Anda di halaman 1dari 3

Nama : Aulia Hidayah (3173121005)

Kelas : Reguler C 2017

Mata Kuliah : Filsafat Sejarah

Critical Book Report (Syahrul Nizar Saragih, Polemik Paham Wujudiyah di


Kesultanan Aceh Darussalam (1636-1644))

Buku ini membahas mengenai berbagai permasalahan ajaran tawasuf


Wujudiyah di Kesultanan Aceh Darussalam yang terjadi pada awal abad ke-17 M.
Jikia ditinjau dari sejarahnya, maka wilayah Aceh memang merupakan wilayah di
Nusantara yang sangat kental dengan ajaran Islam bercorak Syi’ah, Sunni serta
ajaran sufisme yang telah ada sejak kedatangan Islam ke wilayah Aceh. Disinilah
awal mula pertentangan antara aliran Sunni dan Syi’ah di Aceh yang telah ada
sejak abad 9-10 M. Pertentangan kedua golongan ini terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Alaiddin, Sultan Ali ad-Din Syed Maulana Ali Mughayat
Syah dan pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah
Johan Berdaulat. Hal tersebut mengakibatkan semakin tidak harmonisnya
hubungan antara Sunni dan Syi’ah dalam kurun waktu yang panjang. Meskipun
begitu, seiring runtuhnya kerajaan Pelak, aliran Syi’ah tidak bertahan lama dan
digantikan oleh Sunni yang cenderung sufisme. Kecenderungan ajaran tawawuf
(Sufisme) pada abad 14-15 M merupakan faktor yang menentukan jalannya
kehidupan dan pemikiran keagamaan dalam kerajaan berikutnya, yaitu Kerajaan
Aceh Darussalam.

Meskipun tawasuf memberi sumbangan yang cukup berarti bagi


kehidupan spiritual dan perkembangan Islam di Aceh, namun ia tak luput dari
kecurigaan dan kecaman Islam Ortodoks dengan dasar “menyimpang” dari ajaran
Islam. Ulama asal India bernama Syeikh Nuruddin ar-Raniry yang menetap dan
menjadi mufti di Kesultanan Aceh Darussalam sekitar abad 17, menentang dan
mengancam ajaran Wahdat al Wujud (paham wujudiyah) yang disampaikan
Hamzah Fansuri karena menganggap ajaran mereka cenderung mengabaikan
syari’at Islam. Pertentangan itu menciptakan kondisi politik Aceh Darussalam
makin memanas dan terjadi kekacauan akibat perbedaan aliran tersebut. Untuk
menganalisis konflik antara ar-Raniry dengan pendukung Wujudiyah tersebut,
penulis menggunakan pendekatan sosio-politik yaitu dengan melihat persoalan
yang terjadi dalam masyarakat yang penuh pertentangan pada masa itu.

Didalam buku ini penulis memaparkan permasalahan yang diteliti dengan


jelas, karena dijelaskan berdasarkan rentetan kronologis peristiwa sebelumnya,
yaitu keadaan politik Kesultanan Aceh Darussalam pada masa kepemimpinan
Iskandar Muda yang pada masa itu serta kondisi politik pada masa Iskandar Tsani,
dimana pertentangan terhadap paham Wujudiyah semakin memanas. Dengan
pemaparan secara kronologis tersebut, pembaca dapat menarik benang merah
mengenai asal muasal pertentangan tersebut.

Penulis juga memaparkan mengenai bagaimana sebenarnya ajaran tasawuf


(paham Wujudiyah) yang dibawa oleh Hamzah Fansuri itu sendiri, dengan begitu
pembaca dapat memahami bagaimana sebenarnya ajaran yang dianut paham
tersebut dan dapat menyimpulkannya mengapa pada masa pemerintahan Iskandar
Tsani, paham Wujidiyah tersebut sangat di tentang di Kesultanan Aceh
Darussalam. Didalam buku ini penulis menjelaskan dengan rinci kronologis
terjadinya pertentangan antara pandangan ar-Raniry dengan Hamzah Fansuri
dalam memaknai konsep “Tuhan”, dimana ar-Raniry menganggap paham
Wujidiyah ini menganut aliran sesat yang bertentangan dengan syari’at Islam
yang sebenarnya.

Pada bagian terakhir didalam buku ini, penulis memaparkan mengenai


kedua pendapat yang dibawakan oleh ar-Raniry dan Hamzah, setelah itu penulis
menganalisis persoalan yang menjadi akar perbedaan antara kedua aliran tersebut.
berdasarkan analisa penulis, dijelaskan bahwa sebenarnya paham Wujudiyah yang
dituding menyalahi syari’at Islam sesungguhnya tidak sepenuhnya salah. Melalui
data-data tulisan Hamzah yang penulis cantumkan didalam buku ini, pembaca
dapat memahami dari tulisan tersebut bahwa sebenarnya paham Wujudiyah selalu
menempatkan syari’at yang selalu bergandengan dengan tarekat untuk mencapai
ma’rifat (kedekatan dengan Allah Swt). dengan begitu tuduhan kaum ar-Raniry
yang mengatakan paham Wujudiyah sesat, terbantahkan dengan sendirinya.

Dari penjelasan yang dipaparkan penulis, pembaca dapat memahami


bahwa sebenarnya yang menjadi konflik antara kedua pihak tersebut hanyalah
bagaimana cara pandang mereka terhadap konsep “Tuhan” dan proses
mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Secara keseluruhan penulis telah memaparkan permasalahan yang dibahas


dalam buku ini dengan cukup jelas dan sekaligus memaparkan penjelasan
mengenai permasalahan secara kronologis sehingga membuat pembaca dapat
memahami makna dari buku tersebut. Sentuhan pemikiran penulis yang kritis
dalam menganalisis pertentangan kedua aliran tersebut juga mempermudah
pembaca dalam menemukan akar permasalahan serta kebenaran dari polemik
paham Wujudiyah yang terjadi di Kesultanan Aceh Darussalam sekitar abad ke-17
M.

Anda mungkin juga menyukai