Anda di halaman 1dari 13

Bab VIII

Konsep Mata Uang

Dalam Ekonomi Islam

Muqaddimah

Indonesia pernah mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang fantastis. Tingkat


pertumbuhan yang fantastis tersebut ditunjukkan dengan angka 8%, sehingga mendapat julukan si
Macan di Asia Tenggara. Namun pada bulan September 1997, siapa sangka bangsa Indonesia mengalami
krisis moneter yang telah menghancurkan perekonomian bangsa. Nilai rupiah pada waktu itu sempat
melampaui angka 16.000 rupiah. Suatu nilai mata uang yang tidak masuk akal alias tidak bisa diterima
oleh logika akal sehat manapun juga. Bahkan krisis moneter ini berimbas kepada krisis multidimensi
seperti krisis ekonomi, krisis moral, krisis kepercayaan, dan krisis kepemimpinan.

Banyak pakar mengatakan penyebab terjadinya krisis moneter disebabkan oleh dua faktor.
Faktor tersebut adalah; (1) nilai mata uang rupiah yang menggunakan flat money (uang kertas), yaitu
mata uang yang nilai instrinsik dan nilai nominalnya tidak menyatu dan (2) pengalihan fungsi uang, yang
seharusnya sebagai alat tukar beralihfungsi menjadi alat komoditas atau komersil.

Sejak terjadinya krisis moneter bahkan krisis multidimensi, penguasa, akademisi dan elit politik
mencaritahu bagaimana memulihkan perekonomian. Seminar-seminar, penelitian-penelitian, kajian-
kajian digelar. Dalam hal sistem moneter misalnya para ekonom mengusulkan agar sistem moneter yang
dipakai adalah sistem mengambang (floating rate). Di lain pihak, ada yang mengusulkan agar sistem
yang dipakai adalah sistem tetap (fixed rate). Akhirnya, pemerintah memilih menggunakan sistem
mengambang (floating rate) yaitu nilai kurs mata uang dibiarkan mengikuti hukum permintaan dan
penawaran, di mana yang sesungguhnya nilai rupiah digantungkan dengan nilai dollar (hard currency).

Herannya, sampai saat bulan Maret 2007 nilai rupiah terhadap dollar masih berada di level
Rp9,200 (RCTI, 8 Maret 2007). Dan angka ini sudah dianggap oleh sebagian besar ekonom (ekonom
Kapitalis) angka yang wajar. Menjadi pertanyaan bagi kita adalah apakah tidak ada alternatif lain yang
bisa digunakan untuk memulihkan perekonomian bangsa ini? Apakah memang mata uang rupiah harus
menggunakan sistem mengambang? Adakah mata uang yang mampu mengatasi kerentanan sistem
moneter suatu negara? Tulisan ini Insya Allah berupaya memberikan alternatif pemulihan
perekonomian negara, khususnya sistem moneter yaitu dengan memperkenalkan mata uang yang dulu
pernah digunakan selama lebih kurang 13 abad lamanya (Khilafah Islamiyah; 622 M - 03 Maret 1924 M).
Mata uang itu adalah Dinar (standar emas) dan Dirham (standar perak).
Definisi dan Fungsi Uang
Dalam konsep ekonomi Kapitalisme, uang merupakan suatu alat komoditas, atau alat bisnis yang
bisa beranak pinak alias “riba”. Uang dimanfaatkan di dalam sektor non-riil, seperti sektor perbankan,
dan pasar modal. Tidak heran ketika terjadi keterpurukan ekonomi, maka suatu bangsa mengalami krisis
moneter yang berkepanjangan. Fungsi uang tidak jauh berbeda dengan fungsi barang. Semua dianggap
setara, bahkan sama yaitu sebagai alat komoditas.

Dalam ekonomi Islam, secara etimologi “UANG” berasal dari kata “al-naqdu-nuqud”.
Pengertiannya ada beberapa makna, yiatu: “al-naqdu” yang berarti: yang baik dari dirham,
menggenggam dirham, dan “al-naqdu” juga berarti tunai. Kata “nuqud” tidak terdapat dalam al-Qur‟an
dan hadist, karena bangsa arab umumnya tidak menggunakan “nuqud” untuk menunjukkan harga.
Mereka menggunakan kata “dinar” untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas, dan kata
“dirham” untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak Mereka juga menggunakan “wariq”
untuk menunjukkan dirham perak, kata “ain” untuk menunjukkan dinar emas. Sementara itu, kata
“fulus” (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang
murah (Rozalinda, 2014: 279).

Abu Ubaid (wafat 224 H), mendefenisikan kata “nuqud” dengan sebutan Dinar dan Dirham, yaitu
nilai harga seseuatu sedangkan segala sesuatu tidak bisa menjadi harga bagi keduanya, ini berarti dinar
dan dirham adalah standar ukuran yang dibayarkan dalam transaksi barang dan jasa. Al-Ghazali (wafat
505 H) menyatakan, Allah SWT menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah di antara
seluruh harta, sehingga seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Ibn al-Qayyim (wafat 751 H)
berpendapat, dinar dan dirham adalah nilai harga barang komoditas. Ini mengisyaratkan bahwa uang
adalah standar unit ukuran untuk nilai harga komoditas (Ahmad Hasan, 2005: 5-8).

Imam An-Nabhani (2004: 270), menjelaskan bahwa dalam Ekonomi Islam, uang merupakan
standar kegunaan dalam mengukur barang dan tenaga (jasa). Oleh karena itu, uang didefinisikan sebagai
sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur (medium of exchange) tiap barang dan tenaga/jasa.
Misalkan, harga adalah standar untuk barang, sedangkan upah adalah standar untuk tenaga manusia,
yang masing-masing merupakan perkiraan masyarakat terhadap nilai barang dan tenaga orang.
Sementara promis, saham dan sejenisnya tidak bisa disebut sebagai uang. Karena saham sendiri bukan
sebagai satuan pengukur nilai, baik barang maupun jasa. Karena fungsi uang dalam Ekonomi Islam hanya
sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai alat komoditas. Uang pun hanya diarahkan
pada sektor riil seperti; perdagangan, produksi dan jasa.

Berdasarkan perkiraan nilai-nilai barang dan jasa inilah di negeri manapun dinyatakan dengan
satuan-satuan, maka satuan inilah yang menjadi standar yang dipergunakan untuk mengukur kegunaan
barang dan tenaga. Satuan-satuan ini menjadi alat tukar (medium of exchange). Satuan-satuan inilah
yang disebut dengan sebutan uang.

Sehingga, Rahmat Ilyas dalam Jurnal BISNIS Vol. 4, No. 1, Juni 2016, berjudul: Konsep Uang
dalam Perspektif Islam hal. 37 menjelaskan defenisi UANG sebagai segala sesatu (benda) yang diterima
oleh masyarakat sebagai alat perantara dalam melakukan tukar-menukar atau perdagangan. Agar
masyarakat menerima dan menyetujui penggunaan benda sebagai uang maka harus memenuhi dua
persyaratan sebagai berikut:

1. Persyaratan psikologis, yaitu benda tersebut harus dapat memuaskan bermacam-macam keinginan
dari orang yang memilikinya sehingga semua orang mau mengakui dan menerimanya.

2. Syarat teknis adalah syarat yang melekat pada uang, diantaranya: (a) Tahan lama dan tidak mudah
rusak, (b) Mudah dibagi-bagi tanpa mengurangi nilai, (c) Mudah dibawa, (d) Nilainya relative stabil, (e)
Jumlahnya tidak berlebihan, dan (f) Terdiri atas berbagai nilai nominal.

Dengan demikian jelaslah bahwa beberapa ketentuan di atas yang memenuhi standar sesuatu
disebut UANG di dalam perspektif Ekonomi Islam. Sehingga, promis, saham dan semisalnya tidak
memenuhi standar uang. Namun, saat ini berkembang pula di masyarakat dan dianggap uang, seperti
Bitcoin. Sebagian kalangan mengatakan bahwa Bitcoin sebuah mata uang baru atau uang elektronik
yang diciptakan pada 2009 lalu oleh seseorang yang menggunakan nama samaran Satoshi Nakamoto
(Llihat: https://finansial. bisnis.com/2021/4/15//).

Jika ditelaah dari faktanya, jelaslah bahwa Bitcoin dan sejenis tidak layak dan tidak memenuhi
standar disebut sebagai uang. Di samping tidak memenuhi standar psikologis dan teknis, KH. Hafidz
Abdurrahman (Lihat: https://www.hafidzabdurrahman. com/2021/2/7//), mata uang di dalam Islam
harus memenuhi tiga syarat penting: (1) Dasar untuk menilai barang dan jasa, yaitu sebagai penentu
harga dan upah; (2) Dikeluarkan oleh otoritas yang bertanggung jawab menerbitkan Dirham dan Dinar,
dan ini bukan badan yang tidak diketahui [majhul]; (3) Tersebar luas dan mudah diakses oleh khalayak,
dan tidak eksklusif hanya untuk sekelompok orang saja.

Jadi, sesuatu dapat disebut uang ketika memenuhi beberapa standar di atas, secara ideal dan
lazimnya dalam sejarah keemasan Islam, menggunakan Dinar (mata uang emas) dan Dirham (mata uang
perak), namun bisa juga menggunakan benda lain yang berstandarkan kepada emas dan perak.

Ketentuan-ketentuan Baku tentang Uang


Islam telah menentukan satuan-satuan yang bisa dinyatakan oleh masyarakat untuk
memperkirakan nilai-nilai barang dan jasa dengan ketentuan baku, yaitu;

Pertama; Ketika Islam melarang praktik penimbunan harta (kanzul mal), Islam hanya
mengkhususkan larangan kanzul mal tersebut untuk emas dan perak, padahal harta (maal) itu
mencakup semua barang yang bisa dijadikan sebagai kekayaan (An-Nabhani, 2004: 271; Zallum, 2004:
185). Allah SWT berfirman:

.... Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak menafkahkannya di jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka kabar gembira yaitu azab yang pedih” (TQS. At-Taubah [9] : 34)

Dalam konsep Islam, uang adalah flow concept (konsep aliran). Islam tidak mengenal motif
kebutuhan uang untuk spekulasi, karena tidak dibolehkan. Uang adalah barang publik (public goods),
milik masyarakat. Karenanya, penimbunan uang yang dibiarkan tidak produktif, berarti mengurangi
jumlah uang beredar. Bila diibaratkan dengan darah dalam tubuh, perekonomian akan kekurangn darah
atau terjadi kelesuan ekonomi (economic downturn) atau stagnasi. Itulah di antara hikmah dilarangnya
meninbun uang (kanzu almaal) (Adiwarman Aswar karim, 2001: 21).

Kedua, Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku dan tidak
berubah-rubah. Ketika Islam mewajibkan diyat, Islam telah menentukan diyat tersebut dengan ukuran
tertentu dalam bentuk emas. Ketika Islam mewajibkan hukuman potong tangan terhadap praktek
pencurian, Islam juga menentukan ukuran tertentu dalam bentuk emas. Oleh karena itu, bila mencuri
mencapai ukuran tersebut, hukumnya wajib dipotong (An-Nabhani, 2004: 271; Zallum, 2004: 186),
Rasulullah SAW pernah bersabda: ”Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100
unta...dan terhadap pemilik emas, (ada kewajiban) sebanyak 1.000 dinar.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majjah, dari Ibnu Abbas)

Dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm, dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi
saw telah menulis surat kepada penduduk Yaman, tertulis: “Sesungguhnya pada jiwa seorang mukmin
(diyat-nya) 100 ekor unta, dan bagi pemilik emas (diyat-nya adalah) 1.000 dinar.” (HR. an-Nasa’i)

Jadi, satuan uang—yang berupa emas dan perak—inilah yang menjadi uang, dan satuan inilah
yang menjadi pijakan uang tersebut.

Ketiga; Rasulullah SAW telah menetapkan emas dan perak sebagai uang, dan beliau menjadikan
hanya emas dan perak sajalah sebagai standar uang. Standar barang dan tenaga akan dikembalikan
kepada standar emas dan perak juga termasuk semua transaksi berlangsung menggunakan standar
tersebut. Beliau telah membuat standar uang ini dalam bentuk uqiyah, dirham, daniq, qirath, mitsqal,
dan dinar. Semuanya ini sudah dikenal bahkan sudah sangat masyhur pada masa Nabi SAW., yang
masyarakat pada saat itu telah mempergunakannya dalam melakukan transaksi atau bisnis perdagangan
(An-Nabhani, 2004: 272).

Rasulullah SAW telah menentukan berat emas dan perak tersebut dengan berat tertentu, yaitu
timbangan penduduk Makkah. Imam Abu Dawud telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah
SAW bersabda: "Timbangan tersebut adalah timbangan penduduk Makkah." (HR. Abu Dawud)

Keempat; Ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah mewajibkan zakat tersebut
untuk emas dan perak, kemudian Allah SWT menentukan nishab zakat tersebut dengan nishab emas dan
perak. Dengan adanya zakat emas dan perak tersebut, telah menentukan bahwa uang tersebut berupa
emas dan perak.

Syekh Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Fiqh az-Zakaah juz 1 hal 24, menjelaskan bahwa Allah
SWT telah mewajibkan zakat harta (zakat maal) pada emas dan perak, yang keduanya ditetapkan
sebagai mata uang yang syar’iy. Karena tersusun pada keduanya hukum-hukum yang banyak.
Sebagiannya berhubungan dengan hukum perdagangan dan benda-benda, sebagaimana di dalamnya
terdapat riba dan pertukaran. Sebagian lainnya termasuk hukum-hukum yang ditetapkan terntang harta
sebagaimana diwajibkan zakat harta tersebut.
Kelima; Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (sharf atau money changer) yang terjadi
dalam transaksi uang, hanya dilakukan dengan emas dan perak. Semua transaksi dalam bentuk finansial
yang dinyatakan dalam Islam hanya dinyatakan dengan emas dan perak. Sedangkan pertukaran mata
uang adalah menjual mata uang dengan mata uang lain, yang adakalanya menjual mata uang dengan
mata uang sejenis, atau menjual mata uang dengan mata uang asing (An-Nabhani, 2004: 272-273). Dari
Ubadah Bin Shaamit, Rasulullah SAW, bersabda: ”Emas dengan mata uang (bisa terjadi) riba, kecuali
sama-sama sepakat’” (HR. Bukhari).

Dengan melihat lima ketentuan yang baku di atas, akan tampak bahwa uang dalam Islam
berhubungan dan terikat dengan hukum-hukum syara’. Sehingga keharaman menimbunnya, kewajiban
mengeluarkan zakatnya, adanya hukum-hukum pertukarannya, diamnya Rasulullah SWT untuk
melakukan transaksi dengannya, serta keterkaitan diyat dan potong tangan dalam pencurian, telah
menjadikan uang tersebut sebagai suatu masalah yang dibingkai dengan ketentuan hukum Islam.

Sistem Mata Uang


Sistem mata uang adalah kumpulan peraturan yang menjadi asas adanya mata uang dan
pengaturannya di suatu negara. Poros utama untuk setiap mata uang adalah penentuan kesatuan mata
uang dasar yang dijadikan sebagai tolok ukur bagi jenis-jenis mata uang lainnya. Jika misalnya, telah
ditentukan kesatuan mata uang dasar dengan ukuran tertentu dari emas, maka kesatuan ini menjadi
mata uang dasar pada sistem tersebut. Sistem mata uang biasanya dinamakan dengan mata uang dasar
yang digunakannya.

Apabila mata uang emas, maka jadilah sistem mata uangnya, sistem mata uang emas, atau yang
berpijak pada emas. Apabila mata uang dasarnya adalah perak, jadilah sistem mata uang perak. Dan
apabila mata uang dasarnya gabungan dari keduanya—emas dan perak—maka dinamakan dengan
sistem mata uang dua logam. Jika nilai kesatuan mata uang dasarnya tidak dikaitkan secara permanen
dengan emas ataupun dengan perak, maka dinamakan dengan sistem mata uang biasa, baik
menggunakan logam lainnya— seperti mata uang tembaga—atau menggunakan kertas—seperti mata
uang kertas biasa/bank note (Zallum, 2004: 190-191)

Sistem Mata Uang Negara Islam


Realitasnya, uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar
dari pertukaran tersebut. Uang bukan merupakan sebuah komoditi yang diperdagangkan. Menurut al-
Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua
warna. Maknanya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang.
Dalam istilah ekonomi Islam klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct
utility funvtion), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang
akan memberikan kegunaan (Adiwarman Aswar Karim, 2001: 21).

Sistem mata uang yang digunakan dalam Daulah Islam sejak zaman Rasulullah SAW hingga
zaman kekhalifah Utsmaniyah adalah Dinar dan Dirham atau disebut juga sistem mata uang dua logam.
Mata uang dinar mengikuti ketentuan standar berat (wazan) dinar syar’i yaitu 4,25 gram emas.
Sedangkan Dirham mengikuti ketentuan standar berat (wazan) dirham syar’i yaitu 2,975 gram perak
(Zallum, 2004: 184).

Sepanjang sejarah Islam, mata uang resmi yang berlaku di seluruh negeri-negeri Islam selama
lebih dari seribu tahun adalah dinar (yang terbuat dari emas murni) dan dirham (yang terbuat dari
perak). Kalaupun ada penyimpangan, berupa penerbitan mata uang campuran dengan menggunakan
tenaga, atau diterbitkannya uang kertas (pada tahun-tahun terakhir Khilfah Utsmaniyah), maka hal itu
dianggap sebagai sebuah kelalaian (Editor K-Mag, 2006).

1. Mata Uang di Masa Rasulullah SAW dan Para Sahabat


Setelah Islam datang, Rasulullah SAW., menetapkan (dengan bentuk taqrir) penggunaan dinar
dan dirham yang sudah ada, dan menetapkannya sebagai mata uang. Rasulullah SAW juga menetapkan
timbangan mata uang dinar dan dirham seperti yang sudah berlaku pada Kabilah Quraisy. Dari Thawus
dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: “Timbangan (yang sah) adalah timbangan penduduk Makkah,
dan takaran (yang sah) adalah takaran penduduk Madinah” (HR. Abu Dawud)

Diriwayatkan oleh al-Baladzuri, dar Abdullah bin Tsala’bah bin Sha’ir: “Dinar Hirakli dan dirham
Persia biasa digunakan oleh penduduk Makkah pada masa Jahiliyah. Akan tetapi mereka tidak
menggunakannya dalam transaksi jual beli, kecuali menjadikannya (sebagai timbangan) lantakan.
Mereka sudah mengetahui timbangan mitsqal. Timbangannya adalah 22 qirath kurang (satu dirham)
Kisra. Dan timbangan 10 dirham sama dengan 7 mitsqal. Satu rithl sama dengan 12 uqiyah, dan setiap
satu uqiyah sama dengan 40 dirham. Dan Rasulullah saw membiarkan hal itu (berlangsung). Begitu pula
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.”

Dengan demikian kaum Muslimin telah menggunakan bentuk, cetakan dan gambar dinar Hirarkli
dan dirham Kisra pada masa Rasulullah SAW., Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan awal dari masa Khalifah
Umar. Pada tahun ke-20 Hijriyah atau pada tahun ke-8 dari masa pemerintahan Khalifah Umar, beliau
mencetak dirham yang baru berdasarkan standar dirham Sasanid. Bentuk dan bobot timbangannya
tetap, mengacu pada dirham Kisra, gambar dan tulisannya bermotif Bahlawiyah (Pahlevi). Beliau hanya
menambah tulisannya dengan menggunakan hurup Arab Kufi,yaitu kalimat Bismillah dan Bismilahi
Rabbi.

2. Mata Uang di Masa Umayah


Pada tahun 76 H Khalifah Abdul Malik bin Marwan mencetak dirham yang berciri khas Islam,
yang mengandung teks-teks Islam dengan menggunakan Khath kufi, sedangkan bentuk Sasanid
ditinggalkan. Pada tahun 77 H dinar yang berciri khas Islam dicetak, dan didalamnya diukir teks-teks
Islami dengan Khath Kufi, sedangkan dinar yang berbentuk Byzantium ditinggalkan.

3. Mata Uang di Masa Abbasiyah


Abul Abbas as-Safah (132 H), Khalifah pertama Abbasiyah tetap mengikuti standar, pola dan
sistem pencetakan mata uang dinar yang belraku di masa Umayah. Yang berubah hanya jenis ukirannya
saja. Tapi untuk mata uang dirham, ia mengurangi bobotnya sebesar satu habbah. Pengurangan bobot
cdirham ini terus berlanjut pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, yang mengurangi dirham sebesar
riga habbah. Dan pada masa pemerintahan Musa al-Hadi, penyusutan bobot dirham mencapai satu
qirath.

Pada masa pemerintahan al-Hakim bin Amrillah Abu Manshur bin al-Aziz (tahun 399 H), dirham
mengalami kelebihan rasio terhadap dinar, sehingga perbandingan harga satu dinar mencapai 34
dirham. Di bawah pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi, karena stock emas berkurang, maka mata uang
utama beralih ke perak, itu pun dalam pencetakannya dicampur dengan tembaga. Pencetakan mata
uang campuran ini berlanjut, terutama di wilayah Mesir dan Syam, sepangjang pemerintahan Bani
Ayyub.

Pada mas Mamalik, terutama pemerintahan Zhahir Barquq, pencetakan mata uang tembaga
jauh lebih menonjol dan menjadi mata uang utama, menggantikan dinar emas dan dirham perak. Di kota
Alexandria (Mesir) dibangun percetakan uang yang khusus mengeluarkan uang tembaga. Uang tembaga
ini populer dengan sebutan fulus.

4. Mata Uang di Masa Utsmani


Masa kekhilafahan Ustmani mampu mengembalikan standar mata uang menjadi emas dan
perak kembali, dengan perbandingan dinar terhadap dirham 1:15. Ini dimulai sejak tahun 955 H (1534
M). Setlah berabad-abad dinar dan dirham tersebut berlaku di seluruh wilayah Islam, maka pada tahun
1839, karena tekanan politik danekonomi yang dilakukan penjajah Inggris dan Perancis, kekhilafahan
Utsmani menerbitkan mata uang kertas, yang disebut dengan gaima. Meski demikian, mata uang baru
ini masih diback-up oleh stock emas dan perak, walau tidak seratus persen.

Pada tahun 1880 M, dikeluarkan reformasi sektor keuangan, dengan memberlakukan mata Lira
Utsmani, yang disandarkan pada emas. Tersereranya negara Khilafah Turki Utsmani ke dalam kancah PD
I (1914 M) menjadi akhir dari penerapan standar mata uang Islam yang didasarkan pada emas dan
perak. Turki Ustamani mewajibkan penggunaanuang kertas, sekaligus membatalkan transaksi penukaran
dengan emas dan perak. Dan sejak itu, kaum Muslim tidak mengenal lagi standar mata uang Islam, dinar
dan dirham, yang disandarkan kepada emas dan perak.

Menyaksikan perkembangan mata uang dinar dan dirham ini, tampak bagaimana upaya Negara
Islam menjaga bobot (kemurnian) dinar dan dirham. Yang pasti, penggunaan emas dan perak sebagai
standar penerbitan mata uang dinar dan dirham menjadi rahasia mengapa perekonomian Negara Islam
selama berabad-abad tetap stabil.

Prinsip Time Value of Money dalam Perspektif Islam


Konsep Time Value of Money atau yang disebut oleh para ekonom sebagai positive preference
menyebutkan bahwa nilai komoditi pada saat ini lebih tinggi dibanding nilainya di masa depan. Konsep
capital and interest dan positive theory of capital yang dikembangkan oleh para ekonom menyebutkan
bahwa positive preference merupakan pola ekonomi yang normal, sistematis, dan rasional. Islam
mengenal prinsip bahwa uang dan kekayaan harus digunakan untuk kebiasaan baik bukan dieksploitasi,
tidak boleh berlebih-lebihan, dan tidak dibiarkan sia-sia menganggur (Iwan Triyono dan Moh. As‟udi,
2001: 41).

Islam sangat menghargai waktu, tetapi penghargaannya tidak diwujudkan dalam rupiah tertentu
atau persentase bunga tetap. Karena hasil yang nyata dari optimalisasi waktu itu variable, tergantung
jenis usaha, sektor industri, lama usaha, keadaan pasar, stabilitas politik, produk yang dijual, jaringan
pemasaran, termasuk siapa pengelolanya (Iwan Triyono dan Moh. As‟udi, 2001: 42). Dalam Islam tidak
dikenal dengan adanya time value of money, yang dikenal adalah economic value of time. Teori time
value of money adalah sebuah kekeliruan besar karena mengambil dari ilmu pertumbuhan populasi dan
tidak ada di ilmu finance.

Pt = Po (1+r)

Rumus ini kemudian diadopsi begitu saja dalam ilmu finance sebagai teori bunga majemuk
menjadi:
FV = PV (1+r)

Jadi, future value dari uang dianalogikan dengan jumlah populasi tahun ke-t, present value dari
uang dianalogikan dengan jumlah populasi tahun ke=0, sedangkan tingkat suku bunga dianalogikan
dengan tingkat pertumbuhan populasi. Jadi hal ini keliru besar , karena uang bukanlah mahkluk hidup
yang dapat berkembang biak dengan sendirinya (Adiwarman A Karim, 2007: 88).

Dalam ekonomi konvensional, ketidakpastian return dikonversi menjadi suatu kepastian melalui
premium for uncertainty. Dalam setiap investasi tentu selalu ada probabilitas untuk mendapat positive
return, negative return, dan no return. Adanya probabilitas inilah yang menimbulkan ketidakpastian.
Probabilitas untuk mendapatkan negative return dan no return yang dipertukarkan dengan sesuatu yang
pasti yaitu premium for uncertainty. Landasan atau keadaan yang digunakan oleh ekonomi konvensional
inilah yang ditolak dalam ekonomi syariah, yaitu keadaan mendapatkan hasil tanpa memperhatikan
suatu risiko (alghunmu bi al ghurni) dan memperoleh hasil tanpa mengeluarkan suatu biaya.

Dalam Islam, keuntungan bukan saja keuntungan di dunia, namun yang dicari adalah
keuntungan di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif dan
efisien, namun ia juga harus didasari keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan
di akhirat. Sebaliknya, keimanan yang tidak mampu mendatangkan keuntungan di dunia, berarti
keimanan yang tidak diamalkan. Dalam Al-Qur'an disebutkan nilai waktu, termasuk nilai ekonomi waktu
ditentukan oleh keimanan, amal baik, saling 52 Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam Konsep Uang dalam
Perspektif Ekonomi Islam mengingatkan dalam hal kebaikan dan kesabaran. Hal ini terkandung dalam
firman Allah surah Al-Ashr ayat 1-3.
Menurut Muhammad (2005: 49), Dari surah al-Ashr ini menunjukkan bahwa waktu bagi semua
orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24 jam sehri, 7 hari dalam seminggu. Namun nilai dari waktu
tersebut adalah tergantung pada bagaimana seseorang memanfaatkan waktu. Semakin efektif dan
efisien, maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan
didunia bagi siapa saja yang melaksanakannya.

Selain itu, Islam tidak dikenal dengan money demand of speculation, karena spekulasi tidak
diperbolehkan. Kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah
menjadikan harta sebagai obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat, sehingga menimbun uang di
bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang
beredar di masyarakat. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, sehingga harus selalu
berputar dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin
tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian (Zainul Arifin, 2006: 16).

Implikasi konsep Time Value of Money adalah adanya bunga. Sedangkan bunga erat kaitannya
dengan riba, dan riba adalah haram serta “Zulm”. Islam secara tegas melarangnya (al-Baqarah [2] ayat
275). Sehinga dianggap tidak sesuai dengan keadilan di mana “al-al-qhumu bi qhurni” (mendapatkan
hasil tanpa mengeluarkan resiko), dan “al-khraj bil adhaman” (memperoleh hasil tanpa mengeluarkan
biaya). Hal ini didasarkan pada firman Allah surah al-Baqarah [2] ayat 278.

Menurut Capra (2001:223), adanya ijma (konsensus) menentang bunga, mengantarkan pada
pembicaraan tentang alternatif terhadap sistem intermediasi keuangan modern yang berbasis bunga.
Sistem yang diajukan ini dimaksudkan .untuk lebih banyak mengandalkan pada modal sendiri (equity)
dan sedikit pada kredit, yang terdiri dari kombinasi mode-mode primer seperti Mudarabah (kemitraan
pasif), musyarakah (kemitraan aktif), dan model-model sekunder seperti murabahah (cost plus service
charge), ijrah (sewa), ijarah wa iqtina' (sewa-beli), salam (forward delivery contract), dan istisna
(contracted production).

Keuntungan Sistem Dwi Logam (Emas dan Perak)


Selama emas dan perak menjadi mata uang yang beredar di seluruh dunia, tidak akan dijumpai
adanya masalah yang terkait dengan mata uang ini sama sekali. Permasalahan tentang mata uang tidak
pernah muncul kecuali setelah hilangnya (praktek) sistem emas dan perak di dunia. Kaedah emas dan
perak merupakan satu-satunya (sistem mata uang) yang mampu menyelesaikan problematika mata
uang, menghilangkan inflasi besar-besaran yang menimpa seluruh dunia, dan mampu mewujudkan
stabilitas mata uang dan stabilitas nilai tukar, serta bisa mendorong kemajuan perdagangan
internasional. Hal itu karena sistem emas dan perak memiliki keistimewaan ekonomi yang sangat
banyak, di antaranya; (Zallum, 2004: 204-206)

1. Emas dan perak adalah barang yang proses (ekplorasi dan produksinya) mengharuskan adanya
penelitian, memerlukan eksplorasinya, dan karena adanya permintaan sebagai pembayaran atas barang-
barang dan jasa. Membekali dunia dengan mata uang (yang benar-benar instrinsiknya berharga), bukan
karena belas kasihan negara-negara penjajah seperti yang terjadi dalam sistem uang kertas biasa,
dimana mereka mampu mengatasinya dengan mengalirkan uang ke pasar-pasar sekehendaknya, melalui
pencetakan uang tambahan setiap kali bermaksud memperbaiki neraca keuangan dan pembayaran
dengan negara-negara lain.

2. Sistem emas dan perak tidak menyebabkan dunia mengalami kelebihan (mata uang) secara tiba-tiba
dengan bertambahnya peredaran mata uang, seperti yang biasa terjadi pada mata uang kertas. Ini
karena mata uang emas dan perak bersifat tetap dan stabil, bahkan mampu menambah kepercayaan
terhadap emas dan perak.

3. Sistem emas dan perak dapat menjaga neraca keuangan dengan memperbaiki defisit neraca
pembayaran internasional, dan perkara lain yang terkait tanpa campur tangan bank sentral. Yang terjadi
dewasa ini setiap kali nilai tukar tidak stabil diantar amata uang asing (bank sentral) langsung melakukan
intervensi. Apabila neraca pendapatan bertambah dari barang-barang ekspor, hal ini akan meningkatkan
pendapatan dari negara-negara lain berupa mata uang negara. Dan ini berarti akan meningkatkan arus
masuk emas dan perak dari luar negeri. Akibatnya harga-harga di dalam negeri menjadi turun. Barang-
barang produk dalam negeri menjadi lebih murah dibandingkan barang-barang impor. Pada akhirnya
menurunkan volume barang-barang impor. Dalam sistem uang kertas permasalahan ini ditanggulangi
dengan cara mencetak uang kertas baru, setiap kali terjadi defisit neraca pembayaran. Sebab, tidak ada
syarat (mengikat) untuk menerbitkan uang kertas baru. Dan hal ini akan mengakibatkan semakin
bertambah besarnya inflasi, serta menurunnya kekuatan nilai daya beli mata uang. Sedangkan di dalam
sistem emas dan perak, negara tidak mungkin memperbanyaknya dengan menerbitkan mata uang
kertas baru, selama uang kertas yang ada mampu menukarnya menjadi emas dan perak dengan harga
tertentu. Karena negara khawatir bahwa memperbanyak mata uang dengan menerbitkan mata uang
baru akan meningkatkan permintaan akan emas, sementara negara tidak mampu menghadapi
permintaan ini.

4. Emas sebagai satu-satunya mata uang negara (Daulah Islamiyah) mengakibatkan negara-negara lain
tidak dapat mengontrol mata uangnya. Hal ini membawa keistimewaan yang luarbiasa pada jumlah
mata uangnya. Karena mata uang di negara Islam bisa mencukupi kebutuhan pasar akan mata uang yang
beredar, tanpa melihat lagi apakah jumlahnya banyak atau sedikit. Barang-barang secara keseluruhan
mengambil nilai tukar dengan mata uang. Dan bertambahnyta produksi barang-barang berakibatnya
turunnya harga barang-barang tersebut. Dalam sistem mata uang kertas, fenomena ini tidak bisa
meningkatkan nilai mata uang, malahan akan menurunkan nilai beli dari mata uang. Dan ini
menyebabkan inflasi. Berdasarkan hal ini jelas bahwa sistem emas dan perak tidak menyebabkan inflasi.

5. Sistem emas dan perak akan memperlancar nilai tukar di antara mata uang asing dengan stabil.
Karena setiap mata uang asing diukur dengan satuan tertentu dari emas dan perak. Dengan demikian
dunia secara keseluruhan akan memiliki mata uang tunggal yang hakiki dari emas dan perak, walaupun
mata uangnya berbeda-beda. Dunia akan menjalani perdagangan bebas, kelancaran peredaran barang
dan harta di berbagai negara di seluruh dunia, kesulitan-kesulitan dengan pecahan uang dan mata uang
berkurang. Hal ini mampu memajukan perdagangan internasional. Para pedagang tidak lagi khawatir
dengan meluasnya perdagangan luar negeri, karena nilai tukar mata uang stabil.
6. Sistem emas dan perak mampu memelihara kekayaan emas danperak setiap negara. Tidak akan
terjadi pelarian emas dan perak dari suatu negeri ke negeri lainnnya. Negara tidak memerlukan alat
kontrol untuk menjaga cadangan emas dan peraknya, karena kedua jenis uang emas dan perak tidak
akan berpindah kecuali untuk pembayaran harga barang atau upah para pekerja.

Sebagai sebuah mabda’, Islam memiliki pandangan yang khas mengenai sistem moneter atau keuangan
(Yusanto, 2001). Dengan sistem emas dan perak ini, maka hubungan-hubungan moneter antara negara
berada pada puncak kemudahannya. Namun ketika diproklamirkan perang dunia I, 1914 negara-negara
yang berperang sengaja mengambil langkah-langkah untuk mengguncang sistem mata uang emas dan
perak (al-Maliki, 2001)

Menuju Standarisasi Emas dan Perak


Proses standarisasi mata uang tergolong masalah paling penting dalam setiap sistem keuangan.
Masalahnya terletak pada pemilihan standar yang akan dipakai. Konsep sistem mata uang fiat misalnya
tidak memiliki standar yang jelas. Padahal, sebuah standar mestinya mengandung sejumlah bentuk nilai
intrinsik yang baku. Standar yang memiliki nilai intrinsik inilah yang mampu menciptakan kestabilan
perekonomian dan mencegah terjadinya inflasi. Emas atau perak memenuhi syarat sebagai sebuah
standar yang kuat. Standar dua macam logam ini telah teruji coba selama berabad-abad. Perekonomian
sebelumnya (masa Daulah Islamiyah) belum pernah mengalami kehancuran sebagaimana pada
perekonomian modern yang berbasis pada sistem uang kertas/fiat money (Abdullah, 2006).

Standarisasi emas dan perak berupa dinar dan dinar sudah saatnya dilakukan. Banyak
keunggulan dan keistimewaan dua mata uang ini, yang sudah dipaparkan di atas. Emas dan perak
merupakan uang satu-satunya yang cocok dengan semua spesifikasi uang yang dikemukakan Aristoteles
berabad lampau—yakni tidak dapat dirusak, dapat dibagi, dapat dibawa, bernilai intrinsik (tidak
tercerai), dan tidak dapat dipalsu. Uang kertas dapat dirusak, dapat dibakar. Lukisan Van Gogh tidak
dapat dibagi menjadi bagian-bagian, di lain pihak sebatang emas dapat dipotong dan masih terjaga
nilainya secara penuh/utuh. Uang kertas tidak punya nilai intrinsik, sedangkan satu ons emas dapat
ditarik menjadi kawat yang panjangnya 30 mil dan masih tetap bernilai (Lubis, 2001).

Keinginan mengembalikan dinar dan dirham bukanlah sebuah utopis atau khayalan. Banyak
fakta yang menunjukkan bahwa kembalinya dinar dan dirham adalah soal waktu belaka (Saidi, 2001)
antara lain;

1. Dinar dan dirham mulai dicetak dan secara terbatas diedarkan di Spanyol, Jerman, Afrika Selatan, dan
akan menyusula Swiss, Inggris, dan Dubai. Dalam tingkat yang lebih terbatas dinar telah dipakai di 22
negara dunia.

2. Telah ada lembaga internasional yang memberikan standar dan mengawasi penerapannya, yaitu
World Islamic Trading Organization (WITO).
3. Ada negara, meskipun belum bersifat nasional, yakni Pemerintah Negara Kelantan (Malaysia), secara
resmi mengadopsi pemakaian uang dinar dalam kebijakan ekonominya. Hal yang sama dilakukan oleh
Pemerintah Penang (Malaysia). Parlemen Sudan juga mengambil sikap serupa.

4. Di Dubai telah berdiri suatu lembaga yang membolehkan penyimpanan dan pembayaran antar
account menggunakan dinar dan dirham, dengan dukungan Kerajaan Dubai. (Negara ini memang
membebaskan penduduknya ataupun orang asing dari segala kewajiban pajak, kondisi yang ’cocok’ bagi
uang dinar dan dirham).

5. Universalitas dan ’kerielan nilai’ (store of value) dan ’keabadian’ dalam watak, logam emas dan perak
diakui bukan saja oleh dunia Islam. Sejumlah lembaga-lembaga yang tak terkait dengan agama, misalnya
Swiss America (perusahaan dagang koin emas), membela kembali uang logam, demi alasan ’keadilan
dan kemerdekaan’.

6. Gerakan masyarakat untuk mempopulerkan kembali dinar dan dirham mulai marak di berbagai
belahan dunia, antara lain dilakukan oleh sekelompok PAID (People Againts Interest Debt). Kegiatan
yang lebih substansial dilakukan misalnya oleh Murabittun Institue, di Skotlandia, yang dipimpin oleh
Umar Ibrahim Vadillo, yang saat ini sangat gigih menjadi ’the man behind dinar’.

Berbagai fakta yang telah diungkapkan di atas, sudah cukup menjadi bukti, bahwa standarisasi
emas dan perak bukanlah suatu yang utopis atau khayalan, namun merupakan suatu keniscayaan, hanya
masalah waktu. Persoalannya adalah apakah kita ikut atau tidak dalam memperjuangkan penerapan
sistem mata uang dua logam tersebut. Negara Khilafah Islamiyah insya Allah segera berdiri memiliki
peran yang besar mewujudkan standarisasi emas dan perak. Penerapan ini bukan lagi suatu pilihan,
tetapi merupakan kewajiban bagi Daulah Islamiyah. Bukan karena hanya manfaatnya saja, tapi yang
utama karena tuntutan hukum syara’. Sebagaimana kaidah syara’ mengatakan: ”Laksanakan hukum
syara’ terlebih dahulu, maka pasti ada maslahat”.

Langkah-langkah Mewujudkan Standarisasi Emas dan Perak


Menurut Abdul Qadim Zallum (2004), untuk kembali kepada kaedah emas dan perak berarti
harus menghilangkan sebab-sebab yang menjadikan kaidah ini tidak bisak dijalankan, dan harus
menyingkirkan faktor-faktor yang menyebabkan keadaan ini terjadi. Yaitu dilakukan upaya-upaya;

1. Menghentikan pencetakan mata uang kertas.

2. Memberlakukan kembali mata uang emas dalam berbagai transaksi

3. Menghilangkan hambatan-hambatan perbatasan yang berkaitan dengan emas dan perak, serta
menghilangkan syarat-syarat yang membelenggu impor dan ekspor emas dan perak.

4. Menghilangkan syarat-syarat yang menghalangi pemilikan emas, kontrol atas pergerakan emas dan
perak, jual belinya, dan berinteraksi dengan menggunakan emas dan perak.
5. Menghilangkan syarat-syarat yang menghalangi pemilikan mata uang pokok di dunia, menciptakan
persaingan bebas diantara mata uang, sehingga diperoleh harga yang stabil dengan mata uang lainnya
dan terhadap mata uang emas, tanpa campur tangan dunia internasional untuk menaik turunkannya.

Khatimah

Berdasarkan pemaparan berupa keunggulan atau keistimewaan sistem mata uang emas dan
perak, fakta-fakta menuju standarisasi emas dan perak, bahkan langkah-langkah mewujudkannya,
merupakan suatu keniscayaan bahwa sistem mata uang emas dan perak, tidak hanya solusi pemulihan
bagi suatu perekonomian negara, tetapi juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk
mewujudkannya. Pewujudannya bukanlah utopis atau khayalan belaka, justru sebaliknya hanya masalah
waktu belaka. Fakta-fakta riil menunjukkan bahwa beberapa negara sudah menerapkannya. Upaya
mempercepat pewujudannya tergantung kepada ikut atau tidaknya kita memperjuangkannya. Namun
demikian, tidak dipungkiri bahwa upaya itu akan lebih efektif dan efisien jika Daulah Islamiyah
menerapkannya secara langsung. Maka hendaknya kita menjadi bagian dari perjuangan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai