Nama :

Nim :

Kelas :

Asumsi Bersama Tentang Hakikat Realitas dan Kebenaran

Bagian mendasar dari setiap asumsi tentang hakikat realitas dan kebenaran adalah
seperangkat asumsi tentang apa yang nyata dan bagaimana seseorang menentukan atau
menemukan apa yang nyata. Asumsi semacam itu adalah untuk memberitahu anggota
kelompok bagaimana menentukan tindakan apa yang relevan, bagaimana informasi yang
efektif, bagaimana menilai informasi, dan bagaimana menentukan kapan mereka memiliki
cukup informasi untuk memutuskan apakah akan bertindak atau tidak, dan tindakan apa yang
harus diambil.

Sebagai contoh, pada perusahaan DEC realitas dan kebenaran ditentukan oleh
penentuan dan kriteria pragmatis apakah segala sesuatunya berhasil. Jika sebuah tes objektif
tidak memungkinkan atau terlalu sulit untuk dibangun, ide tersebut diperdebatkan untuk
melihat apakah tes itu dapat bertahan dalam ujian yang akan menjadi sasaran analisis kritis.
Sedangkan perusahaan Di Ciba-Geigy lebih banyak menekankan pada hasil penelitian dari
laboratorium dan beberapa pendapat dari mereka yang bijaksana dan berpengalaman. Kedua
perusahaan tersebut melakukan asumsinya tentang hakikat realitas dan kebenaran
berdasarkan baimana seseorang anggota dan pemimpin perusahaan menentukan atau
menemukan apa yang nyata dan bisa untuk dilaksanakan guna membangun perusahaannya
yang lebih luas dengan didominasi oleh konsep sains dan pengetahuan berbasis rasional.

Tingkat Realitas

1. Realitas fisik eksternal mengacu pada hal-hal yang dapat ditentukan secara empiris
dengan tes objektif atau, dalam tradisi Barat, "ilmiah".
 Misalnya, jika dua orang berdebat tentang apakah kaca akan pecah atau tidak,
mereka dapat menggunakan dan memecahkannya dengan palu dan mencari
tahu. Jika dua manajer memperdebatkan tentang produk mana yang akan
diperkenalkan, mereka dapat setuju untuk menentukan pasar uji dan
menetapkan kriteria yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Di sisi lain, jika dua manajer berdebat tentang mana dari dua kampanye politik
 yang harus didukung, keduanya harus setuju bahwa tidak ada kriteria fisik
yang digunakan untuk menyelesaikan konflik mereka.
2. Realitas sosial mengacu pada hal-hal yang anggota kelompok menganggap sebagai
masalah konvensi, yang tidak secara empiris, dapat diuji secara empiris. Hakikatnya
kodrat manusia, cara yang benar bagi manusia untuk berhubungan dengan alam dan
sesamanya, distribusi kekuasaan dan seluruh proses politik, dan asumsi tentang makna
hidup, ideologi, agama, batas-batas kelompok, dan budaya itu sendiri dengan jelas.
masalah konvensi, tidak dapat ditentukan secara empiris.
 Sebagai contoh, sebuah kelompok mendefinisikan dirinya sendiri, nilai-nilai
yang dipilihnya untuk dijalani. Jika orang tidak percaya pada sesuatu dan
mendefinisikannya sebagai nyata, itu menjadi nyata bagi kelompok itu.
3. Realitas individu mengacu pada apa yang telah dipelajari seseorang dari
pengalamannya sendiri, yang karenanya memiliki kualitas kebenaran mutlak bagi
orang itu. Namun, kebenaran itu tidak boleh dibagikan oleh orang lain. Ketika kita
tidak setuju pada tingkat ini, menjadi sangat sulit untuk bergerak maju sampai kita
dapat dengan jelas mengartikulasikan apa dasar pengalaman kita yang sebenarnya.
Dalam masyarakat tradisional dan garis, berdasarkan otoritas hierarkis, jika yang
disebut negarawan tua berbicara, kami menganggap pengalaman mereka valid dan
bertindak seolah-olah apa yang mereka katakan benar-benar objektif. Di sisi lain,
dalam masyarakat yang pragmatis dan individualistis, sikapnya mungkin “Buktikan
kepada saya,” dan di luar itu, apa yang diterima sebagai bukti mungkin ada di mana-
mana.
 Sebagai contoh Manusia membuat persepsi bahwa keluarga dibentuk dari
kelompok orang yang memiliki ikatan kuat. Kelompok tersebut terdiri dari
ayah yang bekerja, ibu yang melahirkan keturunan, hingga anak-anak. Anak
yang baru lahir pun lama-lama akan menganggap ayah dan ibu sebagai
keluarga. Hal ini karena persepsi tersebut sudah melekat di kehidupan sosial
dan masyarakat menerimanya sebagai suatu realitas.