Anda di halaman 1dari 16

Dampak dan reaksi

terhadap kebijakan
pintu terbuka

oleh: kelompok 6 XIB


Anggota Kelompok

1. ASTRI
2. GITHA
3.M.RASYID
4. M.RIFAL
5. SAFIRA
DAMPAK KEBIJAKAN
PINTU TERBUKA
Di Nusantara, sistem ekonomi liberal diwujudkan dalam bentuk
kebijakan pintu terbuka. Hal ini sesuai dengan maksud utama
kebijakan ini, yaitu membuka ruang (pintu) seluas-luasnya bagi
pihak swasta untuk melakukan kegiatan ekonomi. Melalui
kebijakan ini, Belanda untuk pertama kalinya memberikan
keleluasaan kepada pemilik modal swasta mengembangkan
usaha atau bisnis di Hindia Belanda. Sebagai landasannya,
Parlemen Belanda meluncurkan Undang-Undang Agraria dan
Undang-Undang Gula pada 1870. Bagi Belanda dan kaum swasta
asing, kebijakan ini berhasil menarik minat banyak pengusaha
swasta baik asing maupun penguasa Tionghoa untuk
menanamkan modal di Indonesia.
Para pengusaha itu menanamkan modalnya secara besar- besaran
tidak saja dalam bidang perkebunan, tetapi juga pertambangan.
Beberapa contoh perkebunan milik swasta asing yang ada di Hindia
Belanda, adalah sebagai berikut.
1. Perkebunan tembakau, seperti di Deli (Sumatra Utara), Kedu dan
Klaten (Jawa Tengah), Besuki, Kediri, dan Jember (Jawa Timur),
serta sekitar daerah kerajaan/Vorstenlanden (Yogyakarta dan
Surakarta).
2. Perkebunan tebu, seperti di pesisir utara Jawa dari Cirebon hingga
Semarang, di sebelah selatan Gunung Muria hingga Juwana,
Vorstenlanden, Madiun, Kediri, Besuki, Probolinggo, Malang,
Pasuruan, Surabaya, dan Jombang. Tebu dan pabrik gula hanya
diproduksi di Pulau Jawa. Hal itu karena jenis tanah dan pola
pertanian di Pulau Jawa lebih sesuai untuk tanaman tebu
3. Perkebunan kina di Jawa Barat.
4. Perkebunan karet di Palembang dan Sumatra Timur.
5. Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.
6. Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra.
Bersamaan dengan itu, para pengusaha itu jugal mendirikan
pabrik-pabrik, seperti pabrik gula, pabrik cokelat, teh, dan
rokok. Sementara itu, pertambangan berkembang di Sumatra,
Jawa, dan Kalimantan, minyak di Sumatra dan.
Kalimantan, batu bara di Sumatra Barat dan Selatan, dan timah
di Pulau Bangka. Untuk mendukung pelaksanaan dan
pengembangan usaha swasta, dibangun sarana dan prasarana
irigasi, jalan raya, jembatan, dan kereta api. Angkutan laut juga
dikembangkan melalui pembangunan Pelabuhan Batavia
(Tanjung Priok), Medan (Belawan), dan Padang (Teluk Bayur).
Angkutan laut dilayani oleh perusahaan pengangkutan Belanda
bernama Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM)
Bagi rakyat Nusantara, kesempatan-kesempatan
ekonomi yang baru terbuka itu tidak membawa
dampak apa pun selain beban penderitaan yang
semakin besar. Kebijakan ini menjadi sarana
eksploitasi baru, yang tidak kalah buruknya dengan
kebijakan tanam paksa. Eksploitasi itu terdiri atas
dua bentuk, yaitu eksploitasi manusia dan
eksploitasi agraria
• Eksploitasi manusia

Eksploitasi manusia yang dimaksud berupa pengerahan


tenaga manusia yang diwarnai tipu daya dan paksaan serta
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang mereka
alami di perkebunan-perkebunan itu. Untuk menjelaskan
eksploitasi manusia, kita dapat mengambil contoh di
perkebunan- perkebunan, terutama di Deli dan lokasi-
lokasi pertambangan. Salah satu kendala dalam
mengembangkan perkebunan di Sumatra adalah sulitnya
memperoleh tenaga kerja. Buruh perkebunan harus
didatangkan dari luar daerah, seperti dari Jawa dan Madura
dan juga dari luar negeri, seperti Tiongkok.
Hal ini memakan biaya yang tidak sedikit. Beratnya pekerjaan di
perkebunan membuat banyak buruh atau koeli (kuli) yang telah
direkrut dengan biaya yang cukup tinggi itu melarikan diri. Oleh
karena itu, para pengusaha berupaya sedemikian rupa agar
buruh yang telah didatangkan dari jauh itu tidak ingkar janji
dalam melaksanakan pekerjaan mereka dan tetap tinggal untuk
menjalankan kewajibannya itu dalam jangka waktu tertentu.
Untuk itu, pemerintah Hindia Belanda kemudian mengeluarkan
peraturan baru yang mendukung dan menjamin agar para
pemilik perkebunan dapat memperoleh mempekerjakan, dan
mempertahankan kuli yang bekerja diperkebunan mereka
sesuai kebutuhan. Peraturan itu diberi nama Koeli Ordonantie
1881. Semula Koeli Ordonantie berlaku untuk wilayah Sumatra
Timur, kemudian meluas untuk semua kawasan Hindia Belanda
di luar Pulau Jawa.
Untuk memberikan kekuatan kepada peraturan-peraturan
dalam Koeli Ordonantie, dimasukkan juga peraturan
tentang hukuman-hukuman yang bisa dikenakan
terhadap pelanggaran perjanjian kontrak, baik dari pihak
majikan maupun dari pihak pekerja, yang disebut poenale
sanctie. Dalam praktiknya, ancaman hukuman itu hanya
berlaku untuk para buruh (koeli), sedangkan ancaman
hukum yang bisa dikenakan terhadap pihak majikan
hanya di atas kertas belaka dan jarang atau tidak pernah
dilaksanakan.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam poenale sanctie, hukuman
menanti bagi mereka yang melarikan diri. Bentuk hukuman
bervariasi, di antaranya berupa denda, disekap, ditelanjangi,
dicambuk, kerja paksa tanpa upah, atau bahkan hukuman mati.
Jacobus Nienhuys (1836-1927), pemilik Deli Maatschappij, yaitu
perusahaan budidaya tembakau seluas 120.000 hektare,
misalnya, menghukum cambuk tujuh kulinya sampai meninggal.
Hal ini membuatnya panik dan langsung bergegas meninggalkan
Sumatra Timur.
Hukuman Juga dikenakan kepada setiap buruh jika mangkir dari
pekerjaan tanpa pemberitahuan, melawan perintah, mengancam
atasan, menghasut, mengganggu ketenangan kerja, bermabuk-
mabukan, berkelahi, dan sebagainya yang mengganggu
kelancaran proses produksi.
• Eksploitasi agraria

Eksploitasi agraria tampak dalam bentuk penggunaan lahan-


lahan, baik lahan produktif yang sedang dikerjakan rakyat
maupun lahan kosong yang masih berupa hutan, untuk dijadikan
perkebunan serta areal pertambangan. Pemanfaatan lahan-lahan
produktif umumnya terjadi di Jawa, sedangkan perkebunan-
perkebunan di Sumatra umumnya menggunakan lahan-lahan
yang masih kosong.
Untuk menjelaskan dampak eksploitasi tersebut, kita ambil
perkebunan-perkebunan di Jawa sebagai contoh. Sekurang-
kurangnya ada empat dampak negatif dari kebijakan tanam paksa
bagi masyarakat Jawa, yaitu sebagai berikut.
a) Para priayi dan birokrat kerajaan,
menyewakan tanah lungguh yang
menjadi sumber hidup masyarakat
kepada pengusaha-pengusaha
perkebunan (ondernemer) swasta
asing. Sewa kepada pihak swasta
asing dianggap lebih menguntungkan
daripada disewakan kepada petani-
petani penggara
b) Di lahan-lahan perkebunan yang mereka kelola
sebelumnya
itu, rakyat Jawa dijadikan tenaga kerja dengan sistem
pengupahan serta kondisi kerja yang tidak adil.
c) Sebagian masyarakat Jawa dikirim secara paksa ke
Suriname untuk bekerja di perkebunan-perkebunan Belanda
di sana.
d) Para bupati di delapan belas wilayah keresidenan di Jawa
ikut menyewakan sebagian tanah yang berada di wilayah
kekuasaannya kepada pengusaha-pengusaha perkebunan
swasta asing. Pada gilirannya, hal ini memaksa rakyat di
wilayah keresidenan tersebut bekerja di perkebunan-
perkebunan.
REAKSI TERHADAP KEBIJAKAN
TERBUKA
Praktik eksploitasi dalam penerapan kebijakan pintu terbuka
memunculkan sebutan baru terhadap kebijakan ini, yaitu politik
pintu terbuka. Kebijakan pintu terbuka yang pada praktiknya
sangat eksplotatif membuat kaum humanis bersuara lantang.
Mereka mendesak pemerintah Belanda untuk memperbaiki nasib
rakyat Hindia Belanda. Menurut mereka, Belanda sudah
menerima banyak dari kekayaan alam Hindia Belanda selama
penjajahannya berabad-abad, dan sudah seharusnya Belanda
membalasnya dengan memajukan penduduk negeri tersebut.
Itulah gagasan dasar yang mendorong lahirnya politik etis.
Daftar Pustaka

https://www.gurugeografi.id/2018/08/damp
ak-dan-reaksi-terhadap-kebijakan-pintu-
terbuka.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai