Anda di halaman 1dari 15

SIGNIFIKASI UANG DALAM EKONOMI ISLAM

DI
S
U
S
U
N

OLEH :

KELOMPOK : 5

NAMA : MUHAMMAD FADHIL


: IRAWATI
: EVI NURSAFIRA
UNIT :I
SEM : VI
PRODI : S-1 HES
Pengasuh : MUHAMMAD,MA

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH


AL-HILAL SIGLI
2018

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan limpahan karunia yang
tidak terhingga sehingga penyusunan makalah ini terselesaikan dengan baik,
shalawat dan salam kepada janjungan alam Nabi besar Muhammad Saw. pembawa
risalah Allah swt mengandung pedoman hidup yang terang bagi umat manusia
didunia dan diakhirat.
Makalah ini membahas tentang “Signifikasi Uang dalam Ekonomi Islam”.
Saya sadar bahwa penyusun makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka
dari ini saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya Mahasiswa/i. Semoga juga
menjadi amal yang baik dan diterima disisi Allah SWT. Amiin.

Sigli, 19 April 2018,


Penyusun

Kelompok : 5

2
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1

BAB II :PEMBAHASAN............................................................................... 2
A. Signifikansi Uang Dalam Ekonomi Islam...................................... 2
B. Fungsi Uang.................................................................................... 4
C. Analisis Terhadap Fungsi Uang dalam Ekonomi Islam dengan
Ekonomi Konvensional................................................................... 6

BAB III : PENUTUP...................................................................................... 1


A. Kesimpulan........................................................................................... 10
B. Saran..................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 12

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
Moneter dalam banyak buku teks ekonomi didefinisikan sebagai uang. Oleh
karena itu fokus utama pembahasan dalam kebijakan moneter adalah mengenai
peranan uang dalam perekonomian, baik mengenai teori-teori tentang uang,
pengelolaan, kebijakan, instrumen maupun institusi yang menjadikan uang sebagai
objek aktifitasnya. 
Peranan Uang Dalam Perekonomian Uang, merupakan materi yang sangat
berharga dan sangat ‘diagungkan’ di dunia. Perekonomian modern tidak dapat
dipisahkan dengan pentingnya uang. Uang ibarat darah dalam tubuh manusia, tanpa
uang, perekonomian tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Secara
sederhana uang didefinisikan segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat
bantu dalam pertukaran. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh
undang-undang sebagai uang. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang jika
ada aturan atau hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan
sebagai alat tukar. 

B. Rumusan Masalah 
1. Menjelaskan signifikansi uang dalam ekonomi islam
2. Menjelaskan tentang fungsi uang 
3. Menjelaskan analisis terhadap uang dalam ekonomi islam dan konvensional 

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Signifikansi Uang Dalam Ekonomi Islam


Firman Allah SWT:  Artinya : “…… orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS.9/ At-Taubah: 34) 
Dalam masyarakat yang maju, dikenal alat pertukaran dan satuan pengukur
nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Islam telah mengenal alat pertukaran dan
pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur
nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan
emas dan perak tersebut sebagai uang dinar dan dirham.Dalam sejarah perekonomian
Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, telah dicetak sejak
zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan mata uang yang dicetak pada masa
Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan
bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak
Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766. 
Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” yang ditulis pada
awal abad ke-11 telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau
menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak
dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi
barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus,
yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua
membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai unta dan
membutuhkan kain.
Menurut al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter, dibutuhkan suatu alat
pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya
nilai unta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat
pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran. Namun
demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan
untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran

5
tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna,
tetapi dapat merefleksikan semua warna, yang maksudnya adalah uang tidak
mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang, atau dalam istilah
ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct
utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang,
maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.1
Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang
ditulis oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-14. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa
kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut,
tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang
positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan
merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, maka uang yang
melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak
pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan
pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi
lainnya. 
Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan
pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan
ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga
setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota
makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan
murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar
jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap
jenis barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau
oleh daya beli, maka harga akan turun kembali. Merujuk kepada Al-Quran, al-
Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat,
karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam
teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal
ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu.

1
Merza Gamal, Uang Perspektif Islam, 19 Juli 2006 hal 35

6
Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang
palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham, karena mencuri adalah suatu
perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan
terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun
yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang. 
Ibnu Tamiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam”
menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni
1. Perdagangan uang akan memicu inflasi; 
2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan
mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan
menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/
karyawan; 
3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai
uang; 
4. Perdagangan internasional akan menurun; 
5. Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic
mata uang akan mengalir keluar negeri
Perdagangan uang adalah salah satu bentuk riba yang lebih banyak
mudaratnya daripada manfaatnya. Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi
uang yang sebenarnya yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai alat
pertukaran dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan menyadari bahwa
sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk menjadikan suatu barang
kepada barang yang lain. 
Dengan demikian, maka dalam praktek sebuah Bank Syariah yang
benar, Bank bukan menjual-belikan uang tetapi adalah menjual-belikan barang dan
atau berbagi hasil dalam sebuah kemitraan usaha guna menghindari perubahan fungsi
uang dari alat pertukaran dan satuan nilai menjadi komoditi.

B. Fungsi Uang
 Islami versus konvensional Menurut konsep Ekonomi Islam, uang adalah
uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang

7
tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin
Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian. Sedangkan dalam
konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan
merupakan public goods. Capital bersifat stock concept dan merupakan private
goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap
merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good). 2
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam
ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring
dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyal membicarakan
masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin
dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal,
kecuali air, api, dan rumput.” Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi Islam
dan Konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan
satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah ekonomi konvensional
menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian
berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang merubah fungsi
uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali
telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi
uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang
dapat berfungsi sebagai uang.” 3
Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi
utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung,
melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi
barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan
nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori
“Bubble Gum Economic”. 

M. Nejatullah Siddiqi, “Teaching Economics in an Islamic Perspective.” Dalam Reading in


2

Macroeconomics, an Islami Perspective.  Ed. Sayyid Tahir et. al. (Selangor: Longman Malaysia Sdn.,
Bhd., 1992) hal 145
3
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2007,
hal 248

8
C. Analisis Terhadap Fungsi Uang dalam Ekonomi Islam dengan Ekonomi
Konvensional
Kesalahan besar ekonomi konvensional ialah menjadikan uang sebagai
komoditas, sehingga keberadaan uang saat ini lebih banyak diperdagangkan daripada
digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Lembaga perbankan konvensional
juga menjadikan uang sebagai komoditas dalam proses pemberian kredit. Instrumen
yang digunakan adalah bunga (interest). Uang yang memakai instrumen bunga telah
menjadi lahan spekulasi empuk bagi banyak orang di muka bumi ini. Kesalahan
konsepsi itu berakibat fatal terhadap krisis hebat dalam perekonomian sepanjang
sejarah, khususnya sejak awal abad 20 sampai sekarang. Ekonomi
berbagai negara di belahan bumi ini tidak pernah lepas dari terpaan krisis dan
ancaman krisis berikutnya pasti akan terjadi lagi. 
Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange),
bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjualbelikan seperti sekarang
ini.  Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali,
Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal dipertegas lagi Choudhury dalam
bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep
uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak
kestabilan moneter sebuah negara.4
Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi
kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam
juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah
telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu
barter (bai’ al muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Fazlur
Rahman, Rasulullah Saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan –
kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim
pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat
untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. 

4
Ahmad Hasan, Mata Uang Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2004 hal 14

9
Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan
oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.  Dari Abu
Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah saw membawa
kurma Barni. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Kurma dari mana ini ?”
Jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya. Karena itu kutukar dua gantang dengan
satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka bersabda Rasulullah SAW,
lnilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau
ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus)
itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.” (H.R Bukhari
Muslim). 
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi Saw memerintahkan agar
menjual kurma (yang kurang bagus) terlebih dahulu, kemudian uang penjualan itu
digunakan untuk membeli kurma yang berkualitas bagus tadi. Jadi Nabi saw
melarang menukar secara langsung 2 sha’ kurma kurang bagus dengan 1 sha’ kurma
yang berkualitas bagus.
Rasulullah Saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter,
karena itu beliau menganjurkan penggunaan uang sebagai alat tukar. Sementara itu,
menurut Dr. Rif at al-‘Audi, dalam bukunya Min al-Turats al-Iqtishad li al-Muslimin,
bahwa uang merupakan konsep aliran (flow concept) yaitu yang tidak bisa dijadikan
komoditas, sedangkan capital bersifat konsep persediaan (stock concept). Dalam
ekonomi konvensional terdapat beberapa pengertian seperti yang diungkapkan oleh
Frederick Mishkin dalam bukunya Economiss of Money, Banking and Financial
Institutionas. 
Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan
istilah—time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang
artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan
pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada bayar tunai. Yang lebih
menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama
sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena
ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan
untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian

10
sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual tangguh
bayar maka hak Penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi dan
menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak Penjual untuk makan
malam tertahan pada pembeli. Alasan Inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang
telah memenuhi Kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan harga
tangguh lebih tinggi dari pada harga tunai. Adapun motif permintaan akan uang
dalam Islam adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for
transaction). 
Banyak lagi perbedaan yang prinsipil di antara kedua konsep ekonomi
tersebut, antara lain : bahwa menurut Islam uang adalah public good, sedangkan
dalam ekonomi konvensional adalah private goods. Uang sebagai public good,
berarti bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena itu
uang harus beredar di dalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun (iktinaz);
uang tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam bisnis riil, seperti
melalui investasi mudharabah atau musyarakah. Uang yang ditimbun akan membuat
perekonomian lesu darah. Karena itu Imam Ghazali melarang menjadikan uang dinar
dan dirham menjadi perhiasaan, karena menjadikannya sebagai perhiasaan berarti
menarik uang dari peredaran dan memenjarakan uang. Bila uang terpenjara, itu
berakibat buruk bagi perekonomian. Jadi, menurut ekonomi Islam, uang adalah flow
concept, bukan stock concept sebagaimana dalam ekonomi konvensional. 5
Dalam Islam, uang bagaikan air yang mengalir. Air yang tidak mengalir akan
menimbulkan penyakit. Untuk itulah uang harus senantiasa terus berputar secara
alami dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka
akan semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik perekonomian.
Bagi mereka yang tidap dapat mengaktifkan hartanya, ‘lagi-lagi’ Islam sangat
menganjurkan untuk melakukan investasi dengan perinsip mudharabah atau
musyarakah. Dalam hal ini Nabi bersabda, Ketahuilah, Siapa saja di antara kamu
yang memelihara harta anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki uang (dinar-
dirham), maka bisniskanlah, jangan dibiarkan idle, sehingga nanti uang itu habis

5
Choudhury, Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy,(London: The Macmillan
Press Ltd, 1996)

11
dimakan sedeqah/zakat. Persamaan dan perbedaan pandangan mengenai uang antara
ekonomi konvensional dan ekonomi Islam di atas, tentu meninggalkan pertanyaan
apakah masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
Dalam ekonomi konvensional bunga dianggap sebagai harga dari uang atau
modal yang digunakan untuk kegiatan investasi. Padahal investasi belum tentu
mendapatkan keuntungan dan bahwa setiap usaha pasti menghadapi kemungkinan
untung rugi atau kemungkinan resiko kegagalan itu ada, sehingga pengembalian
terhadap uang modal bisa saja berupa positive return atau zero return atau negative
return, sementara bunga bersifat positive return. Hal ini terjadi karena konsep
ekonomi konvensional yang menganggap peran dan fungsi uang sebagi alat
penyimpan kekayaan dan sebagai alat standar pembayaran di masa depan yang tentu
saja memperhitungkan bunga.
Hal ini belum tentu menjamin bahwa perekonomian akan berjalan dengan
baik. Inilah mungkin kelemahan dari system perbankan bebas bunga atau bagi hasil,
tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa bila Islam dijalankan secara utuh dan
keseluruhan atau kaffah, maka praktek-praktek yang tidak baik tersebut dapat
dihindari. 

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan
pengukur nilai  telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan mata
uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum
di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh
sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of
Nations” pada tahun 1766.
Ada lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni:
1. Perdagangan uang akan memicu inflasi;
2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan
mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan
menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/
karyawan;
3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai
uang;
4. Perdagangan internasional akan menurun;
5. Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic
mata uang akan mengalir keluar negeri.
Menurut konsep Ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital, sementara
dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya
dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan
sebagai uang dan capital secara bergantian. Sedangkan dalam konsep ekonomi
Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods.
Capital bersifat stock concept dan merupakan private goods.  Uang yang mengalir
adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan
menjadi milik pribadi (private good).

13
B. Saran
Demikianlah Makalah ini semoga dapat bermanfaat. Kami mengakui masih
banyak banyak terdapat kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hasan, Mata Uang Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2004


Choudhury, Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy,(London: The
Macmillan Press Ltd, 1996)
Merza Gamal, Uang Perspektif Islam, 19 Juli 2006

15

Anda mungkin juga menyukai