Anda di halaman 1dari 28

TUGAS HUKUM EKONOMI ISLAM

“UANG, BUNGA DAN RIBA DALAM PANDANGAN ISLAM”


Dosen Pengampu :
Ibu Dr. Siti Hamidah, S.H.,M.M dan Ibu Dr.Nur Chanifah, S.Pd. I, M.Pd.I.

Disusun Oleh:
AMIRUDIN KALAUW
206010102111018

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2021
A. PENDAHULUAN
Dalam sejarah kegiatan ekonomi Islam, pentingnya keberadaan uang ditegaskan
oleh pendapat Rasulullah SAW yang menyebutkan dan menganjurkan bahwa
perdagangan yang lebih baik atau adil adalah perdagangan yang menggunakan media
uang (dinar atau dirham) bukan pertukaran barang atau barter yang dapat menimbulkan
riba ketika terjadi pertukaran barang sejenis yang berbeda mutu. Dengan keberadaan
uang hakikat ekonomi dalam perspektif Islam dapat berlangsung dengan baik yaitu
terpeliharanya dan meningkatnya perputaran harta di antara manusia atau pelaku
ekonomi. Dengan keberadaan uang atau aktivitas sosial dan ekonomi dapat lebih lancar
dan terselenggara dapat berlangsung dengan akselerasi yang lebih cepat pula.
Diskusi mengenai riba sudah sangat tua dalam peradaban Islam, sama tuanya
dengan usia agama Islam itu sendiri. Diskursus riba telah mulai dilontarkan Nabi saw,
pada periode Mekah akhir dari dakwahnya. Di zaman modern, setelah penetrasi institusi
keuangan Barat ke dalam masyarakat Muslim, diskusi mengenai ini mendapat banyak
perhatian para ahli dalam kajian Islam khususnya para ahli hukum syariah terkait dengan
masalah bunga (interest). Mayoritas ulama dan fatwa lembagalembaga keagamaan Islam
menolak sistem bunga dan memandangnya sebagai termasuk kategori riba. Namun
beberapa sarjana Islam secara individual menerima sistem bunga sebagai keniscayaan
dalam sistem ekonomi modern dan tidak menganggapnya sebagai riba dengan berbagai
alasan.
Esensi dasar pelarangan riba dalam Islam adalah menghindari adanya
ketidakadilan dan kezaliman dalam segala praktik ekonomi. Sementara riba (bunga) pada
hakekatnya adalah pemaksaan suatu tambahan atas debitur yang melarat, yang
seharusnya ditolong bukan dieksploitasi dan memaksa hasil usaha agar selalu positif. Hal
ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat peduli dengan kelompok-
kelompok sosio-ekonomi yang lebih rendah agar kelompok ini tidak dieksploitasi oleh
orang-orang kaya (pemilik dana). Sebab ajaran ekonomi Islam mengemban misi
humanisme, tatanan sosial dan menolak adanya ketidakadilan dan kezaliman yang mata
rantainya berefek pada kemiskinan.1

1
Ummi Kalsum, Riba dan Bunga Bank dalam Islam (Analisis Hukum dan Dampaknya terhadap
Perekonomian Umat) Jurnal Al-‘Adl, Vol. 7 No. 2 Juli 2014, h. 68
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Uang
Dalam ekonomi Islam, secara etimologi uang berasal dari kata al-naqdu-nuqud.
Pengertiannya ada beberapa makna, yiatu al-naqdu yang berarti yang baik dari
dirham, menggenggam dirham, dan al-naqdu juga berarti tunai. Kata nuqud tidak
terdapat dalam al-Qur‟an dan hadist karena bangsa arab umumnya tidak
menggunakan nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka menggunakan kata dinar
untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas dan kata dirham untuk
menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Mereka juga menggunakan wariq
untuk menunjukkan dirham perak, kata „ain untuk menunjukkan dinar emas.
Sementara itu kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan
untuk membeli barang-barang murah.2
Uang secara umum adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat
pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebaga alat pembayaran uatang, atau
sebgai alat untuk melkukan pembelian barang atau jasa. Dengan kata lain, uang
merupakan suatu alat yang dapat digunakan dalam suatu wilayah tertentu. 3 Uang juga
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat
tukar (Samuelson dan Nordhaus, 2001).
Definisi ini merupakan definisi hakikat kegunaan uang sebenarnya, namun sesuai
dengan perkembangan perekonomian maka uang semakin dipandang sebagai
komoditas yang memiliki harga melalui tingkat suku bunga, maka hakikat uang
semakin bergeser menjauhi apa yang sebenarnya. Uang merupakan inovasi besar
dalam peradaban perekonomian dunia. Posisi uang sangat strategis dalam satu sistem
ekonomi, dan sulit digantikan variabel lainnya. Bisa dikatakan uang merupakan
bagian yang terintegrasi dalam sat system ekonomi (Choudhury, 1997). 4
Selain itu uang didefenisikan sebagai segala sesatu (benda) yang diterima oleh
masyarakat sebagai alat perantara dalam melakukan tukar-menukar atau perdagangan.

2
Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, (Jakarta: Rajawali
Pers: 2014), hlm. 279
3
Ahmad Mujahidin. 2007. Ekonomi Islam. Jakarta :( PT Raja Grafindo Persada)
4
Mustafa Edwin Nasution dkk. 2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. (Jakarta: Kencana),
hlm. 239
Agar masyarakat menerima dan menyetujui penggunaan benda sebagai uang maka
harus memenuhi dua persyaratan sebagai berikut:
1) Persyaratan psikologis, yaitu benda tersebut harus dapat memuaskan
bermacam-macam keinginan dari orang yang memilikinya sehingga semua
orang mau mengakui dan menerimanya.
2) Syarat teknis adalah syarat yang melekat pada uang, diantaranya:
a) Tahan lama dan tidak mudah rusak
b) Mudah dibagi-bagi tanpa mengurangi nilai
c) Mudah dibawa
d) Nilainya relative stabil
e) Jumlahnya tidak berlebihan
f) Terdiri atas berbagai nilai nominal
Tidak jauh berbeda dari penjelasan diatas Para ahli Ekonomi sudah membahas
tentang standar sebuah benda dapat di jadikan sebagai uang. Benda tersebut
harus memenuhi beberapa persyaratan, syarat tersebun antara lain :
1) Harus diterima secara umum (acceptability)
2) Memiliki nilai tinggi atau dijamin keberadaannya olehpemerintah yang
berkuasa.
3) Bahan yang dijadikan uang juga harus tahan lama (durability),d.kualitasnya
cenderung sama (uniformity)
4) jumlahnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakatf.tidak mudah dipalsukan
(scarcity)
5) Harus mudah dibawa (portable) dan mudahdibagi tanpa mengurangi
nilai (divisibility)
6) memiliki nilai yang cenderung stabil dari waktu ke waktu(stability of
value).(Abdul Mukhi, 2011 : 2 dalam fadilla 2017)

Adapun jenis uang sendiri, dibagi menjadi beberapa macam yaitu menurut
bentuknya, jenisnya bahan pembuatnya dan nilainya. Pembagian uang menurut
jenisnya antara lain :
1) uang kartal (sering pula disebut sebagai (common money) adalah alat
bayar yang sahdan wajib digunakan oleh masyarakat dalammelakukan
transaksi jual-beli sehari-hari.
2) uang giral, adalah uang yang dimiliki masyarakat dalam bentuk
simpanan (deposito)yang dapat ditarik sesuai kebutuhan. (Abdul Mukhi,
2011 : 3 dalam fadilla 2017)
2. Pengertian uang menurut ahli hukum (fuqaha) dan cendikiawan muslim
a. Uang Menurut Al-Ghazali
Dalam pandangan Al-Ghazali di dalam karyanya Ihya’ Ulum AlDin uang
adalah “nikmat (Alloh) yang digunakan masyarakat sebagai mediasi atau alat
untuk mendapatkan bermacam-macam kebutuhan hidupnya, yang secara
substansial tidak mamiliki nilai apa-apa, tetapi sangat dibutuhkan manusia dalam
upaya pemenuhan bermacam-macam kebutuhan mereka (sebagai alat tukar).5
Dari pernyataan di atas dapat diambil suatu definisi uang menurut al-Ghazali
yaitu uang adalah:
1) Barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana mendapatkan orang lain.
Dengan kata lain uang adalah barang yang disepakati fungsinya sebagai
media pertukaran (medium of exchange)
2) Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai
intrinsik).
3) Nilai benda yang berfungsi sebagain uang ditentukan terkait dengan
fungsinya sebagai alat tukar. Dengan kata lain yang lebih berperan dalam
benda yang berfungsi sebagai uang adalah nilai tukar dan nilai nominalnya
b. Menurut Al-Maqrizi
Dalam pandangan Al – Mqrizi sebagai seorang sejarawan, Al-Maqrizi
mengemukakan beberapa pemikiran tentang uang melalui penelaahan sejarah
mata uang yang digunakan oleh umat manusia. Pemikirannya meliputi seajarah
dan fungsi uang, implikasi penciptaan mata uang buruk, dan daya beli uangbahwa
mata uang yang dapat diterima sebagai standar nilai, baik menurut hukum, logika,
maupun tradisi hanya terdiri dari emas dan perak.

5
Ahmad Dimyati. 2008. Teori Keuangan Islam Rekonstruksi Metodologis Terhadap Teori
Keuangan Al-Ghazali. (Yogyakarta : UII Press), hlm. 59
Menurut AL-Maqrizi mata uang yang menggunakan selain emas dan perak
dianggap tidak layak disebut sebagai mata uang. Selain itu juga Al-Maqrizi juga
mengungkapakan bahwa uang bukan merupakan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi kenaikan harga. Menurutnya, penggunaan mata uang emas dan
perak tidak serta merta menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi
juga dapat terjadi akibat faktor alam dan tindakan sewenang-wenang penguasa.6
c. Menurut Ibn Khaldun
Dalam pandangan Ibnu Khaldun dua logam yaitu emas dan perak, adalah
ukuran nilai. Logam-logam ini diterima secara alamiah sebagai uang di mana
nilainya tidak dipengaruhi oleh fluktuasi subyektif.
“Allah menciptakan dua “batuan” logam tersebut, emas dan perak, sebagai
(ukuran) nilai semua akumulasi modal. (emas dan peraklah) yang dipilih untuk
dianggap sebagai harta dan kekayaan oleh penduduk dunia”. Karena itu, Ibn
Khaldun mendukung penggunaan emas dan perak sebagai standar moneter.
Baginya, pembuatan uang logam hanyalah merupakan sebuah jaminan yang
diberikan oleh penguasa bahwa sekeping uang logam mengandung sejumlah
kandungan emas dan perak tertentu.
Dari pendapat beberapa fuqaha diatas secara sederhana dapat dipahami bahwa
uang diartikan oleh al-Ghazali, AL- Maqrizi dan Ibn Khaldun sebagai apa yang
digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran
dan media simpanan.
3. Fungsi dan Pentingnya Uang
Secara umum, uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang
dengan barang, juga untuk menghindarkan perdagangan dengan cara barter. Secara
lebih rinci, fungsi uang dibedakan menjadi dua yaitu fungsi asli dan fungsi turunan.
Fungsi asli uang ada tiga macam, yaitu pertama sebagai alat tukar, yang kedua
sebagai satuan hitung, dan yang ketiga sebagai penyimpan nilai. Sedangkan fungsi
turunan uang yaitu, pertama Uang sebagai alat pembayaran yang sah, kedua Uang
sebagai alat pembayaran utang, ketiga Uang sebagai alat penimbun kekayaan,

6
Adimarwan Azwar Karim. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), hlm. 387-388
keempat Uang sebagai alat pemindah kekayaan, dan kelima Uang sebagai alat
pendorong kegiatan ekonomi.

Namun ada satu hal yang berbada dalam memandang uang antar sistem kapitalis
dengan Islam. Dalam sisten ekonomi kapitalis uang tidak hanya sebagai medium of
change namun juga sebagai komoditas. Menurut sistem kapitalis uang dapat diperjual
belikan dengan adanya kelebihan langsung ataupun tangguh. Serta uang dapat
disewakan.7 Dalam Islam, uang hanya berfungsi sebagai medium of change. Uang
bukan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Ketika uang diperlakukan
sebagai komoditas oleh sistem kapitalis, berkembanglah apa yang disebut pasar uang.
Terbentuknya pasar uang ini menghasilakn dinamika yang khas dalam perekonomian
konvensional, terutama pada sektor moneternya. Pasar uang ini kemudoan
berkembang dengan munculnya pasar derivatif, yang menggunakan instrumen bunga
sebagai harga dari produk-produknya. Sera transaksi di pasar ini tidak berlandaskan
motif transaksi riil sepenuhnya, bahkan sebgian besar mengandung unsur spekulatif8

Sedangkan pentingnya uang adalah salah satu pilar ekonomi. Uang memudahkan
proses pertukaran komoditas dan jasa. Setiap proses produksi dan distribusi pasti
menggunakan uang. Pada berbagai bentk proses produksi berskala besar modern,
setiap orang dari komponen masyarakat mengkhususkan diri dalam memproduksi
barang komoditas dan memperoleh nilai dari hasil produksi yang ia pasarkan dalam
bentuk uang. Karena itu, sistem ekonomi modern yang menyangkut banyak pihak
9
tidak bias berjalan dengan sempurna tanpa menggunakan uang. Penemuan uang
merupakan salah satu penemuan besar yang dicapai oleh manusia, ketika seseorang
mencermati lebih dalam kekurangankekurangan dalam sistem barter, maka
berbarengan dengan kemajuan yang begitu luas membuka jalan kepada manusia
untuk menggunakan uang.10

7
Mustafa Edwin Nasution dkk. 2007. Pengenalan Eksklusif.., hlm. 248
8
Septi Wulan Sari, Perkembangan Dan Pemikiran Uang Dari Masa Ke Masa, AN-NISBAH, Vol.
03, No. 01, Oktober 2016. hlm 43
9
Ibid., hlm.47
10
Op.cit. hlm.44
4. Sejarah perkembangan Uang dari masa ke masa di berbagai bangsa
a. Uang pada masa Bangsa Lydia
Bangsa Lydia adalah orang-orang yang pertama kali mengenal uang. Uang
pertama kali muncul di tangan para pedagang ketika mereka merasakan kesulitan
dalam jual beli sistem barter, lalu mereka membuat uang, pada tahun 570-546
SM, Negara berkepentingan mencetak uang. Pertama kalinya masa ini terkenal
dengan mata uang emas dan perak yang halus dan akurat.11
b. Uang pada masa Bangsa Yunani
Bangsa Yunani yang membuat “uang komoditas” sebagai utensil money dan
koin-koin dari perunggu. Kemudian mereka membuat ems dan perak yang pada
awalnya beredar di antara mereka dalam bentuk batangan, sampai masa
dimulainya percetakan uang pada tahun 406 SM. Mereka mengukir di uang
mereka bentuk berhala, gambar-gambar pemimpin, dan mengukir nama negeri
dimana uang dicetak. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari
perak.12
c. Uang pada masa bangsa Romawi
Bangsa Romawi pada masa sebelum abad ke-3 SM menggunakan mata uang
yang terbuat dari perunggu yang disebut Aes (Aes Signatum Aes Rude). Mereka
juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Orang yang
pertama kali mencetak uang adalah Servius Tullius, yang dicetak pada tahun 269
SM. Kemudian pada tahun 268 SM, mereka mencetak Denarious dari emas yang
kemudian menjadi mata uang utama Imperium Romawi. Di atas uang itu itu
mereka cetak ukiran bnetukbentuk Dewa dan pahlawan-pahlawan mereka, hingga
masa Julius Caesar yang kemudian mencetak gambarnya di atas uang tersebut.
d. Uang pada masa Persia
Bangsa Persia mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah
penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas adan perak
dengan perbandingan 1: 13,5. Suatu hal yang membuat naiknya emas dan perak.

11
Ibid 48
12
Ibid .,hlm. 48
Mata uangnya adalah dirham perak, betul-betul murni. Ketika sistem kenegaraan
mengalami kemunduran, mata uang mereka pun ikut serta mundur. 13
e. Uang dalam masa pemerintahan Islam
1) Uang pada Masa Kenabian
Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyyah tidak memiliki mata uang
tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa dinar
dan dirham emas Hercules, Byzantium dan dirham perak dinasti sasanid dari
Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, dan Yaman. Penduduk mekkah
tidak memperjualbelikan barang kecuali dengan emas yang tidak ditempa dan
tidak menerimanya kecuali dengan ukuran timbangan. Mereka tidak
menerima dalam jumlah bilangan. Hal ini disebabkan beragamnya bentuk
dirham dan ukurannya, serta munculnya penipuan pada mata uang mereka
misalnya nilai yang tertera melebihi dari nilai sebenarnya. Nabi menyuruh
penduduk Madinah untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk Mekkah
ketika melakukan interaksi ekonomi, dengan menggunakan dirham dalam
jumlah bilangan bukan ukuaran timbangan.14
2) Uang pada Masa Khulafaurrasyidin
Ketika abu bakar di bai’at menjadi khaliafah, beliau tidak melakukan
perubahan terhadap mata uang yang beredar, bahkan menetapkan apa yang
sudah berjaan dari masa Nabi saw. Begitu jiga ketika Umar Bin Khathab di
bai’at sebagia khalifah., karena beliau sibuk melakukan penyebaran Islam ke
berbagai Negara, beliau menetapakan persoalan uang sebagaimana uang
sudah berlaku
3) Uang pada masa Dinasti Muawiyah
Percetakan uang pada masa dinasti Muawiyah, masih meneruskan model
Sasanid dengan menambahkan beberapa kalimat tauhid, seperti pada masa
Khulafaturrasyidin. Pada masa Abdul Malik Bin Marwan, pada tahun 78 H,
beliau membuat mata uang Islam yang memiliki model tersendiri. Dengan

13
Ibid., hlm. 49
14
Ibid., hlm. 49
adanya percetakan mata uang Islam, mampu merealisasikan stabilitas politik
dan ekonomi, mengurangi pemalsuan dan manipulasi terhadap mata uang.
4) Uang pada masa Dinasti Abbasiyah dan sesudahnya
Pada masa ini percetakan masih melanjutkan cara dinasti Muawiyah. Pada
masa ini ada dua fase, dalam percetakan uang yaitu : Fase pertama, terjadi
pengurangan terhadap ukuran dirham kemudian dinar. Fase kedua, ketika
pemerintahan melemah dan para pembantu dari orang-orang Turki campur
tangan dalam urusan Negara. Pembiayaan semakin besar, orang-orang mulai
dibuai kemewahan sehingga uang tidak lagi mencukupi kebutuhan. Pada masa
pemerintahan Mamalik, percetakan uang tembaga (fulus), menjadi mata uang
utama, sedangkan percetakan dirham dihentikan karean beberapa sebab:
penjualan perak ke NegaraNegara Eropa, impor tembaga darai negara-negara
Eropa semakin bertambah, akibat dari peningkatan produksi pertambangan di
sebagian besar wilayah Eropa. Meningkatnya konsumsi perak untuk
pembuatan pelana dan bejana
f. Transformasi menjadi uang kertas
Pada tahun 1839 pemerintah Usmaniyah menerbitkan mata uang yang
berbentuk kertas banknote dengan nama gaima, namun nilainya terus merosot
sehingga rakyat tidak mempercayainya. Pada perang Dunia I tahun 1914, Turki
seperti negara-negara lainnya memberlakukan uang kertas sebagai uang yang sah
dan membatalkan berlakunya emas dan perak sebagai mata uang. Sejak itulah
mulai diberlakukan uang kertas sebagai satusatunya mata uang di seluruh dunia.15
Uang yang berlaku pada zaman sekarang disebut dengan fiat money. Hal ini
disebabkan karena kemampuan uang untuk berfungsi sebagai alat tukar dan
memiliki daya beli tidak disebabkan karena uang tersebut dilatarbelakangi oleh
emas. Pada zaman dahulu, uang dilatarbelakangi oleh emas karena mengikuti
standar emas. Namun, hal ini telah ditinggalkan oleh perekonomian dunia pada
tahun 1931 dan kemudian seluruh dunia telah meninggalkannya pada tahun 1976.
Uang kertas sekarang sudah menjadi alat tukar karena telah ditetapkan oleh
pemerintah bahwa uang kertas sudah menjadi standar alat tukar.

15
Rozalinda, Loc.Cit. hlm. 2
Umar bin Khathab berkata bahwa mata uang dapat dibuat dari benda apa saja
sampai-sampai kulit unta. Ketika suatu benda tersebut sudah ditetapkan menjadi
mata uang yang sah, maka barang tersebut sudah berubah fungsinya dari barang
biasa menjadi alat tukar yang sah dengan segala fungsi dan turunannya. Jumhur
ulama telah sepakat bahwa illat, emas dan perak diharamkan pertukarannya
kecuali serupa dengan serupa, sama dengan sama oleh Rasulullah saw adalah
karena tsumuniyyah yaitu barang-barang tersebut menjadi alat tukar,
penyimpanan nilai di mana semua barang ditimbang dan dinilai dengan nilainya.16
Saat uang kertas telah menjadi alat pembayaran yang sah, sekalipun tidak
dilatarbelakangi oleh emas, maka kedudukannya dalam hukum sama dengan
kedudukan emas dan perak yang pada waktu al-Quran diturunkan tengah menjadi
alat pembayaran yang sah. Uang kerta juga diakui sebagai harta kekayaan yang
harus dikeluarkan zakat daripadanya. Zakat pun sah dikeluarkan dalam bentuk
uang kertas. Uang kertas juga dapat dipergunakan sebagai alat untuk membayar
mahar.
Sejak saat itu uang kertas diakui sebagai alat pembayaran yang sah sekaligus
diakui sebagai bentuk dari sebuah kekayaan. Adapun beberapa kelebihan
penggunaan uang kertas dalam perekonomian modern ini, di antaranya :
1) Mudah dibawa
2) Biaya penerbitan lebih kecil daripada uang logam
3) Dapat dipecah dalam jumlah berapapun.

Namun selain kelebihan diatas uang kertas pemakaian ini juga mempunyai
kekurangan seperti :17
1) Tidak terjaminnya stabilitas nilai tukar seperti halnya uang emas dan perak
yang mempunyai nilai tukar yang stabil.
2) Jika terjadi percetakan uang kerta dalam jumlah yang berlebihan, akan
menimbulkan inflasi, nilai uang turun harga barang naik.
g. Reformasi uang dimasa sekarang menjadi E-Money (Elektrik Money)

16
Nurul Huda, dkk, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.
92
17
Ressi Susant, Sejarah Transformasi Uang Dalam Islam Jurnal, AQLAM -- Journal of Islam
and Plurality -- Volume 2, Nomor 1, Juni 2017 hlm.41
Majunya teknologi pada masa sekarang menyebabkan banyaknya
perubahan dalam sistem pembayaran dan transaksi jual-beli. Sekarang banyak
bermunculan alat taknologi yang digunakan untuk pembayaran termasuk
uang. Pada masa kini untuk pembayaran menggunakan E-Money ( Elektronik
Money). Kemajuan teknologi dalam sistem pembayaran menggeser peranan uang
tunai sebagai alat pembayaran ke dalam bentuk pembayaran non tunai yang lebih
efisien dan ekonomis. Uang elektronik muncul sebagai jawaban atas kebutuhan
masyarakat terhadap instrumen pembayaran mikro yang diharapkan mampu
melakukan proses pembayaran secara lebih cepat, efisien, dan aman dengan biaya
yang relatif lebih murah, namun belum semua uang elektronik yang diterbitkan
sudah sesuai dengan konsep syariah.
Ada beberapa definisi dari uang elektronik. Menurut Bank for
International Settlement(BIS) tahun 1996uang elektronik adalah“stored
value or prepaid products in which a record of thefunds or value available to a
costumer is stored on an elektronic device in the costumer’s possession”. (Bank
for Internatinal Settlement, 1996 dalam Muamar dan Salman 2017 : 76).
Adapun adalah Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/08/PBI/2014
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009
“Uang Elektronik (Electronic Money) adalah alat pembayaran yang memenuhi
unsur antara lain :
1) Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada
penerbit;
2) Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip;
3) Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan
merupakan penerbit uang elektronik tersebut; (4)Nilai uang elektronik
yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai
perbankan”.(Pranoto dan Salma, 2018 : 25)
Adapun Beberapa manfaat dari penggunaan uang elektronik (Hidayati &
Nuryanti, 2006, p. 5) :
1) Penggunaan dalam pembayaran sangat mudah, cukup tempelkan kartu
maupun transaksi secara mobile untuk bertransaksi tanpa repot akan uang
kembalian.
2) Dapat meminimalkan penggunaan uang kertas sehingga meminimalisir
kerusakan fisik uang yang beredar, meminimalisir peredaran uang palsu,
dan meminimalisir resiko pencurian.
3) Sangat baik untuk pembayaran massal yang bernilai kecil namun
frekuensinya tinggi seperti pembayaran jalan tol, parkir, transportasi dan
lain-lain.
5. Pengertian Bunga
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari interest. Diungkapkan dalam suatu
kamus dinyatakan, bahwa interest is a charge for a financial loan usually a percentage
of the amount loaned. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya
di nyatakan dengan prosentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapatan lain
menyatakan “interest” yaitu sejumlah uang yang dibayarkan atau dikalkulasi untuk
penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau
presentase modal yang bersangkutpaut dengan itu yang dinamakan suku bunga
modal”.18
Adapun menurut Fatwa MUI tentang Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan
yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari
pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,
berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya
berdasarkan persentase.19
6. Pengertian Riba
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam Islam.

18
Muhammad, (Ed),Bank syariah analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
(Yogyakarta Ekonisia, 2006), hlm.28
19
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta, Erlangga, 2011), hlm.
Secara etimologi, kata riba berasal dari bahasa Arab, secara bahasa bermakna "al-
20
ziyadah" ( ‫ادة ّال‬V‫ ( زي‬yang berarti "tambahan". Pengertian yang sama terdapat dalam
Kamus al-Munawwir bahwa riba berarti tambahan, kelebihan. 21 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata riba dengan singkat berarti pelepasan uang, lintah darat, bunga
uang, rente.22 Menurut terminologi, kata riba dirumuskan secara berbeda-beda sesuai
dengan titik berat pendekatan masing-masing. Meskipun demikian, sebagai pegangan,
definisi sangat penting diungkapkan meskipun tidak seluruhnya tapi satu atau dua
untuk menjadi pegangan di antaranya Shalih Muhammad al-Sulthan menjelaskan
bahwa definisi riba secara istilah (terminologis) diikhtilafkan oleh ulama. Secara
terbatas, al-Sulthan menjelaskan dua pendapat ulama terkait ta‘rif riba secara istilah
(terminologis), yaitu:23
1) Pendapat Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitab al-Mughni yang menjelaskan
bahwa riba secara istilah adalah pertambahan atas (pertukaran) harta khusus;
yakni harta yang dikiur dengan timbangan dan takaran, baik tambahan
tersebut terjadi terhadap sesama harta yang ditakar maupun yang ditimbang
atau karena penangguhan (pembayaran) atas pertukaran harta yang sejenis;
akan tetapi tidaklah mengapa (baca: boleh) apabila yang dipertukarkan tidak
sejenis (seperti emas ditukar dengan perak yang dibayarkan setahun
kemudian);
2) Penulis kitab al-Iqna‘ menjelaskan bahwa riba secara istilah adalah
melebihkan sesuatu (yang dipertukarkan) dan penangguhan (pembayaran) atas
harta yang dipertukarkan;
3) Definisi riba secara istilah yang terbaik menurut Shalih Muhammad al-
Sulthan adalah penambahan (melebihkan) harta ribawi yang sejenis yang
dipertukarkan dan adanya penangguhan penguasaan terhadap benda yang
wajib dikuasai (al-qabdh).

20
Abdurrahmân al-Juzairi, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, juz II, Beirut: Dâr al-Fikr,
1972, hlm. 193.
21
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 469
22
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 955
23
Shalih Muhammad al-Sulthan, al-Riba: ‘Illatuhu wa Dhawabithuhu wa Bai‘ al-Dain
Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa riba adalah kelebihan atau
tambahan tanpa ada ganti atau imbalan. Unsur-unsur riba ini adalah 24 pertama adanya
tambahan sebagai imbalan tenggang waktu, baik tenggang waktu peminjaman
maupun tenggang waktu keterlambatan. Dasarnya adalah firman Allah, "..., dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu" [Q. 2: 2791;
dan kedua, adalah bahwa tambahan tersebut mengikat atau dapat dituntut (bukan
suka rela) karena disyaratkan dalam dalam perjanjian (akad). Apabila tambahan itu
tidak diperjanjikan dan pemberiannya bersifat spontanitas belaka, maka tidak
dipandang riba. Dasarnya adalah sabda Rasulullah saw, "Sebaik-baik kamu adalah
orang yang paling baik pembayaran hutangnya.
7. Dasar Hukum Pelarangan Bunga dan Riba
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa secara bahasa riba berarti
azziyadah (tumbuh subur, tambahan), seperti terdapat dalam surah al-Hajj ayat 5
yang artinya: “Kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi itu
dan subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah” .
Terdapat dalam surah al-nahl:92) yakni artinya sebagai berikut : “Disebabkan
adanya suatu ummat (Islam) yang bertambah banyak jumlahnya dari ummat yang
lain”. (Q.S. al-Nahl: 92).
Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan
keterangan yang sangat jelas dalam al-Qur'an dan al-Hadis. Pernyataan al-Qur'an
tentang larangan riba terdapat pada surat al-Baqarah ayat 275, 276, 278 dan 279.
Yang dapat diartikan sebagai berikut : “Orang-orang yang memakan (memungut)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan
lantaran gangguan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan
mereka berkata: Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”... (al-Baqarah: 275).
Surat al-Baqarah ayat 275 di atas mengecam keras pemungutan riba dan mereka
diserupakan dengan orang yang kerasukan Setan. Selanjutnya ayat ini membantah
kesamaan antara riba dan jual-beli dengan menegaskan Allah menghalalkan jual-beli
dan mengharamkan riba. Larangan riba dipertegas kembali pada ayat 278, pada surat

Syamsul Anwar, Bunga Dan Riba Dalam Perspektif Hukum Islam , Tarjih, Edisi ke-9, Januari,
24

2007, hlm .21


yang sama, dengan perintah meninggalkan seluruh sisa-sisa riba, dan dipertegas
kembali pada ayat 279 yang Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman”. (Q.S.
al-Baqarah: 278). Juga terdapat dalam surah al – baqarah : 279) Artinya: “Jika kamu
tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok hartamu. Tidak
ada di antara kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya. “ (Q.S. al-
Baqarah: 279)
Mengapa praktek riba dikecam dengan keras dan kemudian diharamkan? Ayat
276 memberikan jawaban yang merupakan kalimat kunci hikmah pengharaman riba,
yakni Allah bermaksud menghapuskan tradisi riba dan menumbuhkan tradisi
shadaqah. Sedang illat pengharaman riba agaknya dinyatakan dalam ayat 279, la
tazlimuna wala tuzlamun. Maksudnya, dengan menghentikan riba engkau tidak
berbuat zulm (menganiaya) kepada pihak lain sehingga tidak seorangpun di antara
kamu yang teraniaya. Jadi tampaklah bahwasanya illat pengharaman dalam surat al-
Baqarah adalah zulm (eksploatasi; menindas, memeras dan menganiaya). Keempat
ayat dalam surat al-Baqarah tentang kecaman dan pengharaman riba ini didahului 14
ayat (2:261 sampai dengan 274) tentang seruan infaq fi sabilillah, termasuk seruan
shadaqah dan kewajiban berzakat. Antara lain dinyatakan bahwa Allah akan
mengganti dan melipat gandakan balasan shadaqah dengan 700 kali lipat bahkan
lebih banyak lagi, bahwa sesungguhnya Setan selalu menakuti dengan kekhawatiran
jatuh miskin sehingga manusia cenderung berbuat keji (dengan bersikap kikir, enggan
bershadaqah dan melakukan riba).
Selain itu, rangkaian empat ayat tentang kecaman dan pengharam riba diakhiri
dengan ayat 280 berisi seruan moral agar berbuat kebajikan kepada orang yang dalam
kesulitan membayar hutang dengan menunda tempo pembayaran atau bahkan dengan
membebaskannya dari kewajiban melunasi hutang. Pernyataan al-Qur'an tentang
keharaman riba juga terdapat di dalam surat Ali Imran (3:130). Artinya : “Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. Dan
bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali
Imran:130). Larangan memakan harta riba dalam surat Ali Imran ini berada dalam
konteks antara ayat 129 sampai dengan 136. Di sana antara lain dinyatakan bahwa
kesediaan meninggalkan praktek riba menjadi tolok ukur ketaatan dan ketakwaan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Lalu dinyatakan bahwa menafkahkan harta di jalan
Allah baik dalam kondisi sempit maupun lapang merupakan sebagian pertanda orang
yang bertakwa.
Pernyataan Hadis Nabi mengenai keharaman riba antara lain: Artinya : “Telah
mengabarkan Muhammad bin al-Shabah dan Zuhair bin Harbi dan Usman bin Abu
Syaibah kepada kami dari Husyaim dari al-Zubair dari Jabir berkata: Rasulullah
SAW. melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba, penulis
dan saksi riba". Kemudian beliau bersabda: "mereka semua adalah sama.” (H.R.
Muslim) َ Terdapat pula hadis lainnya yakni Artinya : “Telah mengabarkan Abu Bakri
bin Abi Syaibah kepada kami dari Waqi' dari Ismail bin Muslim al-'Abdi dari Abu al-
Mutawakkil al-Naji dari Abu Said alKhudri bahwa Rasulullah saw bersabda: (jual
beli) emas dengan emas, perak dengan perak, jagung dengan jagung, gandum
dengan gandum, korma dengan korma, garam dengan garam itu dalam jumlah yang
sama dan tunai serta diserahkan seketika, dan barangsiapa yang menambah atau
meminta tambah, termasuk riba. Yang menerima dan yang memberi, dalam hal ini
sama dosanya.” (H.R. Muslim).
8. Tahapan – Tahapan Pelarangan Riba
Menurut Sayyid Quthb dan Abdul al-A’la al-Mawdudi yang dikutip oleh
Muhammad Syafi’i Antonio bahwa larangan riba yang terdapat dalam Al-Quran tidak
sekaligus melainkan secara bertahap, yaitu: 25
Tahap pertama, adalah surat QS. ArRum ayat 39 “…dan sesuatu riba (tambahan)
yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orangorang yang melipatk gandakan (pahalanya).” (Q.S Ar-Rum ayat 39)
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk terdapat dalam QS. An-
Nisa ayat 160-161 “Maka disebabkan kezaliman orangorang Yahudi, kami haramkan
atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahullunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan

Dadang Abdul Qadir, “Anatomi Keabsahan Bunga Bank dalam Perspektif Teori Limit
25

Muhammad Syahrur”., Asy-Syari’ah, Vol. 16, No. 1, April 2014., h. 81- 82


disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
dari padanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.”( Q.S An-Nisa ayat 160- 161)
Tahap ketiga, riba dikaitkan dengan suatu tambahan yang berlipat ganda terdapat
dalam QS. Ali-Imran ayat 130 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntung an.”(Q.S Ali-Imran ayat 130)
Tahap terakhir, Allah swt. dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis
riba, yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 278 dan 279 “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”(Q.S Al-Baqarah
ayat 278- 279)
9. Jenis – Jenis Riba
Menurut Ibnu Abbas, riba dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni riba
yang haram dan riba yang halal. Riba yang halal adalah hadiah yang diberikan
seseorang dengan motivasi untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.26
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Riba Fadhl Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis,
tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan
demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan
sebagainya. Riba fadhl adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang
didefinisikan oleh para ulama fiqih dengan “kelebihan pada salah satu harta
sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syarak”.27
b. Riba Nasi’ah Riba nasi’ah yaitu menunda, menunggu, penangguhan penyerahan
atau penerimanaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang

26
Mujar Ibnu Syarif, “Konsep Riba Dalam AlQuran dan Literatur Fikih”., Al-Iqtishad, Vol. III,
No. 2, Julia 2011., h. 295.
27
Muhammad (Ed),Loc .Cit hlm. 66
ribawi lainnya, riba ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Riba
nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada
pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila jatuh tempo
sudah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar utang dan
kelebihannya, maka waktunya bisa diperpanjang dan jumlah utang bertambah
pula. Riba nasi’ah ini terbagi mejadi dua, yaiu:
1) Riba qardh Adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh). Riba qardh dalam praktiknya
bisa terjadi pada segala macam bentuk benda apapun. Oleh karena itu
diharamkannya meminjamkan sesuatu, agar mendapatkan pengembalian
dengan lebih sedikit atau lebih banyak, yang pada dasarnya bukan dari jenis
barang lain, akan tetapi sama dengan barang yang dipinjamkan, dari segi jenis
dan ukurannya.28
2) Riba jahiliyah Adalah utang dibayar lebih dari pokoknya jarena si peminjam
tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba ini
dilarang karena kaedah “kullu gardin jarra manfa ah fahwa riba” (setiap
pinjam yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penunda waktu
penyerahannya, riba ini tergolong riba nasi’ah, dari segi kesamaannya objek
yang dipertukarkan tergolong riba fadhl.29
Sebagian mufasir secara tegas melarang semua jenis riba, baik itu riba
yang berlipat ganda maupun riba yang sedikit. Mufasir yang termasuk kelompok
ini antara lain adalah AlJhassas, Al-Qurthubi, As-Syaukani, dan Sayyid Qutb.
Sedangkan sebagian mufasir yang lain, berpandangan sedikit berbeda, mereka
berpendapat bahwa, hanya riba jenis jahiliyah atau nasi’ah saja yang diharamkan,
sedangkan riba jenis lainnya tidak diharamkan.30
10. Persamaan dan perbedaan Bunga dan Riba
28
Taqyuddin Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), h. 284
29
Wartoyo, “Bunga Bank: Abdullah Saeed VS Yusuf Qaradhaqi (Sebuah Dialektika Pemikiran
Antara Kaum Modernis dengan Neo-Revivsalis)”., La-Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. IV, No.
1, Juli 2010., h. 117.
30
Gampito, Ekonomi Makro Islam: Suatu Pengantar, (Batusangkar: STAIN Batusangkar Press,
2013), h. 169
Kesamaan unsur yang mana dimiliki antara bunga, yang dijalankan di dalam
perkembangan ekonomi kapitalis dan dianut oleh lapisan masyarakat dunia, dengan
riba yang telah berkembang dan diwariskan oleh masa jahiliyah, memberikan akibat
hukum pelarangan terhadap bunga dalam al-Qur’an, hukumnya haram. Pengharaman
terhadap bunga karena adanya kesamaan illat (sebab) dengan riba, yaitu adanya
tambahan.
Bunga memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah, seperti yang dikemukakan
oleh Ibn al-‘araby dalam ahkam al Qur’an : “Riba secara etimologi adalah Tambahan,
yang dimaksud Riba didalam al-Qur’an adalah setiap tambahan yang tidak ada
baginya tambahan tersebut imbalan/gantian.” Ar-Raghib al-Isfahani dalam al-
Mufradat fie Gharib al Qur’an: “Dia (Riba) adalah tambahan dari modal.”31
Adanya persoalan yang berkaitan tentang Bunga bank sama dengan Riba?
Jawaban terhadap persoalan sub pokok bahasan ini, akan lebih rinci apabila
dikembalikan kepada pandangan tentang adanya kesamaan antara praktik bunga
dengan riba yang diharamkan dalam Al Qur’an dan hadits kesamaan itu sulit
dibantah, apalagi secara nyata aplikasi sistem bunga pada perbankan lebih banyak
dirasakan mudharatnya daripada manfaatnya. Kemudha-ratan sistem bunga sehingga
dikategorikan sebagai riba, antara lain adalah :
1) Mengakumulasi dana untuk keuntungannya sendiri
2) Bunga adalah konsep biaya yang digeserkan kepada penanggung berikutnya
3) Menyalurkan hanya kepada mereka yang mampu
4) Penanggung terakhir adalah masyarakat
5) Memandulkan kebijakan stabilitas ekonomi dan investasi
6) Terjadi kesenjangan yang tidak akan ada habisnya Praktek-praktek diatas
tidak akan dapat berjalan apabila umat Islam tidak menjalankan secara
Istiqamah terhadap konsep bank bagi hasil atau Bank Syariah.
Oleh karena itu, kehadiran Bank syariah dalam percaturan perekonomian
nasional amat menjadi penting. Dengan kata lain, relevansi bank syariah dengan
perekonomian Indonesia yang sedang membangun sangat tinggi dan jauh lebih tinggi
dari bank konvensional. Sehingga tumbuh dan berkembangnya Bank Syari’ah di
Indonesia, dalam rangka memperkecil terjadinya praktek riba, seharusnya tidak
31
Majelis Ulama Indonesia, Loc.Cit. hlm. 808-809
semata-mata bersifat emosional tetapi lebih banyak bersifat rasional dan
konsepsional untuk membantu upaya pembangunan. Sebab dengan jumlah bank
syariah yang cukup berarti dan dioperasionalkan dengan baik akan mampu
mendukung upaya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan dan pembangunan
dan hasil-hasilnya, serta stabilitas ekonomi yang mantap.32
Di bawah ini akan disajikan secara rinci dan ldi ulas lebih jelas antara persamaan
dan perbedaan pandangan keduanya adalah sebagai berikut:33

Persamaan Pandangan Perbedaan Pandangan


a. Dalam membahas mengenai riba dan a. Perbedaan pandangan dalam menentukan aspek
pemahaman mereka akan riba, apa sebenarnya yang terkandung dalam Al-
keduanya sama-sama berangkat dari Quran dan hadist dalam pelarangan riba.
dasar hukum pemahaman nash, baik Abdullah Saeed lebih cenderung memandang
itu dari nash-nash Al-Qurang maupun aspek formalnya, atau apa yang ada dalam
Sunnah. dzahir ayat.
b. Dalam melakukan interpretasi b. Perbedaan pendangan pada poin pertama di atas,
mengenai riba dalam nash-nash menyebabkan terjadinya perbedaan pula dalam
tersebut, keduanya memiliki tujuan menentukan bagian pernyataan mana dalam Al-
akhir yang sama, yaitu supaya Quran yang sebenarnya harus dijadikan pijakan
interpretasi yang mereka hasilkan utama dalam memahami pelarang riba.
dapat memberikan sumbangsi bagi Abdullah Saeed cenderung melihat pernyataan
terciptanya kemaslahatan umat, la tadzlimuuna wa la tudzlamun sebagai titik
sehingga umat tidak lagi berada dalam tolaknya dalam memahami pelarangan ini,
kebimbangan ketika menentukan sementara Yusuf Al-Qaradh wi lebih melihat
suatu transaksi yang masih pada pernyataan fa lakum ru’ usu amwa likum
mengandung keraguan akan boleh dan sebagai acuan utamanya.
tidaknya secara hukum c. Perbedaan dalam menentukan landasan analogi
c. Pada dasarnya keduanya memiliki apakah yang semestinya dipakai dalam
pandangan, bahwa riba merupakan membahas masalah pelarangan riba ini,

Muhammad: Loc.Cit.hlm. 50-51


32

Rahmat Firdaus, EKONOMIKA SYARIAH: Journal of Economic Studies e-ISSN:2614-8110


33

Vol. 3 , No. 2, Juli-Desember 2019 hlm.53-55


sesuatu yang mutlak dilarang dalam Abdullah Saeed lebih melihat hikmah sebagai
Islam dan hukumnya haram. Karena landasan analoginya, sebab menurutnya ilat
pratik riba hanya akan menciptakan memliki banyak kelemahan, sebaliknya Yusuf
suatu tatanan dalam masyarakat Al-Qaradh wi cenderung menggunakan ilat
menjadi rusak, timbulnya sebagai landasan analoginya.
ketidakadilan dan terjadinya d. Perbedaan dalam memandang wacana
penganiayaan oleh sekelompok orang ketidakadilan, menurut Abdullah Saeed,
terhadap sekelompok orang lainnya. ketidakadilan hanya terdapat pada riba yang
d. Keduanya juga sama-sama memiliki terdapat pada masa jahiliyah, karena terjadinya
pandangan, bahwa pembahasan yang penindasan kriditur kepada debitur, hingga
mereka lakukan dalam kajian mereka menyebabkan perbudakan, sedangkan transaksi
masing-masing adalah pembahasan pinjaman berbunga di bank saat ini, mustahil
mengenai riba jenis nasi’ah atau akan menyebabkan penindasan, lebih-lebih
jahiliyah yang sudah jelas-jelas perbudakan oleh kreditu kepada debitur.
dilarang dalam Al-Quran maupun Sedangkan menurut Yusuf Al-Qaradh wi,
hadist, sedangkan untuk riba fadhl, keadilan hanya akan tercapai bila antara pemilik
mereka tidak membahasnya secara modal dan pengusahan, berbagi resiko atas
lebih luas dalam bukunya masing- keuntungan maupun kerugian, dari modal yang
masing. digunakan dalam usaha tersebut.
e. Dalam kaitannya dengan argumentasi e. Perbedaan-perbedaan dalam menentukan
bahwa riba yang dilarang dan landasan pengharaman dalam menghukumi
dibolehkan adalah riba jenis produktif bunga bank, menurut Yusuf Al-Qaradh wi,
dan konsumtif, keduanya tidak bunga bank sama dengan riba yang dilarang
memiliki landasan atau keterangan dalam Islam, karena berpijak pada stateman
yang kuat untuk mengklaim bahwa bahwa setiap penambahan dalam transaksi
pandangan merekalah yang paling pinjaman adalah dilarang. Sedangkan Abdullah
benar. Sebab memang tidak produktif, Saeed memandang, sepanjang pinjaman tersebut
atau malah sebaliknya tidak menyebabkan ketidakadilah, maka
pinjaman tersebut dibolehkan, dan demikina
pula sistem pinjaman dalam bank, meskipun
jelasjelas terdapat bunga di dalamnya.
11. Sistem Bunga dalam pandangan Islam
Al-Quran dan hadist, dua sumber hukum Islam melarang keras adanya bunga
karena kezalimannya, akan tetapi ada yang berpendapat bahwa bunga yang
dibayarkan pada saat investasi dalam kegiatan produksi tidak bertentangan dengan
hukum AlQuran karena hukum tersebut hanya mengacu pada riba, yaitu pinjaman
yang bukan untuk produksi dimasa pra Islam. Pada masa pra Islam, orang tidak
mengenal pinjaman produksi dan pengaruhnya pada perkembangan ekonomi.34
Menurut Purwaatmaja, sistem bunga adalah biaya yang dikenakan kepada
peminjam uang atau imbalan yang diberikan kepada penyimpanan uang yang
besarnya telah ditetapkan di muka, biasanya ditentukan dalam bentuk persentase dan
terus dikenakan selama masih ada sisa simpanan/pinjaman sehingga tidak hanya
terbatas pada jangka waktu kontrak. Sedangkan sistem bagi hasil yaitu suatu sistem
yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola
dana, yang terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan
nasabah penerima dana. Dari pendapat ini maka dapat disimpulkan bahwa bank
berdasar prinsip bunga keuntungan telah ditetapkan di muka berdasarkan besarnya
persentase uang (modal) yang dipinjamkan, tanpa berpedoman pada untung rugi.
Sedangkan prinsip bagi hasil itu berbagi dalam hal keuntungan juga dalam hal
kerugian.35
Menyebut riba dengan nama bunga tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga
adalah suatu tambahan modal yang dipinjam, karena itu hal tersebut tetaplah riba.
Dalam ekonomi kapitalis, bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan,
berdasarkan prinsip dari perbankan konvensional, tanpa bunga sistem perekonomin
akan lumpuh. Sedangkan Islam mempunyai kekuatan yang sangat dinamis dalam
menjalankan sistem perbankan dan lembaga keuangan lain tanpa harus menjalankan
sistem bunga. Karena suku bunga yang berlaku dalam perbankan konvensional tidak
ada hubungan dengan pengaruh volume menabung. Evolusi konsep riba ke bunga
tidak terlepas dari perkembangan lembaga keuangan. Lembaga keuangan timbul

Qurratul A’yun Nailufarh, Loc.Cit., hlm 2.


34

Nur Aksin, “Perbandingan Sistem Bagi Hasil dan Bunga di Bank Muamalat Indonesia dan
35

CIMB Niaga”., Jejak Journal of Economics and Policy, Vol. 6, No. 2, 2013., h. 116.
karena kebutuhan modal untuk membiayai industri dan perdagangan, modalnya
berasal dari kaum pedagang.
Kecenderungan masyarakat menggunakan sistem bunga (interest ataupun
unsury) lebih bertujuan untuk mengoptimalkan pemenuhan kepentingan pribadi,
sehingga kurang mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkannya. Berbeda
dengan sistem bagi hasil (profit-sharing), sistem ini berorientasi pada pemenuhan
kemaslahatan hidup umat manusia.

12. Alasan Pengambilan Bunga/Riba


Sekalipun hukum Islam telah jelas-jelas mengharamkan riba, tetapi tetap saja
ada beberapa cenkiawan yang mencoba memberikan pembenaran atas pengambilan
bunga. Alasan mereka di antaranya : Ada sembilan alasan bagi yang membolehkan
bunga bank yaitu:36
1) Boleh mengambil bunga bank karen darurat.
2) Pada tingkat wajar, tidak mengapa bunga bank dibebankan.
3) Opportunty lost yang ditanggung pemilik dana disebabkan penggunaan uang
oleh pihak lain.
4) Bunga untuk konsumtif dilarang, tetapi untuk produktif dibolehkan.
5) Uang sebagai komoditi, karena itu ada harganya dan harga uang itu adalah bunga
(Boehn-Boerk).
6) Bunga sebagai penyeimbang laju inflasi.
7) Bunga sebagai upah menunggu (abstinence concept, senior, irving fisher).
8) Nilai uang sekarang lebih besar dari pada nilai uang masa depan (time value of
money).
9) Pada zaman nabi tidak ada bank, dan bank bukan syakhshiyyah mukallafah (yang
terkena kewajiban menjalankan hukum syariah) Untuk itu para ulama melakukan
istinbath terhadap sumbersumber syariah dalam rangka menghindari riba. Di
antara hasil istinbath tersebut adalah produkproduk muamalah yaitu musyarakah,
mudharabah, muzara’ah, musaqat, murabahah, salam, istishna’, sharf, ijarah,
wadi’ah, wakalah, hawalah, rahn, qardh, i’arah, sulh, muqashah, iqtha’, dan hima,

Rudy Haryanto, “Bagi Hasil dan Bank Syariah: Solusi Terhadap Bunga Bank”., Al-Ihkam,
36

Vol. V, No. 2, Desember 2010., h. 245.


yang semuanya merupakan produkproduk dalam perbankan syariah yang dalam
pengelolaannya prinsip bagi hasil.

C. KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Uang secara umum adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran
dalam suatu wilayah tertentu atau sebaga alat pembayaran uatang, ata sebgai alat untuk
melakukan pembelian barang atau jasa. Dan dalam sejarahnya uang terbagai dalam tiga kategori
yaitu uang barang, uang kertas, uang kredit atau giro. Sedangkan pada mulanya manusia tidak
mengenal uang, tetapi melakukan pertukaran antar barang dan jasa secara barter. Dari
pendapat beberapa fuqaha diatas secara sederhana dapat dipahami bahwa uang diartikan
oleh al-Ghazali, AL- Maqrizi dan Ibn Khaldun sebagai apa yang digunakan manusia
sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran dan media simpanan.
fungsi uang dibedakan menjadi dua yaitu fungsi asli dan fungsi turunan. Fungsi asli uang
ada tiga macam, yaitu pertama sebagai alat tukar, yang kedua sebagai satuan hitung, dan
yang ketiga sebagai penyimpan nilai. Sedangkan fungsi turunan uang yaitu, pertama
Uang sebagai alat pembayaran yang sah, kedua Uang sebagai alat pembayaran utang,
ketiga Uang sebagai alat penimbun kekayaan, keempat Uang sebagai alat pemindah
kekayaan, dan kelima Uang sebagai alat pendorong kegiatan ekonomi.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan. Riba berarti nilai tambahan
yang diharamkan dalam urusan pinjam-meminjam dimana salah satu pihak merasa berat dan
rugi. Riba ada 4, yaitu: Riba Fadli, Riba Nasi’ah, Riba Qardh dan Riba Yad. Hukum riba adalah
haram. Bunga bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank yang
memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan kepada pemiliknya
atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga (tambahan) tetap sebesar beberapa persen,
seperti lima atau sepuluh persen Bunga bank ini termasuk riba, sehingga bunga bank juga
diharamkan dalam ajaran Islam. Bedanya riba dengan bunga/rente (bank) yakni riba adalah
untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente (bank) adalah untuk pinjaman
yang bersifat produktif. Namun demikian, pada hakikatnya baik riba, bunga/rente atau
semacamnya sama saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam. Dan Sekalipun
hukum Islam telah jelas-jelas mengharamkan riba, tetapi tetap saja ada beberapa
cenkiawan yang mencoba memberikan pembenaran atas pengambilan bunga.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Abdurrahmân al-Juzairi, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, juz II, Beirut: Dâr al-Fikr,
1972
Adimarwan Azwar Karim. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada)
Ahmad Dimyati. 2008. Teori Keuangan Islam Rekonstruksi Metodologis Terhadap Teori
Keuangan Al-Ghazali. (Yogyakarta : UII Press)
Ahmad Mujahidin. 2007. Ekonomi Islam. Jakarta :( PT Raja Grafindo Persada)
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Gampito, Ekonomi Makro Islam: Suatu Pengantar, (Batusangkar: STAIN Batusangkar Press,
2013).
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta, Erlangga, 2011)
Muhammad, (Ed),Bank syariah analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (Yogyakarta
Ekonisia, 2006)
Mustafa Edwin Nasution dkk. 2007. Pengenalan Eksklusif
Mustafa Edwin Nasution dkk. 2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. (Jakarta: Kencana)
Nurul Huda, dkk, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis (Jakarta: Kencana, 2009)
Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, (Jakarta: Rajawali
Pers: 2014)
Taqyuddin Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), h.
Jurnal/Makalah :

Dadang Abdul Qadir, “Anatomi Keabsahan Bunga Bank dalam Perspektif Teori Limit
Muhammad Syahrur”., Asy-Syari’ah, Vol. 16, No. 1, April 2014.
Mujar Ibnu Syarif, “Konsep Riba Dalam AlQuran dan Literatur Fikih”., Al-Iqtishad, Vol. III,
No. 2, Julia 2011.
Nur Aksin, “Perbandingan Sistem Bagi Hasil dan Bunga di Bank Muamalat Indonesia dan CIMB
Niaga”., Jejak Journal of Economics and Policy, Vol. 6, No. 2, 2013.

Rahmat Firdaus, EKONOMIKA SYARIAH: Journal of Economic Studies e-ISSN:2614-8110


Vol. 3 , No. 2, Juli-Desember 2019
Ressi Susant, Sejarah Transformasi Uang Dalam Islam Jurnal, AQLAM -- Journal of Islam and
Plurality -- Volume 2, Nomor 1, Juni 2017

Septi Wulan Sari, Perkembangan Dan Pemikiran Uang Dari Masa Ke Masa, AN-NISBAH, Vol.
03, No. 01, Oktober 2016.
Syamsul Anwar, Bunga Dan Riba Dalam Perspektif Hukum Islam , Tarjih, Edisi ke-9, Januari,
2007.

Wartoyo, “Bunga Bank: Abdullah Saeed VS Yusuf Qaradhaqi (Sebuah Dialektika Pemikiran
Antara Kaum Modernis dengan Neo-Revivsalis)”., La-Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol.
IV, No. 1, Juli 2010.

Anda mungkin juga menyukai