Anda di halaman 1dari 11

A.

Uang Menurut Fiqh


Dalam fiqh Islam, secara etimologi uang berasal dari kata al-naqdu-
nuqud. Pengertiannya ada beberapa makna, yiatu al-naqdu yang berarti yang
baik dari dirham, menggenggam dirham, dan al-naqdu juga berarti tunai. Kata
nuqud tidak terdapat dalam al-Qur‟an dan hadist karena bangsa arab
umumnya tidak menggunakan nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka
menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari
emas dan kata dirham untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak.
Mereka juga menggunakan wariq untuk menunjukkan dirham perak, kata
„ain untuk menunjukkan dinar emas. Sementara itu kata fulus (uang tembaga)
adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang
murah (Rozalinda, 2014: 279).
Defenisi nuqud menurut Abu Ubaid (wafat 224 H), dirham dan dinar
adalah nilai harga seseuatu sedangkan segala sesuatu tidak bisa menjadi harga
bagi keduanya, ini berarti dinar dan dirham adalah standar ukuran yang
dibayarkan dalam transaksi barang dan jasa. Al-Ghazali (wafat 505 H)
menyatakan, Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah
diantara seluruh harta sehingga seluruh harta bisa bisa diukur dengan
keduanya. Ibn al-Qayyim (wafat 751 H) berpendapat, dinar dan dirham
adalah nilai harga barang komoditas. Ini mengisyaratkan bahwa uang adalah
standar unit ukuran untuk nilai harga komoditas (Ahmad Hasan, 2005: 5-8).
Uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga.
Uang didefenisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap
barang dan tenaga. Misalkan harga adalah standra untuk barang, sedangkan
upah adalah standar untuk manusia, yang masing-masing merupakan
perkiraan masyarakat terhadap nilai barang dan tenaga orang. Perkiraan nilai-
nilai barang dan jasa ini dinegeri manapun dinyatakan dengan satuan-satuan,
maka satuan- satuan inilah yang menjadi standar yang dipergunakan untuk
mengukur kegunaan barang dan tenaga yang kemudian menjadi alat tukar
(medium of exchange) dan disebut dengan satuan uang (Taqiyuddin An-
Nabhani,2000: 297).
Selain itu uang didefenisikan sebagai segala sesatu (benda) yang
diterima oleh masyarakat sebagai alat perantara dalam melakukan tukar-
menukar atau perdagangan. Agar masyarakat menerima dan menyetujui
penggunaan benda sebagai uang maka harus memenuhi dua persyaratan
sebagai berikut:
a. Persyaratan psikologis, yaitu benda tersebut harus dapat memuaskan
bermacam-macam keinginan dari orang yang memilikinya sehingga
semua orang mau mengakui dan menerimanya.
b. Syarat teknis adalah syarat yang melekat pada uang, diantaranya:
1) Tahan lama dan tidak mudah rusak
2) Mudah dibagi-bagi tanpa mengurangi nilai
3) Mudah dibawa
4) Nilainya relative stabil
5) Jumlahnya tidak berlebihan
6) Terdiri atas berbagai nilai nominal.

Dalam konsep Islam, uang adalah flow concept. Islam tidak mengenal
motif kebutuhan uang untuk spekulasi karena tidak bolehkan. Uang adalah
barang public, milik masyarakat. Karenanya, penimbunan uang yang
dibiarkan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar. Bila
diibaratkan dengan darah dalam tubuh, perekonomian akan kekurangn darah
atau terjadi kelesuan ekonomi alias stagnasi. Itulah hikmah dilarangnya
meninbun uang (Adiwarman Aswar karim, 2001: 21).
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku “The Wealth of
Nations” pada tahun 1766 di Eropa, seorang ulama islam Abu Hamid Al-
Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang
dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, uang berfungsi sebagai media
pertukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya
adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai
yang wajar dari pertukaran tersebut. Dan uang bukan merupakan sebuah
komoditi. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak
mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maknanya
adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua
barang. Dalam istilah ekonomi Islam klasik disebutkan bahwa uang tidak
memberikan kegunaan langsung (direct utility funvtion), yang artinya adalah
jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan
memberikan kegunaan (Adiwarman Aswar Karim, 2001: 21).
Dalam ekonomi barterpun, uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai
suatu barang. Misalnya, onta senilai 100 dinar dan kain senilai sekian dinar.
Dengan demikian adanya uang sebagai ukuran nilai barang, uang akan
berfungsi pula sebagai ukuran nilai barang, uang akan berfungsi sebagai
media penukaran. Menurut al-Ghazali uang diibaratkan cermin yang tidak
mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna (Adiwarman
Aswar Karim, 2001: 53).
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah” nya,
sebagaimana dikutip adiwarman karim, menjelaskan bahwa kekayaan suatu
Negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di Negara tersebut, tetapi
ditentukan oleh tingkat produksi Negara tersebut dan neraca pembayaran yang
positif. Apabila suatu Negara mencetak uang sebanyak- banyaknya, tetapi
bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, maka uang
yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor
penggerak pembangunan suatu Negara karena akan menyerap tenaga kerja,
meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar)
terhadap produksi lainnya (Adiwarman Aswar Karim, 2001: 55).
Lebih lanjut Ibnu Khaldun menyebutkan, jika nilai uang tidak diubah
melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga
barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan
permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga
keseimbangan. Misalnya, jika disuatu kota makananny yang tersedia lebih
banyak dari pada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula
sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang
tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis
barang. Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau
oleh daya beli, maka harga akan turun kembali (Adiwarman Aswar karim,
2001: 56).
Al-Ghazali dengan merujuk kepada Al-Qur‟an, berpendapat bahwa
orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang
berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter
modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini
berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi
lesu. Selain itu, Al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau
mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham.
Mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan
mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu
itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam
jangka waktu yang lebih panjang (Adiwarman Aswar Karim, 2001: 54).
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefenisikan sebagai setiap alat
tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu berupa benda apa saja
yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran
barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefenisikan sebagai
sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi
pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta
untuk pembayaran utang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang
sebagai alat penunda pembayaran (Wikipedia, 2016).
Uang adalah faktor paling strategis dalam berfungsinya sistem finacial
manapun. Status, nilai, peran dan fungsi uang dalam keuangan Islam berbeda
dari keuangan konvensional. Dalam sistem konvensional, uang dianggap
sebagai komoditas yang dapat dijual/dibeli dan disewakan atas suatu
keuntungan atau uang sewa yang harus dibayarkan oleh satu pihak, tanpa
memandang penggunaan atau peran uang yang dipinjamkan di tangan
peminjam (Muhammad Ayub, 2009: 141).
Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang
dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat
jelas dan tegas bahwa uang adalah uang bukan capital. Sedang uang dalam
perspektif ekonomi konvensional diartikan secara interchangeability/bolak-
balik, yaitu uang sebagai uang dan sebagai capital.
Para ahli dalam perkonomian Islam mengakui manfaat uang sebagai
media pertukaran. Nabi Muhammad saw sendiri menyukai penggunaan uang
dibandingkan menukarkan barang dengan barang. Pelarangan atas riba Al-
Fadl dalam Islam adalah langkah menuju transisi ke suatu perekonomian uang
dan juga suatu upaya yang diarahkan untuk membuat transaksi barter bersifat
rasional dan bebas dari elemen ketidakadilan serta eksploitasi (Muhammad
Ayub, 2009: 141).

b. Kripto Menurut Fiqh


Dalam kajian Fiqh Cryptocurrency ialah sebuah mata uang virtual yang
dijadikan sebagai alat pembayaran pada transaksi elektronik, dimana para
pemiliknya juga dapat menggunakan cryptocurrency tersebut untuk melakukan
kegiatan investasi maupun trading. Salah satu sebab dari eksistensi tipe
pembayaran dengan cryptocurrency ini dimana ia menawarkan kemudahan proses
transaksi bisnis yang dapat dilakukan secara online dari mana saja dan kapan saja,
tanpa harus melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, yang dalam hal ini
diperankan oleh bank. Transaksi tentu menjadi lebih efisien, cepat dan luas
jangkauannya karena memodalkan media internet (Ausop, 2018 dalam Afrizal dan
Marliyah, 2018). Jenis mata uang virtual pertama yang diperkenalkan kepada
masyarakat umum adalah Bitcoin.
Sejak kemunculannya di tahun 2008 dan beroperasi di tahun 2009, Bitcoin
telah berhasil meraup banyak atensi para investor maupun kalangan umum).
Namun, tingginya atensi ini tidak berbanding lurus dengan kemanfaatan yang
diberikannya. Salah satu titik tumbangnya popularitas bitcoin disebabkan oleh
penemuan Federal Bureau Of Investigation (FBI) pada Juli 2013 mengenai pasar
gelap bernama ‘Silk Road’ yang menjajakan obat-obatan terlarang serta layanan
ilegal dimana system pembayarannya menggunakan Bitcoin, yang dalam hal ini
juga memiliki kelebihan karena pembayaran dengan menggunakan Bitcoin
memfasilitasi penggunanya untuk menggunakan fitur anonym atau fitur
menyamarkan nama, sehingga nama asli pembeli dapat tidak terlihat atau
diketahui (Afrizal dan Marliyah, 2018).

Dalam perspektif syariah, penggunaan uang virtual sebagai sebuah metode


pembayaran yang sah masih menjadi perdebatan. Menurut Supramana (2014)
dalam Afrizal dan Marliyah (2018), syarat sebuah benda untuk dapat dijadikan
sebagai alat tukar atau uang adalah benda itu harus diterima secara umum
(acceptability), bahan yang dijadikan atau dicetak sebagai uang juga harus tahan
lama (durability), kualitasnya cenderung sama (uniformity), serta jumlahnya juga
harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat serta tidak mudah dipalsukan
(scarcity). Selain itu, uang juga harus mudah dibawa (portable), dan mudah dibagi
tanpa mengurangi nilai (divisibility), serta memiliki nilai yang cenderung stabil
dari waktu ke waktu (stability of value). Merujuk dari pernyataan tersebut, tentu
jika dilihat dari segi kelayakan, bitcoin belum dapat dikatakan sebagai mata uang
karena belum memenuhi definisi tersebut.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mengeluarkan statement


mengharamkan penggunaan mata uang kripto atau cryptocurrency sebagai mata
uang dalam transaksi jual-beli pada Forum Ijtima Ulama se-Indonesia ke-VII.
Menurut hasil musyawarah ulama, cryptocurrency seperti Bitcoin, Ethereum,
Dogecoin, dan jenis mata uang kripto lainnya diharamkan untuk kegiatan jual-
beli, dikarenakan mengandung unsur Gharar yaitu ketidakpastian (MUI, 2021).
Fatwa haram dari MUI ini juga selaras dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7
Tahun 2011 yang menyatakan bahwa pembayaran yang sah dan diakui di
Indonesia adalah mata uang rupiah.

Namun, MUI telah menyatakan bahwa mata uang kripto tetap sah atau
diperbolehkan selama sebagai aset atau investasi, bukan sebagai alat pembayaran.
Umat Islam di Indonesia menurut MUI masih diperbolehkan menyimpan kripto
sebagai aset atau investasi, dan dapat diperjualbelikan. Menurut MUI, penggunaan
cryptocurrency sebagai aset masih dikategorikan memenuhi syarat sil’ah, yaitu
sesuatu yang dapat digunakan atau dimanfaatkan manusia untuk memenuhi
kebutuhan sehingga sah untuk dimiliki dan diperjualbelikan.

Dari beberapa penelitian tentang hukum cryptocurrency secara islam,


menurut pendapat Adiwarman Aswar karim (2001) dalam Ilyas R (2016), dilihat
berdasarkan konsep syariah, uang adalah flow concept. Islam tidak
memperbolehkan adanya motif kebutuhan uang untuk spekulasi. Uang adalah
barang publik atau dengan kata lain milik masyarakat, sehingga penimbunan uang
yang dibiarkan tidak produktif untuk mengurangi jumlah uang beredar juga sangat
ditentang, sehingga berdasarkan cuplikan singkat ini, tentu dengan mudah dapat
terjawab bahwa cryptocurrency merupakan bentuk alat pembayaran yang tidak
sesuai dengan kaidah atau syariat islam atau lebih tegasnya, diharamkan.

Meninjau hasil penelitian Nouruzzaman, et al. (2022), cryptocurrency jika


dilihat dalam prinsip ekonomi Islam tidak memenuhi kriteria sebagai alat investasi
atau tukar yang diperbolehkan dalam Islam. Cryptocurrency didesain dengan
sistem rumit yang tidak dapat diterima oleh semua orang. Cryptocurrency dapat
dimanipulasi dan dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu, serta memiliki fluktuasi
harga yang tinggi dan lebih dekat dengan gambling.Selain itu, jika cryptocurrency
dianggap sebagai komoditas maka berpotensi menyebabkan gharar karena tidak
adanya fungsi intrinsik yang terkandung dalam Cryptocurrency. Cryptocurrency
juga tidak memiliki underlying asset sehingga tidak bisa disebut sebagai aset
finansial. Peningkatan dan penurunan nilainya hanya didasarkan pada permintaan-
penawaran(supply-demand) di pasar, dan berbasis kepercayaan. Oleh karena itu
menurut Febriandika dan Sukmana(2018), berdasarkan fiqih, Bitcoin mengandung
banyak subhat dan tidak dianjurkan untuk digunakan.

c. E - Money

Sejalan dengan kemajuan teknologi, manusia terus berinovasi dengan


berbagai terobosan agar semua aktivitas manusia dapat terlaksana dengan mudah.
Uang elektronik (e-money) muncul sebagai inovasi baru yang menjawab
kebutuhan masyarakat terhadap instrument pembayaran mikro yang dapat
melakukan proses pembayaran supaya lebih cepat, efisien dan aman.

Uang elektronik (electronic money) merupakan perwujudan atas system


perbankan modern yang menggunakan system Alat Pembayaran Menggunakan
Kartu (APMK). Uang elektronik adalah alat pembayaran elektronik yang
diperoleh dengan menyetorkan terlebih dahulu sejumlah uang kepada penerbit,
baik secara langsung maupun melalui agen-agen penerbit, atau dengan pendebitan
rekening di bank, dan nilai uang tersebut dimasukan menjadi nilai uang dalam
media uang elektronik, yang dinyatakan dalam satuan Rupiah yang digunakan
untuk melakukan transaksi pembayaran. Nilai ”elektronik” tersebut dibeli oleh
konsumen dan tersimpan dalam media elektronik yang merupakan miliknya, nilai
uang dalam e-money akan berkurang pada saat konsumen menggunakannya untuk
pembayaran.

Uang elektronik (e-money) pada dasarnya sama seperti uang biasa karena
memiliki fungsi sebagai alat pembayaran atas transaksi jual beli barang. Dalam
perspektif syariah hukum uang elektronik (e-money) adalah halal. Kehalalan ini
berlandaskan kaidah:

(a) Setiap transaksi dalam muamalah pada dasarnya diperbolehkan kecuali


jika ada dalil yang mengharamkannya, maka saat itu hukumnya berubah
menjadi haram. Oleh karena itu uang elektronik harus memenuhi kriteria
dan ketentuan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
(b) Adanya tuntutan kebutuhan manusia akan uang elektronik, dan
pertimbangan banyaknya kemaslahatan yang ada di dalamnya.

DSN MUI memutuskan menetapkan fatwa tentang uang elektronik dengan


beberapa ketentuan umum sebagai berikut:
1) Uang elektronik (electronic money) adalah alat pembayaran yang
memenuhi unsur-unsur berikut: (a) diterbitkan atas dasar jumlah nominal
uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit; (b) jumlah nominal
uang disimpan secara elektronik dalam suatu media yang teregistrasi; (c)
jumlah nominal uang elektronik yang dikelola oleh penerbitbukan
merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalamundang-undang yang
mengatur mengenai perbankan; dan (d) digunakan sebagai alat
pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang
elektronik tersebut.
2) Uang elektronik syariah adalah uang elektronik yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah.
3) Jumlah nominal uang elektronik adalah jumlah nominal uang yang
disimpan secara elektronik yang dapat dipindahkan karena keperluan
transaksi pembayaran dan/atau transfer dana.
4) Penerbit adalah bank atau lembaga selain bank yang menerbitkan uang
elektronik.
5) Pemegang uang elektronik adalah pihak yang menggunakan uang
elektronik.
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia NO:
116/DSNMUI/IX/2017 tentang Uang Elektronik Syariah. Dalam ketentuan terkait
akad dan personalia hokum : (a) Akad antara penerbit dengan pemegang uang
elektronik adalah akad wadi’ah atau akad qardh.
(1) Ketentuan dalam akad wadiah : Jumlah nominal uang elektronik bersifat
titipan yang dapat diambil/ digunakan oleh pemegang kapan saja; Jumlah
nominal uang elektronik yang dititipkan tidak boleh digunakan oleh
penerima titipan (penerbit), kecuali atas izin pemegang kartu; Dalam hal
jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan digunakan oleh penerbit
atas izin pemegang kartu, maka akad titipan (wadi’ah).berubah menjadi
akad pinjaman (qardh), dan tanggung jawab penerima titipan sama
dengan tanggung jawab dalam akad qardh ; Otoritas terkait wajib
membatasi penerbit dalam penggunaan dana titipan dari pemegang kartu
(dana float) ; Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh betentangan
dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan dalan akad Qard : Jumlah nominal uang elektronik bersifat
hutang yang dapat diambil dan digunakan oleh pemegang kapan saja ;
Penerbit dapat menggunakan (menginvestasikan) uang hutang dari
pemegang uang elektronik ; Penerbit wajib mengembalikan jumlah pokok
piutang pemegang uang elektronik kapan saja sesuai kesepakatan ;
Otoritas terkait wajib membatasi penerbit dalam penggunaan dana
pinjaman (utang) dari pemegang kartu (dana float ) ; Penggunaan dana
oleh peenerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan
peraturan perundang-undangan.

Menurut fatwa DSN MUI, uang elektronik adalah alat pembayaran yang
memenuhi unsur-unsur berikut:

1. diterbitkan atas dasar jumlah nominal uang yang disetor terlebih dahulu
kepada penerbit;
2. jumlah nominal uang disimpan secara elektronik dalam suatu media yang
teregistrasi;
3. jumlah nominal uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan
merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai perbankan; dan
4. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagan yang bukan
merupakan penerbit uang elektronik tersebut.

Uang elektronik pada dasarnya sama seperti uang biasa, memiliki fungsi
dan nilai yang sama, namun dalam bentuk yang berbeda. E-money ini bergantung
pada substansi dan barang yang ditransaksikan. Jadi bisa disimpulkan,
bermuamalah dengan uang elektronik adalah mubah, sah, dan halal, selama
memenuhi prinsip-prinsip syariah muamalah.
Sumber :

Ilyas, R. (2016). Konsep Uang Dalam Perspektif Ekonomi Islam. BISNIS: Jurnal Bisnis
Dan Manajemen Islam, 4(1), 35-57.

http://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/download/1695/1507

Ichsan, M. (2020). Konsep uang dalam perspektif ekonomi Islam. Profetika: Jurnal
Studi Islam, 21(1), 27-38.

https://journals.ums.ac.id/index.php/profetika/article/view/11646

Firdaus, M. R. (2018). E-Money dalam perspektif hukum ekonomi syariah. Jurnal


Tahkim, 12(1), 145-156.

https://www.academia.edu/download/58265048/10-Ridwan.pdfhttps://
www.academia.edu/download/58265048/10-Ridwan.pdf

Web :

https://informatics.uii.ac.id/2021/06/16/e-money-dan-cryptocurrency-dalam-
pandangan-islam/

Anda mungkin juga menyukai