Anda di halaman 1dari 39

MERETAS SEJARAH VISUAL: TIDAK ENAK DIBACA DAN TIDAK PERLU!

Judul Buku: MERETAS SEJARAH VISUAL


Penulis: REIZA D. DIENAPUTRA
Penerbit: Balatin
Tahun: 2015
Halaman: I – VII, 1 – 80.

“Bahwa manusia tidak banyak belajar dari pengalaman sejarah, merupakan pengalaman
sejarah yang penting!”
Aldous Huxley, penulis Inggris (1894 – 1963)

“Setiap orang dapat membuat sejarah, namun hanya orang besar yang dapat menulis sejarah.”
Oscar Wilde (Fingall O’Flahertie Wills), penulis Irlandia

“Sejarah adalah obor yang dimaksudkan untuk menerangi masa lampau, untuk mencegah kita
mengulangi kekeliruan yang pernah kita buat. Kita tidak dapat ikut dalam penulisan kembali
sejarah agar penulisan itu sesuai dengan keinginan dan kesenangan kita.”
Claude G. Bowers (Sejarawan AS)

Buku ini punya tujuan baik dan mulia. Si penulis menekankan bahwa sumber sejarah tidak
hanya tulisan, beliau juga berharap dengan buku Meretas Sejarah Visual ini - ilmu sejarah
dapat mengikuti perkembangan zaman, menjadi lebih relevan dan ramah teknologi. Dengan
begitu, diharapkan menambah perspektif baru terhadap historiografi Indonesia.

Walaupun begitu, disuguhi buku semacam ini, sukar rasanya untuk sekedar berbasa-basi, kita
boleh jadi malah bisa dibuat banyak merenung. Merenungkan seperti apa perkembangan ilmu
sejarah di Indonesia di masa depan dengan bacaan seperti ini. Buku yang (sederhananya
anggaplah), mau dikatakan "sebagai buku sejarah" (semacam metode sejarah untuk sejarah
visual) ini amatlah menarik untuk dilewatkan tanpa dikritisi. Catatan yang perlu dikemukakan
begitu banyak sehingga perlu dipilah mana saja bagian yang terutama harus banyak ulasan dan
komentar, serta bagian mana yang harus dianggap hanya persoalan lebih kecil meski tidak bisa
juga dianggap persoalan kecil atau remeh-temeh.

Dikatakan permasalahan menarik di sini karena sebagaimana dikatakan penulis buku ini dalam
curriculum vitae-nya, beliau menganggap dirinya sebagai "sejarawan yang selalu gelisah
dengan dinamika perkembangan ilmu sejarah." Berikut dikatakannya, "Buku ini pun merupakan
salah satu bentuk kecintaan dan dedikasinya terhadap Sejarah Visual." (ditulis pada cover
dalam, bagian belakang buku).

Menggelisahkan memang setelah mengetahui ada buku semacam itu, berikut ini adalah
gambaran sederhana cara membaca hal-hal bersifat permukaan menyangkut buku dimaksud.
Bagaimana cara membaca buku ini?

1
Tidak semua persoalan yang mengganggu - dikritisi dalam resensi ini tetapi bisa dikatakan
“masih banyak masalah” yang tidak dibahas. Meskipun begitu, patut jadi bahan pertanyaan,
saking asal-asalannya, menggelitik untuk sekedar tahu saja, berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk menghasilkan buku semacam ini? Harus dipertanyakan juga mengenai
sumber-sumber yang diperoleh dan dimuat dalam buku ini? Apakah penulis tidak ada waktu
untuk mengeceknya, ataukah penulis tidak peduli, atau memang betul-betul tidak tahu tetapi
tetap memaksakan diri menulis buku semacam ini?

Sebelum masuk ke pembahasan, catatan-catatan kecil di bawah ini adalah penilaian di luar
pembahasan isi buku. Hal-hal tersebut juga-lah yang menjadi pertimbangan untuk membuat
timbangan buku ini.

- Ionesco mengatakan, “bukan jawaban yang menjelaskan, melainkan pertanyaan.” Itu


sebabnya dalam resensi ini ada banyak pertanyaan. Diantara pertanyaan di awal buku
ini yang cukup mengusik: Persoalan yang mau dijelaskan dalam buku ini – apakah
sejarah visual atau sejarah digital?

- Berinteraksi sehari-hari dengan banyak mahasiswa, baik mahasiswa ilmu sejarah


maupun mahasiswa jurusan lainnya dari beragam kampus cukup memudahkan juga
untuk membuat penilaian. Seringkali, secara iseng, saat diminta penilaian atau komentar
mengenai buku Meretas Sejarah Visual yang menjengkelkan ini, acap kali muncul
cakupan pendapat yang secara umum ada dua: Pertama, “Apanya yang salah dengan
buku ini, penulisnya doktor sejarah atau profesor kok?”
Lalu pendapat umum kedua, mencoba kritis, “Kami sudah membeli dan membacanya.
Meski demikian - Buku ini sama sekali tidak bisa dibaca.” Pendapat-pendapat di atas
tersebut secara gamblang memberi pertanda tentang ‘istimewa’-nya buku tersebut,
sekaligus membuat risau, juga memberi keyakinan bahwa tulisan bernada kritik
semacam ini patut dibuat. Dengan begitu, tulisan ini dimaksudkan setidaknya supaya
(minimal) “mahasiswa ilmu sejarah” setelah ini "bisa belajar membaca buku sejarah"
(apabila benar buku ini bisa disebut begitu), menilai siapa yang menulis dan mengapa
buku semacam ini bisa dibuat, tentu saja dengan sudut pandang independen & bersikap
kritis!
Pelu diberi penekanan juga bahwa apabila penulisan mengenai sejarah sebagaimana
buku Meretas Sejarah Visual ini sesuatu yang umum adanya atau biasa terjadi di
lingkungan kampus, yakinlah bahwa ilmu sejarah tidak akan pernah menarik minat
banyak orang.

- Tidak dapat dinafikan juga kenyataan bahwa sebenarnya berdasarkan pengalaman


berinteraksi dengan (katakanlah) “dunia kampus,” buku semacam ini banyak beredar (di
lingkup kampus) dan beragam coraknya (data dan bukunya tersedia). Dengan begitu,
penguraian catatan-catatan & bangunan argumen dalam pembahasan buku ini
anggaplah sebagai bagian penting - kajian (mungkin istilah kajian terlalu angkuh dan sok
intelek…, tepatnya: secara sederhana mencoba mengkritisi) kondisi penulisan buku
terkait sejarah atau ilmu sejarah, juga aspek-aspek tertentu ilmu sejarah di Indonesia
secara umum (berhubung dengan kesan langkanya kritik buku sejarah di Indonesia).

2
- Keluhan berikutnya yakni – tiga tahun berlalu sejak buku ini terbit, tampaknya tidak ada
orang di lingkungan FIB Unpad yang merasa buku semacam ini harusnya bermasalah
dipakai di lingkungan mereka. Sulit untuk memaklumi bahwa tidak ada rekan sejawat
(setidaknya) baik di Jurusan Ilmu Sejarah Unpad maupun di lingkungan Fakultas Ilmu
Budaya Unpad yang melakukan semacam kritik atau apapun namanya itu (semacam
pembiaran), meskipun di belakang layar mereka diam-diam mengeluhkannya juga.
Salvatore Quasimodo (Pemenang Hadiah Nobel Sastra 1959) menjelaskan situasi ini
dengan kata-kata, “Sikap berdiam diri dan ketidakpedulian memiliki satu nama –
pengkhianatan!”

- Tidak perlu menjadi sok ahli atau harus seorang pakar untuk membuat penilaian
mengenai buku ini, cukup dengan pengamatan sederhana saja untuk melakukan
koreksi. Di zaman digital, di era Big Data (mahadata), di masa ketika data apapun yang
kita inginkan bisa kita dapatkan dengan cukup mudah, bahkan kadang melampaui apa
yang kita harapkan (apalagi yang berkaitan dengan persoalan visual) – berkebalikan
dengan itu, buku ini referensinya sungguh bersahaja. Data baik teks maupun gambar
dalam buku ini bisa dillustrasikan seperti yang sering diulang-ulang dikatakan Editor
Manchester Guardian, Scott Charles Prestwich: KOMENTAR ADALAH BEBAS, NAMUN
FAKTA ADALAH LANGKA! Kita bayangkan saja begitu banyaknya referensi (di luar
yang beliau sebut literatur konvensional yakni buku dan turunannya, yang sering
diulang-ulang si penulis dalam bukunya) katakanlah pada media online atau internet,
namun apa yang diutarakan itu, sama saja, tidaklah cukup tergambar dalam buku ini.
Setelah mencoba memeriksa halaman demi halaman, secara hati-hati, misalnya dalam
cara membuat sejumlah definisi, dalam membangun argumen, dalam membuat contoh
kasus, dalam pengutipan referensi, termasuk referensi yang digunakan untuk penulisan
buku ini, menjadi suatu keyakinan - dengan pertimbangkan masak (merupakan
keharusan) mengupas permasalahan menyangkut buku ini dengan (berusaha)
profesional, tanpa syak wasangka, dan bermain dengan data, fakta dan argumen yang
mudah-mudahan bisa meyakinkan pembaca.

- Ada pertanyaan lain, semacam perenungan juga, mengenai apa yang harus seseorang
lakukan ketika seorang tokoh atau figur akademis mempublikasikan sebuah karya yang
tidak bertanggungjawab atau bahkan naif? Di zaman ketika jumlah publikasi lebih
dipentingkan daripada kualitas (yang disebut karya ilmiah), kerusakan yang diakibatkan
bisa sangat fatal bagi para pembacanya. Tentunya muncul kewajiban untuk setidaknya
mencoba memperbaikinya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, persoalan-persoalan menyangkut buku ini sederhananya


perlu dikemukakan karena beredarnya buku ini secara vulgar dapatlah dianggap mengganggu
nalar, mengganggu akal sehat, sebagaimana kredo terkenal dari George Bernard Shaw: “Kita
belajar dari sejarah bahwa kita tidak belajar apapun dari sejarah.” – bisa diartikan di sini: ketika
penjualan buku mengalahkan kualitas ide, saat label jabatan profesionalitas lebih dikedepankan
daripada penyelidikan ilmiah yang betul, serta ketika argumen dan gagasan-gagasan
(sebetulnya saya ragu menyebutnya gagasan) dipertimbangkan lebih dulu daripada realitas.

3
Perlu juga penekanan di awal tulisan ini, saking awut-awutannya uraian dalam buku ini, banyak
sekali penjelasan dalam resensi ini terasa seperti memberikan informasi data/fakta yang
(mungkin) diperlukan si penulis buku Meretas Sejarah Visual ini untuk beragam contoh kasus
yang dikritisi, atau malah seperti memberi nasehat. Memang itulah yang terjadi, sungguh ganjil
dan mau bagaimana lagi, hal itu harus dilakukan!

COVER BUKU: DARI BURGERKILL SAMPAI STEVEN SPIELBERG

Meretas Sejarah Visual ditulis oleh Reiza D. Dienaputra yang merupakan Doktor dari Sekolah
Pascasarjana ITB (2011); saat ini merupakan guru besar dan staf pengajar pada Jurusan Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.

Berikut ini keterangan apa adanya yang bisa didapat mengenai buku dimaksud. Sebagaimana
tercantum pada halaman depan, buku diterbitkan oleh semacam penerbit minor (Balatin) dan
sepertinya tidak dijual bebas (artinya tidak tersedia di toko buku, namun dijual dengan
“semacam keharusan” di kelas perkuliahan beliau dengan harga @50ribu rupiah,-). Selain
bahwa pdf buku ini bisa kita temukan di dunia maya, penjelasan terkait buku ini, yakni semacam
apa itu “sejarah visual” bisa kita saksikan dalam kuliah singkat si penulis pada kanal youtube.
Catatan berikutnya, pertama, (sebagaimana diungkap dalam lembar halaman awal) buku ini
editorialnya dikerjakan oleh istri dan anak si penulis; Kedua, perancang kulit muka dan artistik,
tercantum di dalam buku ini, merupakan orang-orang yang terkait Band Burgerkill. Barangkali
hal itu juga yang menjelaskan mengapa pada sampul cover depan buku yang berisi (sebut saja)
“beragam penggambaran visual”, terdapat gambar (dikatakannya) film sejarah tentang “Grop”
Musik Cadas dari Bandung, Burgerkill. Apakah kedua aspek tadi menjadi persoalan? Mungkin
kita bisa menilainya setelah membaca keseluruhan timbangan buku ini, dan itu juga tergantung
penilaian atau sudut pandang pembaca resensi ini.

Tinjauan berikutnya mengenai cover depan buku. Kesan pertama orang saat melihat buku ini,
bagi yang terbiasa berurusan dengan cover & layout buku, barangkali langsung merasakan
bahwa permasalahan pertama dan utama, tidak diragukan lagi (sebagai buku yang mengaku
membahas Sejarah Visual) adalah ESTETIKA!

Dalam bukunya ini si penulis menekankan bahwa, “Pencarian sumber visual melalui media
online tidak saja menjadikan pekerjaan menjadi lebih ringan tetapi juga menjadikan sumber-
sumber visual yang diperoleh memiliki kualitas tampilan yang baik.” (Dienaputra, 2015: 47).

Untuk membuktikan pernyataan tersebut kita cukup memperhatikan cover depan buku.
Berkebalikan dengan pernyataaan tersebut, sepertinya nyaris semua gambar yang ada pada
lembar-halaman di dalam buku ingin dipaksakan kembali masuk pada cover depan buku
meskipun menjadi tidak simetris, berhimpitan dan saling tidak berhubungan, plus kualitas
tampilan yang buruk. Salah satunya adalah dalam keragaman ukuran gambar yang ingin
disampaikan (semacam ‘pesan’), dan (tentu saja) salah satu “visual” yang menjadi primadona
permasalahan orang yang melihat cover buku dimaksud yakni: wajah Steven Spielberg yang
“menyong”!

4
Mengenai "Steven Spielberg yang menyong ini” dan mengapa atau sepenting apa beliau harus
ditempatkan dalam sampul buku ini, berikutnya akan kita bahas pada bagian USC Shoah
Foundation.

ADA APA DENGAN REFERENSI?

Masalah berikutnya yang juga menyolok mata adalah (kita cukup melihat halaman akhir buku
(Dienaputra, 2015: 79 – 80)), terkait referensi. Pada banyak bagian lain nanti akan dibahas juga
mengenai betapa minim referensi terkait literatur yang disebutnya “gambar tidak bergerak” &
“gambar bergerak”.

Berikut ini adalah beberapa pernyataan beliau mengenai referensi dan kaitannya dengan media
online:

“Begitu banyaknya situs yang terdapat dalam media online, pada akhirnya diperlukan kehati-
hatian untuk memilih dan memilahnya.” (Dienaputra, 2015: 46),
sementara di bagian lain buku dikatakannya:
“Mengingat media online merupakan salah satu penghasil terbesar sumber visual, maka media
online pun harus dikritisi kredibilitasnya.” (Dienaputra, 2015: 53).
Atau bahkan pernyataan ini, “Kritik terhadap identitas sumber bisa dikatakan menjadi kritik
terpenting pada tahapan awal karena menjadi pintu masuk untuk menetapkan dapat tidaknya
sebuah sumber visual dijadikan sumber sejarah. Dengan kata lain, TANPA ADANYA
IDENTITAS, SUMBER VISUAL BISA DIPASTIKAN TIDAK BISA DIGUNAKAN SEBAGAI
SUMBER SEJARAH.” (Dienaputra, 2015: 54).
OK, itu tadi pernyataan-pernyataan si penulis. Begitu percaya dirinya beliau menulis seperti itu,
menjadi miris bahwa misalnya pada Daftar Sumber, halaman akhir buku, dicantumkan
penulisan sumber-sumber dengan cara seperti ini:

http://www.google.com 16 Maret 2015


http://www.google.com, 27 Januari 2013
http://www.youtube.com, 27 Juni 2013
atau ini:
http://www.purwokertoantik.com, 14 Juli 2013
http://buchyar.pelaminanminang.com, 14 Juli 2013, dan banyak sumber-sumber seperti itu
lainnya (Dienaputra, 2015: 79, 80). Menggelikan memang!

5
Patut menjadi bahan renungan beliau, di seluruh dunia, barangkali dalam sehari ada setidaknya
satu milyar orang yang masuk ke google atau kanal youtube (misalnya). Dengan begitu, data
apa yang mau diambil? Berikutnya, penulis buku ini tidak perlu diajari lagi bagaimana cara
menulis referensi karena pastinya beliau sehari-hari berurusan dengan persoalan tersebut
(tugas kuliah mahasiswa, bimbingan skripsi, tesis, disertasi, penulisan makalah seminar dst.).
Tentu tidaklah perlu dijelaskan begini bahwa untuk menulis referensi seperti di atas aturannya
harus sebagai berikut: Penulisnya siapa? Tahun berapa? Judulnya apa? Diambil dari situs apa?
Diunggah kapan dan dibaca kapan? Sekali lagi, sungguh mengherankan!

Referensi buku ini bisa dinilai terlalu sederhana untuk tema yang (seharusnya, dan
kelihatannya) ambisius: SEJARAH VISUAL, yakni menyangkut banyak literatur baik itu
mengenai fotografi, lukisan & kartografi (peta) (disebut gambar tidak bergerak) maupun film
dalam cakupannya yang luas: animasi, dokumenter, film sejarah (sebagai gambar bergerak,
sebagaimana dijelaskan si penulis). Dengan begitu, timbul banyak pertanyaan sehubungan
dengan referensi yang a la kadarnya tersebut.

MASALAH DEFINISI

Kita mulai dengan persoalan dasarnya dulu. Apa yang dimaksud dengan Sejarah Visual. Apa
perbedaan dengan berbagai tema lainnya seperti: Art History, Digital Culture atau bahkan
Visual Culture?

1. Definisi dari fenomena. Definisi dari sebuah fenomena/tema tidaklah benar ataupun salah,
namun menspesifikasikan batasan dari sebuah fenomena sangat berguna untuk menghindari
kerancuan. Definisi yang tidak diungkapkan secara jelas mengaburkan berbagai tujuan yang
akan (apabila ada tujuannya) dicapai dalam buku tersebut. Meretas Sejarah Visual memberikan
definisi yang luas namun isi buku tidak mencerminkan definisi yang luas tersebut. Sejarah
Visual didefinisikan buku ini sebagai “sejarah yang dapat dilihat dengan indra penglihatan atau
peristiwa-peristiwa sejarah yang dapat dilihat dengan mata, yang menempatkan manusia
sebagai aktor sejarah….dapat dipahami sebagai kegiatan pembuatan sumber visual, sebagai
metode penelitian sejarah dan sebagai produk rekonstruksi sejarah dari peristiwa sejarah
menjadi sebuah kisah.” (Dienaputra, 2015: 12).

Padahal dengan definisi seluas itu, si penulis seharusnya mampu mempelajari berbagai
fenomena hingga jauh ke belakang, ke masa yang amat lampau, sejarah kemanusiaan, bahkan
hingga ke sejarah alam semesta - setelah peristiwa Big Bang terjadi (13,8 gya).

Tanpa adanya hal tersebut, pembaca tentu akan kebingungan memilih data yang bisa masuk
ke dalam fenomena sejarah visual. Apakah dengan munculnya mata biologis sebagai alat
utama (selain cahaya tentunya) - penglihatan masuk dalam sejarah visual? Apabila masuk,
tentunya sejarah visual dapat ditelusuri sampai pada munculnya mata dari “common genetic
ancestry” pada era Cambrian (Gehring, 1998: 197-209). Dan apabila tidak, mengapa? Tentunya
definisi akan sangat membantu. Sebuah definisi akan mempermudah pengertian yang baik
mengenai sebuah fenomena. Misalnya saja COLLAPSE buku yang ditulis Jared Diamond
(2005:3). Collapse itu apa, Diamond merujuk tentang menurunnya ukuran populasi dan/atau

6
kompleksitas politik/ekonomi/sosial secara drastis di satu tempat dalam jangka waktu yang
relatif panjang, yang kemudian dia tuliskan dalam bukunya itu. Tentu saja pengertian collapse
banyak, tetapi yang tadi itu yang dimaksud Diamond. Fenomena lain seperti ETHNIC
GENOCIDE (tema yang dalam pembahasan nanti banyak diulas si penulis Meretas Sejarah
Visual), runtuhnya USSR atau pecahnya negara Yugoslavia tentunya tidak bisa masuk ke
dalam fenomena Collapse yang dimaksud Diamond.

Apabila tidak ada definisi yang jelas, tentu akan membingungkan karena setiap sistem
pengetahuan dibangun dari suatu sistem kepercayaan atau patokan kebenaran tertentu yang
biasanya disediakan oleh sebuah definisi. Komponen yang sangat sederhana namun esensial
dalam sebuah tulisan ini, sayangnya ‘absen’ dalam sebuah buku yang katanya dijadikan
sebuah acuan textbook di kalangan mahasiswa.

Dengan judul “meretas sejarah visual”, secara sekilas para pembaca mengharapkan adanya
penelusuran terhadap masa lalu baik itu berupa kronologi ataupun kapan awal munculnya
visualisasi. Kronologi dan penelusuran sejarah yang juga absen dalam buku tersebut
menyebabkan tulisan yang hadir sangat ahistoris.
Disebut ahistoris karena tidak jelas penyusunan datanya, termasuk kronologi, sehingga
hasilnya menjadi acak-acakan. Acak-acakan seperti apa? Berikutnya akan dibahas dalam
pembahasan.

Apakah penjelasan dalam buku Meretas Sejarah Visual ini tanpa kronologi yang jelas? Soal itu
bisa dilihat pada hubungan antar-konsep yang ahistoris. Hal itu bisa dijelaskan dari contoh-
contoh yang asal comot. Contoh-contoh (dalam buku ini biasanya disertai gambar-gambar
untuk lebih meyakinkan pembacanya bahwa buku ini tentang sejarah visual), yang
penekanannya dengan ganjil, yakni lebih pada sampel fenomena dan bukan pada pola
interaksi. Persoalan contoh-contoh kasus tersebut akan dijelaskan panjang lebar dalam
pembahasan di banyak bagian resensi ini.

Penjelasan secara menyeluruh mengenai (khusus) definisi atau kerangka konseptual


buku ini (saking menarik perhatian dan perlu pembahasan mendalam), tentu saja
mustahil bisa dijabarkan secara ringkas dalam ruang terbatas. Untuk penjelasan
menyeluruh apa itu definisi Sejarah Visual dan untuk menguji konsistensi penjelasan
definisi yang dibuat si penulis - yakni versi buku Meretas Sejarah Visual ini, karena
menyangkut aspek khusus, dengan begitu sangat penting dalam permasalahan, akan
ditulis tersendiri. Artinya dibuat artikel khusus, tidak dibahas di sini dan dibuat terpisah
dengan resensi ini.

Berikut ini adalah beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan menyangkut penjelasan
pernyataan si penulis dalam definisi buku Meretas Sejarah Visual di atas:

a) ‘…dilakukan oleh aktor – manusia. Definisi manusia yang dimaksud tidak dijelaskan. Apakah
manusia itu hanya Homo Sapiens (315-195 kya), apakah termasuk Homo Erectus (1,8 mya),
Hominin lainnya (2,7 mya), atau Astrolapitechene (4 mya). Rentang waktu ke belakang ini
diperlukan untuk menelusuri sejauh mana manusia yang dimaksud memproduksi visualisasi.
Berikutnya, apabila aktornya manusia, lalu bagaimana menjelaskan “sejarah bencana alam”,

7
misalnya meletusnya Gunung Krakatau (1883), meletusnya Gunung Galunggung (1982), atau
Tsunami Aceh (2004), siapa aktornya?

Gardner’s
Art
Through
the Ages
(1926: 39).

b) Mempelajari visualisasi untuk riset sejarah bukan fenomena baru, sebagaimana dikatakan si
penulis di awal bukunya sebagai berikut, “sudah saatnya pula ilmu sejarah memberikan
perhatian yang lebih serius terhadap konstruk baru rekonstruksi sejarah, yakni sejarah visual
(visual history).” (Dienaputra, 2015: V), begitupun persoalan ini tidak ada hubungannya dengan
proyek paperless culture ataupun mass digitalization. Penjelasan terkait paperless culture akan
diuraikan tersendiri dalam pembahasan. Berikut tanggapan terhadap pernyataan di atas:

- Penggunaan visualisasi telah menjadi kebiasaan manusia sejak lama. Sebagai contoh di Gua
Blombos Afrika (100 kya), manusia modern telah menggunakan berbagai teknik visualisasi: red
orche, serpihan batu (misalnya: achulena, hand axe), biji-bijian yang dimasak, lukisan gua,
potongan tulang, pahatan patung, alat-alat bantu, dsb. Dan para ilmuwan dari berbagai disiplin
telah menggunakan berbagai bukti visual tersebut sejak lama, setidaknya sejak awal
perkembangan sains modern, tidak hanya tiga dekade terakhir sebagaimana yang diungkapkan
penulis

- Hentschel (2014: 4) mampu menemukan penggunaan sumber visual merunut perkembangan


sejarah sains dan teknologi mulai akhir Abad Pertengahan.

- Art Historian seperti Helen Gardner telah memproduksi buku sejarah seni dari tahun 1926
menggunakan fotografi sebagai medium utamanya.

- Stratigrafi (penilaian kontur lapisan tanah dan batu berbagai kota tua) dan Atlas (pemetaan
dan kategorisasi) yang digunakan oleh para Natural Historian (seperti George Lyell, abad-19)
sejak awal telah mampu membangkitkan narasi tentang umur bumi maupun peradaban
manusia (Daston & Galison, 2007).

8
Frontpiece (bagian depan sebelum preface) p.38

Charles Lyell’s Elements of Geology (1838): menjelaskan asal muasal empat kelas batu
yang ada jaman sekarang (kiri). Sandy Hill, lapisan strata tanah sebagai penanda umur
dan peristiwa (kanan)

Diagram Copernicus (1543)


dan al-Tusi (1261),
menjelaskan tentang
perjalanan planet dan
benda langit lainnya.
Berbagai Visualisasi telah
muncul sejak lama, abad
keemasan Islam dan
Renaissance. (Pathfinder,
al-Khalili: 2010).

- Para Sejarawan Bahasa dari Abad-18 dan Abad-19 seperti Stephen Pallas (mengenai
Kekaisaran Rusia), Thomas Jefferson (mengenai Indian Amerika), William Jones (mengenai
Sanskrit), membuat visualisasi berbagai family trees (semacam timeline pada versi buku
Meretas Sejarah Visual) dalam menelusuri hubungan historis antar-bahasa di dunia. Pada
tahun 1861, August Schleicher memproduksi family tree atas Bahasa Proto-Indo-European
yang menghubungkan Bahasa Eropa Barat ke Iran sampai ke India.

- Sumber visual seperti line art (Abad-17 – Abad-19) dan fotografi menjadi andalan para
sejarawan mengenai studi tentang Mesir, Mesopotamia dan Maya (Egyptolog, Assyriolog dan
Mayanist) dalam mempelajari produk kultur berbagai peradaban tertua tersebut. Pembongkaran

9
dua tulisan tertua (sebagaimana gambar di bawah ini), menggunakan sumber visual salinan
tangan yang dilakukan oleh para pelancong. Sumber Visual telah menjadi sumber utama
pembongkaran Hieroglyph, Cuneiform atau Mayan Script bahkan dari awal sejak studi
mengenai kawasan tersebut muncul.

Line art atas relief Mesir oleh Ippolito Rosellini LukisanPelancong Carsten Neibuhr yang digunakan
(1832) membongkar cuneiform oleh Grotefend (1802)
Contoh lain seperti yang dilakukan oleh Arthur Worthington tahun 1975, fisikawan yang
memetakan sekuensi historis beribu-ribu imej dalam satu detik. Dari berbagai imej yang
ditangkap retina matanya tersebut ia memunculkan narasi tentang fluid dynamics. Bagi
Worthington, dari berbagai percobaan yang berulang-ulang, ia menemukan keindahan perfect
symmetry dari sebuah sistem fisika dalam fluid dynamics (Daston & Galison, 2007: 11).

Lukisan dari pandangan mata. Sekuensi mercury drop dijatuhkan dari ketinggian 78 milimeter
ke atas tatakan gelas bersih. Menurut penjelasan Worthington:
Gambar 1 dan 2. Cahaya yang terlalu banyak menyulitkan jumlah cabangnya. Gambar 3.
Jumlah cabang secara simetris terbentuk, biasanya berjumlah dua puluh empat. Gambar 4.
Menggambarkan cabang pada penyebaran maksimum. (Worthington, 1877 dalam Daston &
Galison, 2007: 12). Empiricism doesn’t equal Truth!

10
KERANCUAN PENJELASAN DAN KEMUBAZIRAN DATA

Berkenaan dengan hal-hal di atas, penjabarannya lebih lanjut dijelaskan di bawah ini.

Terkait persoalan-persoalan mendasar sehubungan definisi Sejarah Visual di atas, di bawah ini
akan diuraikan beragam ketidakjelasan yang diakibatkannya, berbagai definisi turunannya,
ditambah contoh kasus (baik teks maupun gambar), juga penjabaran berbagai hal yang
(sebenarnya) tidak lagi diperlukan dicantumkan pada buku ini, karena selain terkesan
berpanjang-panjang, juga tidak diperlukan.

1) Permasalahan teknis seperti soal penulisan (terjadi pengulangan banyak kata sambung pada
kalimat lalu struktur kalimat tidak menggunakan kalimat yang efektif (SPOK) dan yang
semacam itu memang bertebaran di sepanjang halaman buku namun tidaklah menjadi pokok
utama yang begitu penting sebagai obyek kritik resensi ini (persoalan tersebut menjadi urusan
remeh-temeh menyangkut buku ini). Meskipun begitu tetaplah penting dicatatkan di sini sebagai
pengingat saja sebagaimana contoh “ruwet” kecil di bawah ini:

"Sejarah visual sebagai produk rekonstruksi sejarah sebagai peristiwa menjadi sejarah sebagai
kisah merupakan aktivitas atau hasil rekonstruksi sejarah yang berbasiskan pada penggunaan
sumber-sumber visual atau menjadikan sumber visual sebagai sumber utama dalam
rekonstruksi sejarah." (Dienaputra, 2015: 13).

2) Pemuatan data yang tidak begitu diperlukan dan terkesan hanya untuk membuat penuh
halaman buku:

- Pengutipan kategorisasi sejarah menurut, atau dicomot dari buku-buku standar mahasiswa
seperti metodologi sejarah Sartono Kartodirdjo, Kuntowidjojo & Helius Sjamsudin, Ini juga
mubazir. Apa perlunya ditulis ulang? (Dienaputra, 2015: 16-24). Menulis ulang apa yang
disebut kategorisasi sejarah, dengan sedikit tambahan penjelasan oleh si penulis yang intinya
secara umum saja dan bersifat permukaan - bahwa dengan sejarah visual baik itu sejarah seni,
sejarah sosial, sejarah politik dan sejarah ekonomi (dirangkum oleh si penulis dalam empat
kategori) – “akan dapat dibaca dan dipahami dengan lebih mudah dan lebih menarik serta akan
lebih menginspirasi.” Begitulah!

- Penjelasan Metode Sejarah Lisan (dijelaskan pada Dienaputra, 2015: 40-43). Sama
saja, cuma pengulangan dari buku beliau sebelumnya yang berjudul Sejarah Lisan. Apa
gunanya ditulis ulang!

- Termasuk juga persoalan begitu banyaknya power point (selanjutnya disingkat p-p) yang
dimuat dalam buku ini. Nyaris ada di setiap halaman. Apa guna p-p sebanyak itu dengan
tampilan yang sama sekali tidak menarik dan hanya mengulang apa yang sudah ditulis
pada bagian buku yang sama (sebagaimana contoh di bawah ini).

11
Power point adalah info-grafis, untuk itu diperlukan sumber dan data lain terkait dari mana
referensi pada p-p tersebut diperoleh (meskipun diketahui p-p itu dibuat oleh si penulis,
misalnya). Dalam buku ini tidak ada keterkaitan antara p-p (sebagai-info grafis karena tidak ada
keterangan sama sekali sumbernya dari mana) dan teks dalam halaman yang sama. Tidak ada
keterkaitan antara slide-slide yang dijadikan illustrasi dengan teks yang sedang dijelaskan pada
halaman dimaksud.

Dengan jumlah p-p yang begitu masif dalam buku ini (termasuk penjelasan di halaman lain
referensi ini mengenai definisi, kutipan-kutipan mubazir dan foto-foto yang tidak ada korelasinya
dengan bangunan argumen), perlu dibuat komentar begini: Jangan membuat seakan-akan buku
ini tebal padahal sebenarnya buku ini sudah selesai hanya dalam beberapa halaman saja!

3) Apa yang disampaikan pada Bab Empat – Mengkritisi Sumber Visual, persoalan yang
diungkapkan hanya hal-hal bersifat permukaan, tanpa disertai contoh kasus. Di bagian ini si
penulis mengulas salah satunya, tentang internet forensics khususnya terkait foto dan
dokumenter yang membingungkan - gunanya untuk apa? Menjadi lebih tidak jelas, sejarah
visual apa yang dikritisi? Kritik sejarah visual dalam urusan dengan teks, foto, lukisan, peta,
data internet, film atau apa? Sama hal dengan bab sebelumnya, Bab Lima tentang
Rekonstruksi Sejarah, ini sama saja. Misalnya (dengan apa yang disebutnya) wujud visual,
dikatakannya diwujudkan melalui konsep & teori yang terdapat dalam ilmu seni rupa dan
desain. Apa yang disebutnya analisis gambar bergerak dari Feldman mengenai garis, bentuk
terang & gelap serta warna, analisis untuk visual seperti apa? Bagaimana cara
mengaplikasikannya? Untuk contoh kasus apa? (Bandingkan dengan penjelasan mengenai
permasalahan yang sama oleh Daniar Wikan Setyanto: Menimbang Warna dalam Atribut pada
Irama Visual: 2007)

4) Pada Gambar 2.4 (Dienaputra, 2015:15), si penulis mencantumkan gambar “contoh sumber-
sumber tertulis yang selama ini mendominasi media rekonstruksi sejarah, sekaligus menjadi ciri
utama sejarah konvensional”. Rancu sekali penjelasan semacam ini mengingat seluruh datanya
diambil dari sumber-sumber di situs internet dan kebanyakan dari situs yang patut
dipertanyakan kredibilitasnya. Persoalan di bagian ini juga cukup menarik perhatian,
menyangkut apa itu sumber primer, sekunder dan tersier. Dokumen serupa foto buku, lalu
memasangnya di blog/situs/media online – tentu saja kita (apalagi si penulis yang sejarawan)
perlu mempertanyakan dulu - juga memeriksa legitimasi sumber dimaksud. Gambar yang
disebutnya media konvensional itu diambil dari data yang sumber sejarahnya patut diragukan,

12
yang kita perlu melakukan koroborasi atau perbandingan dengan sumber-sumber lainnya.
Apakah medianya terjamin? Apakah tidak sebaiknya beliau memfoto buku sendiri saja daripada
mengambil data dari sumber-sumber semacam itu.

5) Apa yang disebut si penulis sebagai skema metode penelitian sejarah visual, sukar dimahami
maksudnya, ini mah (kata orang Sunda) skema metodologi sejarah standar yang umum
diketahui banyak orang (terlebih lagi tentu saja bagi mereka yang berkutat dengan ilmu
sejarah). Metode sejarah baku ini keruan ditambahi embel-embel ANALISIS VISUAL saja di
tengah-tengahnya. Silakan lihat gambar di bawah, ini lucu-lucuan, apanya yang perlu diolah
(Gambar 5.1, Dienaputra, 2015: 56).

GAMBAR 5.1
Skema metode penelitian sejarah visual
Sumber:
(Diolah dari Dienaputra, 2011)

SOAL PAPERLESS CULTURE

Diskusi mengenai paperless culture menyangkut pernyataan semacam ini, “Perkembangan


teknologi informasi yang sangat dinamis tampak semakin meminggirkan keberadaan kertas
sebagai media tulis menulis. Akibatnya bisa dipastikan ke depan akan semakin sulit
menemukan dokumen-dokumen tertulis yang ditulis di atas media kertas. Bila itu terjadi maka
era yang disebut sebagai PAPERLESS CULTURE atau ERA KEBUDAYAAN NIRKERTAS
semakin mendekati kenyataan.” (Dienaputra, 2015: V).

Di bawah ini penjelasan mengenai kerancuan terkait istilah Paperless Culture tadi. Paperless
Culture lebih pada harapan dan anjuran serta bukan pada fakta yang terjadi di dunia. Berikut
penjelasannya (agak membosankan untuk penyuka sejarah karena melulu soal angka tetapi
tetap diperlukan untuk menguji argumen):

a. Konsumsi kertas telah meningkat 400% dalam 40 tahun terakhir dengan 35% dari pohon
yang ditebang.

b.Permintaaan seluruh dunia untuk kertas “printing & writing” turun hingga 2,6% pada 2015,
menurut RISI. Data sebelumnya turun hingga 2,2% pada 2016, dan RISI meramalkan akan
terus jatuh hingga 1,1% pada 2017 dan 2018. Namun (penekanannya di sini) terdapat lebih
banyak kertas daripada untuk penggunaan cetak dan tulis. RISI melihat pertumbuhan tahunan
3% permintaan kertas global hingga 2018, dan 1,4% kenaikan kertas global secara
keseluruhan. Kematian industri kertas tradisional karena kurangnya inovasi bukan karena
permintaan terhadap kertas menurun (Unger, 2017)

13
c.Dalam 20 tahun terakhir, penggunaan produk kertas telah bertambah dari 92 juta hingga 208
juta ton, yang artinya pertumbuhannya 126%.

d.Konsumsi total seluruh produk kayu diharapkan lebih besar pada 2060 daripada tahun 2010.
Penambahan konsumsi produksi kayu diproyeksikan pada 2060 terjadi pada bubur kayu dan
kertas (Pipa Elias dan Doug Boucher, 2014: 14).

e. Di Indonesia sekitar 1,5 juta hektar hutan tropis berubah menjadi perkebunan sawit dan
bubur kayu (Wijaya, dkk., 2017). Kita juga menemukan bahwa minyak sawit dan penanaman
kayu fiber, terutama untuk bubur kayu dan industri kertas, adalah dua hal yang berkontribusi
paling besar terhadap hilangnya hutan di Indonesia.

FOTO, LUKISAN, PETA?

Pembahasan berikutnya akan menjelaskan satu per satu kerancuan bagian yang dinyatakan si
penulis - sebagai dampak dari definisi yang tidak jelas di atas, yakni “Gambar tidak bergerak
sebagai salah satu bentuk sumber visual, berupa FOTO, LUKISAN atau PETA.” (Dienaputra,
2015: 28). Inkonsistensi bisa dilihat dengan mudah pada buku tipis ini. Pada halaman lain
dengan mengutip saja Lohanda (2011) si penulis menyarankan untuk mencari sumber visual
tidak bergerak, yang dapat berbentuk foto, poster dan peta (Dienaputra, 2015: 27), dan sumber
visual berupa gambar tidak bergerak yakni berupa koleksi kartografik, arsitektural, gambar,
poster dan sejenisnya (Lohanda, 2011 dalam Dienaputra (2015: 45)). Apa gerangan yang
diinginkan si penulis dengan pernyataan yang awut-awutan ini?

Diulangi kembali di sini, terkait permasalahan sumber visual tidak bergerak yang menurut si
penulis adalah: foto, lukisan, peta? Lalu bagaimana menjelaskan visual “TIDAK BERGERAK”
lainnya. Itu pun apabila penulis buku ini mengganggapnya ada, dan boleh disebut begitu:
komik, litografi, sketsa, etsa, poster, perangko, kartun, batik, karikatur, relief, mural, pamflet,
piagam, grafitti, dsb. Ada alasan mengapa hal seperti itu dikemukakan di awal tulisan ini. Selain
penjelasan-penjelasan yang tidak saling sinkron dalam buku, kita dengan mudah saja bisa
menemukan banyak buku “kajian” visual seperti yang dimaksudkan sebagai Model
Rekonstruksi Sejarah Visual “tidak bergerak”. Contoh gampang saja, buku-buku yang rilis di
masa buku Meretas Sejarah Visual ini terbit – diantaranya riset unik penuh pendalaman dan visi
pakar semiotika Umberto Eco - ON BEAUTY (2004) & ON UGLINESS (2007), atau kajian
mengenai KOMIK, yang bisa menggambarkan bahwa kajian visual bisa begitu luas
perspektifnya tidak sekedar tiga aspek tadi (foto, lukisan, peta). Maafkan, ini benar-benar
hanyalah contoh kecil saja!

RAMPOKAN JAWA DAN CELEBES (Van Dongen, 2013) yaitu dua cerita berbentuk komik yang
mengisahkan kehidupan nenek moyang si komikus berdasar riset, catatan lapangan, dan foto-
foto masa lalu keluarga besar si komikus di masa Hindia Belanda. Cara pembuatan komik dan
riset unik seperti itu dikisahkan sendiri oleh penulisnya dalam sebuah acara yang kebetulan
diadakan (catat baik-baik) di FIB Universitas Padjadjaran tahun 2014!

14
Ada juga Michael Farr yang mengkaji komik Tintin. Hasilnya adalah sejarah TINTIN
(THE COMPLETE COMPANION). Tidak diragukan lagi, buku ini adalah kajian historis visual
hebat tentang komik populer yang biasanya kita nikmati sambil ha ha hi hi!. Bandingkan dengan
contoh menggelikan ini, karya sejarah visual yang disajikan secara tekstual yang disarankan
penulis: A Visual History of the Fighting Man atau Knives and Swords: A Visual History
(Dienaputra, 2015: 67). Di dunia maya, pdf buku-buku berbahasa Inggris terbitan DK seperti
judul-judul yang disebutkan si penulis di atas banyak beredar dan bisa diunduh dengan mudah
hingga puluhan giga dengan kualitas sangat baik (artinya visualnya bagus). Namun alangkah
lebih bagus apabila contohnya adalah buku-buku yang lebih “membumi” dan sebetulnya banyak
beredar dengan keragaman temanya.

MENGENAI FOTOGRAFI

Uraian si penulis mengenai apa itu fotografi yang (sengaja dikutipkan secara lengkap) lebih
mirip mengarang bebas, seperti semacam pidato, atau laporan pandangan mata stasiun TV,
dan sekali lagi, tentu saja sekaligus ahistoris. Aneh memang! Simak:

“Foto sebagai kekayaan sumber visual sejarah Indonesia telah banyak mewarnai sejarah
Indonesia sejak awal abad ke-20. Banyak foto-foto yang dibuat orang Belanda mengenai
Indonesia. Obyek yang terdapat dalam foto pun tampak beraneka ragam, mulai pemandangan,
prasarana dan sarana jalan, moda transportasi, hingga kehidupan sehari-hari masyarakat
Indonesia. Memasuki kemerdekaan, sumber visual berupa foto lebih mudah lagi untuk
ditemukan. Foto-foto yang merekam tentang Indonesia pun kemudian banyak dihasilkan oleh
orang Indonesia. Obyek foto pun semakin meluas, tidak hanya sekedar obyek-obyek
pemandangan tetapi juga melebar kepada obyek-obyek yang berada pada berbagai ranah
kehidupan masyarakat Indonesia, baik sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Kemudahan
teknologi di bidang fotografi menjadikan sumber visual berupa foto hampir menjadi kekayaan
tak terhingga sebagai media rekonstruksi sejarah. Bahkan, dunia fotografi yang semula hanya
menjadi milik mereka yang telah berusia dewasa kini menjadi milik segala usia. Tidak hanya
dewasa tetapi juga remaja, bahkan anak-anak.” (Dienaputra, 2015: 28 dan 30).

Kutipan di atas disertai foto-foto yang diambil dari collectietroppenmuseum dan (ini yang aneh)
foto-foto koleksi pribadi beliau dengan penjelasan foto yang entah apa kaitannya dengan
(katakanlah) sejarah - beserta kualitas gambar yang buruk (Perhatikan Gambar 3.6 (Anak-anak
di Pulau Langkai, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, Sulawesi Selatan, yang tengah belajar))
dan Gambar 3.7 (Para Penguji dalam Kegiatan Usulan Seminar Cecep Ucu Rakhman pada
Program Doktor Kajian Budaya bla bla bla…)) (Dienaputra, 2015: 30), yang sama sekali tidak
jelas maksudnya – (sungguh menarik untuk dipertanyakan) buat apa ditampilkan pada halaman
buku dimaksud, baik secara estetika maupun fungsinya.

Dapat dikatakan bahwa kutipan kalimat yang diuraikan di atas sama sekali tidak menginspirasi.
Terkesan asal berkomentar. Dengan begitu, untuk mudahnya melalui pemaparan di bawah ini
akan dibuat semacam perbandingan fakta dengan penjelasan si penulis di atas.

15
Keberadaan fotografi di Indonesia sudah sejak pertengahan abad-19 sebagaimana catatan
Groeneveld (dalam Alex Supartono, 2008) sebagai berikut: “Tahun 1841, seorang pegawai
kesehatan Belanda, atas perintah Kementerian Kolonial, mendarat di Batavia dengan
membawa dauguerreotype. Juriaan Munich, nama ambtenaar itu, diberi tugas “to collect
photographic representations of principal views and also of plants and other natural objects”.
Catatan berikutnya, Rusli Amran (1988: 380) dalam karyanya bertajuk Padang Riwayatmu Dulu
menulis seperti ini, “Kita masih beruntung bahwa firma Woodbury & Page, sebuah usaha
fotografi terkenal di Batavia paruh kedua abad yang lalu, sudah pada tahun 1868 pernah
mengirim ahli fotonya (A. Woodbury) ke Sumatera Barat dan bulan Juli 1876 membuka sebuah
studio darurat di Padang. Pertanyaan menarik, data dari mana ujug-ujug foto sebagai kekayaan
visual sejarah Indonesia muncul sejak awal abad 20 sebagaimana yang si penulis maksudkan?

Mohon si penulis mengecek sendiri literasi sejarah fotografi di Indonesia, para petualang visual
fotografi yang tidak disebutkan nama mereka dalam bukunya (atau memang tidak pernah beliau
ketahui, atau anonim) yang dikatakannya - memotret “pemandangan, prasarana dan sarana
jalan, moda transportasi, hingga kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia” tadi, (sebut saja
beberapa diantaranya) Kassian Cephas, Jean Demmeni, Herman Salzwedel, Ohannen
Kurkdjian atau Christiaan Benjamin Nieuwenhuis misalnya – tokoh-tokoh itu berikut rujukan
awal kemunculan fotografi di Nusantara ini selalu mencatat dimulai pertengahan abad-19. Anda
tidak sedang mengarang kisah fiksi!

Dalam uraiannya tentang kritik internal mengenai foto, penjelasannya lebih terasa janggal, “Bila
itu berupa foto, kritik diantaranya dapat dilakukan dengan melihat keakuratan peristiwa,
kejadian dan obyek manusia yang ada dalam foto tersebut. Apakah peristiwa atau kejadian
yang ada di foto tersebut merupakan peristiwa atau kejadian sesungguhnya atau bukan? Kalau
merupakan peristiwa atau kejadian sesungguhnya, apakah terdapat rekayasa visual dalam foto
tersebut? Apakah obyek manusia yang ada dalam foto tersebut merupakan tokoh asli atau
bukan? Bila tokoh asli, apakah terdapat rekayasa visual dalam foto tersebut.” (Dienaputra,
2015: 55).

Bagaimana mengaplikasikannya dalam praktek. Betul-betul sulit dipahami – mengkritisi fotografi


dengan sepenggal pernyataan seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan tadi perlu dikemukakan
karena pada beragam contoh “kajian sejarah visual terkait fotografi” di bawah ini, proses dan
hasilnya tidak sebagaimana yang dijelaskan si penulis buku Meretas Sejarah Visual ini.

Tentu saja penjelasan untuk uraian di atas perlu banyak contoh kasus. Oleh karena itu, untuk
menulis bagian fotografi ini saja misalnya, butuh begitu banyak data, banyak literatur, banyak
foto bahkan banyak film! Berikut uraiannya:

Mengingat si penulis selalu bicara sejarah, mengapa untuk contoh tidak sebaiknya menaruh
(sebagai misal) foto-foto dari Masa Revolusi Kemerdekaan yang dibuat oleh Alex & Frans
Mendur (kalau memang harus orang Indonesia atau masa setelah kemerdekaan yang dijadikan
obyeknya). Kajian mengenai foto-foto mereka (Mendur bersaudara) tokh sudah banyak dibuat
termasuk yang disebut karya ilmiah. Rentang hasil kajian perihal fotografi di Indonesia seperti di
atas terbentang cukup panjang. Gaya buku lain yang tidak njelimet misalnya diwakili oleh karya
fotografer Harri Peccinoti dan diberi ulasan oleh sastrawan terkemuka Umar Kayam:

16
SEMANGAT INDONESIA: SUATU PERJALANAN BUDAYA (1985). Anggaplah buku ini cukup
tua, mungkin kajian seperti ini lebih mewakili: MASYARAKAT & PERANG ASIA TIMUR RAYA
(SEJARAH DENGAN FOTO YANG TAK TERCERITAKAN). Ditulis dengan riset panjang oleh
Aiko Kurosawa yang kebetulan juga berkunjung di FIB Unpad (2016), atau hasil penelitian
inspiratif selama lima tahun, juga oleh orang Jepang bernama Aoki Sumio berjudul INDONESIA
DI MATA JEPANG DI HINDIA BELANDA 100 TAHUN LALU DALAM KARTU POS
BERGAMBAR FOTO (2017), yang (kembali entah apakah harus disebut kebetulan)
bekerjasama dengan Pusat Studi Bahasa Jepang - Universitas Padjadjaran). Di saat buku ini
terbit, (anggaplah lagi lagi) suatu kebetulan bahwa seorang tukang buku dari Belanda bernama
Olivier Johannes Raap beberapa kali berkunjung dan berbicara di FIB Unpad pada tiga sesi
berbeda untuk membahas buku-bukunya PEKERDJA DI DJAWA TEMPO DOELOE (Galang
Pustaka, 2013), KOTA DI DJAWA TEMPO DOELOE (KPG: 2015) & SEPUR DI DJAWA (KPG:
2017). Buku-buku ini adalah kajian visual cantik, dengan riset lumayan unik dan menggunakan
gaya penulisan populer dengan tanpa pendekatan apalagi metodologi sejarah a la buku
Meretas Sejarah Visual ini, dalam cara melihat foto-foto (pada kartu pos) di Indonesia masa
lalu. Sebagai cara melihat dengan sudut pandang lain, daripada capek membaca buku beliau
yang melelahkan itu, untuk urusan kajian foto ini, rasanya cukup dengan membaca buku-buku
di atas itu saja dulu untuk belajar memahami fase-fase tertentu sejarah di Indonesia terkait
fotografi. Oya, perlu dicatat, semua “kebetulan” tadi rupanya tidak dianggap penting oleh si
penulis Meretas Sejarah Visual ini.

Ada contoh lainnya dalam memahami konteks foto dan sejarah ini, kebetulan contohnya negeri
tetangga di Asia. Buku dalam bahasa Indonesia rilis terjemahan novel grafis SANG
FOTOGRAFER (Memasuki Kancah Perang Afghanistan Bersama Doctors Without Border,
Lefevre-Guibert-Lemercier, Gramedia: 2011). Riset menarik mengenai Perang Afghanistan.
Bagian-bagian tertentu buku yang enak dibaca ini berdasar foto-foto yang dibuat si penulis
selama perjalanan ke pedalaman Afghanistan di masa perang, lalu bagian lainnya berupa
rangkaian gambar. Penulis merangkai komik yang dibuatnya untuk mengisi kekurangan
bayangan apa yang ingin diceritakan. Hasilnya adalah kisah sejarah yang utuh dan padu,
secara visual saja, ini kisah petualangan yang luar biasa hebat. Tentu saja meskipun buku-buku
tersebut (katakanlah) bertema sejarah visual yang ditulis secara amatir dan oleh orang non-
akademis - tidak ada urusannya dengan empat kategori sejarah dari trio Sjamsuddin-Sartono
Kartodirdjo-Kuntowidjojo!

Apakah hasil-hasil riset kaitan sejarah dan fotografi di atas kurang ilmiah? Atau memang yang
dibicarakan harus kajian dan menggunakan metodologi. Dengan Begitu data ini perlu
dikemukakan. Pada tahun di sekitar masa buku Meretas Sejarah Visual ini terbit (2015), rilis
beberapa buku kajian sejarah visual, mungkin tulisan Susie Protschky mengenai sejarah era
kolonial di Indonesia lebih mendekati bayangan kita mengenai kajian visual fotografi,
PHOTOGRAPHY, MODERNITY AND THE GOVERNED IN LATE COLONIAL INDONESIA
(2015) salah satunya. Tidaklah perlu membaca utuh, cukup dengan sedikit pengamatan saja,
(kita diberikan kesan) buku tersebut contoh bagus kajian visual dan bagaimana
mengaplikasikannya dengan pendekatan ilmu sejarah. Mohon dicatat sekali lagi, pembacaan
terhadap buku-buku sejarah visual terkait fotografi di atas sampai pada kesimpulan, (silakan
diperiksa) rasanya tidak ada satu pun yang menggunakan “semacam kritik fotografi” a la
buku Meretas Sejarah Visual ini. Dan memang tidak perlu!

17
Jauh sebelumnya, sudah sejak tahun 1960-an batas antara fotografi dan film telah kabur.
Silakan penulis buku Meretas Sejarah Visual ini menonton film-film terutama LA JETEE (1962),
dan SAN SOLEIL (1982) dari Chris Marker contoh konkritnya. Batas-batas apa yang disebut
dokumenter yakni semacam esei dari rangkaian foto-foto yang membentuk semacam kisah,
montase, campuran beragam pernyataan dengan fiksi plus ungkapan-ungkapan filosofis,
menciptakan atmosfir mimpi dan science fiction. Beliau juga mengembangkan flm dengan
kemajuan teknologi digital, misalnya melalui LEVEL 5 (1996) dan IMMEMORY (1998) dengan
menggunakan multimedia interaktif CD-Room. Daftar film lainnya terkait fotografi masih bisa
diperpanjang. Perkembangan terkait fotografi juga menyasar aspek lain terkait musik dan
sejarah (kalau boleh dikatakan begitu). Memvisualkan musik sebenarnya bukan sesuatu yang
asing. Paul Klee, musisi yang juga pelukis hebat adalah salah satu pelopornya, termasuk Vasily
Kadinsky yang memvisualkan warna dan komposisi sebagai ekspresi suara (Widyatmoko,
2007: 176). Tercatat album-album rekaman seperti MUSIC! THE BERLIN PHONOGRAMM
ARCHIV 1900-2000 (Museum Collection Berlin-Wergo) berisi 4 cd dan 284 halaman foto
bersejarah terkait perekaman lapangan dan pertunjukan musik langka di seluruh dunia, atau
PARCHMAN FARM - PHOTOGRAPHS AND FIELD RECORDINGS 1947-1959 – sebuah
kompilasi rekaman berikut foto-foto hasil jepretan terkenal dari folklorist Alan Lomax; atau juga
GOODBYE BABYLON (berisi 135 lagu religius termasuk 25 rekaman khotbah yang dibuat
antara tahun 1902 hingga 1960 dipadu dengan 200 foto lama dengan spirit yang sama dengan
lagu-lagu dalam album); Mohon dicatat juga album LISTEN TO THE WIND THAT
OBLITERATES MY TRACES (Music In Vernacular Photographs 1880-1955). Ide unik
menggabungkan 51 lagu lawas dari pedalaman AS - ph 78rpm yang diberi esei yang berusaha
menciptakan suatu konteks sosial dan puitik, semacam inskripsi dari para penulis sejarah. Kita
bisa merasakan bahwa foto dan lagu-lagu itu sekarang tidak lagi sekedar antik!

Terakhir, judul film di bawah ini adalah contoh kasus terbaru yang juga menarik menyangkut
visi, pengembangan gagasan yang berasal dari sejarah dan fotografi. RUA APERANA 52
(APERANA STREET 52) adalah film Brazil (Julio Bressane, 2012). Sang sutradara
mendokumentasikan lanskap suatu sudut Rio de Janeiro. Film terdiri dari rangkaian foto yang
diambil dari foto-foto keluarga dan anggota masyarakat sekitar sejak tahun 1909 hingga 1955,
lalu ditambah scenes dari beragam film yang mengambil lanskap tempat tersebut antara tahun
1957-2005. Bressane menekankan editing sebagai sebuah bentuk intristik pemikiran yang
membuat penonton menjadi saksi baru lanskap yang bagaikan kisah fiksi.

Dalam rentang itu, antara tahun 1960an, terutama mulai era 1970an hingga sekarang dunia
fotografi begitu masif perkembangannya sehingga tidak mungkin dibahas di sini karena hanya
akan membuat penuh halaman saja. Si penulis dengan begitu perlu membaca banyak ulasan
sejarah fotografi (misalnya bisa melihat referensi – sejumlah artikel terkait fotografi) daripada
membuat kalimat bahwa (diulang sekali lagi) “dunia fotografi yang semula hanya menjadi milik
mereka yang telah berusia dewasa kini menjadi milik segala usia. Tidak hanya dewasa tetapi
juga remaja, bahkan anak-anak.”. OK-lah kalimat itu konyol namun ada nuansa lucunya juga
sih!

18
MENYOAL LUKISAN & RADEN SALEH

Pembahasan khusus mengenai Raden Saleh ini juga lucu, aneh dan mengherankan. Sebagai
Doktor lulusan Pascasarjana FSRD ITB, adalah gegabah dan tanpa dasar membuat pernyataan
Raden Saleh pemula sejarah visual untuk senirupa di Indonesia.

Dinyatakan oleh si penulis buku, "Adapun karya lukis tertua yang dibuat oleh orang Indonesia
adalah lukisan-lukisan karya Raden Saleh" berikut penyertaan gambar-gambar dua halaman
penuh berisi lukisan-lukisan Raden Saleh yang diambil lagi-lagi dari Collectie tropenmuseum
(Gambar 3.8, 3.9, 3.10, 3.11, & 3.13) (Dienaputra, 2015: 31, 32). Waduh!

Pertama, konsep Indonesia (tentu saja kita berbicara sejarah dalam hal ini) di abad Raden
Saleh hidup sama sekali belum ada (baca: tentang Adolf Bastian dalam ‘INDONESIA’ DARI
TENGAH BELUKAR NAMA (1982)). Beliau seharusnya menyadari itu. Sejarah visual di
Indonesia (sekali lagi, di Indonesia – bukan Indonesia, dan kalau mau disebut begitu), harus
dirunut jauh ke belakang dan tentu harus kronologis - menyangkut banyak aspeknya yang amat
luas dan rumit (tidak bisa disederhanakan dengan ujug-ujug membicarakan Raden Saleh – itu
pun dengan komentar apa adanya - sebagaimana catatan-catatan di bawah ini…):

Supaya diketahui, para penulis spesialis sejarah seni rupa di Indonesia pun menyangkut Raden
Saleh, umumnya berbicara hati-hati dan tidak asal klaim (silakan dicek), tidak ada satupun yang
menyatakan dengan gegabah bahwa Raden Saleh pelukis pertama Indonesia, sebagaimana
kutipan dari beberapa penulis yang representatif ini:

“Satu-satunya contoh pengaruh Barat yang tercatat sebelum awal abad ke-20, adalah lukisan
Raden Saleh Syarif Bastaman, “ selanjutnya dikatakan, “Raden Saleh juga dikenal sebagai
orang pertama yang mempelajari teknik melukis Eropa.” (Miklouho-Maklai, 1998: 5).

"Pelukis berpendidikan Barat pertama yang penting tampil pada abad ke-19 - yaitu Raden
Saleh." (Claire Holt, 2000: 27);

"Dalam paroh kedua abad ke-19 terdapat pemuda pribumi yang mempelajari seni lukis Barat.
Yang terpenting ialah Raden Saleh..." (Sanento Yuliman, 2001: 57);

"Raden Saleh adalah bagian dari budaya seni rupa zaman kolonial Belanda di Indonesia, yang
sebagian besar senimannya lahir di Eropa - kemudian melukis di Indonesia dan kembali lagi ke
Eropa." (Jakob Sumardjo, 2009: 17).

Perdebatan mengenai pemula sejarah seni rupa di Indonesia apabila itu yang dimaksudkannya
menjadi lebih rumit lagi jika kita menelusurinya jauh lebih ke belakang. Apakah harus ditarik
garisnya dari lukisan di Gua Leang Timpuseng Sulawesi Selatan (M. Aubert - Pleistocene Cave
Art from Sulawesi, 2014) yang berdasar riset ilmiah terakhir itu (ini betul-an ilmiah lho!) adalah
lukisan tertua yang pernah dibuat homo sapiens; Apakah hasil riset itu merupakan bukti -
warisan yang berupa akar-akar prasejarah? Apakah yang berupa dampak dari pengaruh India?
Apakah yang berasal dari inskripsi-inskripsi tertua sebagaimana halnya dengan kedatangan
Islam di Nusantara? Apakah sejak kedatangan orang-orang Eropa? Atau apa?

19
Berikut ini pernyataan Claire Holt, yang menjadi acuan mengenai sejarah seni di Indonesia
secara global, “…kita mempunyai konfirmasi bahwa pada awal abad ke-16 ada ahli-ahli dalam
seni lukis di istana Majapahit. Dengan jelas seniman-seniman ini mengerjakan lukisan-lukisan
pada lembaran-lembaran panjang dari ukuran kain, sebuah teknik yang mungkin sama dengan
teknik yang dipergunakan oleh orang Bali sampai abad ke -20.” (Holt, 2001: 269 - 270).
Indonesianis ini juga (misalnya) merujuk tulisan C.C. Berg mengenai puisi wiracarita dari abad
ke-16 yaitu Kidung Sunda yang menceritakan tentang seorang pelukis potret yang dikirim dari
Istana Majapahit ke Jawa barat untuk melukis seorang putri Sunda yang termashyur karena
kecantikannya.” (Holt, 2001: 270). Fakta di atas hanyalah contoh kecil saja dari perkembangan
awal seni rupa di Nusantara.

Berkat astrofisikawan Donald Olson, kajian singkat tetapi tidak sesederhana yang terlihat -
mengenai sejarah visual sebuah lukisan, adalah contoh kecil awal lahirnya suatu gerakan seni,
“Impresionisme” terkait lukisan Claude Monet di kota pelabuhan Le Havre, 1872: : ”Impression,
Soleil Levant” dengan menggunakan bantuan peta, foto dan astronomi. Anggaplah contoh
kasus itu terlalu mengawang. Kembali ke soal Raden Saleh, konyol berikutnya: bahwa si
penulis rupanya tidak mengetahui ada begitu banyak kajian visual mengenai lukisan-lukisan
Raden Saleh (lihat referensi terkait si pelukis ini) yang kelihatannya beliau istimewakan dalam
bukunya tersebut. Seperti misalnya (lagi lagi ini) riset (yang jelas sekali sebagai kajian sejarah
visual, kebetulan mengenai sejarah di Indonesia) yang amat menarik dari Peter Carey (suatu
kebetulan pula beliau sejarawan tulen) berjudul “Raden Saleh, Dipanegara, dan Lukisan Yang
Menggambarkan Penangkapan Dipanegara di Magelang.” (2001). Oya, riset itu adalah contoh
bagus KAJIAN SEJARAH VISUAL yang orisinil & kaya data namun diabaikan atau dinafikan si
penulis buku Meretas Sejarah Visual ini! Dengan begitu, apa gerangan yang diinginkan dengan
semua penjelasan Raden Saleh yang ahistoris tersebut?

MENYANGKUT PETA

Dalam kaitannya dengan koleksi kartografik, secara singkat atau mudahnya saja (artinya tanpa
menguji data dimaksud) si penulis mengutip begitu saja buku Mona Lohanda, yakni bahwa
(mengenai peta) dijelaskannya terdapat dua koleksi utama yang dimiliki ANRI berupa peta yang
dihimpun F. de Haan dari abad ke-17 sampai abad ke-19 dan peta yang dibuat Topografische
Dients (kemudian bernama) Dinas Topografi TNI-AD yang berasal dari abad ke-20 (Dienaputra,
2015: 45).

Data di atas barangkali mungkin penting tetapi simak catatan ini untuk bandingan. Berdasarkan
uraian Katalog Pameran Peta Indonesia dari Masa Ke Masa dengan mengacu peta mengenai
Indonesia dari Abad Pertengahan sampai Abad ke-20 yang dipamerkan di Museum Nasional
pada tahun 2001, dijelaskan oleh Heru Sajuto (kolektor peta antik) bahwa peta-peta terpenting
Nusantara saat itu hanya dimiliki oleh empat-lima kolektor yang beberapa diantaranya orang
asing yang bermukim di Indonesia, sisanya adalah koleksi Museum Nasional dan beberapa
peta teknik koleksi Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).

20
Lebih lanjut dinyatakannya, “Itulah yang kemudian menjadi tanda tanya bagi saya, karena
sebegitu jauh hampir tak ada studi sejarah atau karya literer dalam negeri didasarkan dari
informasi di peta kuno yang fisiknya masih sangat bagus dan informatif ini” (Heru Sajuto, 2001).

Ada catatan berikutnya. Ketika si penulis buku ini mengemukakan mengenai timeline sebagai
Model Rekonstruksi Sejarah, sebetulnya sudah sejak dekade 1980an Kartografi berkembang
menggunakan suatu model semacam timeline seperti yang beliau maksud dalam meringkas
atau menjelaskan suatu tema atau peristiwa sejarah, cukup dengan peta. Sangat detail, visual
yang kuat dan riset yang cermat membuat rasanya kita, para pembaca sama seperti membaca
suatu buku sejarah. Si penulis bisa mengecek misalnya (contoh ini acak saja) peta-peta yang
dibuat Majalah National Geographic ini: History of Japan (1984), China History (1991) the
Grand Exchange (1992), Garut-Tiga Segitiga Wisata (2009), Kerajaan Angkor (2009), atau
Warisan Sriwijaya-Sailendra (2013).

BAGIAN FILM

Membaca semua penjelasan mengenai apa itu Shoah Foundation (terkait ‘si menyong’ Steven
Spielberg), uraian apa itu film sejarah, apa itu film dokumenter hingga soal film animasi berikut
contoh film-filmnya, dapat disimpulkan si penulis kemungkinan malah tidak mengerti apa yang
ditulisnya. Sungguh mengherankan bahwa hal semacam ini bisa terjadi. Lebih menyedihkan
ialah bahwa pemahaman semacam ini dibawa ke ruang kelas.

Tentu saja penulis resensi ini tidak akan berargumen sebagaimana pernyataan di atas tanpa
dasar. Soal film, penjelasan-penjelasan si penulis dalam buku ini begitu mengganggu dan
begitu banyak penjelasan yang keliru. Untuk itu catatan-catatan mengenai subyek itu kami
fokuskan terpisah dan dibahas cukup panjang lebar.

Juga, akibat ketidakjelasan film-film yang dijadikan contoh kasus, yang sebagian besar patut
diragukan kelayakannya, bukan film-film yang mampu memberikan masukan spiritual dan
sekaligus sebagai studi perbandingan untuk sekedar apresiasi, yang layak tonton, yang bisa
dipertanggungjawabkan untuk membangun argumen, juga pemahaman mengenai sejarah film
supaya tidak sesat jalan, bagi khalayak pembaca buku Meretas Sejarah Visual, yang mencoba
mengapresiasinya, berikut ini dirunutkan juga sejumlah ulasannya.

MENCURIGAI USC SHOAH FOUNDATION

Perkembangan sejarah visual (khususnya di AS) dikatakan di sini berkembang sejak tiga
dekade terakhir (artinya dianggap setelah adanya Shoah Foundation), termasuk penekanan
tentang sosok ‘si menyong’ Steven Spielberg yang dalam buku ini dikesankan "seolah-olah"
sebagai Bapak Sejarah Visual – (spesialis) bagian yang disebut si penulis - “gambar bergerak.”

Menyangkut Shoah Foundation sendiri, pernyataan Beliau dalam buku ini lebih menarik
perhatian: "Berbeda dengan di Indonesia, dalam perkembangannya...pembuatan sejarah visual
melalui wawancara dengan para pelaku sejarah yang direkam dengan menggunakan media
audio visual telah dikembangkan di Amerika, setidaknya sejak 1994" (Dienaputra, 2015: 35).

Mengapa tidak mengecek dahulu, tidak asal klaim dan tidak asal-asalan membuat pernyataan.

21
Jauh sebelum itu, ada banyak film dengan gaya bertutur atau wawancara (semacam) “telah
dikembangkan di Amerika, setidaknya sejak 1994” yang diklaim si penulis buku Meretas
Sejarah Visual ini. Besar kemungkinan si penulis buku ini tidak pernah mendengar film berjudul
HEARTS AND MINDS (Peter Davis, USA, berasal dari tahun 1974). Si Davis ini mencoba
membuat penilaian sejarah kehadiran AS di Vietnam, dengan menggunakan wawancara, berita
& arsip-arsip langka. Tema kuncinya adalah bagaimana AS bersikap rasis dan anggapan
bahwa penggunaan kekuatan militer adalah sia-sia belaka. Gambar-gambar historis Perang
Vietnam yang sekarang sudah menjadi "landmark" adalah berasal dari film ini. Diharapkan betul
si penulis buku Meretas Sejarah Visual menontonnya supaya keberadaan fakta berupa film
seperti ini tidak dianggap hanyalah mengarang-ngarang cerita. Dalam spirit yang sama, di era
itu rilis pula dokumenter berbasis wawancara lainnya, yang penting dicatat – film perlawanan
pekerja tambang - HARLAN COUNTY, USA (Barbara Kopple, 1977) & THIN BLUE LINE (Errol
Morris, 1988) yang memicu kontroversi dan dampaknya amat besar terhadap perkembangan
film dokumenter di dunia. Oya, kebetulan ketiganya film AS. (Mohon hal ini menjadi catatan
karena kita bahkan belum membahas dan mendiskusikan konteks persoalan “wawancara
melulu dengan pelaku sejarah” ini dalam konteks dengan perfilman di negara lainnya). Dan
mohon dicatat, penjelasan di atas bukan uraian utama terkait Shoah Foundation ini.

Sekarang yang juga penting sekali dibahas, dari mana juga si penulis buku ini tiba-tiba menulis
panjang lebar soal arti penting Shoah Foundation, apalagi dengan penekanan Steven Spielberg
sebagai “Bapak Sejarah Visual” (mohon diingat kembali - Gambar cover depan buku ini,
Spielberg ditambah gambar film Schindler’s List, juga penekanan tahun “1994” yang si penulis
jadikan tonggak lahirnya sejarah visual yang disebutkannya terkait “gambar bergerak.”).

Bagi yang mengikuti dengan intensif literatur Sejarah Perang Dunia (khususnya di sini Perang
Dunia Kedua), riwayat Holocaust di dunia ini baik tulisan berikut film-film terkait dari berbagai
era dan berbagai negara, - membaca pernyataan-pernyataan si penulis tersebut, tentu akan
terheran-heran, ini jelas-jelas aneh & amat gegabah. Penulis buku ini (sebagaimana subyek-
subyek lain dalam bukunya) sebenarnya asal mencantumkan saja data-data dimaksud dan
tidak mengikuti subyek yang ditulisnya itu dengan cukup perhatian, apalagi riset serius.

Menyangkut: "pembuatan sejarah visual melalui wawancara dengan para pelaku sejarah yang
direkam dengan menggunakan media audio visual" tadi, juga ada persoalan lain (perlu
dingatkan dan diberi penekanan kritis soal ini) seperti bahwa dalam film terikat di dalamnya
banyak hal rumit – adanya pengutamaan, persoalan artistik, riset, editing (yang artinya
menyangkut teknis filmis, dst.) yang nanti akan banyak dijelaskan menyangkut persoalan film
dokumenter Ada begitu banyak literatur dibuat mengenai berbagai peristiwa sejarah dalam
konteks “wawancara melulu”, apalagi film dengan konteks semacam itu jauh sebelum tahun
1994 (kembali lagi di sini dengan penekanan contoh kasus): POURQUI ISRAEL (Claude
Lanzmann, 1972), FRENCH DOCUMENTARIES (Louis Malle, 1966) atau LE CHAGNINEL LA
PITIE (THE SORROW AND THE PITY) (Marcel Ophuls,1969 sepanjang 251 menit) adalah
beberapa saja diantara film-film dimaksud. Bahwa film-film tadi isinya “wawancara melulu”
miisalnya judul yang terakhir ini dikutipkan begini: THE SORROW AND THE PITY dibagi dalam
dua bagian - The Collapse dan the Choice. Film menarik ini berisi semacam video testimoni
atau wawancara (melulu) Ophuls dengan anggota masyarakat yang selamat dari masa Perang

22
Dunia II di Clemont-Ferrand di Prancis. Berisi pengalaman mereka baik itu kolaborator, orang-
orang dari gerakan perlawanan, maupun yang pro-Nazi, atau mereka yang selama itu tutup
mulut saja selama masa pendudukan di bawah rezim Vichy. Jawabannya tidak pernah
sederhana. Seorang petani berbicara bahwa dia dikirim ke kamp Buchenwald setelah seorang
tetangga melaporkan aktivitas perlawanannya. Seorang agen rahasia Inggris yang diterjunkan
ke dalam wilayah kekuasaan Vichy lalu jatuh cinta dengan seorang tentara perempuan Jerman.
Film ini lebih dari sekedar soal cara orang mengingat kembali masa-masa mencekam itu,
sebetulnya berbicara mengenai penyelidikan sejarah, ingatan dan kebenaran. Dan perlu diingat
juga, film berdurasi sepanjang ini diputar di bioskop untuk umum pada tahun 1970!
Karena ini menyangkut persoalan visual, menyangkut juga film, artinya, FILM-FILM ITU PERLU
& HARUS DITONTON!.

Perlu dicatat dan ini penting dalam konteks pembahasan bagian ini yakni bahwa film dengan
sepenuhnya wawancara bertema Holocaust “dengan para pelaku sejarahnya” - ya judulnya
(kebetulan) sama dengan Shoah Foundation, yakni SHOAH. Arti lain SHOAH adalah
HOLOCAUST. Film yang disutradari Claude Lanzmann yang orang Prancis ini (belum lama
meninggal, 6 Juli 2018 lalu di usia 92 tahun - RIP), tayang di bioskop tahun 1985, dan sejarah
film mencatatnya sebagai salah satu dokumenter terpenting, semacam magnum opus di dunia
film dokumenter (tidak sekedar dokumenter mengenai Holocaust terkait Nazi) dan sangat
menarik secara artistik (artinya visual) (berdurasi 570 menit atau 9 jam, dan sama sekali tidak
melelahkan). Acuannya sederhana saja: sama sekali tidak membosankan untuk film yang isinya
wawancara melulu! Menarik bahwa pada awalnya sang sutradara tidak menganggap filmnya itu
sebagai dokumenter. Sungguhpun SHOAH secara konvensional diklasifikasikan sebagai film
dokumenter, Lanzmann pada awalnya menganggap “wawancara panjang yang luar biasa” ini di
luar genre dimaksud karena tidak sebagaimana dokumenter sejarah, film ini tidak memuat
"historical footage." Film yang sejak riset hingga tayang perdana menghabiskan waktu 11 tahun
ini memuat wawancara saksi mata, para penghuni kamp konsentrasi yang bisa selamat, perwira
SS hingga sejarawan spesialis Holocaust Raul Hilburg, dengan fokus empat tempat (termasuk
kamp konsentrasi): Chelmo, Treblinka, Auschwitz-Birkenau & Warsaw Ghetto. Sekali lagi
diulangi pernyataan ini, film ini tayang di bisokop tahun 1985!

Hingga baru-baru ini corak film dengan format wawancara - sebagai acuan artistiknya masih
dibuat (dan tidak terkait dengan Shoah Foundation tadi). Salah satunya HE FENGMING
(FENGMING: A CHINESE MEMOIR) (Wang Bing, Tiongkok, 2007). Dokumenter yang dianggap
versi sejarah lisan-nya China (di masa Mao) ini sering dibandingkan dengan Gulag Archipelago-
nya Alexander Solzhenitsyn. Dalam film ini sepenuhnya Fengming cuma ‘ngomong di depan
kamera, kecuali saat beliau ke kamar kecil!

Sekarang mari kita bahas film yang juga dengan cukup mencolok ditampilkan pada cover depan
buku Meretas sejarah Visual ini. Daripada sekedar dikomentari sebagai film pemenang
Academy Awards 1994 tanpa arti penting lain kelihatannya, oleh karenanya ditambahkan sedikit
catatan di sini. Mengenai Schindler’s List sendiri, film itu ditolak diputar di bioskop-bioskop
Indonesia tahun 1994 karena tidak lolos di Badan Sensor Film (BSF). Dikatakan bahwa film itu
bila diedarkan hanya akan mengundang protes orang Islam karena mereka anggap sebagai
propaganda Yahudi. Meskipun ada juga saat itu yang berpendapat berbeda. Menonton film itu,

23
terutama bagi yang malas membaca, kata Rosihan Anwar kepada Jakarta Post, seperti belajar
sejarah dalam waktu singkat: yakni menjadi tahu Holocaust. Penulis resensi ini sendiri
menonton pertama kali film ini dalam format vcd bajakan dan sejak itu, karena alasan suka,
menontonnya berkali-kali dalam rentang yang panjang!.

Terkait sejarah Genosida (atau Holocaust) yang dikatakan penulis dengan cukup panjang lebar
– khususnya yang terkait testimoni-testimoni saksi mata Rwanda, Armenia dan Kamboja,
pernyataan itu juga ganjil - tidaklah mungkin membuat kajian Holocaust (termasuk di banyak
tempat tadi) hanya berdasar testimoni-testimoni sebagaimana yang dijelaskan si penulis,
karena si periset tentu saja harus banyak membaca literatur, mengikuti pembabakan waktu, di
mana kronologi penceritaannya harus jelas (kita ‘kan berbicara sejarah), termasuk menonton
dan meneliti rekaman video atau film-film dengan tema dimaksud yang pernah dibuat
sebelumnya.

Apabila yang mau diungkapkan itu berupa tampilan visual, tentu harus diungkapkan melalui
penjelasan teks dahulu (artinya riset literatur) lalu berlanjut visual yakni film atau video, yang
dirunutkan dan dijelaskan, yang dianggap basic-nya dahulu. Secara runtut, (kita nafikan dulu
persoalan literatur terkait teks – karena saking banyaknya), misalnya minimal untuk mengupas
tema Holocaust saja, sumber standar adalah (ini contoh acak): bisa dimulai dari Der ewige Jude
(The Eternal Jew) (1940), disutradarai dan dibuat oleh Fritz Hippler atas perintah Menteri
Propaganda Nazi Joseph Goebbels sebagai kampanye untuk mengumbar kebencian terhadap
orang Yahudi – tak lama setelah aneksasi Polandia; berikutnya, dua buah dokumenter penting
yang bisa dianggap horror - Auschwitz (original footage, 1945), & Nuit et brouillard (Night and
Fog) (Alain Resnais, Prancis, 1955) - One of the first cinematic reflections on the horrors of the
Holocaust (sengaja komentar dalam Bahasa Inggris karena teks, apalagi filmnya – sungguh
keren & penting!), kemudian ada film seperti Nuremberg Trial, Genocide (Arnold Schwartzman,
1982), Imaginary Witness: Hollywood and the Holocaust (2004), film Latvia yang berjudul
Soviet Story (2008), Death Camp Treblinka: Survivor Stories (2012), berikutnya serial
dokumenter populer yang dibuat BBC - Auschwitz (Nazi & the Final Solutions), termasuk yang
terbaru Germans and Jews (History is the memory of a people) (2016), dll. yang banyak sekali
itu, termasuk banyak sekali film jelek dengan tema semacam itu, yang berorientasi seks,
komedi, dst. Nah, setelah semua film tersebut diapresiasi (artinya minimal ditonton), barulah si
penulis Meretas Sejarah Visual ini membuat penjelasan (apa yang dimauinya) terkait “Shoah
Foundation, Steven Speilberg, film Schindler’s List dan arti penting tahun 1994 dalam sejarah
visual versinya”.

Karena si penulis bicara juga mengenai Genosida Kamboja, perlu disarankan dan
direkomendasikan film-film di bawah ini – supaya datanya tidak USC Shoah Foundation-Minded
melulu (terkait persoalan sejarah visual, film-film ini tentu saja juga tidak sekedar didata,
TETAPI JUGA HARUS DITONTON!). Untuk sekedar tontonan saja (artinya tidak perlu jadi
makalah atau kajian bla bla bla…) misalnya, bisa dicek dengan merujuk film-film sebagai
berikut: YEAR ZERO-THE SILENT DEATH OF CAMBODIA (David Munro, 1979), juga PUBLIC
ENEMY NUMBER ONE (David Bradbury, 1981), S-21: THE KHMER ROUGE KILLING
MACHINE (Rithy Panh, 2003), ENEMIES OF THE PEOPLE: A PERSONAL JOURNEY IN THE
HEART OF KILLING FIELD) (Thet Sambath, 2009) atau ini DON'T THINK I'VE FORGOTTEN -

24
CAMBODIA LOST ROCK’N ROLL (2015). Sebetulnya, untuk sekedar memahami sejarah
genosida Kamboja, cukuplah membaca buku Haing Ngor & Roger Warner yang kemudian
difilmkan juga berjudul NERAKA KAMBOJA (KILLING FIELDS) & menonton film-film di atas.

Atau untuk Rwanda juga banyak, namun yang terbaik adalah serial GHOSTS OF RWANDA
(PBS, 2004), juga tema sejarah abad ke-20 lainnya, serial apik SPANISH CIVIL WAR, atau
serial THE DEATH OF YUGOSLAVIA untuk Perang Balkan. Judul atau tema visual berupa film
yang merupakan gambaran brutal dari kesia-siaan perang semacam itu bisa terus
diperpanjang. Perlu pemahaman luas juga untuk memaknai genosida di dunia dengan film-film
lain terkait tema itu, apakah Genosida di Armenia, di Palestina, di Afrika Selatan di masa rezim
Apartheid, di Srebrenica (saat Perang Balkan), di Darfur, Rohingya di Myanmar, dst. dst. Untuk
itu selain membaca literatur terkait, juga sekali lagi, (tidak bosan untuk diulang-ulang)
disarankan untuk si penulis buku ini - MENONTON FILM!

Kritik berikutnya yakni mengenai testimoni-testimoni yang dikatakannya korban Holocaust


berikut Genosida, yang dalam buku Meretas Sejarah Visual ini BEGITU DIPENTINGKAN!
Bahwa institusi yang didirikan Steven Spielberg (sebagaimana dinyatakan si penulis) telah
berhasil mengumpulkan setidaknya 52.000 video testimoni dari para korban bencana
kemanusiaan (genosida, holocaust), tidak berarti lembaga ini punya arti sepenting itu dalam
pembahasan apa itu yang disebut sejarah visual, apalagi dengan mencatatkan pelbagai data
video testimoni dan hasil kajian dari video-video testimoni dimaksud hingga dua halaman penuh
berikut karya-karya yang disebutkannya sebagai karya ilmiah yang dihasilkan dari testimoni-
testimoni dimaksud (seberapa berpengaruh atau soal sejauh apa atau bahkan seberapa
penting data-data itu bagi perkembangan sejarah dunia, apalagi sejarah di Indonesia?). Hasil
riset berdasar testimoni korban genosida yang disebut karya ilmiah (Dienaputra, 2015: 37, 38)
tidaklah memberi keyakinan bahwa tulisan-tulisan tersebut cukup penting dalam konteks
sejarah (apalagi sejarah Indonesia), misalnya apa perlunya kita tahu judul-judul semacam ini:
COMPASS, SQUARE & SWASTIKA: FREEMANSORY IN THE THIRD REICH atau ini,
FORCED PROSTITUTION: THE COMPETING AND CONTESTED USED OF
CONCENTRATION CAMP BROTHEL! Ha ha ha…

Mengapa penjelasan mengenai genosida di atas berikut contoh hasil-hasil kajiannya


menggelikan? Menjadi semakin tidak punya arti penting dan tidak berguna uraian si penulis di
atas apabila kita mengikuti penjelasan berikut ini. Catatan selanjutnya, sebagai orang yang
mengaku punya perhatian besar terhadap persoalan VISUAL sekaligus GENOSIDA, sangat
mengherankan bahwa si penulis tidak menganggap penting kemunculan film semacam JAGAL
(2012) misalnya, yang rilis di tahun sebelum buku ini terbit. Perhatikan - penjelasan beliau yang
panjang lebar mengenai (catat baik-baik) Shoah Foundation, Genosida, sejarah Indonesia,
sejarah visual dalam kaitannya dengan film Jagal ini menjadi tidak penting sama sekali dan
tidak ada artinya, dan dengan begitu KEGANJILAN INI AMATLAH PENTING UNTUK
DIPERSOALKAN (sebab di dalam bukunya hal itu betul-betul dinafikan) sebagaimana
dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.

Film yang dimaksud, sekali lagi, adalah THE ACT OF KILLING atau JAGAL (disutradarai
Joshua Oppenheimer, produksi Denmark-Norwegia-UK, rilis 2012). Dikatakan mengherankan

25
begini, Meretas Sejarah Visual terbit tahun 2015, tiga tahun setelah JAGAL diputar di mana-
mana di negeri ini, dan di tahun itu masih tetap ramai dipergunjingkan di seluruh dunia
(kebetulan pula sequelnya, SENYAP (2015)) masuk nominasi dokumenter Piala Oscar di tahun
itu; Kemudian ada kebetulan lain, contoh kasus adalah (perhatikan kembali baik-baik)
GENOSIDA (yang dibahas dalam buku dimaksud dengan antusias), peristiwanya (entah beliau
menganggapnya kebetulan atau tidak, tetapi faktanya) terjadi di Indonesia pula. Arti pentingnya
dan korelasi dengan film di atas: “kita berbicara sejarah Indonesia dan penulis buku ini
merupakan dosen Sejarah Indonesia. (GENOSIDA sengaja dengan memakai huruf besar,
karena dalam pembahasan USC Shoah Foundation, istilah ini begitu ditekankannya). Boleh jadi
pseudo-documentary itu adalah film terbaik mengenai Indonesia yang pernah rilis dalam 50
tahun terakhir dan sama sekali tidak menjadi data apalagi acuan si penulis. Sungguh ahistoris
bukan?

Catatan penting berikutnya berhubungan dengan persoalan ini yakni suatu kebetulan kembali
bahwa di tahun yang sama, JAGAL - film (diberi penekanan dan diulangi: GENOSIDA) dengan
keterkaitan adegan-adegan absurd, antropologis, (katakanlah) visual sosiologis, visual
etnografis, budaya populer dan sejarah Indonesia modern yang bercampur aduk ini - menjadi
salah-satu kajian pada buku “terkait” VISUAL paling menarik dalam beberapa tahun ke
belakang di Indonesia: IDENTITAS DAN KENIKMATAN (KPG: 2015). Komentar Ariel Heryanto
(penulis buku dimaksud) dalam ulasannya yang panjang dan amat menarik mengenai perfilman
Indonesia di tahun 2000-an, dan khusus mengenai JAGAL sampai pada kesimpulan, “Pada titik
ini, gagasan tentang “sejarah” sudah sangat rumit.” (Hal. 177), merupakan petunjuk penting
tentang arti penting film ini. Ariel Heryanto juga-lah yang dengan mempesona membahas atau
mengkaji film (sejarah visual – terkait gambar bergerak, menurut si penulis buku Meretas
Sejarah Visual), yaitu INDONESIA CALLING (Joris Ivens, 1949). Ceramah beliau yang
menginspirasi mengenai film dimaksud bisa dilihat pada kanal youtube.

Terkait genosida juga, buku Meretas Sejarah Visual ini pada sisi lain mencontohkan (tanpa
embel-embel apapun) PENGKHIANATAN G30S/PKI sebagai “film sejarah” (Dienaputra, 2015:
73). Penjelasan yang diutarakan Herlambang (2013) untuk memahami film ini sampai pada
kesimpulan berikut: “Arswendo (penulis novel yang dibuat berdasar adaptasi filmnya) sendiri
mengakui bahwa Nugroho Notosusanto (si penggagas film PENGKHIANATAN G30S/PKI) telah
memanipulasi data-data sejarah…” (Halaman 174). Ulasan lain dengan tema terkait dan
pendapat senada dengan riset mendalam, baca juga kajian Krishna Sen (2009) & McGregor
(2008: 173 – 178).

Pada tahun itu pula (2015), masalah Genosida ramai dalam ranah publik, sebagaimana catatan
berikut ini: Panel Hakim Pengadilan Rakyat 1965 menemukan bukti terjadinya genosida yang
merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Genosida 1948 (Laporan Akhir Pengadilan Rakyat
Internasional 1965, 2017: 194). Untuk pemahaman lebih lanjut soal ini (kesaksian korban
genosida & apa itu International People’s Tribunal IPT 1965 di Den Haag, 2015), si penulis
disarankan menonton juga film menarik ini, LE SOLILOQUE DES MUETS (Stephane Roland,
Prancis, 2017).

26
Dengan seluruh rangkaian fakta di atas, bagian buku Meretas Sejarah Visual mengenai Shoah
Foundation dan Genosida ini adalah kumpulan pernyataan yang sungguh konyol dan dagelan
yang tidak lucu! Kekacauan pemahaman, pengabaian, (bahkan patut diduga) si penulis buku
tidak mengetahui semua konteks di atas terkait permasalahan Genosida ini, bahkan untuk
alasan pura-pura tidak tahu sekalipun, menjadi relevan dan menjelaskan arti (tidak) pentingnya
buku Meretas Sejarah Visual ini dalam memahami sejarah Indonesia. Kutipan penjelasan Ariel
Heryanto (2015) di bawah ini bisa mewakili atau merangkum konteks permasalahan tersebut:
“Pembunuhan 1965-1966 merupakan dasar paling menentukan dari seluruh identitas dan
definisi apapun tentang Indonesia, sampai sekarang. Dia bukan satu-satunya penyebab, tetapi
induk dari berbagai penyebab lain, yang menjelaskan macam-macam, termasuk keuangan kita,
tata-sosial kita, akademi kita, agama kita, moralitas kita, penjara kita!”

MENJERNIHKAN PERSOALAN FILM SEJARAH

“Model selanjutnya sejarah visual dalam bentuk gambar bergerak adalah film sejarah. Film
sejarah pada dasarnya merupakan hasil rekonstruksi peristiwa sejarah menjadi kisah sejarah
yang disajikan dalam bentuk gambar bergerak.” (Dienaputra, 2015: 72).

“Film sejarah sebagai salah satu model rekonstruksi sejarah visual dengan demikian
merupakan sebuah hasil rekonstruksi sejarah (visual) berbasiskan sumber visual (bergerak atau
tidak bergerak) yang disajikan secara imajinatif (baik pelaku maupun tempat peristiwa) dalam
bentuk gambar bergerak, baik berwarna maupun hitam putih. Hasil analisis atas fakta visual
sebagian besar disajikan dalam bentuk rekayasa gambar bergerak dengan menggunakan
multimedia, serta terkadang masih menggunakan teks tertulis untuk memberikan deskripsi atau
eksplanasi atas gambar, bergerak maupun tidak bergerak, yang menjadi obyek analisis di
dalam film. Film sejarah dapat disajikan dalam bentuk film (non) animasi maupun animasi.”
(Dienaputra, 2015: 72).

Ha ha…apa pula ini! Perhatikan - sungguh-sungguh sukar dimengerti ke mana arah pernyataan
semacam itu, Berikutnya – bagaimana mengaplikasikannya? Apakah yang dimaksud adalah
film sejarah yang sudah jadi - semacam Sang Kiai misalnya (karena contohnya begitu), atau
film Sang Kiai direkonstruksi menjadi (sebagaimana yang dimaksudkannya Model Rekonstruksi
Sejarah Visual) sehingga menghasilkan film sejarah baru?

Klaim si penulis tentang film sejarah ini juga menarik untuk mengundang polemik. Apakah yang
dimaksud film sejarah itu kisah film berdasar peristiwa sejarah (bila contoh acuannya Tjoet Nja
Dhien, Sang Pencerah atau Sang Kiai), atau film propaganda bernuansa sejarah (apabila
acuannya Pengkhianatan G30S/PKI), atau film semacam Burgerkill (We Will Bleed)? Bila
acuannya film bertema musik seperti film terakhir ini, perdebatan kita rasanya akan lebih
panjang dan butuh penulisan khusus tersendiri.

Hasil karya riset yang difilmkan, tentu ada storytelling-nya. Itu apabila film dipakai sebagai alat
bercerita, bukan berekspresi. Cuma persoalannya, apa yang disebut film sejarah tidak pernah
sesederhana itu. Kajian visual kaitan dengan (apa yang disebut si penulis) film sejarah dengan
model rekonstruksi seperti yang diinginkannya sebagaimana di atas, sekali lagi bagaimana
mengaplikasikannya?

27
Kembali lagi, dan terus harus diingatkan dan diulang-ulang pada resensi ini, sebagai seorang
yang mengaku sejarawan, ketika bicara tema semacam ini harus bisa menjelaskan
pembabakan waktu, pertanggungjawaban estetik (karena menyangkut film sebagai karya seni)
dan membuat alur yang jauh ke belakang secara runut.

Perlu dipersoalkan juga - Apa itu film sejarah? Apakah film sejarah haruslah rekaan atau fiksi
yang mengacu suatu peristiwa sejarah tertentu? Mengaburkan pemahaman apa itu film sejarah
dengan dokumenter sejarah misalnya, menarik untuk diskusi lebih lanjut. Apakah bila ada
"genre semacam itu – yakni film sejarah", berarti dokumenter bukanlah film sejarah?
Memisahkan apa yang disebut si penulis “film sejarah” dengan dokumenter saja sudah
persoalan yang ganjil dalam buku ini!

Perlu catatan khusus berikutnya di sini bahwa film seperti Sang Pencerah & Sang Kiai hanyalah
semacam model film komersial dengan “sejarah” sebagai barang dagangannya (sulit dipahami
dan dimengerti bagaimana film-film semacam ini dianggap si penulis sebagai film sejarah dalam
konteks Model Rekonstruksi Sejarah Visual sebagaimana yang dimaksudkannya?). Tentu saja
ada film bagus yang dibuat dengan riset yang lumayan (di Indonesia biasanya terkendala
persoalan dana serta riset) seperti Tjoet Nja Dhien yang dibuat berdasar novel Szekely-Lulofs
atau Lewat Djam Malam (1954) atau yang lebih baru, trilogy-nya William Retel Helmrich
mengenai keluarga Indonesia di masa setelah Reformasi 1998. Tetapi sekali lagi, tidak bisa
tiba-tiba mengklaim film itu dan film anu – sebagai film sejarah tanpa penjelasan kronologis
karena dengan begitu penjelasan itu (lagi lagi) ahistoris.

Sebagai tempat bercermin, si penulis harus memahami dulu konteks film semacam itu di dunia
sebelum berbicara konteks film yang sama di Indonesia. Merupakan keganjilan seseorang
membicarakan film sejarah tanpa memahami konteks zaman film itu dibuat; si penulis juga perlu
merujuk dulu sineas (lebih bagus lagi berikut judul film) yang (katakanlah) membuat film
berdasar “”peristiwa sejarah” yang bisa dibuat atas suatu skenario, dari novel atau bahkan
cerita pendek, katakanlah. Nama-nama sebagai berikut bisa diartikan FILM & SEJARAH: D.W.
Griffith (Birth of A Nation, Intolerance), Abel Gance (Napoleon), Eisenstein (Battleship
Potempkin), Sergei Bordanchuk (War & Peace), atau Rosselini (Ludwig, Blaise Pascal). Apakah
mereka sejarawan? “Sejarawan” semacam itu bisa diperpanjang dari berbagai belahan dunia
termasuk yang barangkali si penulis buku ini (setidaknya pernah) mendengar atau
menontonnya karena populer dan (kebetulan) produksi Hollywood, (katakanlah) 1492 Conquest
of Paradise (Ridley Scott), Platoon (Oliver Stone) & Saving Private Ryan (Steven Spielberg)
misalnya. Contohnya bisa terus ditambah dan diperluas, saking luasnya cakupan dan
pemaknaannya. Pencantuman nama seperti itu penting sebagai acuan pembaca buku
dimaksud, untuk meyakinkan bahwa yang sedang diperbincangkan adalah film sejarah.

Film sejarah tidak selalu berarti bahwa film dimaksud bercerita mengenai satu peristiwa sejarah
tertentu (apalagi ditambah embel-embel film sejarah sebagai salah satu model rekonstruksi
sejarah visual). Penting untuk diskusi lebih lanjut, apakah tema film sebagaimana yang
diuraikan di bawah, masih bisakah film-film itu disebut film sejarah sebagaimana dimaksudkan
si penulis Meretas Sejarah Visual ini, contoh saja:

28
Merupakan peristiwa sejarah: Peristiwa Paris Mei '68 dalam film, film-film mengenai konflik di
Irlandia Utara dan persoalan terkait, atau tema tertentu terkait suatu era: Third Reich Cinema:
film-film Jerman dari 1933 hingga 1945, The Golden Age of Porn (film-film berorientasi seks
yang mencapai masa keemasan di tahun 1970an-1980-an), film-film terkait The Beat
Generation (akhir 1950an - awal 1960 di AS), film-film "Coming of age", film-film Science Fiction
yang marak di tahun 1950-an, German Expressionist Cinema: 1920 - 1932, Film-film mengenai
visual artist (pelukis, fotografer, filmmaker, dll..), Sinema di Jerman Timur 1980an, atau Film-film
China Sebelum Era Komunis, yakni 1922-1949? Daftar tema semacam ini bisa terus
diperpanjang karena sejarah film dunia juga sudah terentang cukup panjang.

Penekanannya sekali lagi, dengan contoh-contoh di atas, tidak melulu selalu yang dimaksud
film sejarah adalah selalu film berdasarkan peristiwa sejarah.

MENGANALISIS APA ITU FILM DOKUMENTER

Mengenai film dokumenter, kutipan pernyataan si penulis sebagai berikut:


"Film dokumenter, dalam kaitannya dengan sejarah visual, dapat diartikan sebagai rekonstruksi
sejarah (visual) berbasiskan sumber visual (bergerak maupun tidak bergerak) yang disajikan
sebagaimana adanya dalam bentuk gambar bergerak, baik berwarna maupun hitam putih. Hasil
analisis atas fakta visual yang terdapat dalam film dokumenter disajikan apa adanya sesuai
dengan fakta visual yang diperoleh dan biasanya sebagian besar disajikan dalam bentuk
gambar bergerak, dengan atau tanpa menggunakan multimedia, serta terkadang menggunakan
teks tertulis untuk memberikan deskripsi atau eksplanasi atas gambar, bergerak maupun tidak
bergerak, yang menjadi obyek analisis di dalam film." (Dienaputra, 2015: 70)
Berikutnya: "Bila itu berupa film dokumenter, maka kritik internal diantaranya dilakukan terhadap
substansi film dokumenter itu sendiri. Apakah adegan-adegan peristiwa yang terdapat dalam
film dokumenter tersebut semuanya merupakan peristiwa nyata dan sungguh-sungguh terjadi?
Apakah tokoh yang terdapat dalam film dokumenter tersebut merupakan tokoh asli atau bukan?
Apakah terdapat rekayasa visual dalam film dokumenter tersebut? Apakah warna hitam dan
putih dalam film dokumenter tersebut merupakan warna aslinya atau hasil rekayasa visual?"
(Dienaputra, 2015: 55). Bagaimana mengaplikasikan deskripsi si penulis di atas dalam praktek?

Tentu saja semua penjelasan yang berputar-putar itu terdengar menyedihkan, si penulis
menyederhanakan pemahaman kita mengenai apa itu dokumenter. Mana kronologinya, alur
sejarah yang mau disampaikan? Apakah dokumenter berhubungan dengan sejarah film di
dunia ataukah ia punya dunia tersendiri? Apakah dokumenter bisa tiba-tiba saja ada dalam
sejarah film di Indonesia? Dengan penjelasan di atas lagi lagi harus dikatakan, penjelasan dan
contoh-contohnya adalah ahistoris.
Apabila penjelasannya sesederhana dan serancu itu, mungkin menjelaskan mengapa contoh
film dokumenter yang disajikan adalah potongan-potongan gambar dari youtube yang tidak
jelas judulnya (karena memang tidak ada judul), bahkan hitam gelap saja tidak jelas gambar
apa, plus dicomot begitu saja (lihat Gambar visual berbentuk gambar bergerak 5.6, 5.7 dan 5.8,
Dienaputra, 2015: 70-71).
Berbicara film dokumenter tentu tidak sesimpel penyebutan "berupa gambar bergerak!".
Dengan begitu penulis buku ini perlu disarankan untuk membaca beberapa definisi dokumenter
yang bila betul si penulis mengikuti perkembangannya, amat beragam ,tidak hanya cukup
mengutip buku standar Philips (2009) saja – lalu seolah-olah selesailah perkara ini. Definisi
standar, umumnya muncul dari sineas kelas empu semacam Robert Bresson, Jean Luc
Godard, Dziga Vertov, atau Jorgen Leth.

29
Pada bagian lain, beliau menyatakan: "Film dokumenter sebagai salah satu wujud sumber
visual berupa gambar bergerak dapat dikatakan merupakan sumber visual berbentuk gambar
bergerak yang paling pertama dikenal dalam sejarah Indonesia." (Dienaputra, 2015: 33).
Sesederhana itukah penjelasan mengenai film dokumenter di Indonesia?

Silakan juga membaca uraian Gotot Prakoso (Film Pinggiran, 1997) tentang apa itu dokumenter
berikut acuan film yang betul untuk pemahaman awal. Ada tiga bab khusus membahas Sejarah
Film Dokumenter di Indonesia: Dewi Dao Mirip Seekor Kura-kura, Sinema Ruh Copy (Never
Ending Story) (Era Dokumenter Etnografi di Indonesia), & Sketsa Kronologis Film Dokumenter
di Indonesia. Dalam penjelasannya, Gotot Prakosa menjelaskan secara runtut (kronologis)
sejarah film dokumenter di Indonesia (karena ulasannya cukup panjang lebar dan menyangkut
banyak segi, sengaja tidak dimuat di sini). Sekali lagi harus ditekankan, begitulah seharusnya
penjelasan mengenai apa itu film dokumenter dibuat. Tidak bisa ujug-ujug potongan gambar
dari youtube tanpa judul atau film Burgerkill dicomot dan dicantumkan begitu saja dalam
bukunya! Dan tentu saja, sekali lagi film-film dokumenter – HARUS DITONTON!

Pernyataan si penulis di Halaman 33 itu juga memantik persoalan lain:

1.Bahwa film dalam wujudnya sebagai gambar bergerak (sebagaimana diulang terus-menerus
oleh penulis di banyak halaman buku tipis ini) adalah realitas yang juga terjadi di seluruh dunia.
Dengan begitu pernyataan tersebut ganjil. Sumber visual berbentuk gambar bergerak yang
paling pertama dikenal dalam sejarah di dunia, dimanapun anda mengeceknya, apakah ke
Kanada, ke Afrika Selatan, ke Chile, ke Islandia atau ke Pulau Paskah di Pasifik selatan
sekalipun, semuanya sama, ya yang disebut film dokumenter itu. Itu sebabnya diimbau berkali-
kali di sini si penulis untuk SUNGGUH-SUNGGUH MENONTON FILM!

2.Pernyataan itu berarti juga menafikan realitas sejarah film dokumenter dunia atau tidak
memahami konteks global yang menyebabkan keseluruhan penjelasan menjadi rancu.

Begini penjelasannya. Memahami dokumenter juga tidak semudah seperti yang diuraikan si
penulis di atas. Seluruh proses pembuatan film dokumenter muncul perlahan dari perencanaan
orisinal, dari cara meriset hingga ruang editing. Penting juga persiapan yang solid melalui riset,
yang kadang dikejutkan oleh lokasi dan subyek (yang berubah), sebagaimana yang terjadi pada
(katakanlah contoh paling dikenal akhir-akhir ini) JAGAL, misalnya. Oppenheimer tadinya
membuat film berjudul GLOBALISATION TAPES (2001), mengenai dampak globalisasi pada
pekerja perkebunan di Sumatera Utara namun kemudian menemukan fakta-fakta unik yang
cukup provokatif sehingga melahirkan film terbaiknya sejauh ini – JAGAL). Di sisi lain, ada
sutradara dokumenter yang berargumen bahwa mereka lebih tertarik memberi perhatian pada
aspek visual, dalam hal ini berarti sejenis aspek tertentu kerja khusus kamera, lighting atau
bahkan untuk mendramatisasi bagian-bagian tertentu film dokumenter dimaksud. Ada juga
sutradara film dokumenter akhir-akhir ini yang mengikuti subyek cukup dengan sebuah kamera
digital kecil, kadang-kadang persoalan kualitas sinematik diperlonggar dan fokus saja pada
pengisahannya.Topik penting lainnya pada diskusi mengenai film dokumenter adalah otentisitas
film dan integritas si pembuat film.

30
Perhatian berikutnya ditekankan pada pertanyaan-pertanyaan filosofis. Dapatkah film
menangkap kenyataan? Persoalan etis apa yang muncul ketika sang sineas memotret
kehidupan nyata? Bagaimana pengeditan dan musik mengkondisikan tanggapan emosional kita
terhadap film?

Menjadi jelas bahwa dokumenter dapat dibuat dengan banyak bentuk berbeda, tetapi bahwa
setiap sutradara mencari caranya sendiri untuk menggambarkan sebuah realitas, itulah
realitasnya. Ringkasnya, menjelaskan dokumenter itu rumit!

Diharapkan dengan uraian itu mudah-mudahan jelas bahwa dokumenter tidaklah sesederhana
seperti yang diuraikan si penulis buku Meretas Sejarah Visual ini. Sebagai langkah awal supaya
tidak dengan gegabah mengambil contoh film dengan tanpa judul dari youtube, disarankan si
penulis untuk menonton dahulu CAPTURING REALITY: THE ART OF DOCUMENTARY
(Pepita Ferrari, 2008). Film ini memberikan sebuah tinjauan penuh panorama dalam sinema
berbentuk dokumenter, potongan dokumenter terkenal dari berbagai era, Grey Garden dan Thin
Blue Line hingga The Day I Will Never Forget dan Darwins Nightmare. Contoh bagus untuk
pemula yang ingin memahami dokumenter.

Harus dikemukakan juga, tidaklah pantas membuat definisi dokumenter tanpa menyentuh
basic-nya dahulu. Kembali lagi, supaya tidak ahistoris, perlunya si penulis memahami apa itu
film dokumenter dengan MENONTON dahulu tonggak-tonggak dokumenter, yakni film-film dari
para pionir supaya pemahaman kita mengenai tema ini tidak melenceng ke mana mana.
Menonton sebagian kecil film dari para empu seperti Lumiere Bersaudara, Robert J. Flaherty
(Nanook of the Earth, Man of Aran), Merian C. Cooper & Ernest B. Schoedsack (Chang, Grass),
Leni Riefenstahl (Triumph of the Will, Berlin Olympic), Robert Gardner (Dead Birds, Forest of
Bliss), Errol Morris (A Brief History of Time), Werner Herzog (Land of Silence and Darkness),
Joris Ivens (Indonesia Calling), juga Jean Marie Straub & Danielle Huliet (Too Early, Too Late),
Louis Malle (Calcutta), atau Michael Moore (Fahrenheit 9/11) misalnya, adalah cara terbaik. Di
bawah ini dicontohkan gambaran kecil saja bahwa dokumenter tidak sesederhana yang
dibayangkan si penulis buku ini:

“Kino Pravda” (Kebenaran Film) no. 1 - 23 (Dziga Vertov, Uni Soviet, 1922-1925), “Dokumenter
yang cukup tua. Film berita yang mempunyai bentuk istimewa karena tidak hanya berisikan
peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi, ia juga memberi latar belakang kejadian dengan
berbagai lukisan, angka statistik, slogan, yang kesemuanya disusun dalam montage yang
menarik. Sebuah pendekatan baru di masanya, yang bahkan di Barat pun corak film seperti ini
merupakan hal baru di masa itu “ (Gotot Prakosa, 1997: 61). Bisa si penulis buku ini bayangkan
sekarang, seperti apa perkembangan dokumenter di masa-masa berikutnya. Penulis resensi ini
sendiri masih selalu terus dikejutkan dengan begitu banyaknya gagasan yang “seolah-olah baru
tetapi sebenarnya sudah lama dipikirkan dan diterapkan” dalam dokumenter. Film-film
dimaksud bisa saja dari masa awal sejarah film, era 1950-an, 1970-an atau 2000-an, yang
kebetulan bisa diakses belum lama ini dan baru bisa dinikmati di era digital sekarang ini.

Jika harus dibuat semacam kesimpulan atau rangkuman dari semua penjelasan absurd buku ini
mengenai aspek yang berhubungan dengan video testimoni, film sejarah dan film dokumenter
di atas, maka, kembali lagi (meskipun tampaknya sudah begitu banyak data dan fakta

31
diungkapkan berikut argumen-argumen untuk menjelaskan kekacauan pemahaman di dalam
buku perihal film dalam kaitannya dengan “apa itu sejarah visual”) contoh kasus di bawah ini
bisa merepresentasikan makna mengapa uraian tentang film dalam buku Meretas Sejarah
Visual – benar-benar ahistoris, tidak perlu dan kehilangan konteks aktualnya. MENGGELAR
INDONESIA, film yang dibuat tahun 2010 dan disutradarai Jennifer Lindsay merupakan
dokumenter, sekaligus film sejarah yang berisi video-video testimoni (wawancara melulu)
dengan para seniman-seniwati Indonesia dari berbagai daerah di Nusantara, yang mentas ke
berbagai negara di penjuru dunia sebagai “Misi Kesenian Indonesia” di era Soekarno, antara
tahun 1952-1965. Barangkali mengejutkan bagi si penulis bahwa film tersebut, (diulangi kembali
di sini) dokumenter sejarah berisi video-video testimoni itu - pernah diputar untuk umum di
Kampus Dipati Ukur (2011) dan Kampus FIB - Uiniversitas Padjadjaran Jatinangor (2012)!

APA YANG DIINGINKAN DENGAN ANIMASI?

Kutipan kalimat dalam lembar halaman buku Meretas Sejarah Visual mengenai animasi:

"Film sejarah sebagai salah satu model rekonstruksi sejarah visual dalam bentuk gambar
bergerak tidak saja dapat ditampilkan dalam bentuk film biasa (apa yang dimaksud film biasa?)
tetapi juga dapat ditampilkan dalam bentuk film animasi. Tampilan film sejarah dalam bentuk
animasi biasanya ditujukan untuk konsumsi anak-anak...Film jenis ini biasanya memiliki durasi
kurang lebih satu atau satu setengah jam dan menceritakan kisah fiksi (khayalan) atau kisah
yang berdasar pada hal nyata tetapi dimainkan atau diperankan oleh seorang aktor...animasi
berasal dari ilustrasi desain grafis (desain komunikasi visual)." (Dienaputra, 2015: 72)

Sama seperti penjelasan-penjelasan sebelumnya, pernyataan itu jelas jelas (kembali lagi)
konyol dan menyepelekan pemahaman orang mengenai apa itu film animasi dan sejarah film
animasi yang terentang panjang sejak awal abad ke-20 hingga perkembangnnya kini. Artinya
(aneh memang – kembali lagi) ahistoris.

Barangkali penulis buku ini terbiasa menonton film semacam Unyil, Upin-Ipin, Doraemon
termasuk film-film animasi anak-anak yang banyak terdapat pada stasiun-stasiun tv berbayar -
khusus animasi seperti: ToonCup, DreamWorks, Network Asia, Cartoon Network,
SpacetoonPlus, BabyFirst, dll. Lalu, apakah itu yang dimaksud hasil dari rekonstruksi sejarah
visual adalah animasi? Contoh-contoh film semacam itu kebetulan film-film anak-anak dan
berdurasi satu sampai satu jam setengah.

Animasi adalah media. Artinya konten-nya bisa apapun. Tidak terkait usia penontonnya atau
durasi tertentu. Hal utama yang penting adalah pesan yang ingin disampaikan. Apapun
caranya. Perlu juga ditekankan di sini, animasi dibuat apabila film atau bagian dari film itu tidak
sanggup dibuat secara "live-action".

Untuk penjelasan lebih panjang lebar, melalui data-data berikut ini akan diutarakan beberapa
fakta menarik perihal kaitan film animasi dan sejarah. Di bawah ini akan diuraikan penjelasan
mengapa pernyataan-pernyataan mengenai "animasi" dalam buku tersebut keliru, tidak
berdasar, dan menyesatkan:

32
1. Usaha untuk membuat film animasi berlatar sejarah di Indonesia dicoba dengan BATTLE OF
SURABAYA (kebetulan dibuat tahun 2015), meski tidak terlalu berhasil.

2.Bahwa Disney yang dianggap "surga visual-nya anak-anak" (katakankah begitu) pernah
punya catatan film-film semacam ini:

a. VICTORY THROUGH AIR POWER (Perce Pearce, dkk., USA, 1943, 65 menit). Animasi awal
Disney terkait dokumenter. Film lucu dan menyenangkan berdasarkan buku Mayor Alexandre
Seversky yang memprotes pemboman melalui udara secara membabi buta (atas perintah
Churcill & Roosevelt) terhadap ladang, pabrik, jalur transportasi, jalur komunikasi, dlsb. oleh
Pihak Sekutu pada Perang Dunia II ke wilayah Axis (Jerman-Jepang-Italia), yang dinilainya
banyak membunuh warga sipil. Bagian akhir film menggambarkan beberapa taktik pemboman
yang sangat mengganggu dari perang modern seperti menghancurkan dam untuk membuat
banjir serta adegan gempa besar, barangkali sebuah metafor untuk bom nuklir. Sama sekali
bukan untuk anak-anak. Dan ini film Disney!

b. THE STORY OF MENSTRUATION (Mason Holm, USA, 1946, 10 menit). Bagian dari serial
unik yang dibuat oleh Disney antara tahun 1945-1951 yang diproduksi untuk disebarkan di
sekolah-sekolah di AS.

c. EDUCATION FOR DEATH (Clyde Gerorian, USA, 1943, 10 menit) & DER FUEHRER'S
FACE (Walt Disney Prods./Jack Kinney, 1943, USA, 8 menit). Film-film propaganda anti Nazi
dengan mengolok-olok Hitler. Tersedia film-filmnya di kanal youtube!

3. Academy Awards untuk Animasi diberikan sejak tahun 1932 hingga sekarang, dan yang
dianggap Animasi di sini adalah Short Animation dengan beragam corak dari seluruh dunia,
yakni film animasi yang tidak lebih panjang dari 40 menit termasuk yang disebut "all credit".
Sangat susah untuk mengecek, apakah dalam masa terentang semacam itu pernah ada film
terkait satu peristiwa sejarah tertentu misalnya, NAMUN PENEKANANNYA - TIDAK ADA
KEHARUSAN ATAU ATURAN ANIMASI HARUS BERDURASI SEJAM ATAU SEJAM
SETENGAH sebagaimana pernyataan si penulis buku Meretas Sejarah Visual ini!

4. Di seluruh dunia ada ribuan studio animasi dengan beragam bentuk - film dua atau tiga
dimensi atau corak lainnya plus festival animasi (atau semacam ""book fair" untuk animasi)
yang tersebar di banyak negara. Artinya, amatlah banyak studio animasi di seantero jagat,
termasuk di Indonesia dengan segala permasalahannya. Membuat animasi juga bukan perkara
mudah. Rata-rata untuk satu film animasi dua dimensi berdurasi 10 menit, dikerjakan 20 orang
selama dua bulan. Di luar itu terdapat banyak kesulitan seperti (yang umum dikeluhkan):
apakah terdapat penulisan naskah yang bagus, masalah finansial, persoalan listrik di Indonesia
yang kadang mati lampu, space komputer yang harus canggih, sensitivitas dalam
pengerjaannya, lalu nanti ada persoalan lain, apakah animasi tersebut laku dijual di pasaran,
dst. Dengan begitu, bukanlah hal mudah kita diarahkan untuk membuat animasi dengan alasan
untuk dijadikan Model Rekonstruksi Sejarah Visual.

5. Film-film animasi di seluruh dunia punya ciri penciptaan yang beragam, misalnya animasi di
masa Uni Soviet SECHA PRI KERZHENTSE (THE BATTLE OF KERZHENETS) (1971) dibuat

33
berbasis teknik lukisan di Rusia Abad-14-16. Lalu di Tiongkok animasi seperti CHINESE
CLASSICAL ANIMATION: Te Wei Collection Animation, yakni film-film yang diproduksi
Shanghai Animation Film Studio, 1956-1988 (2005) & SHAN SI QING (FEELINGS OF
MOUNTAIN & WATER) (Wei Te, Tiongkok, 1988), bercorak lukisan cat air Shan Shi.

6. Contoh film seperti ini: KUREOPATORA - CLEOPATRA, QUEEN OF SEX (Osamu Tezuka,
Jepang, 1970). Kisah dan tokoh sejarah, apakah animasi konsumsi anak-anak?
Juga serial THE SIMPSONS yang amat lucu, sarkastis sekaligus kurangajar. Cerita film adalah
sejarah kontemporer Amerika dalam melihat dunia global. Dan ini film orang dewasa!

7. Cakupan Model Rekonstruksi Sejarah Visual a la si penulis Meretas Sejarah Visual ini, bila
dikarang-karang lagi bisa juga menyangkut atau berupa Video Game. Penjelasan soal Video
Game ini dengan mudah banyak kita dapatkan datanya di internet. Misalnya di youtube ada
the Video Game History (1948-1972), awal sejarah alat hiburan yang memabukkan ini. Kita juga
akrab dengan istilah-istilah seperti Sega, Atari, Nintendo, Mortal Kombat, dst. Silakan periksa
situs semacam History Channel atau Story – National Museum of Play untuk data-data sejarah
Video Game dimaksud. Di Indonesia sendiri (di Bandung) ada saja mahasiswa tingkat akhir
yang untuk skripsinya membuat riset sederhana untuk program Video Game bertema sejarah.
Diantaranya berdasarkan peristiwa Perang Diponegoro, kedatangan tentara Mongol ke Jawa di
akhir masa Kerajaan Singosari, atau bertema usaha VOC bertahan di Batavia menghadapi
serangan Sultan Agung dari Mataram.

8. Supaya tidak sesat, berikut ini disampaikan catatan judul film, plus contoh menarik & unik
hubungan animasi dengan sejarah dalam beragam perspektif dari berbagai masa:

- ANIMATED SOVIET PROPAGANDA (1924-1972) terdiri dari empat bagian beragam animasi
pendek: American Imperialist, the Fascist Barbarians, Capitalist Sharks & Onward to the
Shining Future-Communism. Film-film pendek propaganda ideologis Rusia. Yang terbaik di
genrenya.
- THE STORY OF TIME (Robert G. Leftingwell, USA, 1951)
- AUTOMANIA 2000 (John Hallas, 1963). Semacam "A satiric tour de force on technological
overkill."
- POPULATION EXPLOTIONS (Pierre Hebert, Kanada, 1968)
- YELLOW SUBMARINE (1968). The Beatles dalam perspektif animasi yang unik.
- THE UNNEMEABLE LITTLE BROOM (THE EPIC OF GILGAMESH) (1985)
- Film-film terkenal STUDIO GHIBLI, dengan fantasi gila-gilaan maestronya Hayao Miyazaki
atau Isao Takahata yang banyak menampilkan gambaran khayalan anak-anak, dan seringkali
disisipkan peristiwa sejarah tertentu. Barangkali film-film seperti ini yang mendekati keinginan si
penulis Meretas Sejarah Visual. Namun sesungguhnya HARUS DITEKANKAN DI SINI, apapun
itu, film-film dimaksud sama sekali bukanlah tipe film yang mudah dikerjakan.
- KONEC STALINISMA V CECHACH (THE DEATH OF STALINISM IN BOHEMIA) (Jan
Svankmajer, UK, 1990). Sejarah Cekoslowakia sejak diambil alih Komunis Soviet pada 1948
hingga "Velvet Revolution" pada 1989.
- PERSEPOLIS (Marjane Satrapi, Prancis-USA, 2007). Revolusi Islam di Iran 1979 dilihat dari
sudut pandang sutradara (yang kebetulan mengalaminya). Berasal dari komik yang ditulis oleh
Satrapi juga.

34
- VALS IM BASHIR (WALTZ WITH BASHIR) (Ari Folman, Israel, 2008). Anti-war film tentang
pengabaian dan hilangnya perasaan bersalah orang Israel dalam kisah pembantaian kamp
pengungsi Palestina Sabra-Chatila di Lebanon tahun 1982.
Pabila kita menonton dan menyimak betul contoh film-film animasi berlatar peristiwa sejarah
yang hebat-hebat ini, dengan mudah saja kita akan menginsyafi bahwa perspektif dalam
melihat animasi tidak akan sesederhana seperti yang dengan seenaknya ditulis penulis buku
Meretas Sejarah Visual sebagaimana pernyataan-pernyataannya di atas tadi.

9. Untuk pemahaman awal apa itu film anak-anak, supaya tidak rancu dan asal membuat
pernyataan, barangkali si penulis bisa memulai pemahaman film anak-anak dengan menonton
film ini, A STORY OF CHILDREN AND FILM (Mark Cousins, 2013). Dalam film digambarkan
surrealisme, kesendirian, kelucuan, kebadungan dan kenakalan anak-anak dalam film.
Potongan-potongan gambar diambil dari 53 film dari 25 negara di seluruh dunia (sudah tentu
termasuk animasi).

EPILOG

Sekali lagi, setelah pembahasan beragam aspek terkait buku Meretas Sejarah Visual di atas,
dengan begitu pertanyaan-pertanyaan ini patut menjadi renungan: Kembali lagi, sebetulnya
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat buku semacam ini, soal penulisan, soal
meriset sumbernya, kedalaman dalam membahas subyek termasuk proses penyederhanaan
semua output yang bahkan tidak menyentuh kulitnya, ataukah semua kekeliruan masif dalam
pembahasan di atas cuma kesalahan editorial. Intinya sederhana saja, tanggungjawab
pembuatan buku yang memalukan ini?

Terakhir, dengan semua komentar serta menyangkut data & fakta yang diuraikan di atas,
menjadi persoalan yang patut jadi renungan juga menyimak pernyataan penulis mengenai apa
itu Sejarawan Amatir dan Sejarawan Profesional (Dienaputra, 2015: 3). Berikut kutipannya:
"Berbeda dengan kemahiran dalam merekonstruksi sejarah sebagai peristiwa menjadi sejarah
sebagai kisah, yang dapat dimiliki atau dipelajari secara otodidak, sejarah sebagai ilmu harus
dipelajari secara akademis, melalui bangku kuliah. Keberbedaan itulah yang pada akhirnya
melahirkan dikotomi antara sejarawan amatir dan sejarawan profesional atau antara sejarawan
non akademis dengan sejarawan akademis."

Menyimak kembali buku Meretas Sejarah Visual ini, apakah pernyataan angkuh semacam itu
benar adanya? Sebagai perbandingan saja, Jawaharlal Nehru atau katakanlah di Indonesia –
Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Ajip Rosidi, Remy Sylado, Rosihan Anwar, Rusli Amran,
Haryoto Kunto atau Oliver Johannes Raap adalah "amateur historiscus”. Mereka sama sekali
bukan sejarawan profesional atau sejarawan akademis, tetapi tentu saja tidak ada yang
meragukan profesionalitas mereka dalam "menulis karya sejarah", itupun kalau boleh disebut
begitu?

Di bagian akhir ini adalah kutipan tulisan menarik Carl Sagan (1980) sebagai pengantar buku
Ronald Story: the Space Gods Revealed untuk mengomentari buku Von Daniken yang populer
dan terkenal mengenai UFO dalam sejarah kemanusiaan, Chariots of the Gods?

35
“That writing as careless as Von Daniken’s, whose principal thesis is that our ancestors were
dummies, shoud be so popular is a sober commentary on the credulousness and despair of our
times. I also hope for the continuing popularity of books like Chariots of the Gods? In high
school and college logic courses, as object lessons in sloppy thinking. I know of no recent
books so riddled with logical and factual errors as the works of Von Daniken.”

Terjemahan bebasnya kira-kira begini:


“Karya tak bertanggungjawab dari Von Daniken dengan tesis utama bahwa nenek moyang kita
adalah orang-orang pandir merupakan tulisan populer dengan penguraian fakta-fakta seadanya
yang sukar dipahami dan (bernuansa) putus asa. Saya juga berharap buku semacam ini
(Chariots of the Gods?) terus populer di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga (kita)
bisa membuat penilaian secara logis dalam pelajaran - untuk menolak pemikiran dungu. Saya
sadar bahwa saat ini tidak ada buku yang begitu bersifat tebak-tebakan dengan kesalahan-
kesalahan faktual dan logis sebagaimana tulisan Von Daniken tersebut.”

REFERENSI:

Adam, Asvi Warman. (2006). FOTO PENGUBAH SEJARAH. Dalam Harian Kompas:
10 September
Amran, Rusli (1988). PADANG, RIWAYATMU DULU. Jakarta: CV Yasaguna
ARIEL HERYANTO (IDENTITAS “ASLI” ADALAH FIKSI). 2015. Wawancara Dalam Harian
Kompas: 2 Agustus
Aubert, M. (2014) PLEISTOCENE CAVE ART FROM SULAWESI, INDONESIA. McMillan
Publishers Limited
Bujono, Bambang (1994). SCHINDLER’S LIST DAN SENSOR KITA. Dalam Majalah Tempo:
11 Juni
Carey, Peter (2001) ASAL-USUL PERANG JAWA (PEMBERONTAKAN SEPOY & LUKISAN
RADEN SALEH).Yogyakarta: LKiS
Danarto (1988) PERJALANAN FOTOGRAFI DEMMENI (INDONESIA: IMAGES FROM
THE PAST). Dalam Majalah Tempo: 23 Juni
Daston, Lorraine & Galison, Peter (2007). OBJECTIVITY. New York: Zone Books
Dermawan T., Agus (2007). DUA ABAD MISTERI RADEN SALEH. Dalam Harian Media
Indonesia: 6 Mei.
Dermawan T., Agus (1995). KADO ISTIMEWA DARI RAFFLES (LIMA RATUS GAMBAR
TENTANG INDONESIA 200 TAHUN SILAM DIHADIAHKAN OLEH PEMERINTAH
INGGRIS UNTUK RI. (DISKRIMINASI ETNIK?). Dalam Majalah Gatra: 30 Desember
Dermawan T., Agus (1988) LITOGRAFI EMPAT SETENGAH ABAD (CATATAN PAMERAN).
Dalam Majalah Tempo: 10 Desember
Dermawan T., Agus (1995). MENGUAK MISTERI 350 TAHUN (Resensi buku LEXICON OF
ARTISTS WHO VISUALIZED INDONESIA (1600-1950)). Dalam Majalah Gatra:
11 November
Diamond, Jared (2005). COLLAPSE: HOW SOCIETIES CHOOSE TO FAIL OR SUCCEED.
New York: Viking.
Djuana, FX. W. Atma. (2010). GENTA NOSTRA SENHORA DEL ROSARIO (PERJALANAN
MENUJU UJUNG DUNIA). Jakarta: Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945
Drs. Sudarmadji (1982) PELUKIS DAN PEMATUNG INDONESIA. Jakarta: Aries Lima
Eka, Gandhi (2013) ROCKER PAPER (BALADA BAND-BAND KAMPUS SENI). Bandung:
Halilintar Books
Eco, Umberto (2004). ON BEAUTY. London: Seeker & Warburg.
Eco, Umberto (2007). ON UGLINESS. London: Harvill Seeker.

36
Farr, Michael. TINTIN (THE COMPLETE COMPANION). Jakarta: Gramedia
Frederick, Bill (1978) FILM-FILM PERJUANGAN: CERMINAN APA? Dalam Majalah Tempo:
23 Desember
Gardner, Helen (1926) ART THROUGH THE AGES: AN INTRODUCTION TO ITS HISTORY
AND SIGNIFICANCE. New York: Harcourt, Brace.
Gehring, Walter J. (1998). MASTER CONTROL GENES IN DEVELOPMENT AND
EVOLUTION: THE HOMEOBOX. (The Terry Lectures). Yale University.
Gerhard, Paul (2011). VISUAL HISTORY (English version). Version: 1.0, in: Docupedia
Zeitgeschichte. DOI: http://dx.doi.org/10.14765/zzf.dok.2.792.v1 Diunduh dan dibaca
8 Juni 2018.
Grant, Stephen (1995) FORMER POINTS OF VIEW: POSTCARDS OF LITERARY PASSAGES
FROM PRE-INDEPENDENCE INDONESIA. Jakarta: Yayasan Lontar
Istiqomati, (2006). PERJALANAN SEBUAH KARTU POS. Dalam Koran Tempo: 18 Juni
Hassanbasri, M. Sjafe’i (2003). PEMBODOHAN DAN PEMALSUAN SEJARAH. Dalam Harian
Kompas: 20 November
Hentschel, Klaus (2014). VISUAL CULTURES IN SCIENCE AND TECHNOLOGY:
A COMPARATIVE HISTORY. Oxford: Oxford University Press
Herlambang, Wijaya (2013) KEKERASAN BUDAYA PASCA 1965. Tangerang Selatan:
Marjin Kiri
Heryanto, Ariel (2015) IDENTITAS DAN KENIKMATAN (POLITIK DAN BUDAYA LAYAR
INDONESIA). Jakarta: KPG
Holt, Claire (2000). MELACAK JEJAK PERKEMBANGAN SENI DI INDONESIA. Bandung:
Art.Line
Indarto, Totot (2012) LEWAT DJAM MALAM (KEMERDEKAAN UNTUK APA & SIAPA?). Dalam
Harian Kompas: 1 Juni
‘INDONESIA’ DARI TENGAH BELUKAR NAMA ‘ (1982) Selingan Majalah Tempo: 14 Agustus.
Honour, Hugh & John Fleming. (1980) THE WORLD HISTORY OF ART.London: Fleming
Honour Ltd.
Junaidy, Cahyo & Muhamad Nafy (2005) MENYELAMATKAN JEJAK SEJARAH (IPPHOS).
Dalam Koran Tempo: 25 September
Kayam, Umar & Harri Peccinoti (1985). SEMANGAT INDONESIA: SUATU PERJALANAN
BUDAYA. Jakarta: Gramedia.
Kurosawa, Aiko (2016). MASYARAKAT & PERANG ASIA TIMUR RAYA (SEJARAH DENGAN
FOTO YANG TAK TERCERITAKAN). Depok: Kobam
Kusumo, Sardono W. (2007). RADEN SALEH 200 TAHUN (1807-2007). Dalam Harian
Kompas: 22 April
Lapian, A.B. (penyunting) (1985). SEMANGAT ’45 DALAM REKAMAN GAMBAR IPPHOS.
Jakarta: Sinar Harapan.
LAPORAN AKHIR PENGADILAN RAKYAT INTERNASIONAL 1965. (2017). Bandung: Ultimus
Lefevre-Guibert-Lemercier (2011). SANG FOTOGRAFER (Memasuki Kancah Perang
Afghanistan Bersama Doctors Without Border). Jakarta: Gramedia
Levitz, Paul (2015). WILL EISNER: CHAMPION OF THE GRAPHIC NOVEL. New York: Abrams
Lubis, Bersihar & Linda Djalil. (1996).DES ALWI - PERJUANGAN TUJUH KILOMETER (FILM
DOKUMENTER). Dalam Majalah Gatra: 13 April
M01.(2002) IRI SUPIT (DESAIN, SEJARAH DAN TATA ARTISTIK FILM). Dalam
Harian Kompas: 18 Februari
Marianto, M. Dwi (1996). HISTORIOGRAFI MACAM APA UNTUK SEJARAH SENI
INDONESIA? Dalam Harian Kompas: 24 Desember
McGregor, Katharine E. (2008). KETIKA SEJARAH BERSERAGAM. Yogyakarta: Syarikat
Miklouho-Maklai, Brita L. (1998). MENGUAK LUKA MASYARAKAT (BEBERAPA ASPEK SENI
RUPA KONTEMPORER INDONESIA SEJAK 1966). Jakarta: Gramedia.

37
Milliet, Didier, dkk. (editor) (1996). INDONESIAN HERITAGE (ANCIENT HISTORY). Singapore:
Grolier International Inc.
Motuloh, Oscar (2008). SEJARAH (FOTOGRAFI INDONESIA) – CITRA NAN TAK KUNJUNG
PADAM. Dalam Harian Kompas: 25 Agustus
Pattisina, Edna & Clara Westi. 2001. SEKELUMIT ZAMAN DALAM SELEMBAR IKLAN
(JADUL). Dalam Harian Kompas: 26 Mei
PETA INDONESIA DARI MASA KE MASA. Katalog Pameran di Museum Nasional 2001
Pipa, Elias & Doug Boucher (2014). PLANTING FOR THE FUTURE: HOW DEMAND FOR
WOOD PRODUCTS COUD BE FRIENDLY TO TROPICAL FOREST. Washington: Union
for the Concerned Scientist. (Dalam http://www.ucsusa.org/). Diunduh dan dibaca
8 Juni 2018
Prakoso, Gotot (2010) ANIMASI (PENGETAHUAN DASAR FILM ANIMASI INDONESIA).
Fakultas Film dan Televisi IKJ-Yayasan Seni Visual Indonesia:
Prakoso, Gotot (1997) FILM PINGGIRAN (ANTOLOGI FILM PENDEK, FILM EKSPERIMENTAL
& FILM DOKUMENTER). Jakarta: FFTV-IKJ & YLP
Prasetyo, Frans Ari (2017) RIVER IN A VISUAL SHOT. Bandung: Brick-Center for Research on
Infrastructure and Regional ITB-Ultimus.
Pribadi. Dody Wisnu (2001). HERU SAJUTO (TANDA TANYA PADA PETA KUNO). Dalam
Harian Kompas: 28 Desember
Protschky, Susie. (2015). PHOTOGRAPHY, MODERNITY AND THE GOVERNED IN LATE
COLONIAL INDONESIA. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Raap, Olivier Johannes (2015). KOTA DI DJAWA TEMPO DOELOE. Jakarta: KPG
Raap, Olivier Johannes (2013). PEKERDJA DI DJAWA TEMPO DOELOE. Yogyakarta:
Galang Press
Raap, Olivier Johannes (2017). SEPUR DI DJAWA. Jakarta: KPG
Raap, Olivier Johannes (2013). SOEKA DOEKA DI DJAWA TEMPO DOELOE. Jakarta: KPG
RADEN SALEH SETELAH 200 TAHUN. (2012). Topik dalam Koran Tempo: 10 Juni
Rambey, Arbain (2004) KISAH SEBUAH KAMERA TUA YANG BERSEJARAH. Dalam Harian
Kompas: 15 Mei
Rambey, Arbain (2003) SEJARAH FOTOGRAFI, SEJARAH TEKNOLOGI. Dalam Harian
Kompas: 20 Juni
Roffo, Stefano. (1994). PAUL KLEE. New Jersey: Gramercy
Rosidi, Ajip (2004). “MEMBACA SEJARAH TATAR SUNDA KARYA DR. NINA H. LUBIS,
DKK.” Dalam FATIMAH IN WEST JAVA. Bandung: Pusat Studi Sunda.
Rossellini, Ippolito (1832). MONUMENTI DELL’GITTO O DELLA NUBIA: DISEGNATI DALLA
SPEDIZIONE SCIENTIFICOLETTERARIA TOSCANA IN EGITTO, DISTRIBUITI IN
ORDINE DI MATERIE. Pisa (Italia): Presso Niccolo Capurro
SEABAD KEARSIPAN (MENUNJANG PEMBANGUNAN BANGSA INDONESIA )(1892-1992).
(1992). Katalog Pameran Arsip (Kertas-Foto-Film-Peta-Gambar-Pamflet-Piagam). Arsip
Nasional Republik Indonesia.
Sen, Krishna (2009). KUASA DALAM SINEMA (NEGARA, MASYARAKAT DAN SINEMA
ORDE BARU). Yogyakarta: Ombak.
Setyorini, Ida (2014). PETER VAN DONGEN: MEMBUAT KOMIK MELENGKAPI JATI DIRI.
Dalam Harian Kompas: 16 Agustus
Sonneman, Milly (2002). MAHIR BERBAHASA VISUAL. Bandung: Kaifa
Supartono, Alex (2005) REKAMAN FOTO TENTANG INDONESIA YANG SEDANG MENJADI
(CATATAN FOTOGRAFI CARL OORTHUYS). Dalam Harian Kompas: 18 Juni
Supartono, Alexander (2008) FOTOKOPI ASLI, SELINTAS SEJARAH FOTOGRAFI
INDONESIA. Dalam Harian Kompas: 5 Januari
Sen, Krishna (2009) KUASA DALAM SINEMA (NEGARA, MASYARAKAT, DAN SINEMA
ORDE BARU). Yogyakarta: Ombak.

38
Sidharta, Amir (2005). KEABSAHAN DUA LUKISAN RADEN SALEH DAN PERKEMBANGAN
PEMAHAMAN SEJARAH SENI RUPA INDONESIA. Dalam Harian Kompas: 5 Juni.
Suganda, Her (2003) “TANAH AIR KITA”, SEBUAH WARISAN JURU FOTO BELANDA. Dalam
Harian Kompas: 8 November
Sumardjo, Jakob (2009). ASAL-USUL SENI RUPA MODERN INDONESIA. Bandung: Kelir
Sumarno, Marselli (1996). DASAR-DASAR APRESIASI FILM. Jakarta: Grasindo
Sumio, Aoki (2017). INDONESIA DI MATA JEPANG DI HINDIA BELANDA 100 TAHUN LALU
DALAM KARTU POS BERGAMBAR FOTO. Jakarta: the Daily Jakarta Shimbun & Pusat
Studi Bahasa Jepang Universitas Padjadjaran
Thomas, Frank & Ollie Johnson (1981). THE ILLUSION OF LIFE (DISNEY ANIMATION). New
York: Walt Disney Productions
Unger, David J. (2017). AMERICAN REAMS: WHY A PAPERLESS WORLD’ STILL HASN’T
HAPPENED? (dalam The Guardian). Diunduh dan dibaca 8 Juni 2018
https://www.theguardian.com/news/2017/dec/29/american reams-why-the-paperless
world hasnt-happened. Diunduh dan dibaca 8 Juni 2018
Van der Hoop, A.N.J. Th., (1949) RAGAM-RAGAM PERHIASAN INDONESIA (Dalam Tiga
Bahasa). Jakarta: Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
Van Dongen, Peter (2013) RAMPOKAN JAWA & SELEBES. Jakarta: Gramedia.
Wagner, Fritz A. (1988). ART OF INDONESIA. Singapura: Graham Brash
Widyatmoko, FX & Sutrisno (penyunting) (2007). IRAMA VISUAL: DARI TOEKANG REKLAME
SAMPAI KOMUNIKATOR VISUAL. Yogyakarta: Jalasutra
Wijaya, et.al. (2017). DRIVERS OF DEFORESTATION IN INDONESIA, INSIDE AND OUTSIDE
CONCESSIONS AREAS (dalam http://www.wri.org/blog/2017/07/drivers-deforestation
indonesia-inside-and-outside-concessions-areas). Diunduh dan dibaca 8 Juni 2018.
Wisetrotomo, Suwarno (2010) RADEN SALEH DAN SEJUMLAH IRONI. Dalam Harian
Kompas: 28 Juni
Wiyoso Yudoseputro (2008) JEJAK-JEJAK TRADISI BAHASA RUPA INDONESIA LAMA.
Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia
Yuliman, Sanento (2001). DUA SENI RUPA (SERPIHAN TULISAN). Jakarta: Kalam
Zoelverdi, Ed & Heddy Loegito (1995) PAMERAN CANTIK MENGGELITIK (KARYA
FOTOGRAFER INGGRIS TENTANG INDONESIA SEABAD SILAM…). Dalam Majalah
Gatra, 13 Mei

Jatinangor, 28 Juni 2018

ANTON SOLIHIN
Penikmat film Schindler’s List

# Sebagai catatan, semua referensi: buku (termasuk pdf, jurnal, klipping artikel), foto, album
rekaman termasuk film-film yang saya uraikan penjelasannya di atas, apabila susah ditemukan,
bisa didapatkan si penulis - dari penulis resensi ini dengan cuma-cuma apabila tertarik,
membutuhkan dan berhasrat mengapresiasinya.

39

Anda mungkin juga menyukai