p=0,936. Pada hasil uji
klinis didapat rata-rata
50,70±15,28 pada K1,
94,48±6,07 pada K2 dan
K3, 92,14±6,85. Pada uji
ANOVA didapatkan
p=0,039, dilanjutkan pada
uji post hoc terdapat
perbedaan bermakna pada
kelompok K1 terhadap
kelompok K2 dan K3
dengan nilai p=0,001.
Pada penelitian ini
didapatkan hasil tingkat
kesembuhan luka bakar
secara klinis lebih baik,
hal ini terlihat dari hasil
pengukuran diameter luka
bakar yang menunjukan
bahwa luka bakar yang
diberikan madu sebagai
agen penyembuh terlihat
lebih baik. madu dapat
dijadikan sebagai obat
alternatif pada luka bakar
sebagai pengganti
antibiotik gentamisin
topikal, terutama di
daerah terpencil.
3. Tingkat Efektivitas Hendy , I Penelitian ini Pada penelitian Penelitian ini menggunakan Hasil penelitian luka
Penyembuhan Luka Nyoman Erlich bertujuan menggunakan 25 ekor penelitian eksperimental bakar pada kulit tikus
Bakar Derajat IIA Lister membandingkan tikus jantan Rattus laboratorium dengan metode menunjukan kesembuhan
dengan Pemberian tingkat Norvegicus dijadikan posttest only group design kulit pada K1, K2, K3,
Madu dan Pemberian kesembuhan subyek penelitian dengan yang dilakukan di Fakultas K4, dan K5 adalah K1
Salep Nebacetin pada luka bakar menggunakan Ilmu Pengetahuan Alam sembuh pada hari ke-13,
Tikus Putih (Rattus dengan eksperimental Department Biologi K2 sembuh (keropeng
Norvegicus) pemberian madu laboratorik dengan Universitas Sumatera Utara terlepas) pada hari ke-7,
dan nebacetin metode pos test only yang dimulai pada bulan K3 sembuh (keropeng
topikal. control group design. Januari 2019. terlepas) pada hari ke-10,
Tikus dibagi menjadi 5 K4 sembuh (keropeng
kelompok secara random terlepas) pada hari ke-9,
yaitu: K1 (Kontrol), K2 K5 sembuh (keropeng
(Madu 1x1), K3 (Madu terlepas) pada hari ke-11.
3x1), K4 (Nebacetin Simpulan, madu dapat
Topikal Gel 5gr 1x1), K5 dijadikan sebagai obat
(Nebacetin Topikal 5gr alternatif pada luka bakar
3x1) dan dilakukan 15 sebagai pengganti
hari pengamatan. antibiotik nebacetin
topikal, terutama di
daerah terpencil.
4. Efektivitas gel madu Vera Dewi Mulia, Penelitian ini Sebanyak 30 ekor tikus Penelitian ini adalah studi Hasil studi menunjukkan
lokal Aceh terhadap Muhammad bertujuan untuk dengan luka bakar eksperimental untuk bahwa pemberian madu
penyembuhan luka Jailani , Syamsul mengetahui derajat IIb dibagi membandingkan efek secara topikal pada luka
bakar pada tikus Rizal, Ghina aktivitas madu menjadi 5 kelompok pemberian madu dengan bakar derajat IIb dapat
putih (Rattus Raudathul Jannah Trumon dalam yaitu kelompok kontrol berbagai konsentrasi mempercepat penutupan
norvegicus) memperkecil (tidak mendapat terapi) terhadap penyembuhan luka luka dengan hasil optimal
ukuran luka dan kelompok terapi gel bakar pada tikus. Rancangan terlihat pada konsentrasi
bakar pada tikus. madu dengan variasi penelitian telah dinyatakan gel 60%
konsentrasi yaitu 20%, laik etik oleh Panitia
40%, 60%, dan 80%. Kelaikan Etik Fakultas
Kedokteran.
5. Perbedaan Efektivitas Ririn Kartika Penelitian ini Sesuai dengan rancangan Rancangan penelitian yang Diketahui pada kelompok
Penggunaan Lidah Novitasari , Ari bertujuan untuk penelitian, maka sampel digunakan dalam penelitian perlakuan satu (K1) yang
Buaya Dan Madu Setiyajati , Rif menganalisa (tikus) dalam penelitian ini adalah penelitian dengan diberikan lidah buaya
Terhadap Atiningtyas Haris perbedaan ini berjumlah 20 ekor rancangan eksperimental secara topikal memiliki
Penyembuhan Luka efektivitas dibagi menjadi 10 ekor dengan Posttest only two rata-rata lama
Bakar Gradeii Pada penggunaan setiap kelompok. Satu group design dengan Tikus penyembuhan yaitu
Tikus Wistar Jantan lidah buaya dan kelompok perlakuan Wistar jenis Wistar yang 18,60. Sedangkan pada
madu terhadap mendapat perawatan luka dibuat luka bakar grade II kelompok perlakuan dua
penyembuhan menggunakan lidah sebagai alat uji. (K2) yang diberikan lidah
luka bakar grade buaya satu kali sehari buaya secara topikal
II pada Tikus dan satu kelompok memiliki rata-rata lama
Wistar Jantan. perlakuan mendapat penyembuhan yaitu
perawatan luka 16,20. Pada uji
menggunakan madu satu Kolmogorov Smirnov
kali sehari. Untuk didapatkan nilai
menghindari drop out signifikansi pada data
pada sampel lama penyembuhan
ditambahkan 5 ekor K1=0,143, dan K2=0,413
setiap kelompok yang dibandingkan
perlakuan. dengan α=0,05, sehingga
signifikasi (P>0,05) yang
artinya data berdistribusi
normal. Pada Levene’s
test dan didapatkan nilai p
= 3,772 (P>0,05) yang
menunjukkan data
homogen. Uji One Way
Anova dengan tingkat
signifikansi 5% (α=0,05)
didapatkan nilai
signifikansi lama
penyembuhan 0,528
dimana signifikasi
P>0,05, dan F hitung
0,900 < F tabel 4,45
sehingga Ho diterima,
yang artinya data. Dapat
disimpulkan bahwa madu
memiliki tingkat
efektifitas sedikit lebih
tinggi dibandingkan
dengan lidah buaya
meskipun tidak ada
perbedaan signifikan
kecepatan penyembuhan
luka bakar derajat II
antara perawatan luka
menggunakan lidah buaya
dan madu (P>0,05).
2.1 Pembahasan
Menurut hasil kajian artikel pertama didapatkan hasil adanya
pengaruh/efek yang bermakna dari pemberian madu hutan dengan konsentrasi
tinggi terhadap luka bakar pada hewan uji kelinci. Saran bagi penelitian
selanjutnya yaitu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap frekuensi
pemberian madu hutan terhadap proses penyembuhan luka bakar.
Penggunaan krim/gel madu dalam proses penyembuhan luka memang tidak
bisa disepelekan bahkan dalam penelitian ini krim/gel madu lebih efektif
dalam proses penyembuhan luka bakar derajat II. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Renny W. dan Endro M. (2013), yang
membandingkan proses penyembuhan luka dengan menggunakan NaCl 0,9 %
dan krim/gel madu pada pasien post operasi di ruang rawat inap bedah di RS
islam sunan kudus. Hasil penelitian tersebut menatakan bahwa terdapat
perbedaan perawatan luka dengan menggunakan NaCl 0,9% dengan
perawatan luka menggunakan gel madu di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah
Sakit Islam Sunan Kudus, dimana gel madu lebih efektif dalam proses
perawatan luka. Secara klinis dari hari kehari proses penyembuhan luka bakar
dengan krim madu konsentrasi 30% berlangsung lebih cepat. Ini berarti ada
proses penyembuhan yang membuat diameter luka bakar mengecil, dan dapat
dikatakan bahwa proses penyembuhan luka bakar dengan pemberian krim
madu konsentrasi 30% ini lebih cepat bila dibandingkan dengan perlakuan
yang lain. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Martyarini
Shazita Adiba (2011) yang berjudul efek madu dalam proses epitelisasi luka
bakar derajat dua dangkal, dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa penggunaan madu sebagai primary dressing untuk luka bakar derajat
dua dangkal secara klinis proses penyembuhan luka bakarnya berlangsung
lebih cepat bila dibandingkan dengan kasa tulle.
Kandungan nutrisi dan energi pada madu juga berperan penting dalam
memberikan nutrisi pada organ-organ vital dan selsel. Hal tersebut
menyebabkan sel-sel berfungsi optimal, sehingga pertumbuhan jaringan akan
berlangsung secara fisiologis. Selain sebagai agen stimulasi pertumbuhan
jaringan madu juga bermanfaat sebagai anti mikroba yang mencegah
terjadinya infeksi pada luka bakar.
Mekanisme anti bacterial madu yang kedua adalah non-peroxidative
antibacterial mechanism. Mekanisme ini disebabkan karena madu memiliki
pH yang asam, efek osmotic gula pada madu, kandungan flavonoid dan
phenol, kandungan enzim lysozym dan mikroba baik yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba. (Bognadov, 2014).
Madu juga dapat berfungsi sebagai anti inflamasi pada luka. Inflamasi
merupakan respon normal sel terhadap infeksi dan cedera sel. Inflamasi juga
merupakan respon awal proses penyembuhan. Inflamasi normalnya hanya
berlangsung singkat. Jika inflamasi terus berlangsung dalam waktu lama dan
responnya berlebihan, maka akan mengganggu proses penyembuhan dan
menyebabkan kerusakan jaringan.
Menurut hasil kajian artikel kedua didapatkan hasil bahwa Kelompok
perlakuan madu dan gentamisin topikal mempunyai perbedaan bermakana
dengan kelompok kontrol, hal ini juga didukung dengan hasil uji statistik dari
penilaian secara klinis. Berdasarkan pengamatan patologi anatomi, secara
umum terlihat bahwa proses kesembuhan luka kelompok kontrol berjalan
lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan madu gentamisin topikal. Hal ini
terjadi karena pada madu terdapat flavonoid yang dapat menghambat
mediatormediator radang yaitu mengurangi efek siokin (Interleukin-1 dan
Tumor Necrosis Factor (TNF)) yang dihasilakan oleh makrofag dan sitokin
reseptor yang secara umum akibatnya tampak pada penekanan rasa nyeri,
demam dan kerusakan jaringan. Pada penelitian ini didapatkan hasil tingkat
kesembuhan luka bakar secara klinis lebih baik, hal ini terlihat dari hasil
pengukuran diameter luka bakar yang menunjukan bahwa luka bakar yang
diberikan madu sebagai agen penyembuh terlihat lebih baik. Madu dapat
dijadikan sebagai obat alternatif pada luka bakar sebagai pengganti antibiotik
gentamisin topikal, terutama di daerah terpencil yang sulit untuk mendapatkan
antibiotik gentamisin topikal.
Menurut hasil kajian artikel ketiga diperoleh hasil bahwa madu memiliki
efektivitas terhadap penyembuhan luka bakar. Hal ini ditunjukkan dengan
hasil penyembuhan luka pada kelompok kontrol 13 hari, madu 1x1 7 hari,
madu 3x1 10hari, Nebacetin topikal gel 5gr 1x1 9hari, Nebacetin topikal gel
5gr 1x1 11hari. Madu dapat digunakan sebagai terapi untuk luka bakar,
infeksi, dan luka ulkus. Dunia kedokteran telah banyak membuktikan madu
sebagai obat yang unggul9 . Selain memiliki efek anti mikroba, madu juga
memiliki efek anti inflamasi dan meningkatkan fibroblastik serta angioblastik.
Analisis mengenai kandungan madu menyebutkan bahwa unsur terbesar
komponen madu adalah glukosa dengan kadar fruktosa paling besar (76,8%),
disamping mineral dan vitamin.
Menurut hasil kajian artikel keempat diperoleh hasil penelitian yang
dilakukan selama 15 hari, didapatkan seluruh kelompok perlakuan
menunjukkan adanya penyembuhan luka ditandai dengan berkurangnya
diameter luka yang diukur pada hari ke-5, 10, 15. Data dari grafik
penyembuhan luka grafik penyembuhan luka bakar didapatkan bahwa dari
semua kelompok perlakuan, gel madu 60% memiliki hasil yang paling optimal
dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Dari hasil penelitian yang
dilakukan, semua kelompok perlakuan gel madu memiliki pengaruh terhadap
penyembuhan luka bakar (p = 0,00). Hal ini sejalan dengan penelitian Khoo
(2010) yang menyebutkan bahwa luka bakar yang dirawat menggunakan
madu mengalami percepatan penyembuhan luka (Khoo et al., 2010). Pada
penelitian ini kelompok perlakuan yang memberikan hasil penyembuhan luka
bakar yang optimal terdapat pada kelompok J4 (madu 60%), dimana hasil
persentase penyembuhan luka yang didapatkan yaitu sebesar 56,60%. Hasil
kelompok perlakuan J3 (madu 40%) dan J5 (madu 80%) menunjukkan tidak
ada perbedaan bermakna diantara kedua nya. Gel pada kelompok J5 (madu
80%) memiliki karakteristik fisik yang kental, saat dioleskan pada luka bakar
akan meninggalkan timbunan dari sediaan dan membuat keropeng menjadi
tebal sehingga permukaan luka menjadi lembab dan sulit mengering. Hal ini
menyebabkan gel madu 80% kurang efektif dibandingkan dengan gel dengan
konsentrasi madu 60%. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahawa
meskipun penyembuhan luka yang optimal tidak dicapai oleh konsentrasi
madu tertinggi, namun semua kelompok perlakuan sudah menunjukkan
adanya pengaruh terhadap penyembuhan luka bakar derajat IIB pada hewan
coba tikus putih (Rattus norvegicus).
Dalam sebuah penelitian di India disebutkan bahwa madu memiliki
kemampuan yang lebih cepat dalam menyembuhkan luka bakar derajat II
dibandingkan dengan cara konvensional. Hal ini karena madu memiliki
osmolaritas yang tinggi, mengandung hidrogen peroksida, kadar glukosa yang
tinggi dan beberapa komponen organik lain. Selain itu kandungan madu juga
memiliki komposisi yang sesuai dengan zat yang dibutuhkan oleh manusia
sehingga madu tidak dianggap sebagai benda asing. Dengan kandungan
tersebut madu memiliki kemampuan untuk membersihkan luka, menyerap
cairan edema, memicu granulasi jaringan, Dalam sebuah penelitian di India
disebutkan bahwa madu memiliki kemampuan yang lebih cepat dalam
menyembuhkan luka bakar derajat II dibandingkan dengan cara konvensional.
Hal ini karena madu memiliki osmolaritas yang tinggi, mengandung hidrogen
peroksida, kadar glukosa yang tinggi dan beberapa komponen organik lain.
Selain itu kandungan madu juga memiliki komposisi yang sesuai dengan zat
yang dibutuhkan oleh manusia sehingga madu tidak dianggap sebagai benda
asing. Dengan kandungan tersebut madu memiliki kemampuan untuk
membersihkan luka, menyerap cairan edema, memicu granulasi jaringan,
epitelialisasi dan peningkatan nutrisi.
Menurut hasil kajian artikel kelima pada kelompok perlakuan
menggunakan madu didapatkan lama kesembuhan luka berkisar antara 14-18
hari. Hal ini terjadi karena madu memiliki kadar asam yang tingi dengan pH
antara 3.2-4.5 (sangat asam) yang menyebabkan mikroorganisme yang tidak
tahan asam akan mati. Madu mampu membersihkan luka dengan
mengabsorbsi pus pada luka tersebut. Hal ini yang mengakibatkan fase
proliferasi berlangsung lebih awal. Madu menimbulkan efek analgetik
(penghilang nyeri), mengurangi iritasi, dan dapat mengeliminasi bau yang
menyengat pada luka. Madu juga berfungsi sebagai antioksidan karena adanya
vitamin C yang banyak terkandung pada madu (Abdillah, 2008). Perawatan
luka dilakukan dengan teknik perawatan tertutup. Perawatan meliputi
pembersihan luka, debridemen, menutup luka dengan kasa sesuai dengan
ukuran luka dan pembalutan. Perawatan luka tertutup lebih efektif
dibandingkan dengan perawatan luka terbuka. Perawatan luka tertutup
menjaga kelembaban luka dan mengurangi terjadinya infeksi sehingga
membantu mempercepat proses penyembuhan luka. Pada kelompok perlakuan
satu (K1) dengan lidah buaya diperoleh ratarata sembuh 18,60 hari, sedangkan
kelompok perlakuan dua (K2) dengan madu diperoleh rata-rata 16,20 hari,
dapat disimpulkan bahwa madu memiliki tingkat efektifitas sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan lidah buaya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Madu telah digunakan sejak zaman kuno sebagai metode dalam
mempercepat penyembuhan luka. Madu telah dikenal selama bertahun-tahun
dan digunakan bagai sebagai pengobatan berbagai penyakit. Madu terbukti
secara efektif dapat dalam penyembuhan luka, hampir semua jenis luka seperti
abrasi, abses, amputasi, luka bakar, fistula, dll. Aplikasi dari madu sebagai
pembalut luka menyebabkan penyembuhan cepat, memberishkan infeksi,
menstimulus regulasi jaringan, mengurangi peradangan dan non perekat
pembalut jaringan
Penggunaan madu olesan bermanfaat pada proses penyembuhan luka kulit,
karena pemberian madu meningkatkan proses granulasi dan epitelisasi,
mengurangi jumlah eksudat, dan sterilisasi luka dari mikroba, juga keasaman
dan osmolaritas dari madu memainkan peran penting. Selain kandungan
nutrisinya yang berharga, madu memiliki aktivitas antiinflamasi dan
antioksidan yang menjadikannya bahan alami yang cocok untuk penyembuhan
luka.
Penyembuhan luka bakar dengan menggunakan madu boleh digunakan
oleh masyarakat sebagai pengganti obat tropikal dan lebih mudah didapat
apabila tinggal di daerah pedalaman.
3.2 Saran
3.2.1 Bagi Profesi Keperawatan
Diharapkan hasil review ini dapat dijadikan sebagai evidence based
bagi perawat dan dapat memperluas pengetahuan teori dan praktik
mengenai aplikasi pengobatan luka bakar pada manusia dengan
menggunakan madu.
3.2.2 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi tentang pengobatan luka
bakar pada manusia dengan menggunakan madu.
3.2.3 Bagi Peneliti Lain
Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk mengembangkan
penelitian yang lebih dalam tentang luka bakar dan penanganan luka
bakar menggunakan bahan alam seperti madu.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai