Anda di halaman 1dari 25

FUNGSI UANG DALAM PERSPEKTIF

EKONOMI ISLAM

A. PENDAHULUAN
Moneter dalam banyak buku teks ekonomi didefinisikan sebagai uang. Oleh karena
itu fokus utama pembahasan dalam kebijakan moneter adalah mengenai peranan
uang dalam perekonomian, baik mengenai teori-teori tentang uang, pengelolaan,
kebijakan, instrumen maupun institusi yang menjadikan uang sebagai objek
aktifitasnya.

Peranan Uang Dalam Perekonomian Uang, merupakan materi yang sangat berharga
dan sangat ‘diagungkan’ di dunia. Perekonomian modern tidak dapat dipisahkan
dengan pentingnya uang. Uang ibarat darah dalam tubuh manusia, tanpa uang,
perekonomian tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Secara sederhana
uang didefinisikan segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat bantu dalam
pertukaran. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang-
undang sebagai uang. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang jika ada aturan
atau hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagai alat
tukar.

Fungsi utama uang dalam teori ekonomi konvensional adalah:

1. Sebagai alat tukar (medium of exchange) uang dapat digunakan sebagai alat
untuk mempermudah pertukaran.

2. Sebagai alat kesatuan hitung (unit of Account) untuk menentukan nilai/ harga
sejenis barang dan sebagai perbandingan harga satu barang dengan barang lain.
3. Sebagai alat penyimpan/penimbun kekayaan (Store of Value) dapat dalam
bentuk uang atau barang.

Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan prilaku uang dalam ekonomi
konvensional, antara lain:

1. Teori Moneter Klasik. Teori permintaan uang klasik tercermin dalam teori
kuantitas uang (MV = PT). Keberadaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga,
tetapi ditentukan oleh kecepatan perputaran uang tersebut.

2. Teori Keynes. Menurut Keynes, motif seseorang untuk memegang uang ada tiga
tujuan yaitu: Transaction motive, Precautionary motive (keperluan berjaga-
jaga) dan Speculative motive. Motif transaksi dan berjaga-jaga ditentukan oleh
tingkat pendapatan, sedangkan motif spekulasi ditentukan oleh tingkat suku
bunga.

3. Konsep Time Value of Money. Dua hal yang menjadi alasan munculnya konsep
ini adalah : presence of inflation dan preference present consumption to future
consumption.

Dalam ekonomi Islam, fungsi uang yang diakui hanya sebagai alat tukar medium of
exchange dan kesatuan hitung (unit of account). Uang itu sendiri tidak memberikan
kegunaan/manfaat, akan tetapi fungsi uanglah yang memberikan kegunaan. Uang
menjadi berguna jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk
membeli jasa. Oleh karena itu uang tidak bisa menjadi komoditi/barang yang dapat
diperdagangkan.

Dalam konsep ekonomi Islam uang adalah milik masyarakat (money is goods
public). Barang siapa yang menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif berarti
mengurangi jumlah uang beredar yang dapat mengakibatkan tidak jalannya
perekonomian. Jika seseorang sengaja menumpuk uangnya tidak dibelanjakan, sama
artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli. Implikasinya proses
pertukaran dalam perekonomian terhambat. Disamping itu penumpukan uang/harta
juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak,
rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga
mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh
karenanya Islam melarang penumpukan / penimbunan harta, memonopoli kekayaan,
“al kanzu” sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an:

....

Disamping itu uang uang disimpan yang tidak dimanfatkan disektor produktif (idle
asset) jumlahnya akan semakin berkurang karena adanya kewajiban zakat bagi umat
Islam. Oleh karena itu uang harus berputar (Money as flow consept). Islam sangat
menganjurkan bisnis/perdagangan, investasi disektor riil.. Uang yang berputar untuk
produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi
masyarakat.

Teori konvensional meyakini bahwa uang saat ini lebih bernilai dibanding uang di
masa depan (Economic value of time vs time value of money). Teori ini berangkat
dari pemahaman bahwa uang sesuatu yang sangat berharga dan dapat berkembang
dalam suatu waktu tertentu. Dengan memegang uang orang dihadapkan pada risiko
berkurangnya nilai uang akibat inflasi. Sedangkan jika menyimpan uang dalam
bentuk surat berharga, pemilik uang akan mendapatkan bunga yang diperkirakan
diatas inflasi yang terjadi.

Teori time value of money tampak tidak akurat, karena setiap investasi selalu
mempunyai kemungkinan mendapat hasil positif, negatif bahkan tidak mendapat
apa-apa. Dalam teori keuangan hal ini dikenal dengan istilah risk-return relation.
Disamping itu kondisi ekonomi tidak selalu menghadapi masalah inflasi.
Keberadaan deflasi yang seharusnya menjadi alasan munculnya negative time value
of money diabaikan oleh teori konvensional.

Ekonomi Islam memandang waktulah yang memiliki nilai ekonomis (penting).


Pentingnya waktu disebutkan Allah dalam Al-Qur’an:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali


orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran”.[3]

Kuantitas waktu yang dimiliki setiap orang sama yaitu 24 jam sehari, 7 hari dalam
seminggu. Namun nilai dari waktu itu akan berbeda dari satu orang keorang lainnya,
tergantung pada bagaimana seseorang memanfaatkan waktunya. Semakin efektif
dan efisien, maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efisien akan
mendatangkan keuntungan dunia dan akhirat. Dengan demikian uang tidak memiliki
nilai waktu, namun waktulah yang memiliki nilai ekonomis (economic value of
time), dengan catatan bila waktu tersebut dimanfaatkan secara baik. Implikasinya,
dalam bisnis akan selalu dihadapkan risiko untung dan rugi yang tidak dapat
dipastikan dimasa yang akan datang, usaha yang dilakukan oleh manusia dengan
sungguh-sungguh akan mendapatkan hasil yang terbaik.

B. FUNGSI UANG DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam masyarakat yang maju, dikenal alat pertukaran dan satuan pengukur nilai
untuk melakukan sebuah transaksi. Islam telah mengenal alat pertukaran dan
pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur
nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan
emas dan perak tersebut sebagai uang dinar dan dirham.

Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai
tersebut, telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan mata uang
yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di
Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh
sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of
Nations” pada tahun 1766.

Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” yang ditulis pada awal
abad ke-11 telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan,
bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan
membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi
hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak
pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua
membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan
membutuhkan kain.

Menurut al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter, dibutuhkan suatu alat


pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya
nilai onta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai
alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran.

Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang
diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari
pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak
mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna, yang maksudnya
adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang, atau
dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan
langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk
membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.

Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis
oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-14. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kekayaan
suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi
ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang
positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan
merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, maka uang yang
melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak
pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan
pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi
lainnya.

Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan
pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan
ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga
setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota
makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan
murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian
besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan
setiap jenis barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak
terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.

Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun


uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara
sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti
memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi,
sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa
mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu
dirham, karena mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan
mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu
dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu
yang lebih panjang.

Menurut konsep ekonomi Syariah, uang adalah uang, bukan capital, sementara
dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas, misalnya
dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan
sebagai uang dan capital secara bergantian, sedangkan dalam konsep ekonomi
Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public
goods, sedangkan capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang
yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik
seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).

Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi
konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan
berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan
masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics
goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat
dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.”

Persamaan fungsi uang dalam sistem ekonomi Syariah dan konvensional adalah
uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of
account), sedangkan perbedaannya ekonomi konvensional menambah satu fungsi
lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi
“motif money demand for speculation” yang merubah fungsi uang sebagai salah satu
komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan
bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak
uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi
sebagai uang.”

Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas
karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan
dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang
lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi
komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum
Economic”.

Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Tamiyah yang lahir
di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Tamiyah dalam kitabnya
“Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam” menyampaikan lima butir peringatan penting
mengenai uang sebagai komoditi, yakni :

1. Perdagangan uang akan memicu inflasi;

2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan


mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi
golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan;

3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai


uang;

4. Perdagangan internasional akan menurun;


5. Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic mata
uang akan mengalir keluar negeri.

Perdagangan uang adalah salah satu bentuk riba yang lebih banyak mudaratnya
daripada manfaatnya. Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang
sebenarnya yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai alat pertukaran
dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan menyadari bahwa
sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk menjadikan suatu barang
kepada barang yang lain.

Dengan demikian, maka dalam praktek sebuah Bank Syariah yang benar, Bank
bukan menjual-belikan uang tetapi adalah menjual-belikan barang dan atau berbagi
hasil dalam sebuah kemitraan usaha guna menghindari perubahan fungsi uang dari
alat pertukaran dan satuan nilai menjadi komoditi.[4]

C. PANDANGAN AL-GAZALI DAN IBNU KHALDUN TENTANG FUNGSI


UANG DALAM ISLAM

Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi
uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang
mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak
dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak
mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang
pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama,
misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain. Menurut Al-Ghazali,
walaupun dalam ekonomi barter dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut
sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 1000 dinar
dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka
uang akan berfungsi sebagai media penukaran.
Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang
diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari
pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak
mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maksudnya adalah
uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam
istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung
(direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli
barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.

Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis
oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak
ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat
produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara
mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya
pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya.
Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena
akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan
permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.

Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan
pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan
ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga
setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota
makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan
murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian
besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan
setiap jenis barang. Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak
terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun
uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara
sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti
memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi,
sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa
mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu
dirham. Mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan
mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu
dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu
yang lebih panjang.

D. FUNGSI UANG : ISLAMI VERSUS KONVENSIONAL

Menurut konsep Ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam
konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku
“Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan
capital secara bergantian. Sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah
sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods. Capital
bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir
adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan
menjadi milik pribadi (private good).

Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi
konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan
berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyal membicarakan
masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics
goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat
dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.”
Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi Islam dan Konvensional adalah uang
sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account).
Perbedaannya adalah ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai
penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi motif money
demand for speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi
perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa
“Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang
diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.”

Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas
karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan
dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang
lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi
komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum
Economic”.

E. ANALISIS TERHADAP FUNGSI UANG DALAM EKONOMI ISLAM


DAN KONVENSIONAL.

Kesalahan besar ekonomi konvensional ialah menjadikan uang sebagai komoditas,


sehingga keberadaan uang saat ini lebih banyak diperdagangkan daripada digunakan
sebagai alat tukar dalam perdagangan. Lembaga perbankan konvensional juga
menjadikan uang sebagai komoditas dalam proses pemberian kredit. Instrumen yang
digunakan adalah bunga (interest). Uang yang memakai instrumen bunga telah
menjadi lahan spekulasi empuk bagi banyak orang di muka bumi ini. Kesalahan
konsepsi itu berakibat fatal terhadap krisis hebat dalam perekonomian sepanjang
sejarah, khususnya sejak awal abad 20 sampai sekarang. Ekonomi berbagai negara
di belahan bumi ini tidak pernah lepas dari terpaan krisis dan ancaman krisis
berikutnya pasti akan terjadi lagi.

Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan
sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjualbelikan seperti sekarang ini.
Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-
Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya
“Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak
diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan
moneter sebuah negara.[5]

Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan
transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat
menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah
menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter
(bai’ al muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur
Rahman, Rasulullah Saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan –
kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim
pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat
untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.

Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata
Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.

Dari Abu Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah saw
membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Kurma dari
mana ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya. Karena itu kutukar dua
gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka bersabda
Rasulullah SAW, lnilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi.
Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu
(yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih
bagus.” (H.R Bukhari Muslim).

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi Saw memerintahkan agar menjuall
kurma (yang kurang bagus) terlebih dahulu, kemudian uang penjualan itu digunakan
untuk membeli kurma yang berkualitas bagus tadi. Jadi Nabi saw melarang menukar
secara langsung 2 sha’ kurma kurang bagus dengan 1 sha’ kurma yang berkualitas
bagus.

Rasulullah Saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter, karena itu
beliau menganjurkan penggunaan uang sebagai alat tukar.

Sementara itu, menurut Dr. Rif at al-‘Audi, dalam bukunya Min al-Turats al-
Iqtishad li al-Muslimin, bahwa uang merupakan konsep aliran (flow concept) yaitu
yang tidak bisa dijadikan komoditas[6], sedangkan capital bersifat konsep
persediaan (stock concept). Dalam ekonomi konvensional terdapat beberapa
pengertian seperti yang diungkapkan oleh Frederick Mishkin dalam
bukunya Economiss of Money, Banking and Financial Institutionas.

Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan istilah—
time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya
bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan
pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada bayar tunai. Yang lebih
menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama
sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena
ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan
untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian
sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual
tangguh bayar maka hak Penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi
dan menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak Penjual untuk
makan malam tertahan pada pembeli. Alasan Inilah, yaitu tertahannya hak penjual
yang telah memenuhi Kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan
harga tangguh lebih tinggi dari pada harga tunai. Adapun motif permintaan akan
uang—dalam Islam—adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand
for transaction).

Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi
tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang tentunya
membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan bunga atas
harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang adalah milik
masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal atau dibiarkan tidak produktif
dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang yang beredar dimasyarakat.

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan uang merupakan alat-tukar yang
meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar-menukar, sebab uang itu
berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum. Dengan redaksi lain bahwa
uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum diterima sebagai alat penukar.
Dalam ekonomi konvensional uang ‘seolah-olah’ dijadikan manusia sebagai,
“tuhan”, Dimana masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai alat yang
penting dan diletakkan sebagai nomor wahid. Manusia kian berpacu dalam mencari
uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang. Bahkan kesenangan seolah-
olah dilukiskan dengan memiliki uang. Hal ini yang memacu ekonomi konvensional
sebab memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of value /
wealth. Lain halnya dimensi ekonomi Islam bahwa uang merupakan segala sesuatu
yang umum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of
exchange) bukan sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth / value).
Banyak lagi perbedaan yang prinsipil di antara kedua konsep ekonomi tersebut,
antara lain : bahwa menurut Islam uang adalah public good, sedangkan dalam
ekonomi konvensional adalah private goods. Uang sebagai public good, berarti
bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena itu uang
harus beredar di dalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun (iktinaz); uang
tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam bisnis riil, seperti
melalui investasi mudharabah atau musyarakah. Uang yang ditimbun akan membuat
perekonomian lesu darah. Karena itu Imam Ghazali melarang menjadikan uang
dinar dan dirham menjadi perhiasaan, karena menjadikannya sebagai perhiasaan
berarti menarik uang dari peredaran dan memenjarakan uang. Bila uang terpenjara,
itu berakibat buruk bagi perekonomian. Jadi, menurut ekonomi Islam, uang
adalah flow concept, bukan stock concept sebagaimana dalam ekonomi
konvensional.

Dalam Islam, uang bagaikan air yang mengalir. Air yang tidak mengalir akan
menimbulkan penyakit. Untuk itulah uang harus senantiasa terus berputar secara
alami dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka
akan semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik
perekonomian. Bagi mereka yang tidap dapat mengaktifkan hartanya, ‘lagi-lagi’
Islam sangat menganjurkan untuk melakukan investasi dengan perinsip mudharabah
atau musyarakah. Dalam hal ini Nabi bersabda, Ketahuilah, Siapa saja di antara
kamu yang memelihara harta anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki uang
(dinar-dirham), maka bisniskanlah, jangan dibiarkan idle, sehingga nanti uang itu
habis dimakan sedeqah/zakat

Persamaan dan perbedaan pandangan mengenai uang antara ekonomi konvensional


dan ekonomi Islam di atas, tentu meninggalkan pertanyaan apakah masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Marilah kita mengkritisi peran dan
fungsi uang yang pada akhirnya memunculkan ide bunga pada kasus yang terdapat
di ekonomi konvensional, terutama fungsi uang sebagai alat penyimpan daya beli
atau pengukur nilai kekayaan dan sebagai standar pembayaran yang ditangguhakan,
sebab peran uang yang lain seperti sebagai alat tukar atau media pertukaran dan
sebagai satuan hitung bisa diterima dalam ekonomi Islam.

Menurut ekonomi Islam uang adalah sebagai fasilitator atau mediasi pertukaran
atau medium of exchange dan bukan komoditas yang dapat dipertukarkan dan
disimpan sebagai asset dan kekayaan individu. Persoalan timbul ketika uang
dianggap sebagai alat penyimpan nilai atau store of value. Dengan demikian uang
dianggap sebagai kekayaan yang dimiliki secara pribadi, padahal uang adalah milik
umum atau public property yang harus selalu disirkulasikan.

Bila uang sudah dianggap sebagai alat penyimpan nilai dan kekayaan, maka akan
banyak sekali terjadi penimbunan-penimbunan dan pemegangan uang secara
spekulatif yang berakibat kepada terhambatnya arus pertukaran komoditas, barang
dan jasa di dalam perekonomian. Hal ini karena secara teoritis, pemegangan uang
secara spekulatif mengatakan bahwa orang dapat berpekulasi mengenai perubahan
tigkat bunga di waktu yang akan datang termasuk perubahan harga obligasi di pasar
obligasi. Bila seseorang mengharapkan tingkat bunga yang akan datang turun, maka
lebih baik baginya untuk membeli obligasi yang berarti megurangi uang tunai yang
dipegangnya, dengan harapan ia dapat memproleh keuntungan berupa capital
gain berupa kenaikan nilai atau bunga obligasi yang dibelinya. Sebaliknya bila ia
mengharapkan tingkat bunga yang akan datang naik, maka lebih baik baginya untuk
menjual obligasi yang yang ia panyai dan menyimpan kekayaannya dalam bentuk
uang, dengan harapan ia dapat menghindari kerugian berupa capital loss yang
mungkin terjadi akibat turunnya harga obligasi yang ia punyai. Kenyataan inilah
yang menghambat fungsi uang yang sesungguhnya sebagai alat tukar atau medium
of exchange dan pada suatu titik tertentu dapat membuat instabilitas nilai mata uang
yang disebabkan tidak berimbangnya permintaan dan penawaran uang di pasar.
Inilah kelemahan pandangan ekonomi konvensional yang mengatakan bahwa fungsi
dan peran uang adalah sebagai alat penyimpan nilai dan kekayaan. Dalam pandangan
ekonomi Islam fungsi dan peran uang hanya sebagai alat pertukaran dan sebagai alat
pengukur nilai, karena itu dalam ekonomi Islam uang tidak boleh dijadikan sebagai
penyimpan kekayaan apalagi ditimbun dan diendapkan. Pada suatu tingkat teoritis
ekonomi Islam memberikan remedi mengenai hal ini dengna cara penghapusan
system bunga dan dikenakannya zakat pada uang yang tidak digunakan, sehingga
diharapkan dapat mengurangi nafsu pemegangan uang secara spekulatif.

Mengapa hal itu dapat terjadi di dalam system perekonomian


konvensional? Jawabanya adalah bahwa uang dipaksakan untuk menjadi alat
penyimpan nilai yang stabil, sehingga membuat orang yang memegang uang tunai
untuk meminta premi liquiditas atau bunga untuk meminjamkan uangnya.
Seharusnya peminjaman uang yang digunakan untuk kegiatan ekonomi tidak
dikenakan bunga, karena memang uang di-design untuk menjadi alat pertukaran
yang memang harus selalu bersirkulasi dalam kegiatan ekonomi. Sekali lagi
pemaksaaan fungsi uang sebagai alat penyimpan nilai yang stabil akan berakibat
kepada timbulnya bunga yang merupakan beban ekonomi bagi para pelaku ekonomi
yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi atau high cost economy. Dampak
pemaksaan fungsi uang sebagai alat penyimpan nilai kekayaan yang stabil –dengan
penimbunan dan pemegangan uang secara spekulatif yang menimbulkan bunga ini-
adalah terjadinya instabilitas dalam nilai mata uang, karena peredaran uang
terganggu sehingga supply uang di pasar atau di masyarakat juga berkurang, selain
itu adalah terjadinya fluktuasi output dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang
berakibat kepada timpangnya distribusi pendapatan.[7]
Dalam ekonomi konvensional bunga dianggap sebagai harga dari uang atau modal
yang digunakan untuk kegiatan investasi. Padahal investasi belum tentu
mendapatkan keuntungan dan bahwa setiap usaha pasti menghadapi kemungkinan
untung rugi atau kemungkinan resiko kegagalan itu ada, sehingga pengembalian
terhadap uang modal bisa saja berupa positive return atau zero return atau negative
return,[8] sementara bunga bersifat positive return. Hal ini terjadi karena konsep
ekonomi konvensional yang menganggap peran dan fungsi uang sebagi alat
penyimpan kekayaan dan sebagai alat standar pembayaran di masa depan yang tentu
saja memperhitungkan bunga. Dan dalam ekonomi konvensional uang adalah
identik dengan modal yang apabila digunakan harus memperhitungkan rate of
return dari penggunaan tersebut.

Sekarang marilah kita membuat hipotesa. Seandainya kita berhipotesa bahwa bunga
dilarang sama sekali di dalam suatu perekonomian. Apa yang akan terjadi? Dalam
keadaan seperti ini tentunya pemilik uang akan menggunakan uangnya baik untuk
kegiatan konsumsi atau investasi. Dalam hal ini system Mudarabah atau Qirad akan
memainkan peran yang signifikan dalam perkonomian, banyak orang yang
berinvestasi di pasar saham untuk mendapatkan keuntungan bagi hasil dan sebagian
lainnya melakukan usaha bisnisnya sendiri. Dalam situasi yang demikian problem
akan timbul disisi penawaran uang atau supply of money, dimana para pemilik uang
akan menimbun uang sebagai kekayaan yang paling liquid atau menyimpannya
berupa emas dan komoditas lainnya yang tahan lama yang tidak terlalu memakan
biaya. Ketika terjadi penimbunan semacam itu, pemerintah terpaksa harus
menyediakan uang dan kekayaan sebanyak uang dan kekayaan yang ditimbun
ditambah dengan uang yang akan diciptakan. Keadaan ini diperparah lagi oleh
banyaknya permintaan akan uang di lembaga perbankan dengan bunga nol, sehingga
pemerintah melalui otoritas keuangan negara harus menyediakan permintaan
ini. Dan jika permintaan uang melebihi penawarannya, maka yang terjadi adalah
inflasi dikarenakan uang beredar terlalu banyak. Belum lagi mereka yang menimbun
kekayaannya yang berupa saham dan emas yang siap menukarnya dengan uang
menyebabkan peredaran uang di pasar begitu besar. Akibat dari semua ini adalah
keterpurukan ekonomi dan masyarakat miskinlah yang paling banyak menanggung
derita akibat dari keterpurukan ekonomi ini.

Sekarang misalnya, otoritas keuangan (Bank Sentral) bekerja keras untuk menata
kembali manajemen lembaga keuangan dan perbankan bebas bunga dengan
misalnya, memberikan kontrol yang ketat, -kemungkinan gagal dalam mengontrol
lembaga-lembaga tersebut akan berakibat kepada krisis keuangan disebabkan kredit
macet dan moral hazard atau mungkin secara diam-diam mereka akan
memberlakukan system bunga- atau misalnya otoritas keuangan mewajibkan kepada
majemen keuangan dan perbankan untuk melakukan study feasibilitas sebelum
memberikan kredit berdasarkan kriteria bahwa (1) debitur menyerahkan jaminan
keamanan (dalam pengembalian kredit), (2) proyek atau usaha yang akan dilakukan
debitur atau pengusaha harus sejalan dengan rencana pembangunan ekonomi yang
dicanangkan oleh pemerintah, hal ini belum tentu menjamin bahwa perekonomian
akan berjalan dengan baik. Inilah mungkin kelemahan dari system perbankan bebas
bunga atau bagi hasil, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa bila Islam
dijalankan secara utuh dan keseluruhan atau kaffah, maka praktek-praktek yang
tidak baik tersebut dapat dihindari

Untuk itu penyelesaiannya bukan saja hanya dengan menghapuskan bunga dalam
system perekonomian dan menerapkan system bagi hasil misalnya dengan
prinsip Mudarabah atau yang lainnya, tetapi yang lebih penting adalah rule of the
game dari pada Islam secara kaffah harus dilaksanakan oleh semua pihak dan
terutama oleh pelaku ekonomi. Islam telah memberikan peraturan dasar yang
menurut Mahmud Abu Saud adalah sebagai berikut:[9]

1. Work and Reward.

Artinya, setiap orang harus bekerja untuk memperoleh pendapatan. Tidak ada
pendapatan tanpa bekerja dan tidak ada jaminan memperoleh keuntungan tanpa
menghadapi resiko kerugian.

1. Hoarding and Monopoly.

Artinya, tidak boleh seorangpun dalam kehidupan bermasyarakat untuk melakukan


penimbunan terhadap barang yang dibutuhkan oleh masyarakat atau
memonopolinya, tetapi hendaknya disirkulasikannya diantara masyarakat.

1. Depreciation.

Setiap komoditas harus depresiasi termasuk uang. Untuk menghindari penimbunan


uang sebagai asset atau kekayaan harus didepresiasi dengan pembebanan pajak atau
zakat 2,5%.

1. Money as a Means of Exchange.

Artinya, uang hanyalah sebagai alat tukar dan bukan yang lainnya, sehingga uang
tidak boleh diperjual belikan, meskipun terbuat dari emas atau perak.

1. Interest is Riba.

Artinya, dalam ekonomi Islam bunga adalah riba dan tidak diperbolehkan.

1. Social Solidarity.
Artinya, solidaritas dan saling menolong harus ditegakkan dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga kebutuhan hidup dapat dipenuhi oleh semua pihak dan
menjunjung tinggi moral dan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Inilah antara lain yang dapat dituliskan dari kelebihan dan kelemahan konsep uang
dalam pandangan ekonomi konvensional dan ekonomi Islam. Dan sebagai
pelengkap pembahasan mengenai uang ini, ada baiknya bagi kita mengetahui sifat
dan karakter uang sebagaimana yang dituliskan oleh Mahmud Abu Saud sebagai
berikut bahwa uang:[10]

1. Uang memiliki properti artifisial yang memberikan pemegangya pendapatan


dan kekayaan riil tanpa menukarnya dengan komoditas lainnya.

2. Uang tidak membebankan biaya bagi yang memegangnya atau menyimpannya,


dan tidak ada asset lain yang lebih liquid dari uang.

3. Permintaan terhadap uang merupakan derivasi dari permintaan terhadap barang


dan jasa.

4. Uang terlepas dari depresiasi sebagaimanan komoditas lainnya.

Uang merupakan pproduk dari konvensi sosial yang mempunyai daya beli
atau purchasing power hanya karena masyarakat percaya uang itu berlaku dan
mempunyai nilai dan di back up oleh kekuasaan dibandingkan dengan komoditas
lainnya.

F. PENUTUP

Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan
sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjualbelikan seperti sekarang ini.
Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-
Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya
“Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak
diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan
moneter sebuah negara.

Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan
transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat
menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah
menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter
(bai’ al muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur
Rahman, Rasulullah Saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan –
kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim
pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat
untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.

Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan istilah—
time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya
bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan
pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada bayar tunai. Yang lebih
menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama
sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena
ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan
untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian
sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual
tangguh bayar maka hak Penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi
dan menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak Penjual untuk
makan malam tertahan pada pembeli. Alasan Inilah, yaitu tertahannya hak penjual
yang telah memenuhi Kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan
harga tangguh lebih tinggi dari pada harga tunai. Adapun motif permintaan akan
uang—dalam Islam—adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand
for transaction).

Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi
tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang tentunya
membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan bunga atas
harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang adalah milik
masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal atau dibiarkan tidak produktif
dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang yang beredar dimasyarakat.

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan uang merupakan alat-tukar yang
meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar-menukar, sebab uang itu
berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum. Dengan redaksi lain bahwa
uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum diterima sebagai alat penukar.
Dalam ekonomi konvensional uang ‘seolah-olah’ dijadikan manusia sebagai,
“tuhan”, Dimana masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai alat yang
penting dan diletakkan sebagai nomor wahid. Manusia kian berpacu dalam mencari
uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang. Bahkan kesenangan seolah-
olah dilukiskan dengan memiliki uang. Hal ini yang memacu ekonomi konvensional
sebab memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of value /
wealth. Lain halnya dimensi ekonomi Islam bahwa uang merupakan segala sesuatu
yang umum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of
exchange) bukan sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth / value).

Dalam Islam, uang bagaikan air yang mengalir. Air yang tidak mengalir akan
menimbulkan penyakit. Untuk itulah uang harus senantiasa terus berputar secara
alami dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka
akan semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik
perekonomian. Bagi mereka yang tidap dapat mengaktifkan hartanya, ‘lagi-lagi’
Islam sangat menganjurkan untuk melakukan investasi dengan perinsip mudharabah
atau musyarakah. Dalam hal ini Nabi bersabda, Ketahuilah, Siapa saja di antara
kamu yang memelihara harta anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki uang
(dinar-dirha

Anda mungkin juga menyukai