Anda di halaman 1dari 7

LATIHAN TUGAS MANDIRI

TUGAS KE 6
MPKT A
DILEMA MORAL

ANWAR MUHAMMAD
1406620075
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, 29 September 2014

DILEMA MORAL
Lampu merah di perempatan jalan barang kali tidak diperlukan kalau saja jalanan lancar, juga
di perempatan. Tapi karena jalanan kurang lancar, pengguna kendaraan tidak bisa mengatur
diri dan antri dengan otomatis, maka diperlukanlah lampu merah. Sebenarnya juga, tidak
diperlukan polisi yang berjaga di perempatan yang ada lampu merahnya, kalau saja
masyarakat mematuhi rambu-rambu lalu lintas yang ada dan jalanan sudah lancar.
Permasalahan kemudian berkembang, tidak diperlukanlah sebenarnya pengawas kerja polisi
lalu lintas, kalau saja semua polisi bekerja secara profesional tidak menerima suap dari
pelanggar lalu-lintas atau tidak menjamin adanya keadilan dalam masyarakat. Tetapi, dari
semua itu sebenarnya ada satu kuncinya, tidak perlulah ada semua itu, sejauh tidak ada
kemacetan. Tapi toh, nyatanya kenyataan itu terjadi. Jalanan macet. Masyarakat suka
melanggar lalu lintas dengan berbagai alasan. Ada oknum polisi yang suka memanfaatkan
keadaan hingga menyalahgunakan wewenang. Lalu disusunlah peraturan yang harus dipatuhi
bersama. Sekali lagi, semuanya tidak diperlukan kalau saja semuanya lancar dan berjalan
normal.
Demikian halnya, permasalahan moral terjadi karena ada tabrakan-tabrakan nilai-nilai moral
yang menyebabkan manusia harus memilih dan menentukan sikap. Seiring dengan
perkembangan jaman, permasalahan-permasalahan yang barupun bermunculan. Tapi, saya
rasa baik kalau kita sedikit mengkaji, dari mana akar permasalahan dilema moral itu bisa
muncul. Paling tidak ada 3 hal pokok yang mempengaruhi adanya permasalahan moral. Yang
pertama, adanya pluralisme sumber-sumber moral. Yang kedua adanya relativisme nilai
kebenaran. Dan yang ketiga, adanya kebutuhan manusia yang dalam arti tertentu memaksa
manusia meninggalkan prinsip-prinsip moralnya.
Paling tidak ada tiga sumber moral yang bahkan bisa bertabrakan antara satu dengan yang
lain. Ketiga sumber moral itu adalah agama, masyarakat, dan negara. Agama bagaimanapun
juga memegang peranan penting dalam mengajarkan moral. Ini tidak dapat kita sangkal.
Berkaitan dengan agama maka yang jahat dikatakan sebagai sebuah dosa dan yang baik
dikatakan sebagai amal saleh. Namun kenyataannya toh, kita tetap berhadapan dengan
kenyataan bahwa ada banyak agama. Sementara, ajaran agama ini bisa ditafsirkan secara
sangat relatif bagi kebanyakan orang, ada juga yang akhirnya tidak mempercayai agama. Di
dalam satu agama saja, konflik nilai moral bisa terjadi, apalagi berhadapan dengan orangorang yang beragama lain dan mereka menganggap ini adalah sesuatu yang baik. Contohnya,

ada agama yang mengatakan bahwa membunuh binatang itu jahat. Ada yang mengatakan
tidak jahat, sejauh cara membunuhnya tidak menyiksa si binatang. Hal ini akan menimbulkan
konflik moral yang harus disikapi dengan bijaksana akan menimbulkan permasalahan yang
lebih besar. Ingat, dalam keadaan yang biasa tidak akan menimbulkan permasalahan, tapi
ketika ada pertentangan, etika sebagai filsafat moral harus dikaji.
Sementara itu, negara bisa juga memberikan ajaran moral yang dalam bentuk hukum dan
perundang-undangan. Tidak semua ajaran agama bisa memadai untuk merumuskan ajaran
moral suatu agama yang berlain-lainan. Bahkan, apa yang diajarkan oleh negara bisa sangat
bertentangan dengan ajaran agama. Contohnya adalah pelegalan aborsi dan perkawinan
sejenis. Ada beberapa negara yang melegalkan tindakan tersebut. Namun, hal ini tidak bisa
secara tuntas menyelesaikan permasalahan moral.
Masyarakat dengan adatnya juga memiliki ajaran moral tersendiri. Kita tahu, adat suatu
masyarakat biasanya ada terlebih dahulu dibandingkan dengan agama dan negara. Itulah
sebabnya, mengapa kebiasaan adat yang dinilai biadab tidak mudah untuk dihapuskan hanya
dengan adanya negara dan agama. Contohnya adalah adanya kebiasaan mengayau dalam
suatu daerah. Tanpa memandang bagaimana sikap orangnya, asalkan berasal dari kelompok
musuh lalu seakan-akan kelompok tertentu berhak untuk melakukan pembunuhan di pihak
musuh.
Permasalahan moral yang kedua bisa terjadi karena adanya relatifisme untuk menentukan
nilai kebenaran. Dalam hal ini pertimbangannya jauh lebih filosofis. Banyaknya hal-hal baru,
terutama berkaitan dengan tekhnologi, menuntut sebuah study khusus yang membahas hal
tersebut. di bidang komunikasi, munculnya media massa dalam bentuk cetakan dan juga
elektronik, bagaimanapun juga harus dikaji segi etisnya. Pada jaman kerajaan majapahit,
misalnya, di Indonesia, tidak diperlukan kajian etis tentang iklan. Tapi, hal ini tidak bisa
diabaikan untuk jaman sekarang. Selain bidang komunikasi, bidang yang paling revolusioner
dan harus disikapi berkaitan dengan etika adalah tekhnologi kedokteran seperti cloning
manusia, rekayasa genetika, bayi tabung, dll. Yang jelas, masalah-masalah tersebut tidak bisa
diselesaikan dengan mengacu pada hukum Tuhan.
Dan yang ketiga, permasalahan moral bisa muncul terutama karena adanya kecenderungan
besar untuk meninggalkan nilai-nilai yang sudah ada. Saya akan mengutip satu contoh
pandangan yang berusaha untuk meninggalkan nilai-nilai ortodoks itu. dalam buku karangan
ada 5 doktrin yang berusaha meninggalkan nilai-nilai yang sudah ada[2]:

1.

pandangan bahwa hidup manusia sebagaimana adanya tidak perlu dihormati secara

khusus.
2.

Pandangan bahwa kebahagiaan dan kemalangan, kesenangan dan kesusahan, lebih

penting dari hidup itu sendiri.


3.

Pandangan bahwa orang yang punya kesadaran diri dan taraf intelegensi tertentu saja

yang mempunyai hak hidup.


4.

Pandangan bahwa untuk mempunyai keinginan, kebutuhan, dan hak-hak, orang harus

terlebih dahulu punya konsepnya.


5.

Pandangan bahwa teori moral harus bersesuaian sejauh mungkin dengan apapun yang

mempunyai nilai kepraktisan pada jamannya.

Berikut ini beberapa aliran-aliran dalam etika yang sekarang banyak berkembang dan
diterapkan dalam berbagai bidang:

a. Hedonisme
Hedonisme merupakan neo-epichurean atau merupakan bentuk baru dari filsafat epichurus
yang memang terkenal karena etikanya. Sejak kelahirannya, manusia berusaha mendapatkan
kesenangan. Manusia selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan. Maka kesenangan itulah
yang baik, dan ketidaksenangan adalah buruk. Menurut Aristippos (sekitar 433-355 sM) salah
seorang murid Socrates, kesenangan bersifat badani dan aktual[3], bukan kesenangan dari
masa lampau atau masa depan karena hanya sekadar ingatan dan antisipasi kesenangan.
Artinya, yang baik adalah kesenangan saat ini dan di sini pada hari ini; bersifat badani, aktual
dan individual. Kesenangan ada batasnya, yang penting adalah pengendalian diri.

Pengendalian diri bukan berarti meninggalkan kesenangan, tapi menggunakan kesenangan


dengan baik dan tidak membiarkan diri terhanyut olehnya. Inilah persis kesenangan
epichurean dengan makna hedonisme jaman sekarang. Begitu mendengar kata hedonis, maka
yang terbayang biasanya adalah gaya hidup yang hura-hura dan dicap serba negatif.
Ephicuros misalnya, mengelompokkan keinginan dalam 3 macam. keinginan yang pertama
adalah keinginan alamiah yang perlu, keinginan berikutnya adalah keinginan alamiah yang
tidak perlu, dan keinginan yang ketiga adalah keinginan yang sia-sia. Contoh keinginan
alamiah yang perlu adalah makan yang sehat. Sedangkan contoh keinginan yang tidak perlu
adalah keinginan untuk makan enak. Perlu dicatat, untuk makan sehat biasanya tidak perlu
enak. Makanan yang mahal juga tidak berarti sehat. Pun sebaliknya, makanan yang murah
juga belum tentu sehat. Dan contoh ketiga untuk keinginan yang sia-sia adalah kekayaan.
Epichuros sendiri justru menganjurkan hidup yang sederhana.

b. Eudomonisme
Aristoteles menganggap manusia mengejar tujuan akhir dan terbaik bagi hidupnya, yaitu
kebahagiaan: eudaemonia. Tapi ia mengingatkan, kesenangan adalah semu dan bukan tujuan
akhir yang ingin dicapai. Jika manusia menjalankan fungsinya dengan baik, ia akan mencapai
tujuan akhirnya untuk menjadi manusia yang baik, dan itulah kebahagiaan hakiki,
kesenangan rohani, intelektual (akal), dan keutamaan moral (budi).
Manusia adalah baik dari segi moral jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang
tepat dalam perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual.
Didorong hati nurani, akal, budi, dan naluri, manusia menyusun konsepsi kebahagiaan pada
berbagai bidang kehidupan. Pada setiap bidang kehidupan, manusia menetapkan nilai-nilai
kebahagiaan. Dengan demikian,kebahagiaan bukan pertama-tama mengacu pada hal yang
menyenangkan. Kebahagiaan harus dilihat dalam konteks bagaimana manusia memerankan
dirinya dengan baik dan benar sesuai dengan kedudukannya. Pandangan ini agak mirip
dengan kelompok deontologisme. Kelompok deontologisme berpendapat bahwa segala
sesuatu baik sejauh mengikuti aturan yang ada.

c. Utilitarisme

Bagi utilitarisme, yang baik adalah yang berguna. Pandangan ini biasanya dikaitkan dengan
konsekuensionalisme. Konsekuensialisme adalah bagian dari

teori etika normatif

yang

mengatakan bahwa konsekuensi perilaku seseorang merupakan dasar utama untuk setiap
penilaian tentang kebenaran perilaku itu. Jadi, dari sudut pandang konsekuensialis, tindakan
secara moral benar adalah tindakan yang yang akan menghasilkan hasil yang baik, atau
konsekuensi. Utilitarianisme berada pada tataran masyarakat atau negara. Jeremy Bentham[4]
menekankan bahwa manusia sesuai hakikatnya ditempatkan di bawah dua titik yang berkuasa
penuh: ketidaksenangan dan kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika manusia memiliki
kesenangan bebas dari kesusahan. Karena itu, suatu perbuatan akan dinilai baik atau buruk
sejauh dapat meningkatkan dan memenuhi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Menurut
Bentham, moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk
mencapai kebahagiaan umat manusia, yakni masyarakat keseluruhan.
Suatu perbuatan dapat dimaknai baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi semua
orang. Dalam taraf yang ekstrim, pengorbanan sebagian orang dianggap hal yang wajar demi
nilai guna yang lebih besar. Contohnya adalah upaya pembersihan kota yang harus
menggusur para pedagang kaki lima.

Contoh-contoh kasus yang terdapat dalam buku ini cukup menarik untuk dikaji, Higgins,
Gregory C., 8 Dilema Moral Abad Ini: di pihak manakah anda?, Yogyakarta, Kanisius, 2006
Jenny Teichmen, Etika Sosial,Yogyakarta, Kanisius, 2007, hal. 4
Makan, minum dan bergembira, karena besok kita mati." Bahkan sekilas keinginan harus
memanjakan, karena takut kesempatan harus selamanya hilang. Ada sedikit atau tidak ada

perhatian dengan masa depan, masa kini mendominasi dalam mengejar untuk kesenangan
segera. Hedonisme Cyrenaic didorong mengejar kenikmatan dan kesenangan tanpa raguragu, percaya kesenangan menjadi satu-satunya yang baik.

Jeremy Bentham adalah filsuf pendiri utilitarianisme asal Inggris. Ia dilahirkan di London
pada tahun 1748, menempuh pendidikan di Oxford, dan kemudian mendapatkan kualifikasi
sebagai seorang barrister (advokat) di London.Bentham merupakan salah seorang filsuf
empirisme dalam bidang moral dan politik

Anda mungkin juga menyukai