Salah satu masalah SDM di Indonesia adalah rendahnya tingkat literasi. Literasi sendiri adalah kedalaman
pengetahuan seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahuan. Menurut survei Program for International
Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)
pada 2019, peringkat baca Indonesia di dunia sangat rendah, menempati urutan ke-62 dari 70 negara yang
disurvei.
Kendati demikian, dengan jumlah penduduk yang berjumlah lebih dari 250 juta jiwa, pasar perbukuan di
Indonesia tetaplah merupakan bisnis yang menggiurkan. Menurut data Ikapi tahun 2019, kira-kira ada lebih dari
30.000 judul buku yang diterbitkan setiap tahun di Indonesia. Angka ini hanya menggambarkan judul yang
terdaftar dalam catatan resmi toko buku dan juga pengajuan ISBN di Perpusnas, dan tidak termasuk buku yang
diterbitkan oleh individu (self publisher) atau organisasi non-penerbit seperti instansi pemerintah, organisasi
non-pemerintah, komunitas independen, partai politik, dan asosiasi profesi.
Kondisi Pandemi
Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia di 100 perusahaan penerbitan buku menyebutkan, selama masa
pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, sebanyak 58,2 persen penerbit mengalami penurunan penjualan
lebih dari 50 persen. Sedangkan 29,6 persen penerbit lainnya mengalami penurunan penjualan 31-50 persen, 8,2
persen penerbit mengalami penurunan 10-30 persen, dan hanya 4,1 persen penerbit yang penjualannya stabil
seperti hari-hari biasa.
Di antara tulisan non-fiksi terdapat tulisan sejarah. Scara umum, ada empat jenis utama hasil penulisan sejarah.
1. Biografi adalah keterangan kehidupan seseorang yang ditulis oleh orang lain.
2. Autobiografi adalah kisah atau keterangan hidup yang ditulis oleh orang itu sendiri.
4. Catatan Sejarah adalah teks yang menceritakan fakta atau kejadian masa lalu yang menjadi latar belakang
sesuatu mempunyai nilai sejarah.
Adapun secara garis besar, ada dua jenis penyajian sejarah yang diperuntukkan bagi pembaca.
1. Sejarah Akademik. Sejarah yang ditulis dengan bahasa ilmiah
2. Sejarah Populer, yang dikemas dalam bahasa yang lebih dimengerti oleh orang awam.
Sebagai tulisan non-fiksi, tulisan sejarah berisi kejadian-kejadian yang sebenarnya ada dan bersifat informatif.
Cerita atau isi yang ada di dalamnya memerlukan pengamatan dan data dalam membuatnya, sehingga isinya
dapat dipertanggung jawabkandan digunakan sebagai bahan rujukan informasi atau sumber bagi pembacanya.
Nonfiksi dapat disajikan baik subjektif maupun objektif.
Karena ceritanya yang faktual, jelas, dan akurat, kaidah kebahasaan yang digunakan dalam nonfiksi lebih ketat
dibandingkan dengan cerita fiksi. Bahasa yang digunakan harus logis dan diterima oleh akal sehat pembaca.
Rumus Penulisan
5W 1 H
Struktur Penulisan
Seperti tulisan non-fiksi lainnya, penulisan sejarah harus memiliki unsur-unsur atau landasan yang dijadikan
acuan dalam menulisnya guna membangun keutuhan antar ceritanya.
3. Reorientasi : Berisi tentang kesimpulan suatu cerita dan penutup cerita. Umumnya berisi amat atau
pesan moral yang dapat diambil.
Yet as a collective academic audience we tend to look down on popular historical writing, especially when it is
not done by someone with a PhD. We dismiss it as simplistic or, in the case of academics, ‘selling out’. Even as
historians, we are afraid to admit that occasionally we also enjoy learning about history in this way. After a long
hard day, I like to go home and watch Neil Oliver’s hair blowing epically in the breeze- it’s comforting.
Academics are becoming more open to popular historical writing, but I still feel there is a general dismissal of it.
I think this is a detriment to the entire field, and therefore I am writing this post to make a case for popular
history.
o I have had this debate many times before- if something inspires someone to look further into
an historical event/person, does it matter how it is presented? I study the Scottish Wars of Independence
and I will happily admit that I first became interested in the subject because of Braveheart. Now, of course,
I cannot watch the film without feeling an unhealthy level of rage, but I took my first course on the topic
because I thought the movie was cool. Another example is Call of Duty: Black Ops, which focuses on the
Cold War. At one point I believe you fight zombies, but you also learn about the major players and events
throughout this complicated time period, without ever realising that you are learning. This may inspire
some people to look into the subject further, and we thus accept another history nerd into the fold.
o In the arts and humanities we always complain about not being funded as much as maths and
sciences, and I am amongst the loudest of these complainers. However, if we can’t make the public see the
relevance of what we do then that is never going to change. Funding goes where interest and pertinence is.
o Personally, I am not doing this PhD in order for the fifty people also interested in my subject,
and probably students I coerce into doing so, to read whatever I publish throughout my career. We all
believe we have something important to say or else we wouldn’t be spending 3-4 years trying to say it.
There is nothing wrong with wanting your work to reach a wider audience.
Money
o Popular history pays more than academic history. Academia is not the most lucrative career at
the moment, especially when you are starting out. A little extra cash is always useful to pay your mortgage
Of course, not everyone can nor wants to write popular history. Subjects about war, sex, and the many wives are
Henry VIII are always going to be more popular with the public. Some academics only want to write for a
specialised, knowledgable audience. Some people want to do both. I believe all of these views have a place in
the world of historical writing. As long as our goals are to produce well-written and well-researched works, let’s
“Read everything you can. Get to know the place you’re writing about. Know when to stop researching
and start writing,” historian and author Eric Lee recommends. “Those are three of the lessons I have
learned in the last quarter century as a writer of popular history.”
Nonfiksi adalah karangan yang dibuat berdasarkan kenyataan atau fakta yang ada dalam kehidupan nyata. Akan
tetapi, penulis boleh mengembangkan data nonfiksi sesuai dengan imajinasi penulis.
Biasanya nonfiksi disebut juga dengan cerita yang sebenarnya atau sesuai fakta. Dalam cerita nonfiksi aspek
yang dilihat yakni sebuah kejadian atau suatu momen penting dan menarik, kemudian diangkat lagi dengan
menonjolkan nilai-nilai penting di dalamnya. Cerita-cerita tersebut berkembang menjadi beberapa jenis.
Fiksi ataupun nonfiksi perbedaannya terletak pada fakta dalam sebuah karangan, imajinasi atau tidak, dan gaya
bahasa yang digunakan. Pada cerita nonfiksi, penulis juga boleh menggunakan bahasa kiasan atau mendayu agar
pembaca tidak bosan.
Ciri-Ciri Teks Nonfiksi
Supaya kamu dapat membedakan fiksi dan nonfiksi, berikut ciri-ciri cerita nonfiksi. Apa saja sih cerita nonfiksi
itu? Yuk, lihat penjelasan berikut.
1. Menggunakan Bahasa Denotatif
Bahasa denotatif kebalikan dari konotatif. Jika konotatif memiliki arti bukan makna sebenarnya, maka bahasa
denotatif memiliki arti yang sebenarnya. Artinya, bahasa tersebut terbatas dan tidak bermakna ganda
(ambiguitas). Hal ini dilakukan agar pembaca dapat menafsirkan sesuai dengan makna yang ingin disampaikan
oleh penulis.
2. Bahasa Formal
Dalam cerita nonfiksi, biasanya menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah kebahasaan Indonesia (KBBI)
ataupun PUEBI. Namun, ada juga yang menggunakannya dengan gaya bahasa santai atau bahasa sastrawi. Baik
bahasa santai maupun sastrawi, informasi yang disampaikan pembaca harus sesuai dengan kenyataan atau
valid.
3. Disusun Berdasarkan Fakta yang Ada
Teks nonfiksi disusun dengan berlandaskan pengamatan dan data yang sebenarnya. Sebab itu, buku nonfiksi
seringkali dijadikan sumber informasi bagi pembacanya. Nonfiksi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
oleh penulis. Tak heran, jika nonfiksi memerlukan waktu lama dalam pengambilan data.
4. Memiliki Ide yang Ditulis Secara Sistematis dan Jelas Serta Logis
Biasanya nih, cerita nonfiksi itu memiliki kaidah atau tatanan sistem yang harus ditaati. Dan sebab ia
berlandaskan pada sebuah fakta, maka nonfiksi harus jelas dan masuk akal (logis).
5. Penyempurnaan dari Temuan Sebelumnya atau Penemuan Baru
Cerita nonfiksi dapat berupa cerita yang sudah ada sebelumnya atau cerita yang akan dibuat berdasarkan data
yang ditemukan.
Dalam nonfiksi, harus sesuai dengan tafsiran yang berlandaskan ilmu pengetahuan dan analisis.
7. Sebisa Mungkin Menjadi Objektivitas yang Tinggi
Hal ini dilakukan agar fakta dan data yang disampaikan ke pembaca sesuai dengan kebenarannya dan tidak
dipengaruhi oleh subjektivitas penulis.
6. Reorientasi : Berisi tentang kesimpulan suatu cerita dan penutup cerita. Umumnya berisi amat atau
pesan moral yang dapat diambil.
Nah, supaya kamu nggak bingung nih, mending langsung baca aja deh contoh cerita non fiksi pendek singkat
dan contoh cerita non fiksi tentang pendidikan. Happy reading!
Dengan aksara, gagasan dirangkai, pemikiran disebarkan. Aksara menjadi gagasan, gagasan mengubah
kehidupan ketika dituangkan dalam berbagai medium, salah satunya buku.
Menurunnya penjualan buku cetak beberapa tahun belakangan tentu disebabkan juga oleh minat baca
masyarakat yang rendah. Orang lebih suka menghabiskan waktu berlama-lama memegang ponsel pintar yang
menyediakan hiburan berupa beragam permainan dan tontonan daripada membaca buku. Kalaupun membaca,
yang tampaknya diprioritaskan adalah berita-berita terkini, dengan tujuan agar tidak ketinggalan informasi.
Keadaan ini jauh berbeda dengan sepuluh tahun hingga dua puluh tahun lalu. Saat-saat itu, buku banyak
peminatnya. Orang membaca buku bukan karena semata-mata mencari informasi, mencari rujukan, atau
meluaskan wacana berpikir, tapi juga mencari hiburan.
Saat-saat itu, orang menyukai buku bukan karena mereka identik sebagai kutu buku yang suntuk, berkacamata
tebal, atau berpembawaan serius. Jenis-jenis buku seperti cerita silat yang berjilid-jilid atau aneka resep kue dan
masakan, saat-saat itu mendapat tempat di masyarakat.
Sudah barang tentu, kalangan pembaca buku demikian bukanlah para kutu buku yang memiliki tongkrongan
"ilmuwan". Melainkan, pembacanya tak lain dan tak bukan para remaja yang membutuhkan hiburan atau ibu-
ibu yang tengah belajar memasak.
Memang, pada zaman sekarang buku juga dapat menjadi sumber hiburan. Bedanya, pesaing buku sekarang
banyak. Dan karena seluruh dunia membuka tangan lebar-lebar pada kemajuan teknologi informasi, nasib buku
pun makin tergilas.
Tak hanya soal minat baca yang rendah, dunia perbukuan di Tanah Air menghadapi berbagai persoalan serius
lainnya. Sekitar pertengahan tahun 2019, seorang kawan memberitahu saya, mendapatkan sebuah naskah novel
saya secara utuh di internet, bahkan sampai sampul depan dan belakangnya.
Saya bertanya apakah naskah itu dibacanya lewat platform resmi penerbit novel itu? Ternyata tidak. Dia
mendapatkannya dari sebuah situs yang mengunggah naskah tersebut secara utuh dan siapa pun bebas
mengunduhnya tanpa membayar.
Bila membaca e-book lewat platform yang disediakan penerbit atau bekerjasama dengan penerbit, maka penulis
tetap mendapatkan royalti. Namun, ketika buku itu bisa diunduh secara gratis, penulis pun meringis. Begitulah,
pembajakan buku sekarang bukan hanya terjadi pada versi cetak, melainkan juga pembajakan melalui digital.
Padahal, royalti penulis kebanyakan, jumlahnya kecil. Sudah royaltinya kecil, bukunya masih dibajak pula--
betapa miris. Hanya beberapa gelintir penulis yang karyanya dicetak ulang puluhan kali. Karya-karya penulis
yang bukunya difilmkan, atau penulis buku pelajaran seperti Marthen Kanginan, jelas nasibnya jauh berbeda
dengan penulis kebanyakan.
Karena itu, beberapa penulis yang saya kenal ada yang meninggalkan dunia tulis-menulis. Mereka yang tetap
mau bertahan hidup lewat dunia tulis-menulis mempelajari kemampuan menyunting, menulis untuk orang lain
(ghostwriting), menerjemahkan, dan sebagainya.
Kondisi perbukuan juga makin menyedihkan karena harga kertas terus naik seiring dengan menguatnya nilai
tukar dollar Amerika. Kertas, karena merupakan komoditas internasional, harganya mengikuti nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat.
Kenaikan harga kertas tentunya berimbas pada kenaikan harga buku. Buku dengan ketebalan yang sama
harganya bisa jauh berbeda antara yang terbit belakangan dengan yang terbit lima atau enam tahun lalu.
Begitulah, minat baca masyarakat yang rendah, tersedianya berbagai alternatif hiburan dan kemudahan akses
terhadap infformasi akibat kecanggihan teknologi informasi, serta mudahnya mendapatkan e-book bajakan yang
notabene gratis, membuat buku cetak makin tersisih. Kita kini tidak pernah tahu sampai kapan industri
penerbitan buku cetak tetap bertahan, walaupun beberapa gejala sudah menunjukkan senjakala.
Menulis artikel sejarah nyatanya memiliki proses yang berbeda dengan menulis artikel pada umumnya. Artikel
yang dibuat oleh sejarawan pun berbeda pula dengan hasil tulisan yang dibuat seorang jurnalis.
Namun Anda tak perlu menjadi seorang sejarawan untuk bisa menulis artikel sejarah, terutama di media online.
Ikuti tips dari Tyson Tirta, sejarawan dan penulis kolom sejarah di Tirto.id.
Sebelum mulai menulis, perkuat fondasinya dulu, dengan cara memperkaya wawasan dan bacaan seluasnya, tapi
harus bisa menyaring bahan sevalid mungkin. Anda harus mempunyai banyak bekal untuk ditampung di kepala.
Dalam mengumpulkan sumber untuk bahan penulisan, carilah sumber yang tidak bias, sebisa mungkin tidak dari
tangan kedua, tidak dari perantara. Kalau Anda bisa mengakses ke sumbernya yang valid, nilainya sudah plus.
Tujuannya untuk menarik relevansi. Anda harus membangun kepekaan dengan zaman sekarang, apa yang
sedang terjadi di era ini, apakah masih relevan jika menggunakan cara-cara lama, dan sebagainya. Intinya,
membangun kedekatan dengan audiens di era digital; salah satu caranya akrab dengan teknologi, agar tidak
dianggap konvensional, dan karya tulisannya relevan dengan keadaan zaman sekarang.
Artikel yang berupa tulisan panjang bisa jadi menarik jika diselipkan dengan ilustrasi, infografis, atau video
kreatif pendukung. “Kalau untuk sejarawan, dulu kan kritiknya, sejarawan itu hanya paham masa lalu. Untuk
membangun sesuatu yang menarik untuk anak zaman sekarang, kita harus patahkan stigma bahwa sejarawan
hanya paham masa lalu. Memahami zaman sekarang harusnya dengan perbekalan akan apa yang ia dapat di
masa lalu,” ujar Tyson.
3. Rajin menulis
Setiap hari, luangkan waktu setengah sampai satu jam untuk menulis apa pun, tidak selalu harus menulis tentang
sejarah, topik apa pun bisa diangkat, bahkan bisa juga cerita tentang cerita pengalaman Anda sepulang dari
menonton film bioskop terbaru atau menulis laporan konser, atau bahkan keseharian. Dengan melakukan ini,
hasil karya tulisan Anda bisa semakin bagus karena makin terasah/terbiasa menulis.
Tidak ada yang akan melarang Anda jika membuat sebuah artikel yang tidak mengikuti struktur umum
penulisan (semisal: pembuka, isi, dan penutup/kesimpulan). “Untuk tulisan sejarah, jangan kaku, karena enggak
selalu tulisan itu dibuka dengan introduction, bikin saja sesuatu yang provokatif, misalnya paragraf pertama
dibuat seprovokatif mungkin asal tidak berbohong, tujuannya untuk menarik pembaca agar penasaran dan lanjut
membaca ke paragraf kedua,” ujar Tyson.
Salah satu nilai jual tulisan sejarah adalah bagaimana cara penulisnya menginterpretasikan “penemuannya” dari
berbagai data, wawancara, dan opini pribadinya akan suatu topik ini. Setelah menginterpretasi sumbernya,
buatlah kritik. Sang penulis harus tetap selalu punya keingintahuan yang tinggi terhadap apa pun agar tulisannya
semakin detail dan kaya.
Buatlah tulisan yang provokatif namun bisa menggugah pembaca untuk menyelami tulisan tersebut lebih lanjut.
Sampaikan dengan cara yang teatrikal dan dramatis, meski melalui tulisan. Teatrikal di sini maksudnya adalah
bisa membangkitkan imajinasi pembacanya.
Usahakan tulisan di media online sesingkat dan sepadat mungkin, sesuai reading time artikel di media yang
bersangkutan. Biasanya, sudah ditentukan batasan, misal tidak boleh lebih dari 1200 – 1500 kata untuk dibaca
dalam 4 menit.
penelitian sejarah. Penelitian sejarah adalah sebuah penelitian yang dilakukan melalui teknik pengumpulan data
dan evaluasi data secara sistematis untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memahami peristiwa yang terjadi
di masa lalu. Penelitian ini dilakukan untuk menguji kebenaran tentang kejadian tertentu di masa lampau.
Penelitian sejarah terkadang bukan hanya sekadar mengumpulkan dan menyajikan informasi faktual. Biasanya,
penelitian sejarah juga berfokus pada individu tertentu, masalah sosial, hubungan antara peristiwa yang lama
dan yang baru, hingga benda-benda yang mungkin terlibat.
Secara umum, metode penelitian sejarah dilakukan dengan tujuan menambah wawasan tentang apa yang telah
terjadi di masa lalu. Harapannya agar kita dapat belajar dari kegagalan maupun kesuksesan di masa lalu,
membuat prediksi masa sekarang dan masa yang akan datang, serta menguji hipotesis tentang hubungan sosial
dan tren masa lampau dan saat ini.
Dalam penelitian sejarah, sering dikenal istilah historiografi. Secara garis besar, historiografi adalah hasil atau
karya penulisan sejarah. Historiografi termasuk langkah terakhir dalam metode penelitian sejarah. Langkah ini
menjadi sarana untuk mengomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji, dan diinterpretasi.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat kamu pahami bahwa peristiwa sejarah memerlukan metode penelitian
sebelum disajikan dalam bentuk historiografi atau tulisan. Tahapan metode penelitian sejarah dan tulisan adalah
dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Metode penelitian sejarah menentukan keberhasilan
historiografi. Selain itu, historiografi juga menentukan keberhasilan sejarawan dalam melakukan penelitiannya.
Metode Penelitian Sejarah
Ada 5 tahapan yang perlu kamu lalui dalam melakukan penelitian sejarah, yaitu pemilihan topik, heuristik
(pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi, dan historiografi (penulisan). Mari kita bahas
satu per satu setiap tahapannya.
Pemilihan Topik
Sama halnya dengan penelitian ilmiah lainnya, langkah awal yang dilakukan dalam metode penelitian sejarah
yaitu menentukan topik. Pemilihan topik yang akan diteliti harus layak menjadi bahan penelitian, bukan
pengulangan atau duplikasi dari macam-macam penelitian sejarah yang sudah ada. Kelayakan topik penelitian
sejarah dapat dilihat dari ketersediaan sumber atau bahan penelitian.
Jangan sampai kamu memilih topik yang menarik untuk diteliti, tapi sumbernya tidak ada, Pahamifren. Sebab,
penelitian sejarah sangat bergantung pada ketersediaan sumber. Topik penelitian harus suatu hal yang baru dan
diharapkan dapat memberikan informasi atau teori baru. Untuk mengarahkan topik pada ketersediaan sumber
penelitian, kamu bisa mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
What, apa yang akan diteliti? Apakah aspek ekonomi, sosial, budaya, atau politik?
Who, siapa yang akan diteliti? Kamu harus memilih kelompok sosial mana yang menjadi masalah
penelitian.
Where, di mana penelitian sejarah yang akan kamu lakukan? Aspek spasial atau keruangan ini bisa
berupa tempat atau geografis yang akan diteliti.
When, kapan batasan waktu atau periodisasi objek penelitiannya? Misalnya, penelitian perubahan desa
A tahun 1950-1955, maka batasan waktunya yaitu tahun 1950-1955.
Why, mengapa memilih topik penelitian tersebut? Pertanyaan ini lebih bersifat analitis dan mendalam
terkait subjek maupun objek penelitian.
How, bagaimana hal itu terjadi? Pertanyaan ini mengarah pada berbagai faktor yang membuat masalah
atau peristiwa sejarah terjadi.
Setelah menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya dalam metode penelitian sejarah yaitu mengumpulkan
sumber. Tahapan ini berperan penting untuk mengetahui fakta-fakta baru tentang sebuah peristiwa. Adapun
sumber-sumber yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah, yaitu:
Sumber Lisan
Sumber lisan merupakan keterangan yang didapat dari orang-orang yang mengalami kejadian atau peristiwa
tersebut secara langsung. Jenis sumber lisan juga bisa didapatkan dari orang yang berada di sekitar tokoh yang
mengalami peristiwa sejarah, seperti kerabat dekat, tetangga, atau tokoh lainnya. Contoh sumber ini adalah
wawancara.
Sumber Tulisan
Seperti namanya, sumber ini berisi keterangan tentang peristiwa sejarah dalam bentuk tulisan. Sumber tulisan
berasal dari catatan-catatan mengenai suatu kejadian di masa lampau yang sampai saat ini masih dapat
ditemukan. Beberapa contoh sumber tulisan dalam penelitian sejarah yaitu dokumen, prasasti, piagam, naskah,
surat kabar, dan laporan.
Sumber Benda
Selain sumber lisan dan tulisan, sejarah juga dapat diketahui dari sumber benda. Sumber ini didapatkan dari
benda-benda asli yang berasal dari suatu zaman atau peristiwa tertentu. Benda yang biasanya menjadi sumber
sejarah yaitu bangunan, senjata, perkakas, patung, candi, serta perhiasan.
Verifikasi (Kritik Sumber)
Verifikasi atau kritik sumber dilakukan untuk menyeleksi sumber-sumber yang telah dikumpulkan pada langkah
sebelumnya. Dalam tahap ini, peneliti harus memastikan setiap sumber yang terkumpul bersifat valid dan sesuai
subjek yang diteliti. Ada dua jenis verifikasi sumber, antara lain:
Verifikasi Eksternal
Pengujian keaslian sumber sejarah yang dilakukan dengan merujuk pada bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan sumber. Ada tiga aspek yang harus terungkap dalam kritik eksternal, antara lain autentitas
(kesesuaian sumber), orisinalitas (keaslian), dan integritas (keutuhan sumber).
Verifikasi Internal
Pengujian keaslian sumber sejarah yang merujuk pada isi sumber. Ada tiga aspek penting yang harus diungkap
dalam kritik internal, antara lain sifat sumber (keresmian sumber), latar belakang penulis sumber, dan
perbandingan dengan sumber lainnya.
Interpretasi
Metode penelitian sejarah yang keempat yaitu interpretasi. Pada tahap ini, peneliti melakukan penafsiran makna
atas sumber sejarah yang berhasil dikritik. Penafsiran yang dilakukan peneliti harus dilandasi sifat objektif.
Kalaupun membutuhkan sikap subjektif, peneliti harus bersikap subjektif rasional.
Peristiwa sejarah yang disampaikan harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran. Dalam
artian, penafsiran yang dilakukan peneliti tidak boleh menyimpang. Ada dua cara melakukan tahap interpretasi
ini, yaitu dengan cara analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan) fakta-fakta yang telah diperoleh
sebelumnya.
Historiografi (Penulisan Sejarah)
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, historiografi menjadi akhir tahapan dari metode penelitian sejarah.
Dalam proses penulisan ini, kemampuan peneliti atas teori dan metodologi yang digunakan akan berpengaruh
pada historiografi yang dihasilkan. Peneliti tidak hanya menuliskan laporan semata, namun juga bekerja keras
untuk memahami sejarah dan hasil pemikirannya. Saat menuliskan penelitian sejarah, peneliti juga harus
memperhatikan beberapa kaidah penulisan, yaitu:
Bahasa dan format penulisan yang digunakan sesuai tata bahasa yang berlaku.
Adanya konsistensi penulisan, seperti dalam penggunaan tanda baca, istilah, dan penulisan rujukan
sumber.
Istilah tertentu harus digunakan sesuai konteks permasalahannya.
Contoh Penelitian Sejarah
Contoh penelitian sejarah yang cukup populer yaitu tentang penemuan sungai Mississippi. Penelitian sejarah
mengungkap cerita ini berdasarkan sumber tulisan dari catatan anggota ekspedisi penjelajah Spanyol Hernando
de Soto dan surat arsip Spanyol.
Contoh lainnya yaitu pengamatan Karl Marx tentang perkembangan historis sistem ekonomi dari primitif ke
feodal, kapitalisme, revolusi, dan lain-lain. Secara umum, contoh penelitian sejarah ini bisa kamu temukan pada
peristiwa sejarah seperti perang, revolusi, perkembangan kerajaan, sistem pemerintahan, peradaban manusia,
dan masih banyak lagi.
8 Tips Menulis Artikel Yang Menarik dan Berkualitas