Belenggu (novel)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Belenggu
Negara Indonesia
Bahasa Indonesia
Genre Novel
Dian Rakyat
Daftar isi
1Alur
2Tokoh
3Pengaruh
4Gaya
5Analisis
o 5.1Simbolisme
o 5.2Tema
6Penerbitan pertama
7Penerimaan
8Referensi
Alur[sunting | sunting sumber]
Sukartono (Tono), seorang dokter berpendidikan Belanda, dan istrinya Sumartini (Tini),
yang tinggal di Batavia (sekarang Jakarta), sedang menjauh. Tono terlalu sibuk
merawat pasien sehingga dia tidak punya waktu untuk bersama Tini. Akibatnya, Tini
pun menjadi lebih aktif dengan kegiatan sosial, sehingga dia tidak mengurus rumah
tangga. Hal ini membuat Tono semakin menjauh, sebab dia ingin Tini menjadi istri
tradisional yang bersedia menyiapkan makan dan menunggu dia di rumah.
Suatu hari, Tono dipanggil oleh seseorang bernama Nyonya Eni, yang minta dirawat.
Ketika Tono mendatanginya, dia menyadari bahwa Ny. Eni sebenarnya adalah
Rohayah (Yah), temannya waktu masih kecil. Yah, yang sudah mencintai Tono sejak
mereka masih di sekolah rakyat, mulai menggoda Tono sehingga dokter itu jatuh cinta.
Mereka mulai bertemu secara diam-diam dan sering pergi ke pelabuhan Tanjung Priok.
Ketika Tini pergi ke Surakarta untuk menghadiri kongres wanita, Tono mengambil
langkah untuk hidup bersama Yah selama satu minggu.
Selama di rumah Yah, Tono dan Yah membahas masa lalu. Tono menjelaskan bahwa
setelah tamat sekolah rakyat di Bandung, dia berpindah ke Surabaya dan belajar di
sekolah kedokteran di sana. Dia menikah dengan Tini karena kecantikannya.
Sementara, Yah dijodohkan dengan pria yang lebih tua dan berpindah ke Palembang.
Setelah meninggalkan suami, dia pindah ke Batavia dan menjadi pelacur; selama tiga
tahun dia menjadi simpanan pria Belanda. Melihat tingkah laku Yah yang sopan santun,
Tono menjadi semakin cinta padanya karena beranggapan bahwa Yah adalah istri yang
tepat untuknya. Namun, Yah merasa dirinya belum siap untuk menikah.
Tono, yang merupakan penggemar musik keroncong, diminta menjadi juri suatu lomba
keroncong di Pasar Gambir. Di sana, dia bertemu dengan Hartono, seorang aktivis
politik dan anggota Partindo, yang bertanya tentang istri dokter itu. Beberapa hari
kemudian, Hartono mengunjungi rumah Tono dan bertemu dengan Tini. Ternyata Tini
pernah menjalin hubungan dengan Hartono saat kuliah, sehingga mereka berhubungan
seks; hal ini membuat Tini jengkel dengan dirinya sehingga tidak dapat mencintai laki-
laki. Hartono pun semakin mengacaukan keadaan ketika dia memutuskan Tini dengan
hanya meninggalkan sepucuk surat. Ketika Hartono minta agar dapat kembali bersama
Tini, Tini menolak.
Setelah mengetahui bahwa Tono selingkuh, Tini menjadi sangat marah dan pergi untuk
berbincang dengan Yah. Namun, setelah berbicara panjang dengan Yah, Tini mulai
beranggapan bahwa Yah lebih cocok untuk Tono dan minta agar Yah segera
menikahinya. Tini lalu berpindah ke Surabaya, dan Tono ditinggalkannya di Batavia.
Namun, Yah merasa bahwa mempunyai hubungan dengan Tono akan membuat citra
baik Tono hancur, sebab latar belakangnya yang pelacur itu. Dia lalu mengambil
keputusan untuk pindah ke Kaledonia Baru, dengan meninggalkan sepucuk surat dan
sebuah piring hitam yang membuktikan bahwa Yah sebenarnya penyanyi favorit Tono,
Siti Hajati. Dalam perjalanan ke Kaledonia Baru, Yah rindu pada Tono dan mendengar
suaranya di radio. Tono ditinggal sendiri dan mulai bekerja sangat keras, dalam usaha
untuk mengisi kesepiannya.
Tokoh[sunting | sunting sumber]
Sukartono
Sukartono (disingkat Tono) adalah seorang dokter yang
merupakan suami Tini dan cinta Yah. Dokter ini suka
merawat pasien miskin tanpa memungut biaya,
sehingga menjadi terkenal. Dia juga penggemar berat
lagu-lagu keroncong. Sewaktu dia masih di sekolah
kedokteran, dia lebih suka bernyanyi daripada belajar
dan sampai sekarang ada radio di ruang periksanya.
Kegemarannya atas musik tradisional mencerminkan
keinginannya untuk mempunyai istri yang berwawasan
tradisional untuk menjaganya. Karena merasa tersiksa
dari pernikahannya tanpa cinta dengan Tini, dia jatuh
hati pada Yah, sebab Yah dianggap lebih mampu
menjadi istri tradisional. Namun, akhirnya dia ditinggal
sendiri.[2]
Sumartini
Sumartini (disingkat Tini) adalah istri Tono yang sangat
modern. Waktu masih mahasiswi, dia sangat populer
dan suka berpesta. Pada masa itu, Tini menyerahkan
keperawanannya kepada Hartono, sehingga setelah dia
diputuskan dia menjadi semakin tidak acuh pada
keinginan laki-laki. Setelah dinikahi Tono, Tini menjadi
semakin kesepian dan mulai bergerak di bidang sosial
supaya hidupnya berarti. Ketika mengetahui
ketidaksetiaan Tono dan beranggapan bahwa Yah lebih
cocok dengan suaminya, Tini meninggalkan Tono dan
pindah ke Surabaya.[3]
Menurut Yoseph Yapi Taum, seorang dosen
di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, sikap tidak
acu Tini adalah alasan utama mengapa Tono menjadi
tertarik pada Yah. Gaya hidup Tini, yang tidak
memasuki Tono, membuatnya berasa terasing dan
mendorongnya untuk mencari wanita yang lebih
tradisional.[4] Tham Seong Chee, seorang kritikus
dari Singapura, beranggapan bahwa Tini adalah tokoh
yang lemah sebab dia tidak bisa mengambil keputusan
tanpa pengaruh luar, dan sampai kapan pun tidak mau
menyelesaikan masalahnya dengan Tono. Dia juga
menyatakan kalau Tini dibatasi oleh nilainya sendiri,
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat
Indonesia pada umumnya.[5] Menurut penyair dan
kritikus sastra Goenawan Mohamad, Tini didorong oleh
harapan suaminya akan istri yang tradisional. [6]
Rohayah
Rohayah (juga dikenal dengan nama samaran Nyonya
Eni dan Siti Hayati; disingkat Yah) adalah teman Tono
dari Sekolah Rakyat yang kemudian menjadi
simpanannya; dia juga seorang penyanyi keroncong
terkemuka. Setelah Tono, yang lebih tua tiga tahun,
lulus dari Sekolah Rakyat, Yah dipaksakan untuk
menikah dengan pria yang lebih tua 20 tahun dan
dibawa ke Palembang. Setelah melarikan diri, Yah
kembali ke Bandung; akan tetapi, orang tuanya sudah
meninggal. Dia kemudian berpindah ke Batavia dan
menjadi seorang pelacur sekaligus penyanyi keroncong
dengan nama samaran Siti Hayati. Ketika mengetahui
bahwa Tono telah menjadi dokter di Batavia, dia
menggoda dokter itu. Biarpun mereka saling jatuh cinta,
Yah mengambil langkah untuk pergi sebab dia takut
Tono akan diremehkan apabila dia menikah dengan
seorang mantan pelacur. Yah berpindah ke Kaledonia
Baru.[7]
Tham beranggapan bahwa Yah sebenarnya cocok
menjadi istri Tono, sebab dia sudi menjadi istri
tradisional. Namun, dia tidak dapat menjalani hubungan
tersebut karena dulu menjadi pelacur. Menurut Tham,
hal ini mencerminkan bahwa "moral dan nilai etis tidak
mudah dipahami intelek, akal, atau rasio".[5] Goenawan
beranggapan bahwa Yah sebenarnya seorang fatalis,
yang merendahkan diri dengan menyatakan bahwa ada
seribu perempuan di Tanjung Priok yang mempunyai
cerita serupa. Dia juga beranggapan bahwa tokoh
tersebut menjadi mengharukan tanpa menjadi
berlebihan. Menurutnya, Yah adalah pelacur pertama
yang digambarkan secara simpatetis dalam suatu karya
sastra Indonesia.[6]
Pengaruh[sunting | sunting sumber]
Menurut Bakri Siregar, seorang kritikus
sastra Indonesia sosialis yang aktif
dengan Lekra, Armijn dipengaruhi
teori Sigmund Freud akan psikoanalisis; dia
menulis bahwa hal ini paling menonjol dalam
tokoh Sumartini.[8] Dua karya Armijn yang
ditulis sebelumnya, "Barang Tiada Berharga"
(1935) dan "Lupa" (1936), mempunyai aspek
plot yang mirip dengan Belenggu. "Barang
Tiada Berharga" juga mempunyai tokoh
dokter dan istrinya, yaitu Pardi dan Haereni,
yang digambarkan dengan watak yang mirip
Sukartono dan Sumartini, sementara "Lupa"
memperkenalkan tokoh utama Sukartono.
[9]
Sebab pemerintah Hindia
Belanda melarang pembahasan politik
dalam sastra, Armijn membatasi sindiran
pada sistem kolonial dalm novel.[10]
Gaya[sunting | sunting sumber]
Belenggu sering menggunakan
tanda elipsis dan monolog untuk
mencerminkan konflik batin tokoh masing-
masing, sehingga kritikus sastra Indonesia
berasal Belanda A. Teeuw menyatakan
bahwa novel ini adalah "monolog interior
bercabang tiga".[11] Berbeda dari karya-karya
yang diterbitkan Balai Pustaka, yang
merupakan penerbit milik negara Hindia
Belanda, Belenggu tidak menjelaskan
semua aspek cerita; hanya aspek kunci
dikemukakan, dengan aspek lain diisi sendiri
oelh pembaca. Ini membuat pembacaan
menjadi lebih aktif.[12]
Berbeda dari penulis novel Balai Pustaka,
Armijn tidak menggunakan peribahasa; dia
lebih menekankan penggunaan simile. Cara
lain yang menunjukkan perbedaan gaya tulis
Armijn dengan penulis-penulis Balai Pustaka
ialah dengan membatasi
penggunaan bahasa Belanda murni;
sebelumnya penulis seperti Abdul
Muis dan Sutan Takdir
Alisjahbana menggunakan bahasa kolonialis
itu untuk menggambarkan sifat tokoh utama
yang intelektual. Sementara,
dalam Belenggu Armijn menekankan bahasa
serapan, sehingga edisi-edisi awal memuat
daftar istilah yang berisikan istilah-istilah
yang baru atau sulit.[1][13] Siregar menulis
bahwa bahasa Armijn lebih mencerminkan
penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari.[13]
Analisis[sunting | sunting sumber]
Simbolisme[sunting | sunting sumber]
Menurut Yapi, judul Belenggu mencerminkan
konflik batin yang dihadapi semua tokoh
utama, sehingga mereka terbatas dalam
perilaku mereka. Yapi menunjuk pada
klimaks novel sebagai contoh baik akan
keterbatasan itu.[14] Menurut Siregar, hal ini
didukung oleh dialog antara Siregar antara
Hartono dan Sukartono, di mana mereka
beranggapan bahwa manusia selalu
dibelenggu oleh kenangannya akan masa
lalu.[15]
Berbeda dari karya sastra Indonesia pada
zaman itu, bab-bab Belenggu hanya diberi
nomor bab – karya lain, misalkan Salah
Asuhan (1928) karya Abdul Muis
menggunakan nomor dan judul. Menurut
Yapi, perbedaan gaya ini mewakili aliran
kesadaran manusia, berbeda dengan cara
sebelumnya yang menjadikan setiap bab
sebagai peristiwa yang terpisah.[16]
Tema[sunting | sunting sumber]
Menurut Teeuw, berbeda dari novel-novel
Indonesia pada masa itu, Belenggu tidak
menggunakan tema protagonis yang baik
dan suci melawan antagonis yang jahat,
atau konflik dan perbedaan antara generasi.
[17]
Novel ini juga tidak menggunakan
tema kawin paksa dan tidak
diterimanya adat oleh pemuda-pemudi.
[1]
Novel ini malah menggunakan tema cinta
segitiga – yang pada saat itu sudah umum di
sastra Barat tapi belum ada di sastra
Indonesia – tanpa menunjukkan siapa yang
baik, jahat, benar, atau salah. Dia menulis
kalau buku ini menggambarkan konflik batin
sejenis manusia baru, yang dibentuk karena
persatuan budaya Timur dan Barat.[17]
Yapi mencatat
bahwa Belenggu menunjukkan hidup
modern dan tradisional sebagai dua sistem
yang berlawanan, yang memperbandingkan
hal-hal baru dengan yang lama. Misalkan,
Sukartono, seorang dokter (simbol hidup
modern), selalu berpikir tentang masa lalu,
Yah, dan lebih suka musik tradisional
daripada yang modern. Lewat kontras
Sukartono dan istrinya Tini yang sangat
modern itu, Armijn menekankan bahwa
kehidupan modern belum tentu membuat
orang bahagia. Menurut
Yapi, Belenggu mungkin dipengaruhi atau
bahkan ditulis sebagai tanggapan atas Layar
Terkembang (1936), karya Sutan Takdir
Alisjahbana, yang juga mempunyai tema ini
tetapi lebih pro-modern.[18]
Clive Christie, seorang dosen di School of
Oriental and African Studies di London,
mencatat bahwa Belenggu juga mewujudkan
rasa terasingkan yang kuat. Dia menulis
bahwa para tokoh menjadi seperti anggota
"masyarakat yang berada dalam vakum",
tanpa hubungan yang jelas dengan
kolonialisme tetapi juga tanpa pengertian
yang jelas akan nilai-nilai tradisional. Christie
menjelaskan hubungan Tono dengan Yah
sebagai simbol atas orang-orang intelektual
yang berusaha berinteraksi dengan
masyarakat luas melalui budaya populer,
tetapi akhirnya tidak berhasil.[10]
Penerbitan
pertama[sunting | sunting sumber]
Belenggu diserahkan kepada Balai Pustaka
pada tahun 1938 untuk diterbitkan, tetapi
tidak diterima sebab dianggap berlawanan
dengan moral umum;[19] hal ini disebabkan
penggambaran perselingkuhan sebagai hal
yang umum, bahkan menjadi bagian penting
dalam alur. Akhirnya novel ini diterbitkan
oleh majalah Poedjangga Baroe, yang
Armijn telah bantu mendirikan pada tahun
1933, dan diterbitkan dalam bentuk serial
dari bulan April sampai Juni 1940.[17]
[19]
Belenggu adalah satu-satunya novel yang
diterbitkan majalah sastra itu,[19] dan
merupakan novel psikologis Indonesia
pertama.[20]
Pada tahun 1965, Belenggu diterjemahkan
ke bahasa Malaysia. Sampai pada tahun
1988, novel ini sudah terjemahkan ke
dalam bahasa Mandarin dan, pada tahun
1989, diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris oleh John McGlynn dengan
judul Shackles, lalu diterbitkan Yayasan
Lontar.[21]
Penerimaan[sunting | sunting sumber]
Ketika Belenggu diterbitkan, ada dua jenis
reaksi utama. Orang-orang yang suka novel
ini menyatakan bahwa Belenggu sangat
berani, sebab dia mampu membahas tema
yang berdasarkan kenyataan sosial.
[22]
Misalkan, jurnalis S. K. Trimurti menulis
bahwa buku ini benar-benar mencerminkan
permasalahan yang dihadapi orang
Indonesia berpendidikan tinggi saat
menghadapi kebudayaan tradisional.
[23]
Sementara, orang-orang yang tidak
suka Belenggu meremehkannya sebagai
novel yang "porno", sebab ada tekanan pada
perilaku tabu seperti perselingkuhan dan
prostitusi.[22] Menurut Teeuw, resepsi ini
dipengaruhi oleh sifat pembaca Indonesia,
yang terbiasa membaca karya sastra yang
diidealkan, menjadi syok atas kenyataan
yang dicerminkan dalam Belenggu.[24]
Kritik-kritik yang lebih mutakhir cendurung
lebih positif. H.B. Jassin menulis pada tahun
1967 bahwa, biarpun tokoh-tokoh bertindak
sebagai karikatur, Belenggu mampu
membuat pembaca termenung atas
kenyataan sosial modern.[25] Pada tahun 1969
novel ini diberi penghargaan dari pemerintah
Indonesia;[26] pada tahun yang sama, penulis
dan kritikus sastra Ajip Rosidi menulis
bahwa buku ini lebih menarik daripada
karya-karya sebelumnya karena
penyelesaiannya bersifat multi-tafsir.[25]
Menurut penyair dan kritikus
sastra Muhammad Balfas, yang menulis
pada tahun 1976, Belenggu adalah "novel
Indonesia terbaik dari sebelum perang
kemerdekaan".[1] Dalam bukunya tentang
sejarah sastra Indonesia yang terbit pada
tahun 1980, Teeuw menulis bahwa, biarpun
ada kekurangan dalam penggambaran
psikologis tokoh-tokoh
utama, Belenggu adalah satu-satunya novel
Indonesia dari sebelum Perang
Kemerdekaan yang benar-benar menarik
untuk pembaca dari Barat.[24] Tham menulis
pada tahun 1981 bahwa novel ini adalah
cermin terbaik akan timbulnya kesadaran
dalam masyarakat Indonesia bahwa nilai-
nilai Barat bertentangan dengan nilai-nilai
Timur.[27]
Referensi[sunting | sunting sumber]
Catatan kaki
Daftar pustaka
Kategori:
Novel oleh Armijn Pane
Novel Indonesia
Novel tahun 1940
Menu navigasi
Belum masuk log
Pembicaraan
Kontribusi
Buat akun baru
Masuk log
Halaman
Pembicaraan
Baca
Sunting
Sunting sumber
Versi terdahulu
Pencarian
Cari Lanjut
Halaman Utama
Perubahan terbaru
Artikel pilihan
Peristiwa terkini
Halaman baru
Halaman sembarang
Komunitas
Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan
Wikipedia
Tentang Wikipedia
Pancapilar
Kebijakan
Menyumbang
Hubungi kami
Bak pasir
Bagikan
Facebook
Twitter
Perkakas
Pranala balik
Perubahan terkait
Halaman istimewa
Pranala permanen
Informasi halaman
Kutip halaman ini
Butir di Wikidata
Pranala menurut ID
Cetak/ekspor
Buat buku
Unduh versi PDF
Versi cetak
Bahasa lain
English
Jawa
Bahasa Melayu
中文
Sunting interwiki
Halaman ini terakhir diubah pada 3 April 2017, pukul 14.40.
Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan tambahan
mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.
Kebijakan privasi
Tentang Wikipedia
Penyangkalan
Tampilan seluler
Pengembang
Statistik
Pernyataan kuki