0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
104 tayangan3 halaman
Buku ini membahas pertentangan antara aliran Sunni dan Syi'ah di Aceh pada abad ke-17. Pertentangan ini muncul kembali saat Syeikh Nuruddin ar-Raniry menentang ajaran Wahdat al-Wujud karya Hamzah Fansuri karena dianggap menyimpang dari syariat Islam. Konflik ini memanas di era Sultan Iskandar Tsani dan mengakibatkan kekacauan. Penulis menganalisis konflik ini dengan pendekatan sosio-politik den
Buku ini membahas pertentangan antara aliran Sunni dan Syi'ah di Aceh pada abad ke-17. Pertentangan ini muncul kembali saat Syeikh Nuruddin ar-Raniry menentang ajaran Wahdat al-Wujud karya Hamzah Fansuri karena dianggap menyimpang dari syariat Islam. Konflik ini memanas di era Sultan Iskandar Tsani dan mengakibatkan kekacauan. Penulis menganalisis konflik ini dengan pendekatan sosio-politik den
Buku ini membahas pertentangan antara aliran Sunni dan Syi'ah di Aceh pada abad ke-17. Pertentangan ini muncul kembali saat Syeikh Nuruddin ar-Raniry menentang ajaran Wahdat al-Wujud karya Hamzah Fansuri karena dianggap menyimpang dari syariat Islam. Konflik ini memanas di era Sultan Iskandar Tsani dan mengakibatkan kekacauan. Penulis menganalisis konflik ini dengan pendekatan sosio-politik den
Critical Book Report (Syahrul Nizar Saragih, Polemik Paham Wujudiyah di
Kesultanan Aceh Darussalam (1636-1644))
Buku ini membahas mengenai berbagai permasalahan ajaran tawasuf
Wujudiyah di Kesultanan Aceh Darussalam yang terjadi pada awal abad ke-17 M. Jikia ditinjau dari sejarahnya, maka wilayah Aceh memang merupakan wilayah di Nusantara yang sangat kental dengan ajaran Islam bercorak Syi’ah, Sunni serta ajaran sufisme yang telah ada sejak kedatangan Islam ke wilayah Aceh. Disinilah awal mula pertentangan antara aliran Sunni dan Syi’ah di Aceh yang telah ada sejak abad 9-10 M. Pertentangan kedua golongan ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin, Sultan Ali ad-Din Syed Maulana Ali Mughayat Syah dan pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat. Hal tersebut mengakibatkan semakin tidak harmonisnya hubungan antara Sunni dan Syi’ah dalam kurun waktu yang panjang. Meskipun begitu, seiring runtuhnya kerajaan Pelak, aliran Syi’ah tidak bertahan lama dan digantikan oleh Sunni yang cenderung sufisme. Kecenderungan ajaran tawawuf (Sufisme) pada abad 14-15 M merupakan faktor yang menentukan jalannya kehidupan dan pemikiran keagamaan dalam kerajaan berikutnya, yaitu Kerajaan Aceh Darussalam.
Meskipun tawasuf memberi sumbangan yang cukup berarti bagi
kehidupan spiritual dan perkembangan Islam di Aceh, namun ia tak luput dari kecurigaan dan kecaman Islam Ortodoks dengan dasar “menyimpang” dari ajaran Islam. Ulama asal India bernama Syeikh Nuruddin ar-Raniry yang menetap dan menjadi mufti di Kesultanan Aceh Darussalam sekitar abad 17, menentang dan mengancam ajaran Wahdat al Wujud (paham wujudiyah) yang disampaikan Hamzah Fansuri karena menganggap ajaran mereka cenderung mengabaikan syari’at Islam. Pertentangan itu menciptakan kondisi politik Aceh Darussalam makin memanas dan terjadi kekacauan akibat perbedaan aliran tersebut. Untuk menganalisis konflik antara ar-Raniry dengan pendukung Wujudiyah tersebut, penulis menggunakan pendekatan sosio-politik yaitu dengan melihat persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang penuh pertentangan pada masa itu.
Didalam buku ini penulis memaparkan permasalahan yang diteliti dengan
jelas, karena dijelaskan berdasarkan rentetan kronologis peristiwa sebelumnya, yaitu keadaan politik Kesultanan Aceh Darussalam pada masa kepemimpinan Iskandar Muda yang pada masa itu serta kondisi politik pada masa Iskandar Tsani, dimana pertentangan terhadap paham Wujudiyah semakin memanas. Dengan pemaparan secara kronologis tersebut, pembaca dapat menarik benang merah mengenai asal muasal pertentangan tersebut.
Penulis juga memaparkan mengenai bagaimana sebenarnya ajaran tasawuf
(paham Wujudiyah) yang dibawa oleh Hamzah Fansuri itu sendiri, dengan begitu pembaca dapat memahami bagaimana sebenarnya ajaran yang dianut paham tersebut dan dapat menyimpulkannya mengapa pada masa pemerintahan Iskandar Tsani, paham Wujidiyah tersebut sangat di tentang di Kesultanan Aceh Darussalam. Didalam buku ini penulis menjelaskan dengan rinci kronologis terjadinya pertentangan antara pandangan ar-Raniry dengan Hamzah Fansuri dalam memaknai konsep “Tuhan”, dimana ar-Raniry menganggap paham Wujidiyah ini menganut aliran sesat yang bertentangan dengan syari’at Islam yang sebenarnya.
Pada bagian terakhir didalam buku ini, penulis memaparkan mengenai
kedua pendapat yang dibawakan oleh ar-Raniry dan Hamzah, setelah itu penulis menganalisis persoalan yang menjadi akar perbedaan antara kedua aliran tersebut. berdasarkan analisa penulis, dijelaskan bahwa sebenarnya paham Wujudiyah yang dituding menyalahi syari’at Islam sesungguhnya tidak sepenuhnya salah. Melalui data-data tulisan Hamzah yang penulis cantumkan didalam buku ini, pembaca dapat memahami dari tulisan tersebut bahwa sebenarnya paham Wujudiyah selalu menempatkan syari’at yang selalu bergandengan dengan tarekat untuk mencapai ma’rifat (kedekatan dengan Allah Swt). dengan begitu tuduhan kaum ar-Raniry yang mengatakan paham Wujudiyah sesat, terbantahkan dengan sendirinya.
Dari penjelasan yang dipaparkan penulis, pembaca dapat memahami
bahwa sebenarnya yang menjadi konflik antara kedua pihak tersebut hanyalah bagaimana cara pandang mereka terhadap konsep “Tuhan” dan proses mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Secara keseluruhan penulis telah memaparkan permasalahan yang dibahas
dalam buku ini dengan cukup jelas dan sekaligus memaparkan penjelasan mengenai permasalahan secara kronologis sehingga membuat pembaca dapat memahami makna dari buku tersebut. Sentuhan pemikiran penulis yang kritis dalam menganalisis pertentangan kedua aliran tersebut juga mempermudah pembaca dalam menemukan akar permasalahan serta kebenaran dari polemik paham Wujudiyah yang terjadi di Kesultanan Aceh Darussalam sekitar abad ke-17 M.