Anda di halaman 1dari 48

D

I
S
U
S
U
N
Oleh :
Debi Seal (15.860.0347)
Fennisa Arfah (15.860.0357)
Siti Ramadhani (15.860.0384)

Universitas Medan Area


2016/2017
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena rahmat
dan kasih sayang-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah Psikologi Industri dan
Organisasi ini.

Makalah ini yang diberi judul “Motivasi Karyawan”, kami susun sebagai pelengkap
tugas dan mempunyai tujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembacanya
maupun pihak yang terkait didalamnya serta dapat memberikan motivasi atau insentif agar
memilih kepribadian yang lebih baik di masa yang akan mendatang dan bisa sebagai bahan
acuan.

Penyusun menyadari banyak kekurangan dan hambatan dalam penyusunan makalah


ini. Oleh karena itu penyusun sangat membutuhkan saran serta kritik agar dimasa yang akan
datang dapat menyempurnakan makalah ini atau dapat menjadikannya lebih baik dari
sekarang. Dan dalam penyusunan makalah ini penyusun juga ingin mengucapkan terima
kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu dan mendukung sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Medan, 25 Oktober 2016

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

BAB I ......................................................................................................................................... 5

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 5

i. Latar Belakang ............................................................................................................ 5

ii. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 5

iii. Tujuan.......................................................................................................................... 5

BAB II........................................................................................................................................ 6

ISI............................................................................................................................................... 6

I. PERBEDAAN INDIVIDU DALAM MEMOTIVASI ............................................... 6

1. Self-Esteem ................................................................................................................. 6

2. Motivasi Intrinsik ...................................................................................................... 10

3. Keinginanuntuk Prestasi dan Kekuasaan .................................................................. 10

II. PENILAIAN KARYAWAN DAN HARAPAN ....................................................... 11

1. Harapan Kerja Karyawan telah dapat dipenuhi? ....................................................... 12

2. Apakah Karyawan Memiliki Kebutuhan, Nilai, dan Keinginan yang


TelahTerpenuhi? ............................................................................................................... 13

III. APAKAH TUJUAN KARYAWAN DAPAT DI RAIH? ......................................... 21

1. Specific (Spesifik) ..................................................................................................... 21

2. Measurable (Terukur) ................................................................................................ 22

3. Kesulitan yang dapat dicapai..................................................................................... 22

4. Relevant (Berhubungan) ........................................................................................... 23

5. Membatasi Waktu ..................................................................................................... 23

6. Partisipasi Karyawan ................................................................................................. 23

IV. APAKAH KARYAWAN MENERIMA FEEDBACK TENTANG


KEMAJUANTUJUAN MEREKA? ..................................................................................... 23

3
V. APAKAH KARYAWAN HARUS MENDAPATKAN PENGHARGAAN
UNTUKMENCAPAI SUATU TUJUAN ? ......................................................................... 25

1. Timing of the incentive (Waktu dari Insentif) .......................................................... 26

2. Contingency of Consequence (Kemungkinan Konsekuensi) .................................... 27

3. Type of the incentive used (Jenis Insentif yang Digunakan) .................................... 27

4. Individual-based Versus Group-based Incentive (Insentif yang Berbasis Individu


VsBerbasis Kelompok) ..................................................................................................... 32

5. Expectancy Theory (Teori Harapan) ........................................................................ 39

6. Reward vs Punishment (Penghargaan vs Hukuman) ................................................ 42

VI. APAKAH REWARD (PENGHARGAAN) DAN SUMBER DAYA


YANGDIBERIKAN SECARA ADIL? ............................................................................... 43

VII. TINGKAT MOTIVASI DARI KARYAWAN LAIN .............................................. 45

VIII. INTEGRASI DARI TEORI MOTIVASI .................................................................. 45

BAB III .................................................................................................................................... 47

KESIMPULAN ........................................................................................................................ 47

4
BAB I

PENDAHULUAN

i. Latar Belakang
Setelah sebuah organisasi menyeleksi dan melatih karyawannya, sangat penting ketika
karyawan termotivasi dan puas dengan pekerjaan mereka. Psikolog industri umumnya
mendefenisikan motivasi kerja sebagai kekuatan yang mendorong pekerja untuk melakukan
pekerjaannya dengan baik. Kemampuan dan keterampilan menentukan apakah seorang
pekerja dapat melakukan pekerjaannya, tetapi motivasi menentukan apakah seorang pekerja
akan melakukan pekerjaannya dengan benar. Meskipun menguji hubungan antara motivasi
dan kinerja sangat sulit, psikolog umumnya sepakat bahwa peningkatan hasil motivasi kerja
dalam kinerja kerja meningkat.

Dalam bab ini, kita akan mengeksplorasi beberapa teori yang berusaha menjelaskan
mengapa pekerja termotivasi oleh pekerjaan mereka. Tidak ada teori yang menjelaskan
sepenuhnya tentang motivasi, tetapi masing-masing teori sangat penting dalam hal
menunjukkan cara-cara untuk meningkatkan kinerja karyawan. Jadi, meskipun teori itu
sendiri mungkin tidak sepenuhnya didukung oleh penelitian, tapi umumnya menghasilkan
saran yang menyebabkan peningkatan kinerja.

ii. Rumusan Masalah


 Jenis orang yang cenderung lebih termotivasi dari pada yang lain.
 Bagaimana memotivasi orang melalui penetapan tujuan.
 Pentingnya memberikan feedback.
 Bagaimana menggunakan prinsip-prinsip pengondisian operan untuk
memotivasi karyawan.
 Pentingnya memperlakukan karyawan dengan adil.
 Jenis intensif individu dan organisasi yang terbaik memotivasi karyawan.

iii. Tujuan
 Mengetahui serta memahami semua jenis orang yang cenderung termotivasi
 Untuk mengetahui bagaimana cara memotivasi karyawan
 Cara penggunaan prinsip-prinsip untuk memotivasi
 Manfaat perlakuan prilaku secara adil

5
BAB II

ISI

I. PERBEDAAN INDIVIDU DALAM MOTIVASI


Perbedaan individu menurut psikolog motivasi telah mendalilkan bahwa beberapa
karyawan lebih cenderung untuk menjadi termotivasi daripada yang lain. Artinya, beberapa
karyawan datang untuk kebanyakan pekerjaan dengan kecenderungan untuk termotivasi
sedangkan yang lain datang kepekerjaan dengan kecenderungan untuk menjadi tidaka
termotivasi. Anda mungkin bisa memikirkan orang yang anda kenal atau yang memiliki
pekerjaan dengan orang yang selalu tampaknya termotivasi dan “gung-ho”, dan anda
mungkin bisa memikirkan orang lain yang tidak memiliki uang akan dapat memotivasinya.
Para peneliti telah menemukan tiga sifat perbedaan individu yang paling berhubungan dengan
motivasi kerja: self-esteem, keinginan untuk berprestasi, dan kencenderungan motivasi
intrinsik.

1. Self-Esteem
Self-Esteem merupakan sejauh mana seseorang memandang dirinya sebagai orang
yang berharga dan layak. Pada tahun 1970-an, Korman (1970 - 1976) berteori bahwa
karyawan yang tinggi self-esteemnya akan lebih termotivasi dan akan melakukan pekerjaan
dengan lebih baik dari pada karyawan yang rendah self-esteemnya. Menurut teori konsistensi
Korman ini, ada korelasi positif antara self-esteem dan kinerja. Hal tersebut adalah karyawan
yang merasa baik tentang diri mereka sendiri akan termotivasi untuk tampil dengan lebih baik
di tempat kerja dari pada karyawan yang tidak merasa bahwa mereka adalah orang-orang
yang berharga dan layak. Teori konsistensi mengambil hubungan antara self-esteem dan
motivasi satu langkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa karyawan dengan self-esteem
yang tinggi sebenarnya mempunyai keinginan untuk tampil di tingkat tinggi dan karyawan
yang self-esteemnya rendah akan tampil di tingkat yang rendah. Dengan kata lain, karyawan
akan mencoba untuk tampil di tingkat yang sesuai dengan tingkat self-esteem mereka.
Keinginan untuk tampil sesuai dengan di tingkat self-esteem, cenderung akan meremehkan
kemampuan dan kinerja mereka yang sebenarnya (Undeman, Sundvik, dan Rouhiainen,
1995). Dengan demikian, akan memungkinkan jika karyawan dengan self-esteem yang
rendah akan berkeinginan untuk tampil di tingkat yang lebih rendah dari kemampuan mereka
yang sebenarnya.

6
Teori ini menjadi sedikit rumit bahwa ada tiga jenis self-esteem. Self-esteem kronis
adalah perasaan keseluruhan seseorang tentang dirinya sendiri. Self-esteem situasional adalah
perasaan seseorang tentang dirinya dalam situasi tertentu seperti mesin operasi atau berbicara
dengan orang lain. Self-esteem dipengaruhi sosial adalah bagaimana seseorang merasa
tentang dirinya atas dasar harapan orang lain. Semua jenis self-esteem penting untuk kinerja
pekerja. Sebagai contoh, seorang karyawan mungkin rendah diri yang kronis tapi sangat
tinggi di self-esteem situasional. Artinya, seorang programmer komputer mungkin percaya ia
adalah orang mengerikan yang tidak disukai semua orang (rendah kronis diri) tetapi merasa
bahwa ia dapat memprogramkan komputer lebih baik dari siapapun (tinggi situasional diri).

Jika teori konsistensi ini benar, kita harus menemukan bahwa karyawan dengan self-
esteem yang tinggi lebih termotivasi, tampil lebih baik, dan nilai kinerja yang dilakukan
mereka lebih tinggi dari pada yang dilakukan oleh karyawan dengan self-esteem yang rendah.
Penelitian mendukung prediksi ini: Ilardi Leone, Kasser, dan Ryan (1993) menemukan
hubungan yang signifikan antara self-esteem dan motivasi, dan sebuah analisis yang
dilakukan oleh Judge dan Bono (2001) menemukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara self-esteem dan prestasi kerja.

Atas dasar teori konsistensi, kita harus dapat meningkatkan kinerja dengan
meningkatkan self-esteem karyawan. Organisasi secara teoritis dapat melakukan ini dalam
tiga cara :pelatihan self-esteem, sukses dengan pengalaman, dan perilaku atasan.

a) Pelatihan Self-Esteem

Untuk meningkatkan self-esteem, karyawan dapat menghadiri pelatihan atau


kelompok sensitivitas dimana mereka diberi wawasan tentang kekuatan (strengths) mereka.
Diperkirakan bahwa wawasan ini dapat meningkatkan self-esteem dengan menunjukkan
bahwa mereka memiliki beberapa kekuatan dan mereka adalah orang-orang yang baik.
Misalnya, dalam program pelatihan self-esteem yang disebut dengan “The Enchanted Self
(Diri yang menyenangkan)” (Holstein, 1997), karyawan mencoba untuk meningkatkan self-
esteem mereka dengan belajar bagaimana untuk berpikir positif, menemukan sifat-sifat
positif mereka yang mungkin telah hilang tanpa diketahui, dan berbagi sifat-sifat positif
mereka dengan orang lain. Lebih lanjut tentang pendekatan ini dapat ditemukan pada web
http://www.enchantedself.com.

7
Pelatihan kegiatan luar ruangan merupakan pendekatan lain untuk meningkatkan self-
esteem (Clements, wagner & roland, 1995). Dalam program pelatihan seperti outward bound
atau “ropes course”, peserta akan belajar bagaimana diri mereka secara emosional dan secara
fisik mereka cukup kuat untuk dapat sukses dan untuk menyelesaikan sebuah tantangan.

b) Sukses dengan Pengalaman

Dengan pendekatan ini, seorang karyawan diberi tugas dengan sangat mudah
sehingga ia mungkin akan dipastikan untuk berhasil. Diperkirakan bahwa keberhasilan ini
dapat meningkatkan self-esteem, sehingga dapat meningkatkan kinerja, dan sebagainya.
Metode ini didasarkan oleh iooseiy pada prinsip dari ramalan, yang menyatakan bahwa
seorang individu akan melakukan baik atau buruknya karena ia mengharapkan untuk
melakukannya. Dengan kata lain, jika seorang individu percaya bahwa ia adalah cerdas, ia
harus melakukan dengan baik dalam tes. Jika dia berpikir dia bodoh, dia harus melakukan
yang buruk. Jadi, jika seorang karyawan percaya bahwa dia akan selalu gagal, satu-satunya
cara untuk menghentikan pikiran buruk itu adalah dengan memastikan bahwa ia melakukan
tugasnya dengan baik.

c) Perilaku Supervisor

Pendekatan lain untuk meningkatkan self-esteem karyawan adalah dengan melatih


pengawasan dalam berkomunikasi tentang rasa percaya diri dalam diri seorang karyawan.
Ide-idenya adalah jika seorang karyawan merasa bahwa seorang pemimpin harus memiliki
kepercayaan diri, maka self-esteem akan meningkatkan prestasi dirinya. Proses tersebut
dikenal sebagai Efek Pygmalion dan telah dibuktikan dalam situasi seperti ruang kelas sd,
tempat kerja, ruang pengadilan, dan militer (Rosenthal, 2002). Efek pgymalion juga telah
digambarkan dibeberapa film, termasuk My Fair Lady and Tranding Places. Sebaliknya,
Efek Golem terjadi ketika harapan negative dari individu menyebabkan berkurangnya
prestasi sebenarnya dari seorang individu (Babad, Rosenthal, 1982, Davdson & Eden, 2002).

Dua analisis ini menunjukkan bahwa efek pygmalion sangat mempengaruhi kinerja.
Sebuah analisis dari McNatt (2000) menemukan keseluruh efek ukuran dari 1,13, dan analisis
dari Kieren dan Gold (2001) menemukan keseluruhan efek ukuran dari 81 : jika kamu
mengingat kembali diskusi di dalam bab 1, efek ukuran dalam bab ini dianggap sangat besar.
Efek pgymalion dan efek golem dapat dijelaskan dengan gagasan bahwa harapan kami dari
kinerja orang lain mengajarkan kita untuk memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda

8
(Rosenthal, 1994). Artinya, seseorang berfikir akan melakukan pekerjaan yang buruk, kita
mungkin akan memperlakukan orang tersebut dengan cara yang dapat membawa hasil itu.
Jika supervisor berfikir bahwa seorang karyawan dapat dimotivasi secara intrinsik, ia akan
memperlakukan karyawan tersebut dengan cara yang kurang dapat dikontrol. Hasil dari
perlakuan ini yaitu bahwa karyawan benar-benar menjadi lebih termotivasi secara intrinsik
(Pelletier & Vallerand, 1996). Jadi, ketika seorang karyawan menjadi paham tentang harapan
orang lain dan mempunyai kecocokan dengan mereka, ia akan mengerjakannya dengan cara
yang sesuai dengan harapan mereka (Oz & Eden, 1994 Tierney, 1998).

Sandler (1986) berpendapat bahwa harapan kami adalah dapat menyampaikan


informasi kepada seluruh karyawan melalui bahasa isyarat (non-verbal) seperti mengayun
ayunkan kepala atau menaikkan alis dan melalui perilaku yang lebih jelas seperti memberikan
karyawan harapan rendah bersamaan dengan kurang adanya feedback, fasilitas yang buruk,
dan kurangnya pujian untuk karyawan yang memiliki harapan tinggi. Dia juga menyatakan
bahwa karyawan dapat dengan cepatnya menangkap isyarat seperti ini. Bersama dengan
Korman (1970) dan Rosenthal (1994), Sandler berpendapat bahwa karyawan kemudian
menyesuaikan perilaku untuk dapat sesuai dengan harapan kita dan dengan cara yang
mandiri.

Meskipun kita tahu efek Pygmalion adalah benar, upaya untuk memberitahukan
atasan untuk berkomunikasi dengan harapan positif belum juga berhasil. Mengenai dasar dari
tujuh percobaan lapangan, Eden (1998) menyimpulkan bahwa ada sedikit dukungan untuk
gagasan bahwa mengajarkan “Gaya Kepemimpinan Pygmalion” akan mengubah cara atasan
memperlakukan karyawan mereka dan dengan demikian dapat meningkatkan self-esteem
karyawan.

Penelitian tentang self-esteem dan teori konsistensi telah membawa hasil campuran.
Studi labolatorium umumnya didukung oleh teori: subjek yang dituntun untuk percaya bahwa
mereka akan melakukan dengan baik pada sebuah tugas yang dikerjakan, dan subjek yang
dituntun untuk percaya bahwa mereka akan melakukan dengan buruk pada tugas yang juga
dikerjakan (Greenhaus & Badin, 1974). Namun, siapapun yang percaya faktor lain selain
self-esteem, seperti kebutuhan dalam mencapai atau kebutuhan untuk meningkatkan diri,
dapat menjelaskan hasil yang sama.

Tetapi mengingat bahwa teori konsistensi memang memiliki beberapa dukungan


penelitian yang masuk akal, permasalahan berikutnya adalah bagaimana hal itu dapat

9
digunakan untuk meningkatkan kinerja karyawan. Jika karyawan memang menanggapi
harapan dari manager mereka, maka akan menjadi hal yang wajar jika manager mereka dapat
memprediksi seseorang yang dapat berkomunikasi positif dan perasaan yang optimis dari
karyawan mereka yang akan menyebabkan karyawan dapat tampil di level yang lebih tinggi.

2. Motivasi Intrinsik
Dengan orang-orang yang termotivasi secara intrinsik, mereka akan termotivasi untuk
melakukan pekerjaan dengan baik karena mereka juga sebenarnya menikmatinya dalam
melakukan tugas tersebut atau menikmati tantangan dari keberhasilan menyelesaikan tugas.
Ketika mereka termotivasi secara ekstrinsik, mereka tidak terlalu menikmati tugas tetapi
termotivasi untuk tampil dengan baik agar dapat menerima beberapa jenis reward (hadiah)
atau untuk mencegah konsekuensi negatif (Deci & Ryan, 1985). Orang-orang yang
termotivasi secara instrinsik, tidak perlu imbalan eksternal seperti gaji atau pujian. Pada
kenyataannya, dibayar untuk sesuatu yang mereka nikmati dapat mengurangi kepuasan
mereka dan motivasi intrinsik (Mossholder 1980).

Perdebatan yang menarik telah terbentuk antara peneliti yang pecaya bahwa imbalan
dapat mengurangi motivasi instrinsik dan mereka yang tidak. Sebuah analisis oleh Cameron
dan Pierce (1994) menyimpulkan bahwa penelitian tidak mendukung gagasan bahwa reward
(penghargaan) mengurangi motivasi intrinsik. Namun, sebuah analisis telah dikritik oleh
Ryan dan Deci (1996) sebagai penggambaran data yang keliru. Dengan demikian, tampak
bahwa perdebatan ini akan berlanjut selama beberapa tahun lagi.

Orientasi individu terhadap motivasi intrinsik dan ekstrinsik dapat diukur dengan
persediaan prefensi kerja (WPI: Amabile, Hill, Henessey & Tighe, 1994). WPI menghasilkan
skor pada dua dimensi motivasi intrinsik (kenikmatan, tantangan) dan dua dimensi motivasi
ekstrinsik (kompensasi, outward orientasi) untuk menentukan anda memiliki tingkat motivasi
intrinsik dan ekstrinsik.

3. Keinginan untuk Prestasi dan Kekuasaan


Sebuah teori yang dikembangkan oleh McClelland (1961) menunjukkan bahwa setiap
karyawan memiliki perbedaan dalam pencapaian motivasi mereka dari kebutuhan untuk
berprestasi, afiliasi, dan kekuasaan. Karyawan yang memiliki keinginan yang kuat untuk
berprestasi dalam motivasi dari pekerjaan yang menantang dan lebih dari yang biasa mereka
lakukan, sedangkan karyawan yang mempunyai prestasi paling sedikit menginginkan lebih
banyak kepuasan ketika bekerja melibatkan sedikit tantangan dan memiliki peluang yang

10
tinggi untuk berhasil. Sebaliknya, karyawan yang memiliki keinginan yang kuat untuk afiliasi
agar termotivasi dari pekerjaan dimana mereka dapat bekerja dengan orang lain. Jenis
karyawan yang lebih sering ditemukan dalam pelayanan orientasi masyarakat daripada di
manajemen ataupun administrasi (Smither & Lindgren, 1978). Akhirnya karyawan yang
memiliki keinginan yang kuat untuk kekuasaan akan termotivasi dengan keinginan untuk
mempengaruhi orang lain bukan hanya untuk menjadi sukses.

Penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki kebutuhan yang kuat untuk
kekuasaan dan prestasi sering kali membuat seorang manager menjadi yang terbaik
(Mc.Cleliand & Burnham, 1976; Stahl 1983) dan bahwa karyawan yang paling termotivasi
oleh kebutuhan afiliasi mereka mungkin akan membuat manager menjadi yang terburuk.

Keinginan untuk berprestasi, afiliasi, dan kekuasaan diukur oleh salah satu dari dua tes.
Yang pertama yang paling populer adalah Thematic Apperception Test (TAT), yang akan
dibahas luas pada bab 12. Dengan TAT, seorang karyawan akan ditampilkan serangkaian
gambar dan kemudian diminta untuk menceritakan sebuah cerita tentang masing-masing
gambar. Reaksi dari, psikolog yang mengidentifikasi sejauh mana setiap pokok kekuasaan,
afiliasi, dan prestasi yang dapat disajikan dalam sebuah cerita.

Masalahnya dengan TAT adalah bahwa hal itu memakan waktu dan dalam penggunaanya
harus dikelola oleh seorang psikolog terlatih. Untuk menghindari masalah ini, Stahl (1983)
lebih objektif dan lebih murah, tes kertas dan pensil yang dapat mengukur 3 kebutuhan yang
sama. Meskipun tes ini belum populer, pencarian yang sama dari indikator yang tampaknya
sebagai andalan dan ukuran valid sebagai TAT (Sthal, 1983).

II. PENILAIAN DAN HARAPAN KARYAWAN


Motivasi kerja dan kepuasan kerja ditentukan oleh perbedaan antara apa yang kita
inginkan, nilai, dan harapkan dan apakah pekerjaan tersebut dapat benar-benar
menyediakannya (Awler, 1973; Locke, 1969). Misalnya, jika anda menikmati bekerja
bersama dengan orang lain tetapi pekerjaan anda melibatkan data dalam pekerjaannya, anda
tidak mungkin dapat termotivasi dengan pekerjaan anda. Demikian juga, jika anda membuat
penilaian tentang mereka, namun pekerjaan anda harus mendapatkan hal-hal yang orang pikir
tidak benar-benar dibutuhkan, anda mungkin tidak akan termotivasi untuk melakukannya
dengan baik.

11
Perbedaan potensi antara apa yang karyawan inginkan dan pekerjaan apa yang
memberikan mereka pengaruh tentang bagaimana karyawan termotivasi dan puas akan
pekerjaan mereka (Knoop, 1994; Rice, Gentile, & McFarlin, 1991). Misalnya, bayangkan
bahwa Jane yang paling menghargai uang dan Akem yang paling menghargai nilai
fleksibilitas. Dalam pekerjaan, keduanya membayar dengan baik tetapi memiliki jam dan
rutinitas standar. Meskipun pekerjaan dan perusahaan yang sama, salah satu karyawan Jane
akan termotivasi dan yang lainnya (Akem) tidak akan termotivasi.

1. Apakah Harapan Kerja Karyawan telah Terpenuhi?


Ketidaksesuaian antara apa yang seorang karyawan harapkan dan seperti apa realitas
pekerjaan dapat mempengaruhi motivasi dan kepuasan. Misalnya, rekuiter sebuah pemohon
LLS menyatakan betapa menyenangkan karyawan memiliki perusahaan tertentu dan tentang
“Potensi yang Tak Terbatas” untuk kemajuannya. Setelah 3 bulan pada pekerjaannya, namun
karyawan belum mengalami kesenangan dan tidak dapat menemukan tanda-tanda potensi
yang pantas untuk kemajuannya. Karena belum ada harapan, karyawan mungkin merasa tidak
termotivasi.

Karyawan membandingkan apa yang organisasi janjikan kepada mereka untuk mereka
lakukan (misalnya, menyediakan komputer, dukungan untuk melanjutkan pendidikan) dengan
apa yang benar-benar organisasi miliki. Jika organisasi tidak dapat memberikan apa yang
meeka janjikan, maka karyawan akan kurang dapat termotivasi untuk dapat bersikap baik dan
akan serius dengan melakukan kurang dari yang mereka janjikan kepada organisai (Marrison
Robinsun, 1997).

Seperti yang bisa anda tebak dari contoh-contoh ini, adalah hal yang penting bahwa
pelamar diberikan preview pekerjaan yang nyata (sebuah konsep yang tidak diragukan lagi
ingat bab 5). Meskipun bersikap jujur tentang aspek-aspek negatif dapat mengurangi pelamar,
hal itu akan mengurangi perusahaan untuk memperkerjakan seseorang yang nantinya akan
kehilangan motivasi atau menjadi tidak puas.

Sebuah contoh yang baik dari ini berasal dari seorang karyawan yang bekerja untuk
sebuah lembaga kesehatan mental masyarakat. Sebelum menerima pekerjaannya saat ini, dia
telah bekerja di sektor publik selama 10 tahun dalam berbagai administrasi. Dia sangat
bersemangat tentang kesempatan barunya karna itu adalah posisi yang baru didapat dengan
apa yang tampaknya menjadi suatu peluang yang sangat baik untuk pertumbuhan dalam
pribadinya. Setelah satu tahun, bagaimanapun, menjadi kejelasan tentang posisi utamanya

12
dan tidak ada kesempatan untuk mendapatkan kemajuan, dan bahwa keputusan yang paling
penting dapatkah dia terlibat untuk memesan pizza atau sandwich untuk pertemuan eksekutif.
Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, calon profesional ini diminta berbelanja
makanan untuk melayani di pertemuan dan kemudian melayani makanan untuk para
manager. Seperti yang dapat anda bayangkan, dia sangat kecewa dan marah karna telah
disesatkan. Karena perannya sebagai ibu tunggal tidak memungkinkan dia untuk berhenti dari
pekerjaannya, dia melampiaskan ketidakpuasannya dengan membeli donat basi untuk
pertemuan sarapan, membiarkan kopi dingin, dan “lupa” untuk membawa mayonaise untuk
sandwich. Perilaku tersebut membuat dia dipecat tapi mengijinkan dia secara pasif agresif
untuk mempertahankan beberapa bentuk kontrol dalam kehidupan pekerjaannya.

2. Apakah Karyawan Memiliki Kebutuhan, Nilai, dan Keinginan yang Telah


Terpenuhi?
Perbedaan antara nilai-nilai kebutuhan, nilai-nilai karyawan, dan keinginan dan
tawaran pekerjaan apa yang dapat menyebabkan menurunnya tingkat dari motivasi dan
kepuasan (Morris & Campion, 2003). Tiga teori yang fokus pada kebutuhan karyawan dan
nilai-nilai: Susunan kebutuhan Maslow, teori ERG, dan teori dua faktor.

a) Susunan Kebutuhan Maslow

Self-Actualization Need
(Kebutuhan Aktualisasi Diri)
Ego Needs
(Kebutuhan Ego)
Social Needs
(Kebutuhan Sosial)
Safety Needs
(Kebutuhan Keamanan)

Basic Biological Needs


(Kebutuhan Dasar Biologis)

Mungkin teori motivasi yang paling terkenal dikembangkan oleh Abraham Maslow
(1951, 1970). Maslow percaya bahwa karyawan akan termotivasi dan puas pada pekerjaan
mereka pada suatu titik tertentu dalam waktu tertentu jika kebutuhan tertentu dipenuhi.
Maslow percaya ada lima jenis utama dari kebutuhan dan bahwa kebutuhan ini sebagai

13
susunan-susunan, kebutuhan tingkatan yang lebih rendah harus dipenuhi sebelum seseorang
akan memenuhi tingkat kebutuhan berikutnya. Akan sangat membantu jika melihat susunan
tersebut seolah-olah tangga yang naik satu langkah pada satu waktu, dan kebutuhan tingkat
yang lebih tinggi tidak dapat dicapai sampai kebutuhan tingkat rendah dapat dipenuhi. lima
kebutuhan utama Maslow, yaitu :

o Kebutuhan dasar biologis

Maslow berfikir bahwa seorang individu pertama kali berupaya untuk memenuhi
kebutuhan biologis dasar mereka, seperti makanan, udara, air dan tempat tinggal. Dalam
kasus kami, seorang individu yang tidak memiliki pekerjaan disebut dengan tunawisma, dan
diambang kelaparan akan puas dengan pekerjaan apapun asalkan menyediakan kebutuhan
dasar. Ketika ditanya seberapa baik mereka menikmati pekerjaan mereka, orang-orang pada
tingkat ini mungkin akan menjawab, “saya tidak bisa mengeluh, harus membayar tagihan”.

o Kebutuhan keamanan

Setelah kebutuhan biologis dasar telah terpenuhi, ada pekerjaan yang hanya
menyediakan makanan dan tempat tinggal tidak akan lagi memuaskan. Karyawan kemudian
menjadi gelisah tentang kebutuhan keselamatan mereka. Artinya, mereka dapat bekerja
disebuah tambang batubara yang tidak aman untuk mendapatkan uang yang cukup untuk
menjamin kelangsungan hidup keluarga mereka, tetapi setelah keluarga mereka memiliki
makanan dan tempat tinggal, mereka akan tetap puas dengan pekerjaan mereka hanya jika
tempat kerja mereka aman.

Kebutuhan keamanan telah diperluas dengan mencakup keselamatan psikologis serta


fisik. Keamanan psikologis sering disebut sebagai keamanan pekerjaan dapat dipastikan
mempengaruhi kepuasan kerja. Misalnya, karyawan di sektor public sering mendaftarkan
keamanan kerja mereka sebagai kepentingan utama mereka dalam bekerja. Manfaat yang
begitu kuat bahwa mereka akan tetap dibayar dengan rendah dalam pekerjaan sector publik
daripada mereka dibayar dengan lebih tinggi namun kurang aman yaitu pekerjaan di sektor
swasta.

o Kebutuhan Sosial

Setelah kebutuhan pertama dan kedua didapatkan, karyawan akan tetap puas dengan
pekerjaan mereka hanya ketika kebutuhan sosial mereka telah dipenuhi. Kebutuhan sosial

14
melibatkan bekerja dengan orang lain, menambah pertemanan, dan merasa dibutuhkan.
Sebuah organisasi berusaha untuk memenuhi kebutuhan sosial pekerja mereka dalam
berbagai cara. Kantin perusahaan memberikan pekerja serta tempat dan kesempatan untuk
bersosialisasi dan bertemu dengan karyawan lain, piknik perusahaan dapat membuat setiap
keluarga untuk bertemu antara satu dengan yang lainnya, dan program olahraga perusahaan
seperti tim bowling dan permainan softball memberikan kesempatan bagi karyawan untuk
bermain bersama dalam lingkungan yang netral.

Ini merupakan hal yang penting bahwasannya sebuah organisasi melakukan upaya
yang nyata untuk dapat memuaskan dalam kebutuhan sosial ketika pekerjaan itu sendiri tidak
mendorong kegiatan sosial tersebut. Misalnya, tukang sapu atau penjaga malam menemukan
beberapa orang lainnya sedang bekerja. Dengan demikian, kesempatan untuk mendapatkan
teman baru tergolong kecil.

Teman baik saya bekerja disebuah lembaga publik yang besar sebelum menjadi
seorang penulis yang bekerja diluar rumah. Sebelum bekerja dirumah, ia jarang menerima
undangan untuk menghadiri pesta atau bersosialisasi. Dalam kata-katanya, “Setelah aku
pulang, saya tidak ingin melihat orang lain”. Namun, sekarang bahwa satu-satunya hubungan
sosial pada siang hari merupakan percakapan satu sisi pada three-legged, neurotic cat, ia
mensosialisasikan setiap kesempatan yang dia dapatkan.

o Kebutuhan Ego

Ketika kebutuhan sosial karyawan telah dapat memuaskan diri, berikutnya karyawan
akan berkonsetrasi berikutnya padapemenuhan kebutuhan ego mereka. Kebutuhan ini untuk
pengakuan dan keberhasilan, dan sebuah organisasi dapat membantu dalam memuaskan
mereka melalui pujian, penghargaan, promosi, kenaikan gaji, dan publikasi. Kebutuhan ego
dapat dipenuhi dengan berbagai cara. Misalnya, dalam Tonight Show dengan host yaitu Johny
Carsor pernah berkomentar bahwa bakat yang paling bergengsi di NBC bukanlah gaji dari
seorang bintang televisi atau produser melainkan apakah orang tersebut memiliki atau dia
mempunyai tempat parkir. Demikian juga, banyak organisasi yang menggunakan furnitur
untuk membantu memenuhi kebutuhan ego. Semakin tinggi posisi karyawan, maka semakin
lebih baik pula perabot kantor miliknya. Demikian pula, di salah satu perusahaan mesin di
Louisville, Kentucky, insinyur tidak diijinkan untuk menempelkan ijasah atau penghargaan
mereka didinding sampai mereka menerima sertifikasi profesional mereka. Di Universitas
tempat saya bekerja (Ok, dimana saya bekerja : saya tidak sering bekerja), staf pengajar,

15
ketua jurusan, dekan, dan wakil presiden diberi furniture yang “Sepadan dengan status
mereka”. Mungkin ini menjelaskan meja untuk main kartu dan kursi lipat dikantorku.

o Aktualisasi kebutuhan diri

Bahkan ketika karyawan memiliki teman, mendapatkan penghargaan, dan mempunyai


gaji yang relatif tinggi, mereka mungkin tidak sepenuhnya termotivasi oleh pekerjaan mereka
karna kebutuhan aktualisasi diri mereka mungkin tidak puas. Kebutuhan ini adalah tingkat
kelima dan terakhir dari susunan kebutuhan Maslow (tingkat atas). Aktualisasi diri dapat
didefenisikan dengan baik oleh Tentara Amerika Serikat sebagai slogan dalam penerimaan
tentara “Be All That You Can Be (Jadilah semua yang anda bisa)”. Seorang karyawan
berjuang untuk aktualisasi diri ingin mencapai potensi dirinya dalam setiap tugas. Dengan
demikian, karyawan yang telah bekerja dengan mesin yang sama selama 20 tahun mungkin
menjadi tidak puas dan kurang termotivasi oleh pekerjaan mereka. Mereka telah
menyelesaikan semua yang dapat diselesaikan dengan mesin khusus dan sekarang mereka
mencari tantangan baru. Jika tidak tersedia, mereka mungkin akan menjadi tidak puas dan
tidak termotivasi.

Untuk beberapa pekerjaan, memuaskan kebutuhan aktualisasi diri merupakan hal


yang mudah. Misalnya, seorang profesor perguruan tinggi selalu memiliki penelitian baru
untuk membimbing, kelas baru untuk mengajar, dan klien baru untuk berkonsultasi. Dengan
demikian, berbagai tugas dan masalah baru yang dihadapi memberikan tantangan konstan
yang dapat menimbulkan motivasi yang lebih tinngi.

Pekerjaan yang lain, bagaimanapun, mungkin tidak memenuhi kebutuhan aktualisasi


diri. Sebuah contoh yang baik adalah seorang karyawan yang mematerikan bagian pada jalur
perakitan. Selama 8 jam sehari, 40 jam seminggu, ia melakukannya hanya untuk satu tugas.
Kebosanan dan kesadaran bahwa pekerjaan itu tidak akan pernah berubah mulai diatur dalam
pikirannya. Hal ini tidak mengherankan bahwa karyawan menjadi tidak puas dan dapat
kehilangan motivasi.

b) Evaluasi Teori Maslow

Meskipun teori kebutuhan Maslow dibuat sangat baik dengan pemikiran intuitif dan
sangat populer terhadap manajer dan analisis pemasaran, dan meskipun komponen umum
telah bertahan dalam ujian waktu, penelitian secara umum tidak didukung aspek teknik yang
lebih banyak (Soper, Milford & Rosenthal, 1995; Wahba & Bridwel, 1976). Mungkin

16
masalah terbesar pada teori yang menyangkut sejumlah tingkatan. Model Maslow memiliki
lima tingkat kebutuhan, tetapi penelitian telah menemukan suatu kegagal untuk mendukung
tingkatan tersebut dan menunjukan bahwa mungkin hanya ada dua atau tiga tingkat saja
(Aldefer 1972 Lawler & Suttle, 1972, Michell & Mougdill 1976).

Masalah kedua dari teori ini adalah bahwa beberapa orang tidak menunjukkan
kemajuan dari susunan kebutuhan Maslow yang menyarankan agar mereka melakukannya.
Dengan kata lain, kebanyakan orang akan maju dari tingkat kebutuhan dasar biologis ke
kebutuhan keamanan ke kebutuhan sosial dan sebagainya. Beberapa orang, bagaimanapun,
telah dikenal untuk melewati tingkatannya, misalnya bungee jumper jelas melewatkan tingkat
kebutuhan keselamatan dan langsung menuju ke kebutuhan selanjutnya. Dengan demikian,
ketika pengecualian itu terjadi pada struktur susunan, teori akan kehilangan dukungannya.

Masalah lain dalam teori ini telah memprediksi bahwa setelah kebutuhan pada satu
tingkat puas, tingkat kebutuhan berikutnya akan menjadi hal yang paling penting. Penelitian,
bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi (Salancik & pletter,
1977).

Meskipun teori maslow ini belum didukung oleh penelitian, hal itu mungkin masih
bermanfaat. Beberapa pernyataan tertentu mengatakan teori ini mungkin tidak benar, tetapi
masih memberikan pedoman bahwa organisasi dapat menggunakannya untuk meningkatkan
motivasi dan kepuasan. Memberikan pengakuan, pengayaan, dan tempat kerja yang aman
tidak meningkatkan motivasi karyawan. Mungkin saran validitas ini menjelaskan mengapa
teori maslow masih banyak digunakan oleh profesi sumber daya manusia meskipun tidak
populer dari akademis dan penelitian, yang memilih model yang lebih rumit.

Sebuah keadaan di universitas besar memberikan contoh bagaimana prinsip-prinsip


umum Maslow dapat digunakan. Setelah bertahun-tahun meningkat penndaftaran dan
kehormatan ,sebuah skandal yang menyebabkan penurunan yang sangat drastis dalam
pendaftaran, dukungan keuangan, dan moral staff. Untuk memperbaiki masalah ini, presiden
baru dipekerjakan. Tindakan pertamanya adalah untuk memberikan “Spirit day (Hari
semangat)” setiap hari Jumat dimana karyawan harus berpakaian santai, peningkatan
penekanan pada isu-isu keragaman, dan niatnya untuk memulai membuat sebuah tim
olahraga baru. Kepuasan karyawan dan motivasi terus menurun. Fakultas kehilangan
sejumlah besar dolar dan jutaan dolar dipotong dari anggaran.

17
Apa yang salah? Antara banyak hal, proposal presiden yang bertujuan meningkatkan
pada tingkat 3 Maslow, sedangkan kebutuhan karyawan berada di tingkat 2 yaitu
“Mungkinkah universitas ini akan bertahan?” dan “Mungkinkah saya masih memiliki
pekerjaan tahun depan?”.

c) Teori ERG

Growth Needs (Kebutuhan Perkembangan)

Relatedness Needs (Kebutuhan Hubungan)

Existence Needs (Kebutuhan Keberadaan)

Karna masalah teknis dengan susunan Maslow, Aldefer (1972) mengembangkan teori
kebutuhan yang hanya memiliki tiga tingkatan. Tiga tingkat yaitu Keberadaan (Existence),
Hubungan (Relatedness), dan Perkembangan (Growth), maka diberi nama Teori ERG.
Penelitian yang dilakukan oleh Wanous dan Zwany (1972) mendukung Aldefer yang
mengusulkan sejumlah tingkatan.

Selain sejumlah tingkatan, perbedaan utama antara teori Maslow dan teori ERG
adalah Aldefer menyarankan bahwa seseorang dapat melangkahi sebuah tingkatan. Dengan
mempertimbangkan untuk pergerakan tersebut, Aldefer telah menghapus satu masalah
terbesar dari teori Maslow.

Selanjutnya, teori Aldefer ini menjelaskan mengapa tingkat yang lebih tinggi kadang-
kadang tidak perlu untuk menjadi hal yang sangat penting, kadang kebutuhan di tingkat yang
lebih rendah telah dapat dipenuhi. Aldefer percaya bahwa untuk pekerjaan dalam banyak
organisasi, kemajuan untuk ke tingkatan yang berikutnya tidak memungkinkan karna
beberapa faktor seperti kebijakan perusahaan atau sifat pekerjaan. Sehingga jalur untuk
menuju tingkatan berikutnya terhalang, dan karyawan menjadi frustasi dan menempatkan hal-
hal lain yang lebih penting pada tingkatan sebelumnya. Mungkin itu sebabnya beberapa

18
serikat pekerja menuntut lebih banyak uang dan tunjangan bagi anggota mereka dari pada
mengembangkan pekerjaannya. Mereka menyadari bahwa pekerjaan akan selalu
membosankan dan bahwa sedikit yang bisa dilakukan untuk memperbarui mereka. Sehingga
tingkat kebutuhan sebelumnya menjadi lebih penting. Ide ini sudah menerima setidaknya
beberapa dukungan empiris (Hall & Nougaim, 1968; Salancik & Pleffer, 1977).

d) Teori Dua Faktor

Teori Dua Faktor Oleh Hertzberg


Hygiene Factors Motivators
(Faktor Hygiene) (Motivasi)
Pay (Gaji) Responsibility
(Tanggung Jawab)
Security (Keamanan) Growth (Perkembangan)
Coworkers (Rekan Kerja) Challenge (Tantangan)
Working Conditions Stimulation (Stimulasi)
(Kondisi Kerja)
Company Policy Independence
(Kebijakan Perusahaan) (Kemerdekaan)
Work Schedule Variety
(Jadwal Kerja) ( Keseragaman)
Supervisors (Pengawas) Achievement (Pencapaian)
Control (Kontrol)
Interesting Work (Minat)

Herzbreg (1966) berpendapat bahwa yang berhubungan dengan pekerjaan dapat


dibagi menjadi dua kategori yaitu motivasi dan faktor hygiene. Demikian nama teori dua
faktor. Faktor hygiene adalah elemen yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihasilkan
namun tidak melibatkan pekerjaan itu sendiri. Misalnya, gaji dan keuntungan akibat dari

19
pekerjaan tapi melibatkan pekerjaan itu sendiri. Sama seperti, mendapatkan teman baru
mungkin hasil dari pergi bekerja, tetapi juga tidak terlibat langsung dengan tugas dan
kewajibandari pekerjaan itu.

Motivasi adalah elemen pekerjaan yang dilakukan berkaitan dengan tugas dan
kewajiban yang sesungguhnya. Contoh dari motivasiakan menjadi tingkatan dari tanggung
jawab, mengontrol sejumlah pekerjaan, dan kepentingan bahwa sebuah pekerjaan dilakukan
oleh karyawan. Herzberg berpendapat bahwa faktor hygiene diperlukan tetapi tidak cukup
untuk kepuasan kerja dan motivasi karyawan. Artinya, jika faktor hygiene tidak hadir pada
tingkat yang memadai (misalnya, gaji yang terlalu rendah), maka karyawan akan tidak puas
dan kurang termotivasi. Tetapi jika semua faktor hygieneter penuhi, tingkat kepuasan
karyawan dan motivasi hanya akan bersifat netral. Hanya adanya dari keduanya yaitu
motivasi dan faktor hygiene dapat membawa pekerjaan menjadi lebih puas dan termotivasi.

Dengan demikian, seorang karyawan yang dibayar dengan tinggi namun tidak
memiliki kontrol atau tanggung jawab atas pekerjaannya mungkin tidak akan termotivasi atau
tidak termotivasi. Tapi seorang karyawan yang tidak dibayar cukup akan bisa termotivasi,
meskipun ia mungkin memiliki kontrol dan tangung jawab yang sangat besar atas
pekerjaannya.

Sekali lagi, Herzberg merupakan salah satu teori yang masuk akal tapi belum
mendapat dukungan penelitian yang kuat. Pada umumnya, para peneliti telah mengkritisi
teori ini karena dari metode yang digunakan untuk mengembangkan dua faktor serta suatu
fakta bahwa beberapa studi penelitian yang mengulangi temuannya yang sudah diperoleh
oleh Herzberg dan rekan-rekannya. (Hinrichs & Mischkaind, 1967; King, 1970).

Perbandingan antara Teori Maslow, Teori ERG, dan Teori Hertzberg


Maslow ERG Hertzberg
Self-Actualization
Motivators
(Aktualisasi Diri) Growth
(Motivasi)
Ego (Ego)

Social (Sosial) Relatedness


Hygiene Factors
Safety (Keamanan) (Faktor Hygiene)
Existence
Basic Biological

20
(Dasar Biologis)

III. APAKAH TUJUAN KARYAWAN DAPAT DI RAIH?


Dalam meningkatkan motivasi, penetapan tujuan harus di gunakan. Dengan penetapan
tujuan, setiap karyawan di berikan tujuan seperti meningkatkan kehadiran, menjual lebih
banyak produk, atau mengurangi jumlah kesalahan tata bahasa dalam sebuah laporan. Tujuan
dan pengaturan minat belajar Psikologi Industri dan Organisasi di teliti oleh Latham dan
Blades (1975). Penelitian yang mereka lakukan tentang mengemudi sebuah truk di suatu
pabrik, dan tidak memenuhi syarat dalam melakukan suatu pengiriman. Untuk mengantar
suatu barang dengan truk itu menggunakan uang perusahaan. Untuk meningkatkan beban
dalam setiap pengiriman, pengemudi di beritahu tujuan yang pasti dan di beritahu bahwa
mereka tidak akan di hukum jika tujuan mereka tidak tercapai. Suatu peningkatan yang
sangat drastis, beban setiap pengiriman yang di hasilkan sangat tinggi. Meskipun ini adalah
suatu hal yang mudah, namun penetapan tujuan telah terbukti sangat efektif dalam berbagai
macam jenis situasi.

Untuk mengatur tujuan dan untuk menjadi yang paling berhasil, tujuan harus memiliki
kualitas yang sangat baik, yang disebut dengan SMART: Specific (Spesifik), Measurable
(Terukur), Attainable (Yang Dapat Dicapai), Relevant (Berhubungan), dan Time Bound
(Memiliki batas waktu) (Rubin, 2002).

1. Specific (Spesifik)
Hal yang benar ketika menetapkan tujuan yang konkret dan spesifik (Locke &
Latham,2002; Wood, Mento & Locke, 1987). Sebuah tujuan seperti “Saya akan
memproduksi sebanyak yang saya bisa” dan kata-kata ini tidak akan seefektif seperti “Saya
akan mencetak 5000 halaman dalam satu jam berikutnya”. Tujuan yang lebih spesifikakan
menghasilkan lebih banyak produktifitas. Untuk menggaris bawahi nilai ini, kita akan
menggunakan contoh yang melibatkan suatu insentif. Jika seseorang mengatakan dia akan
melakukan suatu hal yang baik jika ia mendapat insentif, apakah itu berarti dia akan
melakukan suatu hal yang dia bisa sampai ia lelah? Sebanyak yang akan ia lakukan sebelum
dia mulai untuk bekerja keras? Sebanyak yang ia bisa sampai saat-saat terakhir?. Masalah
dari tujuan ini yaitu memiliki kata-kata yang ambigu dan kurangnya pedoman yang lebih
spesifik. Pengaturan tujuan yang tersusun secara spesifik akan dapat meningkatkan suatu
kinerja.

21
2. Measurable (Terukur)
Sangat benar menetapkan tujuan secara terukur. Artinya, Jika suatu tujuan adalah untuk
meningkatkan kinerja atau meningkatkan pelayanan pelanggan,bisakah kinerja atau
pelayanan pelanggan untuk di ukur?.

3. Kesulitan yang dapat dicapai


Menetapkan tujuan yang tinggi itu benar tetapi tujuan tersebut haruslah dapat di capai
(Locke&Latham, 1990). Jika seorang karyawan biasanya mencetak sebanyak 5000 halaman
dalam satu jam tetapiyang dihasilkannya hanya4000 halaman, kinerja ini tentunya tidak akan
meningkat. Sebaliknya jika tujuan yang di inginkan mencetak 20.000 halaman tetapi tidak
tercapai maka hal ini tidak akan efektif, karena karyawan akan menyadari bahwa ia tidak
dapat memenuhi tujuan dan akan berhenti untuk berusaha bekerja.

Contoh yang bagus dari tujuan yang telah di tetapkan ini berasal dari program daya
ingatan akademik di salah satu Universitas. Program ini di rancang untuk membantu siswa
yang mengalami kesulitas khusus dalam akademik dan GPAs yang memiliki kemampuan di
bawah rata-rata untuk mengaplikasikannya di suatu sekolah. Program ini melibatkan
bimbingan, kemampuan belajar, dan penetapan tujuan. Meskipun pada umumnya telah
sukses, banyak siswa yang gagal dalam meningkatkan kemampuan akademik mereka.
Penyelidikan singkat bahwa proses penetapan tujuan ini merupakan salah satu alasan
kegagalan siswa dalam mendapatkan IPK mulai dari 1,0 hingga 4,0! Nyatanya, Beberapa
siswa mungkin tidak mampu mencapai tujuan ini. Masalah yang biasanya muncul ialah
ketika siswa melakukan hal yang kurang baik dalam test pertama dan kesempatan ini
mengakibatkan siswa tidak percaya diri dikelas, dan berfikir tidak akan mungkin
mendapatkan IPK 4,0 persemester serta mereka merasa tidak dapat mencapai tujuan dan juga
merasa gagal dan akan berhenti berusaha.

Meskipun menetapkan tujuan yang lebih tinggi umumnya mengarah pada kinerja yang
lebih baik dari pada menetapkan tujuan yang lebih rendah, tingkat kesuksesan tujuan akan
sangat mempengaruhi komitmen kinerja karyawan dalam mencapai suatu tujuan (Klein,
Wesson, Hollenbeck, & Alge, 1999; Locke & Latham, 2002). Misalnya, jika seorang Kepala
Polisi menetapkan tujuan yang tinggi kepada seorang polisi untuk menuliskan kutipan lalu
lintas, petugas polisi tidak akan meningkatkan jumlah kutipan lalu lintas yang ia tulis kecuali
ia berkomitmen terhadap tujuan tersebut. Artinya, jika ia percaya bahwa ia bisa mencapai

22
tujuan tersebut, menyetujui bahwa hal ini sangat bermanfaat, dan akan dihargai untuk tujuan,
komitmennya untuk mencapai tujuan tersebut akan memiliki kecenderung yang lebih tinggi.

Tidak mengherankan, setiap orang akan berbeda dalam sejauh mana mereka akan
mencapai tujuan yang tinggi. Hal optimis akan lebih cenderung menghasilkan tujuan yang
tinggi di bandingkan dengan pesimis (Ladd, Jagacinski, & Stolzenberg, 1997). Orang-orang
akan memberikan nilai tinggi dalam: Conscientiousness (Sifat yang berhati-hati),
Extraversion, dan Openness (Sifat yang terbuka) dan rendah hati dalam Agreeableness
(Keramahan), dan Neuroticism (Neurosis) akan cenderung menetapkan tujuan yang lebih
tinggi (Judge & llies, 2002).

4. Relevant (Berhubungan)
Menetapkan suatu tujuan harus saling berhubungan. Menetapkan suatu tujuan untuk
meningkatkan keterampilan dalam berbicara di depan umum tidak akan menjadi seperti
seseorang yang akan memotivasi orang lain untuk bekerja di tempat pembuangan sampah
karena akan menjadi seorang petugas polisi yang sering bersaksi dipengadilan.

5. Membatasi Waktu
Tujuan bekerja dengan baik itu ketika ada susunan waktu untuk dapat menyelesaikan
tugasnya. Misalnya, seseorang yang membersihkan kantor akan lebih termotivasi jika tau
kapan tanggal dan waktu ketika ia akan membersihkan kantor.

6. Partisipasi Karyawan
Hingga sekarang, secara umum akan berfikir bahwa tujuan yang akan menyebabkan
peningkatan terbesar dalam produktifitas jika itu diterapkan setidaknya oleh sebagian
karyawan. Artinya, jika atasan menetapkan tujuan karyawan maka kinerja mereka akan dapat
meningkat, hal itu akan lebih dapat meningkatkan karyawan jika mereka ikut berpartisipasi
langsung. Namun beberapa analisis berpendapat bahwa dengan menetapkan tujuan itu tidak
akan meningkatkan kinerja karyawan (Mento, Skeel,&Karren 1987, Tubbs 1986). Namun,
analisis berpendapat bahwa partisipasi karyawan dalam menetapkan tujuan akan
meningkatkan komitmen untuk mencapai tujuan (Klien, at all 1999).

IV. APAKAH KARYAWAN MENERIMA FEEDBACK TENTANG


KEMAJUAN TUJUAN MEREKA?
Untuk meningkatkan efektivitas penetapan tujuan, feedback harus di berikan kepada
karyawan untuk kemajuan dalam mencapai tujuan mereka (Locke & Latham, 2002; Stajkovic

23
& Luthans 2003). Feedback merupakan hal sangat penting bahwa dalam sebuah penelitian
dari Informasi Teknologi (IT) 80% karyawan mengatakan bahwa feedback yang efektif akan
membuat mereka lebih kecil kemungkinannya untuk meninggalkan organisasi tempat mereka
bekerja (Joinson,2001). Feedback dapat memberitahukan secara langsung bagaimana perilaku
karyawan, penempatan sebuah skema di dinding, atau menggunakan komunikasi non-verbal
seperti tersenyum, pandangan mata, dan tepukan dipunggung. Feedback dalam kinerja akan
terlihat baik ketika informasi positif dan negatif dapat dikendalikan (Zhou, 1998). Untuk
mendorong karyawan dalam meminta feedback, atasan harus menunjukkan kesediaan mereka
untuk memberikan feedback dan memperkuat kinerja karyawan (Williams, Milter, Steelman,
& Levy; 1999).

Feedback merupakan hal yang berguna ketika diberikan secara positif dengan tujuan
mendorong dan memperkuat perilaku positif. Untuk Feedback agar menjadi lebih efektif,
harus di berikan ketika karyawan melakukan hal-hal yang benar, tidak hanya ketika mereka
melakukan kesalahan. Berikut beberapa tips untuk memberikan feedback yang efektif :

 Mengidentifikasi perilaku karyawan dan fokus bukan pada kepribadiannya, jika


karyawan sering terlambat,maka atasan mungkin berkata “Dalam dua minggu
terakhir, anda terlambat 5 kali” bukan berkata “Kita memiliki masalah karena
kurangnya tanggung jawab dan komitmen dalam pekerjaan anda.”
 Menjelaskan bagaimana perilaku berdampak terhadap orang lain. Misalnya
“Ketika anda bekerja terlambat 10 menit, pelanggan akan marah karena tidak ada
yang membantu mereka. Ketika karyawan lain membantu mencatatkan untuk
anda, hal itu menyebabkan mereka kehilangan waktu istirahat dan makan siang
karena di paksa untuk lembur”.
 Meminta saran karyawan tentang bagaimana mengubah sebuah perilaku. Jika
karyawan tidak ada yang memberikannya, maka supervisor dapat memberikan
beberapa hal. Beberapa contoh percakapan dapat seperti ini :
Karyawan : Saya tahu, tidak seharusnya saya tidak bekerja, tetapi saya sangat
lelah di pagi hari dan tidak mendengar alarm.
Supervisor : Dapatkah anda memikirkan tentang hal-hal yang anda lakukan
sehingga anda tidak begitu lelah dipagi hari?
Karyawan : Saya bisa tidur lebih awal, tetapi saya suka menonton David
Letterman dan kemudian Sport Center di ESPN.

24
Supervisor : Anda bisa mencoba untuk menonton edisi awal Sport Center dan
rekam acara David Letterman jadi anda bisa menontonnya ketika anda pulang
kerja.
Karyawan : Saya pikir saya bisa mencobanya.
 Setelah dapat solusi, supevisor dan karyawan harus menetapkan tujuan yang
spesifik. Contohnya : Mereka setuju bahwa karyawan akan datang tepat waktu
setiap hari mulai minggu depan.
 Setelah disepakati,supervisor memberi karyawan waktu untuk melihat tujuan
yang telah di tetapkan dan menyepakati tujuan tersebut.

V. APAKAH KARYAWAN HARUS MENDAPATKAN PENGHARGAAN


UNTUK MENCAPAI SUATU TUJUAN ?
Strategi dasar dalam memotivasi para karyawan adalah dengan menyediakan insentif
bagi karyawan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi. Hasilnya,
Organisasi menawarkan insentif untuk berbagai perilaku karyawan seperti lembur atau
bekerja pada akhir pekan, pengadaan saran, membuat sesuatu aplikasi, tetap bersama dengan
perusahaan (memberikan pelayanan yang besar), datang tepat waktu (Insentif kehadiran), dan
boleh tidak masuk karena mengalami suatu kecelakaan, dan dapat tampil ditingkat yang besar
(Henderson, 2003). Dasar dari sistem insentif yang diberikan ini yaitu menggunakan prinsip
pengkondisian operan, yang menyatakan bahwa karyawan akan terlibat dalam setiap perilaku
yang memberikan mereka reward (Penghargaan) dan menghindari perilaku yang dapat
menghukum mereka. Sehingga, jika karyawan ingin dihargai mereka tidak boleh membuat
kesalahan, mereka mungkin lebih untuk menghasilkan kualitas kerja yang tinggi. Jika
karyawan hanya dihargai untuk jumlah pekerjaan yang dilakukan, mereka mungkin tidak
akan perduli pada kualitas dan akan mencoba untuk meningkatkan kuantitas mereka.
Akhirnya karyawan tidak dihargai dalam setiap perilaku apapun, mereka akan mencari setiap
kesalahan yang dilakukan para karyawan. Perilaku (yang dihargai saat pergi memancing) atau
perilaku (yang dihargai saat menghabiskan banyak waktu dengan teman).

Sebuah penelitian dan banyaknya penerapan yang dilakukan pada studi ini telah
menunjukan penguatan terhadap keefektivitasan karyawan. Contohnya :

25
o Austin, Kessler, Ricobono, dan Bailey (1996) memberikan feedback harian dan
insentif mingguan untuk para kru karyawan. Intervensi ini mengakibatkan
pengurangan biaya tenaga kerja 64% dan peningkatan kinerja 80% dalam
keselamatan.
o Lafleur dan Hyten (1995) menggunakan kombinasi penetapan tujuan, feedback,
dan penguat untuk meningkatkan kualitas kerja dari staff di hotel Banquet.
o Ply Mart, sebuah perusahaan bahan perlengkapan di Norcross,Georgia,
mengurangi jumlah karyawan yang cedera dari 37 orang per tahun menjadi 7
orang dengan memberikan feedback untuk yang mengalami cedera dan
perusahaan memberikan karyawan sejumlah bingo untuk setiapharinya agar tidak
ada karyawan yang mengalami cedera. Setiap hari, perusahaan menambahkan
uang ke setiap taruhan karyawan sampai seorang karyawan mendapatkan “bingo”
dan dapat memenangkan hasil taruhan tersebut (Atkinson, 1999).
o Kortick dan O’Brien(1996) menemukan “World Series of Quality Control” di
sebuah perusahaan pengiriman package di New York. 104 orang karyawan dibagi
menjadi 13 tim dari masing-masing terdiri atas 8 karyawan dan menyelesaikan
setiap tugas satu sama lain untuk memiliki akurasi pengiriman yang terbaik dan
memiliki kuantitas. Informasi dari kinerja dan klasmen tim di publikasikan setiap
minggu dan tim pemenang akan menerima pizza. Pada setiap akhir bulan, tim
pemenang menerima plakat individual dan makan malam di restoran lokal.
Intervensi ini mengakibatkan peningkatan promosi dalam setiap pengiriman.

Penelitian ini menjelaskan tentang penyebab peningkatan motivasi dan kinerja,


(Stajkovic & Luthans, 2003) 6 faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan
kefektivitas yaitu program insentif : Timing of the incentive (Waktu Insentif), Contingency of
the incentive (Kemungkinan Insentif), Type of the incentive used (Jenis Insentif yang
Digunakan), Use of Individual-based Versus Group-based Incentive (InsentifBerbasis
Individu VsBerbasis Kelompok), Use of Positive Incentives (Reward) Versus Negative
Incentives (Punishment) (Penggunaan insentif positif (Reward/Hadiah) Vs penggunaan
insentif negatif (hukuman), dan The Fairness of the Reward System (Kelayakan terhadap
Sistem Reward (Hadiah).

1. Timing of the incentive (Waktu dari Insentif)


Penelitian ini menunjukkan bahwa reinforcer (penguat) dan punisher (hukuman) itu
dapat efektif, jika dilakukan segera setelah terjadi perilaku kinerja. Sayangnya, jika waktu

26
insentif yang terlalu lama, keefektivitas insentif untuk meningkatkan kinerja akan terhambat.
Misalnya, karyawan disebuah restauran belajar untuk melayani meja dan melakukan banyak
perilaku dalam melayani pelanggan. Tips biasanya ditinggalkan konsumen setelah makan,
dan memberikan feedback tentang kinerja karyawan. Namun, jika tips yang diberikan kecil,
terkadang karyawan tidak mengetahui tentang perilaku apa yang menyebabkan
ketidaksenangan terhadap pelanggan. Demikian juga, jika tip yang diberikan besar karyawan
akan menunjukkan perilaku yang baik. Jadi, waktu dari konsekuensi itu tidak cukup.

2. Contingency of Consequence (Kemungkinan Konsekuensi)


Jika tidak segera memberi reward (Hadiah) atau Punish (Hukuman) dari sebuah perilaku,
setidaknya harus jelas bahwa karyawan itu dapat memahami perilaku yang dapat memberinya
hadiah atau hukuman. Kembali ke contoh kita yang pelayan, jika dia diberi tahu seberapa
besar tip yang diberikan dia mungkin akan mengubah perilakunya. Apakah anda pernah
memberikan seorang waiter atau waitress tip yang besar walaupun layanan yang diberikan
tidak sesuai? Kebanyakan dari kita pernah mengalaminya. Ketika ini terjadi, waiter atau
waitress diperkuat selama melakukan kinerja buruk dan mereka tidak memiliki insentive
untuk mengurangi kinerja buruk tersebut sehingga kinerja buruk tersebut harus memiliki
sebuah konsekuensi. Dengancara yang sama, jika waiter atau waitres telah melakukan
pekerjaan yang luar biasa namun menerima tips yang kecil, kemungkinan untuk melakukan
kinerja yang luar biasa akan berkurang. Selanjutnya, ketika tip yang didapatkan oleh masing-
masing waiter atau waitress dikumpulkan, lalu dibagikan oleh pihak restauran maka imbalan
yang karyawan dapatkan tidak bergantung pada perilaku itu sendiri.

Contoh ini adalah Reward (Hadiah) dan Punish (Hukuman) yang harus diberikan
terhadap kinerja; kemungkinan konsekuensi harus jelas jika sesuatu telah terjadi. Jika Reward
(Hadiah) dan Punish (Hukuman) tidak dapat diberikan secara lansung, karyawan harus
diberitahu tujuan dari konsekuensi sehingga dapat berhubungan antara perilaku dan hasilnya
jelas.

3. Type of the incentive used (Jenis Insentif yang Digunakan)


Penting untuk menghargai karyawan dalam setiap perilaku kerja yang produktif. Tapi,
seperti yang anda lihat dalam pembahasan susunan Maslow, karyawan yang berbeda
memiliki nilai yang berbeda, dan pengawas harus membuat akses pelatihan dalam berbagai
jenis perilaku karyawan. Sebagai contoh beberapa karyawan dapat dihargai dengan pujian,
dengan penghargaan, dengan pekerjaan yang menarik, dan dengan uang atau yang lain.

27
Bahkan analisis dari Stajkovic dan Luthans (1997). Menemukan bahwa manfaat sosial
menyebabkan tingkat kinerja meningkat.

Hal yang sama terlihat dari punishment (Hukuman). Mengancam karyawan dengan di
skors selama 3 hari akan efektif hanya jika ia membutuhkan uang atau dia tidak menyukai
hal-hal seperti cuti: berteriak pada seorang karyawan akan efektif hanya jika karyawan
tersebut tidak suka untuk diteriaki; dan mengancang untuk tidak mempromosikan seorang
karyawan akan efektif hanya jika karyawan tersebut memiliki nilai untuk dapat dipromosikan
dan dia merasa bahwa dia memiliki kesempatan untuk dapat dipromosikan.

a. Prinsip Premack

Most Desired
(Banyak Keinginan)

- Money (Uang)
- Time off from work (Waktu untuk kerja)
- Lunch time (Waktu makan siang)
- Working next to wanda (Bekerja di sebelah wanda)
- Supervisor Praice (Pujian atasan) Reinforcers
(Memperkuat)
- Running the press
- Getting printing plates
- Throwing out oily rags
- Typesetting
- Cleaning the press

Least Desired
(Keinginan
Terakhir)

28
Sebuah metode menarik yang menyediakaninsentif, bahwasannya kebutuhan dari
setiap karyawan berasal dari prinsip Premack (1963), yang menyatakan bahwa penguat
adalah cara yang bersifat relatif untuk seorang atasanagar dapat memperkuat karyawan
dengan suatu hadiah yang diberikan untuk menjadi sebuah penguat. Cara terbaik untuk
menjelaskan prinsip ini adalah dengan membangun susunan yang dapat menguatkan
karyawan untuk memperkuat daftar pilihan dari setiap karyawan.

Hipotesis karyawan kami sebagian besar menginginkan uang dan waktu cuti dari
pekerjaan dan sedikitnya keinginan untuk menyusun dan membersihkan suatu hal-hal yang
mendesak. Karyawan kami dapat menikmati dan melakukan pekerjaan dengan baik tanpa
tekanan jika kami memberinya uang untuk setiap kali dia menyelesaikan tugasnya, sehingga
sistem reward (Hadiah) dapat menjadi hal yang mahal. Jadi, berdasarkan prinsip Premack,
kita dapat mengerti karyawan dengan mengijinkannya untuk melakukan salah satu aktivitas
yang diasuka daripada harus mengaturnya. Dari susunan ini, kita dapat melihat bahwa
memberikan waktu istirahat yang singkat dapat membuat kami lebih semangat untuk bekerja.
Dengan demikian kami juga membutuhkan sebuah imbalan.

Prinsip Premack mungkin terdengar lucu, tetapi pemikiran tentang penguat bisa kamu
gunakan untuk pemberian imbalan diri sendiri dalam bekerja.Setelah membaca sejumlah
halaman makaa kamu dapat mempelajari hal yang sebelumnya tidak kamu pelajari. Tentunya,
memperoleh segelas air itu sulit di waktu yang tidak baik, tetapi mungkin lebih menarik dari
pada belajar dan kemudian bisa meyakinkan orang untuk meningkatkan cara belejar.

Ketikasaya masih di SMA, saya bekerja disebuah pabrik percetakan yang


menghasilkan sebuah laporan dari stok. Semua karyawan menggunakan tingkatan dalam
“Collators” yang tugas dari pekerjaannya adalah untuk dapat membuat 500 salinan dari
halaman buku di atas mesin pencetak dan kemudian mereka harus melubangi di setiap 500
kertas. Proses ini di ulang sekitar 300 kali hingga semua menjadi buku yang lengkap.
Sepertinya yang dapat kamu bayangkan, ini adalah pekerjaan yang sangat membosankan.
Untuk memotivasi kami, atasan kami akan memberi imbalan yang besar untuk collators yang
paling cepat sesuai dengan pekerjaan kami. Seperti memberi makan siang dan memesankan
100 porsi nasi dan ayam goreng serta burger untuk semua karyawan, jika kami dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Saya tidak menyadari selama 10 tahun atasan saya
menggunakan prinsip Premack : kinerja yang menguntungkan dari suatu tugas yang sangat

29
membosankan akan memungkinkan membuat kami menjadi malas untuk mengerjakan tugas
tersebut.

Sebagai contoh lain, atasan saya sekarang (Bagian Pemimpin) adalah seorang ahli
yang menggunakan prinsip Premack. Karena peningkatan gaji sangat kecil dan tidak pernah
pasti, sangat sulit untuk memotivasi kemampuan dalam melakukan “Hal-Hal Kecil” dengan
imbalan dalam bentuk uang. Tetapi, atasan saya memberikan suatu penghargaan dari para
pimpinan dalam bentuk jabatan, hal yang mereka inginkan(datang bekerja sebelum pukul 8 ),
favorite kelas untuk mereka, dan menyelesaikan tugas dengan baik. Hal ini lebih baik dari
pada menerima imbalan dalam bentuk uang.

Tentu saja, atasan saya berhasil dalam menggunakan prinsip Premack karena dia
mempunyai perhatian yang baik dengan setiap anggota staffnya menggunakan penguatan
susunan. Contohnya, saya membenci ketika harus melayani suatu kepanitiaan di sebuah
perguruan saya harus memimpin setiap departemen dan kepanitiaan perguruan tinggi.
Kemudian atasan saya menempatkanrekan saya di komite dan memberi saya beberapa data
untuk mengawasi setiap hal yang terjadi dalam kepanitiaan. Beberapa anggota lebih
menyukai bekerja pada pagi hari karena menurut mereka pada waktu malam hari adalah
waktu untuk beristirahat.

Contoh suatu tulisan penelitian yang dilakukan oleh Welsh, Bernstein dan
Luthands(1992) menunjukkan efektivitas dari Prinsip Premack dengan karyawan di
restaurant makanan cepat saji. Karyawan yang dapat mengurangi kesalahan pada suatu waktu
akan diberikan reward (hadiah) dengan diizinkannya mereka untuk bekerja di bagian
pekerjaan yang menjadi favorite mereka (misalnya memasak kentang goreng dan membalik
burger). Ini menggunakan prinsip premack yang menyebabkan berkurangnya kesalahan yang
terjadi pada karyawan.

Meskipun pengkondisian operan dan perinsip premack telah berhasil dalam


meningkatkan motivasi dan kinerja, namun kehati-hatian datang dari Deci (1972), ketika
seseorang percaya bahwa beberapa orang dan beberapa kinerja pekerjaan merupakan bersifat
motivasi intrinsik. Artinya, Seseorang akan termotivasi karena mereka menikmati pekerjaan
mereka, hal yang dia kerjakan bukan karena mencari suatu reward (hadiah). Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Deci, menunjukan bahwa melakukan pembayaran kepada
seseorang pekerja setelah selesai mengerjakan beberapa pekerjaan akan dapat mengurangi
tingkat dimana dia menikmati dalam melakukan tugasnya. Jadi, ketika insentif keuangan

30
tidak lagi tersedia, karyawan akan kurang termotivasi untuk bekerja sebelum reward (hadiah)
tersebut diberikan. Menariknya konsep ini berbunyi, beberapa penelitian (misalnya
Dickinson, 1989) berpendapat bahwa kesimpulan dari penelitian Deci bahwa reward (hadiah)
ekstrinsik akan mengurangi motivasi instrinsik seorang pekerja.

b. Imbalan Financial (Imbalan Keuangan)

Insentif keuangan dapat digunakan untuk memotivasi kinerja para pekerja untuk
menjadi lebih baik, salah satunya dengan membuat jenis keseluruhan bayaran untuk
mengganti kinerja para karyawan (Schuster & Zingheim, 1992) atau menggunakan tunjangan
keuangan sebagai “bonus” untuk menyelesaikan tujuan tertentu. Suatu perencanaan ganti rugi
termasuk pembayaran dan suatu keuntungan untuk para karyawan sesuai dengan tugas, dan
pemberian gaji yang sesuai untuk dapat memenuhi berbagai macam biaya hidup agar dapat
meningkatkan suatu insentif yang lebih baik. Meskipun sistem insentif sering meningkat, tapi
ketika gambaran insentif kurang baik, mereka akan memberikan hasil yang negatif karena
tekanan yang di berikan mengakibatkan stres dan kesehatan berkurang serta kurangnya
pengamanan dari perusahaan (Schlefer&Okogbaa, 1990).

Insentif keuangan dalam suatu bentuk bonus atau hadiah yang dapat digunakan untuk
memotivasi karyawan. Misalnya, ketika seseorang dapat memenuhi target setiap tahunnya
dengan memberikan insentif lebih dari $13 juta dalam pengetahuannya kepada karyawan
yang dicalonkan oleh manajer mereka untuk kinerja yang sangat baik (Juergens, 2000). Pada
Net 2000 di Herndon, Virginia, karyawan yang tinggal di perusahaan selama 2 tahun dan
mendapatkan penilaian pekerjaan yang tinggiakan diberi 3 tahun menggunakan BMW,
Dodge Durango, atau Audi TT, dan karyawan harus tinggal selama 3 tahun kemudian untuk
dapat diberi BMW Z-3.

c. Recognition (Pengakuan)

Alih-alih memberikan insentif keuangan, banyak organisasi menghargai perilaku


karyawan melalui program pengenalan. Sebagai contoh;

o United Airlines mengadakan sebuahupacara khusus setiap tahun di mana


karyawan diberi suatu layanan untuk setiap tahun. (Renk,2000).
o Sebagian besar universitas menyerahkan penghargaan untuk masyarakat
fakultas yang bergelar rekan-rekan profesor dan profesor untuk mengenali
pelayanan stiap tahun serta kualitas dari kinerja.

31
o Restoran seperti Outback Steak House dan Chi-Chi Mexican Restauran,
memberikan “Karyawan bulanan” tempat parkir pribadi.
o Lee Memorial Hospital di Cape Coral, Florida, memberikan setiap
karyawan gantungan kunci disesuaikan dengan “Kinerja Karyawan”.
Sejak tahun mereka menyewa tempat tersebut (Leonard, 1990a).

Dalam beberapa organisasi, memberikan sebuah pengakuan kepada rekan-rekan.


Contohnya, karyawan di Angus Barn Restauran di Raleigh, North Carolina, memilih rekan-
rekan untuk menerima penghargaan “People’s Choice”, karyawan di Meridian Travel di
Cleveland memilih "Karyawan Bulan", dan karyawan di kantor federal di manajemen
personalia untuk memilih “Wingspeard Award".

Program pengakuan Informal, disebut sebagai penghargaan sosial, dan dapat


membuktikannya menjadi sumber yang luar biasa dari motivasi karyawan, tanda persetujuan
(misalnya, tersenyum, menganggukkan kepala), dan ekspresi persetujuan (Stajkovic &
Luthans, 2001).

d. Travel (Perjalanan)

Banyak organisasi yang menawarkan hadiah perjalanan bukan hanya berupa hadiah
financial. Misalnya, setiap pekerjadi McDonald diperbolehkan untuk mencalonkan diri
sebagai karyawan yang berprestasi memiliki suatu kesempatan untuk menghabiskan waktu
selama 2 minggu di salah satu kondominium perusahaan di Hawai, Florida, atau Danau
Tahoe, Navada. Untuk melengkapi perjalanan tim yang berlibur di Hawai. Pada motorola,
manajer dapat mencalonkan seorang karyawan untuk penghargaan wisata. Nominasikan, rata-
rata harga dari hadiah perjalanan inisebesar $1.750 (Poe,1997).

4. Individual-based Versus Group-based Incentive (Insentif yang Berbasis


Individu Vs Berbasis Kelompok)
Sebuah insentif dapat diberikan baik untuk kinerja individu ataupun kinerja kelompok.

a. Rencana individu berdasarkan insentif

Rencana individu berdasarkan insentif yang dirancang untuk membuat tingkat kinerja
individu yang tinggi dari financial yang berharga berdasarkan kinerjaindividu. Insentif
individu membantu mengurangi masalah kelompok seperti kemalasan sosial, ada dua

32
masalah utama yang terkait dengan rencana insentif individu. Yang pertama adalah kesulitan
dalam mengukur kinerja individu. Tidak hanya ukuran objektif yang sulit untuk di lihat,
tetapi terkadang atasan enggan untuk mengevaluasi karyawan, terutama ketika hasilnya akan
menentukan jumlah uang yang akan diterima oleh karyawan (Schuster & Zingheim, 1992).

Masalah kedua adalah bahwa rencana insentif individu dapat mendorong persaingan
antar karyawan. Meskipun persaingan tidak selalu buruk, jarang terjadi hal-hal yang
konsisten dengan tren baru pada setiap team dan program insentif individu dapat hidup
berdampingan dengan karyawan yang bekerja dengan baik. Bila dilakukan dengan baik,
bagaimanapun, didalam lingkungan team dan program insentif individu ini dapat hidup
berdampingan dan menghasilkan kinerja karyawan dengan tingkat tinggi (Steers & Porter,
1992).

Dua rencana insentif individu yang paling umum yaitu membayar untuk suatu kinerja
dan membayar jasa.

o Pay for Performance (Membayar suatu kinerja)

Disebut juga earnings-at-risk (EAR) rencana, membayar untuk suatu rencana kinerja
juga membayar karyawan sesuai dengan berapa banyak mereka menghasilkan produk
individu. Contoh sederhana - untuk - sistem kinerja yang mungkin anda ketahui adalah
pekerjaan yang tidak memakan waktu banyak.

Langkah pertama dalam menciptakan lebih banyak kerumitan dalam rencana


membayar kinerja pekerja dengan menentukan jumlah rata-rata atau standar dari produksi.
Misalnya, rata-rata jumlah dari amplop pegawai yang menggunakan email sebanyak 300 per
jam. Langkah selanjutnya adalah menentukan jumlah rata-rata untuk membayar suatu kinerja.
Kami mungkin memutuskan bahwa rata-rata, pendapatan kita mencapai $9 perjam. Kami
kemudian menghitung tingkat potongan dengan membagi upah per jam dengan jumlah
amplop yang diurutkan (9/300). Kemudian, kami juga harus menghitung amplop sebanyak
400 lembar perjam, ia akan memberi $12 per jam jika tugas yang kami lakukan dapat
dikerjakan dengan baik. Sedangkan jika kami hanya menyiapkan 200 lembar perjam, ia akan
meemberikan $6 per jam. Untuk melindungi perusahaan dari pengaruh faktor eksternal,

33
hukum upah minimum memastikan karyawan akan berusaha mencukupi hasil uang tersebut
untuk bertahan hidup. Kebanyakan organisasi memberikan gaji pokok untuk memastikan
bahwa karyawan akan memiliki keamanan finansial walaupun hanya sedikit. Bahkan, suatu
penelitian menyimpulkan bahwa karyawan akan di bayar tarif perjam nya sebagai insentif
untuk imbalan kinerja karyawan yang telah di berikan ke perusahaan.(Dickinson & Gillete,
1993).

Sebuah contoh yang baik dari rencana tersebut berasal dari pusat catatan manajemen
superiorcourt di anzona phourth (Hunsh, 1997). Setelah melakukan sesuatu yang negatif
dengan menyamakan antara gaji dan produktivitas karyawan (r = -49), akhirnya pengadilan
memutuskan untuk mencoba membayar untuk sistem kinerja. Setiap karyawan diberikan gaji
dasar $7,20 perjam dan atas dasar kuantitas dan kualitas karyanya, bisa dapat membayar
insentif tersebut. Membayar untuk suatu kinerja ini untuk intervensi kinerja akibatnya terjadi
peningkatan rata-rata gaji karyawan sebesar $2,60 perjam, pengurangan biaya perunit
(investasi asuransi setiap karyawan) dari 39 sen menjadi 21 sen, dan penurunan kebutuhan
untuk ruang penyimpanan.

Perusahaan Ineraldson di Fargo, North Dakota, mengubah sistem kerja untuk


menggaji pekerja dalam hitungan jam, pembantu rumah tangga dibayar dengan jumlah
kamar yang mereka bersihkan. Perubahan ini menyelamatkan uang perusahaan sebesar $2
juta per tahun dan mengakibatkan pembantu rumah tangga lebih banyak mendapatkan uang
dari jam kerja yang lebih sedikit dari pada sistem tarif perjam (Tulgan, 2001).

Union National Bank di Little Rock, Arkansas, telah memiliki keberhasilan yang luar
biasa dalam melayani jumlah pelanggan yang diperolehnya, jumlah waktu yang dibutuhkan
untuk menyeimbangkan rekening dan membayar bank untuk program kinerja telah
mengakibatkan karyawan rata-rata membuat 25%, menyimpan uang mereka untuk keperluan
mendadak, dan setelah menyimpan uang di bank keuntungannya akan bertambah menjadi 2
kali lipat.

Nurcor di Charlotte, North Carolina, adalah perusahaan lain yang telah digunakan
untuk membayar suatu kinerja. Dengan membayar jumlah pekerjaan yang mereka lakukan,
Nurcor telah melihat produtivitas lebih dari pekerja membuat gaji menjadi $3,000 per jam.
Sedangkan rata-rata beberapa industri adalah $27.000. Meskipun membayar suatu kinerja
sangat sukses tapi beberapa karyawan kurang puas atas apa yang telah didapatkan (Brown &
Huber, 1992).

34
o Merit Pay (Membayar Jasa)

Perbedaan utama antara membayar jasa dan membayar untuk kinerja adalah bahwa
sistem membayar jasa mendasarkan pada insentif mereka dalam penilaian-kinerja bukan pada
ukuran kinerja yang objektif seperti penjualan dan produktif. Dengan demikian, membayar
jasa merupakan suatu teknik yang berpotensi baik untuk pekerjaan dimana sulitnya
produktifitas untuk mengukur.

Hubungan yang sebenarnya antara skore penilaian-kinerja dan jumlah yang


membayar jasa yang diterima oleh karyawan sangat bervariasi diseluruh Amerika Serikat. Di
negara bagian Virginia system merit pay (Membayar jasa). Skor penilaian kinerja-karyawan
disetiap kantor memiliki peringkatnya, dan lebih dari 300% masing-masing karyawan
menerima bonus tahunan sebanyak $1.000.

Dalam sistem merit pay (Membayar jasa) digunakan oleh salah satu lembaga
kesehatan mental nirlaba, setiap karyawan memiliki peringkat penilaian-kinerja yang dibagi
dengan jumlah total poin yang dimiliki dalam kinerjanya, dan persentasi ini kemudian akan
dikalikan dengan peningkatan prestasi sebanyak 3% yang akan diterima oleh karyawan.
Dengan sistem ini, seorang karyawan harus menerima nilai sempurna untuk menerima
kenaikan penuh sebanyak 3%. Tapi kebanyakan karyawan hanya menerima sebanyak 2% dan
2,5%.

Kelebihan sistem merit pay (membayar jasa) dilakukan oleh angkutan umum
dicalifornia yang mirip dengan yang digunakan oleh badan kesehatan mental, dengan
pengecualian bahwa peningkatan prestasi menjadi syarat dari gaji pokok karyawan untuk
periode pembayaran berikutnya. Jadi, kenaikan dilangsungkan setiap tahunnya tidak seperti
sistem kesehatan mental untuk satu kali reward (hadiah).

Penelitian mengenai manfaat gaji telah membawa beragam pendapat. Beberapa


penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa karyawan menyukai ide tentang merit pay
(membayar jasa), tetapi penelitian lain telah menemukan bahwa hal tersebut tidak populer
dalam semua karyawan dan banyak karyawan yang mempertimbangkan sesuatu yang lebih
adil. Jika penilaian berdasarkan prestasi (Hills, Scott, Markham & Rompi, 1987), para
karyawan merasa puas apabila dibayar jika mereka membantu mengembangkan sebuah
sistem (Grlchrist & White, 1990)

35
Salah satumasalah terbesar dari merit pay (Membayar jasa) adalah bahwa kenaikan
didasari oleh penelitian terhadap kinerja yang subjektif. Menyadari hal ini, beberapa
atasanakan mengembangkan skor terhadap kinerja pelatihan untuk meningkatkan gaji
karyawan mereka dan dengan demikian meningkatkan perasaan positif karyawan terhadap
atasan mereka. Manajer juga telah dikenal untuk mengembangkan peringkat terhadap
penilaian-kinerja karyawan ketika mereka yakin gaji pokok untuk posisi tertentu yang terlalu
rendah.

Masalah lain dengan dengan merit pay (membayar jasa) adalah dengan ketersediaan
atau jumlah pendapatan berubah setiap tahunnya. Jadi, bisa saja kinerja dalam satu tahun ini
mungkin mengakibatkan insentif besar, tetapi kinerja yang sama pada tahun berikutnya
mungkin tidak mendapatkan insentifyang sama sekali. Hal ini sering berlaku di dalam
masyarakat. Untuk merit pay (membayar jasa) agar menjadi sukses, kesediaan dana harus
konsisten dan jumlahnya harus cukup (setidaknya 7%) untuk dapat memotivasi karyawan
(Bates, 2003).

b. Insentif Organisasi

Ide dibalik insentif terhadap rencana berbasis organisasi adalah untuk mendapatkan
karyawan agar dapat berpartisipasi didalam keberhasilan maupun kegagalan dari sebuah
organisasi (Schuster & Zingheim, 1992). Daripada membuat sebuah kompetisi antar
karyawan, maka karyawan berencana memberikan sebuah penghargaan untuk mencapai
tujuan kelompok. Masalah dari rencana insentifkelompok ini adalah bahwa mereka dapat
menghilangkan kemalasan sosial dan dapat menjadi lebih rumit apabila mereka tidak dapat
menjelaskannya kepada karyawan.

o Profit Sharing (Pembagian keuntungan)

Pembagian keuntungan dikembangkan di Amerika Serikat oleh Albert Gollatin pada


1794 lalu (Henderson, 2003). Seperti namanya, program pembagian keuntungan yang
memberikan karyawan keuntungan diatas jumlah yang sudah ditentukan. Misalnya, selain
mendapatkan gaji pokok, karyawan akan dapat menerima 50% dari keuntungan perusahaan.
Jika dapat menghasilkan 6% dari target perusahaan. Organisasi tidak akan memberikan
laporan awal sebesar 5% atau banyaknya keuntungan itu merupakan uang yang diperlukan
untuk penelitian dan pengembangan dan sebagai penyimpanan keuntungan tahunan. Besarnya
laba yang langsung dibagikan kepada karyawan disebut sebagai insentif (rencana tunai) atau

36
dapat ditempatkan kedalam dana pensiun karyawan (rencana ditangguhkan). Pembagian
keuntungan hanya akan memotivasi karyawan jika mereka memahami hubungan antara
kinerja dan keuntungan dan percaya bahwa perusahaan akan memberikan insentif yang layak.
Penelitian menunjukkan bahwa hasil pembagian keuntungan lebih besar berkomitmen
terhadap karyawan (Fitzgibbons, 1997, brokowski & schuster, 1992)

o Gainsharing

Digunakan oleh sekitar 12% dari organisasi, gainsharing mencoba untuk menyimpan
uang untuk perbaikan dalam kinerja organisasi (Mercer, 2003). Pertama kali, program
Gainsharing dikembangkan pada tahun 1935 oleh perusahaan sepatu Nunn Boshdi
Milwaukee, tapi Gainsharing ini mulai terkenal dalam 2 dekade terakhir ini (Gowen, 1990).
Program Gainsharing terdiri dari tiga unsur penting: Koperasi/keikutsertaan ilmu
management, tambahan penghasilan yang didasarkan pada kemajuan, dan insentif
berdasarkan susunan kelompok (Gomes-Mejia, Werborn &Wiseman, 2000,Hanton &
Taylor,1992).

Ciri khas program kerja Gainsharing sebagai berikut: Pertama, perusahaan tersebut
mengamati prestasi kerja selama beberapa waktu untuk memperoleh data dasar. Kemudian
daya produksi mencapai tujuan diatas data alasan yang ditetapkan, dan karyawan diberitahu
bahwa mereka akan menerima insentif untuk setiap masa setelah mencapai tujuan. Untuk
membuat pengaturan tujuan yang lebih efektif, feedback yang bersifat tetap yang disediakan
untuk karyawan tentang bagaimana kinerja saat ini dalam kaitannya dengan tujuan. Pada
akhir setiap masa pelaporan, insentif dibayar dengan alasan seberapa baik kelompok tersebut
mengerjakannya.

Contoh yang sangat baik dari program Gainsharing yang sukses dapat ditemukan pada
Dana Spicer Heavy Axie Division Facility di Ohio (Matcher, Ross & Ross, 1987). Karyawan
di perusahaaan itu menerima insentif keuangan ketika produktivitas melampaui targer dasar,
program Gainsharing telah secara dramatis meningkatkan kualitas saran dari anggota
karyawan produk dan produktivitas. Normalnya, rata-rata insentif karyawan yaitu 14% diatas
gaji setiap bulannya, dan insentif tahunan antara 14% dan 16%.

Contoh lain, di California selatan karyawan edison setuju untuk menyerahkan 5% dari
gaji pokok. Imbalannya, mereka diberi kesempatan untuk mendapatkan 10 sampai 15% dari

37
gaji pokok mereka dalam rencana Gainsharing. Pada tahun 1995 saja, rencana ini
menghasilkan $96 juta di tabungan - $40 juta yang diberikan kepada karyawan.

Pada umumnya, rencana gainsharing terlihat efektif. Tinjauan ulang dari pelajaran
gainsharing menunjukkan peningkatan produktifitas, peningkatan karyawan dan kepuasan
kelompok, dan penurunan dalam absensi (Gowen, 1990). Karena dengan insentif dari rencana
ini, gainsharing paling efektif jika karyawan secara resmi terlibat dalam perencanaanya
(Bullock & Tabbs, 1990) dan ketika tiddak ada penundaan yang relative lama antara kinerja
dan hasil keuangannya (Mawhinney & Gowen, 1990).

o Stock Options (Opsi Saham)

Meskipun stock options mewakili rencanainsentiforganisasi yang paling rumit,


mereka menawarkan kepada seluruh karyawan dengan lebih dari 34% dari perusahaan
(Brandes, Dharwadkar & Lamesis, 2003). Dengan stock options, karyawan diberi kesempatan
untuk membeli saham dimasa depan, biasanya pada harga pasar dihari dimana pilihan
diberikan. Biasanya, stock options diberikan selama periode waktu tertentu dan harus
dilakukan dalam jangka waktu maksimal. Idenya adalah bahwa sebagai sebuah perusahaan
tidak baik nilai dari suatu saham meningkatan, seperti halnya dari pendapatan karyawan.
Misalnya, seharusnya AT &I menjual saham dengan harga $55 perbagian pada tanggal 1, dan
perusahaan memberikan keryawan pilihan untuk membeli saham seharga $55 persahamkapan
saja dalam 10 tahun kedepan. Lalu, 10 tahun kemudian, harga saham bernilai $75 persaham,
dan karyawan dapat membeli saham dengan harga $55 persaham - pilihan keuntungan $20
persaham. Namun, jika saham harga menurun dari $55 ke $45, karyawan tidak akan
menggunakan pilihan untuk membeli saham seharga $55 per saham.

Shock option memperbolehkan karyawan untuk berbagi dalam keberhasilan jangka


panjang dari suatu organisasi. Faktanya, organisasi seperti GTE, Persatuan penerbangan,
Home Depot, dan Foldcraft laporan perusahaan tidak hanya karyawan mereka mendapatkan
uang melalui kepemilikan saham, namun, penghasilan organisasi tersebut juga meningkat.

Pada suatu waktu, Stock Options mungkin tidak memberikan pandangan baik karna
karyawan merasa kesulitan untuk memahami konsep saham dan karena pendapatan tambahan
(keuntungan yang dibuat pada penjual saham). Secara psikologis juga dihapuskandi hari-hari
kerja. Namun, memiliki bagian kepemilikan dalam suatu perusahaan dapat meningkatkan
pekerjaan karyawan. Contohnya, dalam sebuanh studi dari manager hotel, Qian (1996)

38
menemukan hubungan yang signifikan antara jumlah kepemilikan manajer dan margin laba
hotel.

5. Expectancy Theory (Teori Harapan)


Sebuah teori berpengaruh untuk memotivasi pekerja yang akan menggabungkan
banyak faktor yang telah dibahas sebelumnya pada bab ini yaitu teori harapan. Yang pertama
kali diusulkan oleh Vroom (1964) dan kemudian di modifikasi oleh orang lain termasuk
Porter & Lawler (1968). Teori ini memiliki 3 komponen, serta memiliki pengertian yang
bervariasi dengan setiap perubahan teorinya. Pengertian berikut ini merupakan kombinasi
dari para ahli dan membuat teori ini lebih mudah untuk dipahami:

 Expectancy (E) : Mengetahui hubungan antara jumlah usaha seorang karyawan


dengan hasil yang didapatkan.
 Instrumentality (I) : Sejauh mana hasil dari kinerja pekerja, jika melihat hasil
dalam konsekuensi tertentu.
 Valensi (V) : Sejauh mana seorang karyawan menghargai konsekuensi
tertentu.

Untuk memahami dan memprediksi tingkat motivasi karyawan, komponen tersebut


dinyatakan dalam rumus berikut:

Motivasi = E ( I X V )

Dengan demikian, semua hasil yang mungkin ada dari perilaku yang ditentukan,
masing-masing valensi dikalikan dengan kemungkinanyang terjadi pada tingkat kinerja
tertentu, dan kemudian jumlah produk ini dikalikan dengan harapan dari seorang karyawan
berusaha dalam upaya untuk mencapai potensi tersebut. Seperti dapat dilihat dari rumus ini,
semakin tinggi skor pada setiap komponen, maka semakin besar motivasi karyawan untuk
menjelaskan hal ini. Marilah kita memeriksa setiap komponen secara lebih rinci.

Dalam suatu expectancy jika seorang karyawan percaya dia tidak peduli seberapa
keras dia bekerja ia tidak akan pernah mencapai tingkatan dari kinerjanya, maka motivasinya
mungkin akan menjadi rendah. Untuk instrumentality karyawan akan termotivasi hanya jika
perilakunya menyebabkan beberapa konsekuensi tertentu. Artinya, jika dia bekerja lembur ,
ia mengharapkan untuk di hargai, atau jika ia tidak bisa untuk di maafkan dariabsen
pekerjaan, ia mengharapkan untuk di hukum. Untuk perilaku tersebut yang memiliki
konsekuensi yang di inginkan dalam 2 peristiwa harus terjadi: Pertama, perilaku karyawan

39
harus diperhatikan. Jika karyawan percaya bahwa dia dapat mencapai tingkat yang di
perlukan dalam kinerja tetapi penampilan yang tidak akan di perhatikan maka tingkat
motivasinya akan rendah. Kedua, perilaku memperhatikan harus di hargai. Jika tidak ada
imbalan yang tersedia, motivasi akan rendah. Jika perilaku yang tepat tidak memiliki
konsekuensi positif atau jika perilaku yang tidak pantas tidak memiliki konsekuensi negatif,
probabilitas bahwa seorang pekerja akan terus berperilaku tidak sesuai dengan yang
diinginkan akan meningkat, dan probabilitas bahwa seorang karyawan akan terus berperilaku
seperti yang diinginkan akan menurun.

Untuk valensi, jika seorang karyawan di beri reward(penghargaan), maka reward


(hadiah) tersebut harus sesuai dengan sesuatu yang dia dapatkan (Mobaraki, 1996). Jika
kinerja yang baik akandihargai dengan pemberian sebuah penghargaan, maka karyawan akan
termotivasi hanya jika dia menilai penghargaan tesebut. Demikian juga, jika kita menghukum
seorang dengan menskors karyawan tersebut, hukuman akan efektif jika karyawan
membutuhkan uang jika ia tidak terlalu menyukai pekerjaannya dan lebih suka menghabiskan
beberapa hari di danau, suspensi jelas tidak akan efektif. Dalam sebuah study terapan, Fox,
Scott & Donohue (1993) menemukan bahwa dalam membayar suatu lingkungan kerja dari
kinerjakaryawan sebagai insentif hanya untuk karyawan dengan valensi moneter yang tinggi.

Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis situasi yang dialami oleh satu bank di
virgin. Teller bank khawatir karena rata-rata hanya 3 visa pelanggan baru setiap bulannya,
management berusaha untuk meningkatkan jumlah aplikasi visa diambil oleh masing-masing
teller-teller diharapkan untuk meminta pelanggan membayar secara tunai jika ia memiliki
kartu visa. Jika tidak, maka teller akanmemberikan pelanggan sebuah aplikasi. Seorang teller
akan menerima $5 tambahan perbulan jika dia meningkatkan jumlah pelanggan visa baru
perbulan sampai dengan 25.

Program ini merupakan suatu kegagalan, banyak manajemen yang terkejut.


Menerapkan sebuah teori harapan, bagaimanapun, akan memimpin atau menjadi seorang
psikolog untuk memprediksi kurang berhasilnya program ini. Pertama, mari kita lihat
komponen harapan. Jika teller saat rata-rata hanya 3 pelanggan visa baru setiap bulan, mereka
mungkin tidak percaya bahwa, mereka bekerja keras, mereka akan mampu menghasilkan 25
pelanggan baru. Dengan demikian, harapan probabilitas untuk program tergolong rendah.

Kedua, sebagian besar teller mungkin tidak menempatkan banyak nilai pada $5 ekstra
per bulan, sehingga komponen valensi juga rendah. Dengan demikian, dua dari tiga

40
komponen yang memiliki nilai rendah, maka program ini sudah ditakdirkan untuk jatuh dari
awal. Bank kemudian mengurangi jumlah bulanan 10 kartu visa yang baru dan meningkatkan
reward teller untuk $20. Perubahan sederhana membawa peningkatan yang diinginkan
pelanggan visa baru.

Selain memprediksi usaha dari karyawan, teori harapan ini telah berhasil diterapkan
untuk memprediksi suatu pergerakan dan kecurangan oleh mahasiswa. Untuk menunjukkan
perilaku terakhir ini, bayangkan pemeriksaan yang khusus di kelas kuliah yang khas.
Pertama, melihat komponen harapan. Kita mungkin akanbertanya apa masalahnya untuk
menangkap seorang pembohong. Siswa yang sering curang paling mungkin akanpercaya
bahwa itu hal sangat rendah. Untuk menentukan komponen perantaraan, kita mungkin akan
bertanya probability apa agar beberapa konsekuensi negative akan dapat menangkap seorang
penipu. Di banyak Universitas masalah ini rendah. Tidak hanya itu, sulit untuk membuktikan
bahwa mahasiswa di tipu. Tetapi jika itu adalah pertama kalinya seorang mahasiswa
tertangkap hukuman biasanya menghasilkan tidak lebih dari beberapa hari untuk menjalankan
penskorsan. Akhirnya kami memeriksa kompenen valiensi. Bahkan jika seorang mahasiswa
tertangkap dan di tangguhkan, bagaimana halburuk tersebut dapat terjadi? Bagi beberapa
mahasiswa, beberapa hari untuk liburan mungkin tidak terlihat begitu bermasalah. Dengan
demikian, ketika menggabungkan 3 komponen, kita tidak pelu heran bahwa kecurangan
sering terjadi.

Teori harapan juga dapat di gunakan untuk menyarankan melakukan sebuahcara


untuk mengubah motivasi karyawan. Seperti yang kita lihat di Bank, dengan meningkatkan
motivasi dapat membuat standar kinerja yang lebih masuk akal dan dengan meningkatkan
nilai dari sebuah konsekuensi. Demikian pula, jika kita ingin menerapkan teori ini untuk
mengurangi kecurangan, kami akan meningkatkan cara untuk mengatasi masalah untuk
penangkapan orang yang curang, memvonis seseorang yang telah di tipu itu lebih mudah, dan
membuat konsekuensi dari kecurangan akan lebih parah.

Meskipun teori harapan sangat menarik dan metode dari sebuah prediksi
danpeningkatkan motivasi karyawan, beberapa peneliti telah mengkritik hal tersebut. Kritik
utama melibatkan kesamaan komponen. Seperti sekarang semua komponen dikalikan.
Beberapa peneliti telah mempertanyakan apakah penambahan beberapa komponen akan lebih
tepat dari pada perkalian (Schmidt. 1973). Hal ini karena ketika komponen dikalikan, nol

41
dalam hasil dari suatu komponen dalam memprediksi motivasi maka akan menjadi nilai nol,
bahkan ketika peringkat di komponen lainnya tinggi.

Kritik kedua melibatkan nilai-nilai yang di tugaskan untuk setiap komponen (Ligen.
Nebeker, & I’ritchard, 1981). Penelitian telah menunjukkan bahwa meskipun komponen
valensi dan instrumentality dapat di ukur secara reliable teori ini ketika orang berperilaku
secara rasional (Stahl & Ilarrell, 1981), yang tidak sering mereka lakukan, dan memiliki
tempat yang internal untuk mengendalikannya (Lied I’ritchard, 1976), yang mungkin tidak
selalu menjadi sebuah kasus namun teori ini masih menjadi salah satu yang paling berguna
untuk memprediksi salah satu perilaku karyawan yang paling baik.

6. Reward vs Punishment (Penghargaan vs Hukuman)


Dari pada memberi penghargaan perilaku yang di inginkan, kita dapat mengubah
kinerja karyawan dengan menghukum perilaku yang tidak di inginkan. Artinya, sebagai
gantinya dapat bermanfaat untuk karyawan agar tidak masuk kerja, kami menghukum mereka
ketika mereka melakukan suatu kesalahan. Alih-alih memberikan insentif moneter untuk
tingkat kinerja yang tinggi kami akan menangguhkan karyawan untuk tingkat kinerja yang
rendah. Meskipun banyak psikolog yang menyarankan agar hukuman itu adalah umum, dan
belasan pria percaya hal untuk akan menjadi efektif (Butterfield, Trevino, & Ball, 1996).

Para pendukung menggunakan hukuman untuk mengubah perilaku karyawan dan


berpendapat jika diterapkan dengan benar hukuman tidak hanya mengurangi perilaku yang
tidak di inginkan dalam karyawan tertentu tetapi juga menetapkan contoh bagi karyawan
lainnya. Penentang hukuman berpendapat bahwa hukuman untuk perubahan perilaku hanya
terjadi dalam jangka pendek tidak hanya mengajarkan suatu perilaku kepada karyawan, dan
menjadi suatu penyebab dari kebencian. Selanjutnya, hukuman menyebabkan karyawan
untuk belajar metode baru untuk dapat melanggar peraturan, bukan mengajarkan mereka
untuk tidak melanggar aturan.

Untuk hukuman yang efektif, agar dapat mengerti mengapa ia di hukum dan akan di
tampilkan cara-cara alternatif dalam berperilaku yang akan menghasilkan beberapa jenis
penguat keinginan. Hukuman juga harus lebih dari “Fit the Crrime” jika terlalu parah maka
hukuman tidak akan menyebabkan kebencian dan hukuman yang terlalu lunak tidak akan
memotivasi perubahan perilaku. Sebagai salah satu perilaku yang akanmenjalankan sebuah
hukuman biasanya harus dilakukan dengan secara pribadi bukan di depan karyawan lainnya.

42
VI. APAKAH REWARD (PENGHARGAAN) DAN SUMBER DAYA YANG
DIBERIKAN SECARA ADIL?
Faktor lain yang berhubungan dengan motivasi dan statifikasi kerja adalah sejauh
mana karyawan merasa sedang di perlakukan secara adil. Teori yang paling terkenal tentang
topik ini adalah equity theory (teori kesetaraan). Teori kesetaraan dikembangkan oleh adams
(1965) dan didasarkan dalam premis bahwa tingkat motivasi dan kepuasaan kerja
berhubungan dengan bagaimana kami percaya bahwa kami di perlakukan tanpa di
bandingkan dengan orang lain, jika kita percaya kita di lakukan tidak adil, kita akan mencoba
untuk mengubah keyakinan atau perilaku yang berlaku adil. 3 komponen terlibat dalam
persepsi keadilan ini yaitu : input, output, dan rasio input/output.

Input merupakan elemen-elemen pribadi yang kita masukkan ke dalam pekerjaan kita.
Elemen tersebut terdiri dari 2 elemen, yaitu elemen nyata dan elemen kurang nyata. Elemen
nyatayaitu waktu, usaha, pendidikan dan pengalaman. Elemen kurang nyata termasuk uang
yang di habiskan untuk perawatan anak dan jarak untuk bekerja.

Output adalah elemen-elemen yang kita terima dari pekerjaan kita. Daftar output yang
jelas termasuk gaji, tunjangan, tantangan, dan tanggung jawab. Manfaat output kurang jelas
seperti teman-teman dan perabot kantor.

Menurut teori, karyawan sadar semua daftar output dan input dan menghitung rasio
input/output dengan caramembagi nilai output dengan nilai input. Dengan sendirinya rasio ini
tidak berguna. Tapi karyawan menghitung rasio input/output bagi karyawan lain dan untuk
pengalaman kerja sebelumnya dan membandingkannya dengan mereka sendiri. Jika rasio
mereka lebih rendah daripada orang lain, mereka menjadi tidak puas dan termotivasi untuk
membuat rasio yang sama dalam satu hari atau lebih.

Pertama, karyawan dapat mencari output yang lebih besar dengan cara seperti
meminta kenaikan gaji atau tanggung jawab lebih. Kedua, karyawan dapat membuat rasio
lebih setara dengan mengurangi input mereka. Sehingga mungkin mereka tidak bekerja keras
sebagai mandat atau mungkin mengurangi pemasukan mereka.

Sebuah cara yang kurang praktis menyamakan rasio akan mengubah rasio karyawan
lainnya. Misalnya, seorang karyawan mungkin akan mencoba untuk mendapatkan pekerjaan
lain untuk bekerja lebih keras dan dengan demikian meningkatkan ilmu karyawan atau
mereka mungkin mencoba untuk mengurangi output dari karyawan lain dengan memegang

43
persahabatan atau menemukan cara untuk mengurangi bonus dari karyawan lain. Namun
strategi untuk menyeimbangkan rasio input/output jarang melibatkan output lain. Karyawan
juga dapat mengembalikan ekuitas dari rasionalisasi perbedaan rasio input/output. Mengubah
orang untuk membandingkan diri mereka sendiri atau meninggalkan organisasi.

Secara umum, penelitian yang telah mendukung gagasan ini menyatakan bahwa
berkurangnya motivasi kita ketika rasio input/output kita lebih rendah dari pada orang lain.
Penelitian ini dilakukan oleh Lord & Hohenfeld (1979) dan Hauenstein & Lord (1989)
bersama dengan pemain baseball di liga utama. Pemain yang juga harus di potong gajinya
selama tahun pertama dari agen gratis atau hilang kasus arbitrase yang dilakukan di tingkat
bawah tahun berikutnya. Dengan demikian, pemain yang berfikir bahwa output mereka (gaji)
yang terlalu rendah menjawab dengan mengurangi input mereka (kinerja). Dalam sebuah
penelitian dari pemain yang kelebihan pembayaran merespon dengan menjadi lebih
berorientasi dalam team (misalnya passing bola, pembulatan) sedangkan pemain bergaji
rendah merespon dengan menjadi lebih egois (misalnya taking shots).

Dalam sebuah studi yang lebih menarik, O’Reilly & Puffer (1989) menemukan bahwa
motivasi karyawan akanmeningkat ketika rekan kerja menerima sanksi sesuai dengan
perilaku mereka. Yaitu, ketika anggota kelompok berkinerja tinggi agar dapat dihargai atau
anggota kelompok yang berperforma buruk agar dihukum, yang menjadikan kepuasan dan
motivasi dari kelompok akan meningkat.

Tingkat keadilan bahwa seorang karyawan merasa ketika mendapatkan gaji yang
rendah untuk menjadi lebih berfungsi dari apakah karyawan tersebut melakukan sebuah
tindakan yang mengakibatkan kurang dibayar (Cropanzano & Folger, 1989). Itu adalah, jika
seorang karyawan memilih untuk bekerja lebih keras dari pada yang lain yang dibayar sama,
dia tidak akan merasa tertipu, tetapi jika ia dipaksa bekerja lebih keras untuk dibayar sama
dengan yang lain, ia akan terlihat tidak bahagia.

Prediksi yang menarik dari teori ini adalah dimana situasi dari rasio input/output
karyawan lebih tinggi dari rasio lain. Karna teori ini didasrkan pada ekuitas, prediksi bahwa
karyawan masih akan berusaha untuk rasio yang sama dengan baik meningkatkan output atau
menurunkan outputnya. Dengan kata lain, dia akan baik dengan bekerja lebih keras atau
meminta untuk lebih sedikit dibayar. Pada kenyataannya, penelitian telah menunjukkan
bahwa karyawan sering merespon tentang “Over paid (Membayar lebih)” dari perasaan
bersalah (Lapidus & Pinkerton, 1995) atau bekerja lebih keras (Adams & Rosenbaum,

44
1962:Pritchard, Dunnette, & Jorgenson, 1972). Tapi perasaan ketidakadilan yang disebabkan
dengan menjadi “Overpaid (Membayar lebih)” tidak berlangsung lama dan mungkin tidak
menghasilkan perubahan jangka panjang dalamsuatu perilaku (Carrell & Dittrich).

VII. TINGKAT MOTIVASI DARI KARYAWAN LAIN


Karyawan mengamati tingkat motivasi dan kepuasaan karyawan lainnya dan
kemudian memodelkan level tersebut. Dengan demikian, jika suatu organisasi dari karyawan
yang lebih tua bekerja keras dan berbicara positif tentang pekerjaan mereka dan atasan
mereka, karyawan baru akan memodelkan perilaku ini dan menjadi baik, produktif, dan puas.
Sebaliknya benar juga ketika: karyawan veteran itu bekerja secara perlahan dan mereka
mengeluh tentang pekerjaan mereka demikian juga dengan yang akan karyawan baru
lakukan.

VIII. INTEGRASI DARI TEORI MOTIVASI


Seseorang yang datang untuk sebuah pekerjaan dengan predisposisi terhadap
motivasi. Itu adalah beberapa orang, seperti orang dengan self-esteem yang tinggi, umumnya
lebih termotivasi dari pada orang lain.

 Dari perbedaan dan kebutuhan teori, kita akan termotivasi dalam pekerjaan kita jika
pekerjaan itu sendiri dan organisasi memenuhi harapan dan nilai-nilai untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
 Dari teori penetapan tujuan, kita menemukan bahwa karyawan yang telah memahami,
dan menyetujui tujuan akan lebih termotivasi dari pada mereka yang tidak memiliki
tujuan atau dengan tujuan yang tidak jelas. Dari teori harapan dan teori penetapan
tujuan kita mengetahui bahwa tujuan harus tetap menantang tapi juga harus masuk
akal.
 Dari pembelajaranoperan dan teori harapan jelas bahwa orang termotivasi secara
ekstrinsik akan lebih termotivasi jika perilaku mengasilkan sebuah reward
(penghargan).
 Dari dua teori yang sama ini di tambah teori perbedaan kebutuhan dan prinsip teori
premack, kita tau bahwa imbalan harus memiliki nilai untuk karyawan untuk menjadi
sebuah motivasi. Orang yang berbeda akan berbeda pula nilai imbalannya. Kita harus
teatap memperhatikan pendapatan untuk memastikan bahwa tersedianya berbagai
penghargaan.

45
 Dari teori ekuitas kita tahu bahwa imbalan yang bernilai akan memotivasi karyawan.
Hanya jika mereka diberikan dengan cara yang adil. Sebagaimana di bahas
sebelumnya persepsi equitas adalah hal yang penting sebagai suatu kenyataan akan
sebuah equitas.
 Teori pengaruh sosial memberitahu kita bahwa jika karyawan lainnya termotivasi ada
kemungkinan untuk terjadinya peningkatan bahwa kita akan memodelkan perilaku
mereka dan mereka akan termotivasi.

46
BAB III

KESIMPULAN

Motivasi adalah insentif yang diberikan kepada individu atau kelompok dari suatu
organisasi untuk meningkatkan kinerja karyawan agar dapat lebih kreatif, inovatif, dan
mandiri yang dipengaruhi oleh unsur-unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.

Memotivasi karyawan harus bersikap adil kepada seluruh karyawan agar tidak adanya
perbedaan perilaku yang diberikan oleh atasan.Memotivasi karyawan memiliki cara-cara
yang berbeda tergantung dengan kepribadian dari karyawan itu sendiri. Memberikan insentif
kepada karyawan agar dapat termotivasi bisa dengan memberikan suatu reward
(Penghargaan) atau Punishman (Hukuman) sesuai dengan kinerja yang mereka berikan.

47
DAFTAR PUSTAKA

Aamodadt, Michael G. (2004). Applied Industrial/Organizational Psychology (Ed 4th). USA :


Thomson Wadsworth

48

Anda mungkin juga menyukai