Anda di halaman 1dari 14

KELOMPOK

Metode Kritis
Transendental
DOSEN PENGAMPU :
Dr. apt. Gabena Indrayani Dalimunthe, S.Si., M.Si.
DISUSUN OLEH:

MIFTAHUL HUSNA 202114030


ALFINA TRI UTAMI NASUTION202114045
YUSRIL RAMADHAN 202114050
Secara harafiah kata kritik berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud
membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni,
yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari
keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi
filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan
rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemempuannya untuk
memberi tempat kepada keyakinan.
Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu
pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala
sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras
epistemologis. Untuk menemukan kebenaran, Kant
mempertanyakan “condition of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga
disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang
“kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam” bahwa rasio dapat
menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi
‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam
pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji
kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka
Selanjutnya filsafat Kant ini disebut juga sebagai filsafat transendental
(transcendental philosophy). Filsafat transendental adalah filsafat yang
berurusan bukan untuk mengetahui objek pengalaman melainkan
bagaimana subjek (manusia) bisa mengalami dan mengetahui sesuatu.
Filsafat transendental itu tidak memusatkan diri dengan urusan
mengetahui dan mengumpulkan realitas kongkrit seperti misalnya
pengetahuan tentang anatomi tubuh binatang, geografis, dan sebagainya,
melainkan berurusan dengan mengetahui hukum-hukum yang mengatur
pengalaman dan pemikiran manusia tentang anatomi tubuh binatang, dan
sebagainya. Hukum-hukum itu oleh Kant disebut hukum a priori (hukum
yang dikonstruksi akal budi manusia) dan bukan hukum yang berdasarkan
pengetahuan inderawi (a posteriori).
Untuk menjalankan usahanya ini, Kant memulai dari kritik atas rasio
murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan kemudian kritik atas daya
pertimbangan.

1.   Kritik atas Rasio Murni


Dalam kritik ini, Kant antara lain menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah
bersifat umum, mutlak, dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih
dahulu membedakan adanya tiga macam putusan.
Pertama, putusan analitis a priori; dimana predikat tidak menambah sesuatu
kepada subyek, karena sudah termuat di dalamnya. Misalnya, “setiap benda
menempati ruang”. 
LANJUTAN
Kedua, putusan sintesis a posteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus”,
disini predikat dihubungkan dengan subyek berdasarkan pengalaman
indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka
ragam meja yang pernah diketahui. Ketiga, putusan sintesis a priori; di sini
dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintesis,
namun bersifat a priori juga.
Misalnya, putusan berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”.
Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori), namun putusan ini juga
bersifat sintesis dan a posteriori. Menurut Kant, putusan jenis ketiga inilah
syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) terpenuhi, yakni
bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.
Pada proses sintesis antara unsur a priori dan a posteriori, menurut Kant,
terjadi pada tiga tingkatan manusia, yaitu tingkat pencerapan indrawi, lalu
tingkat akal budi, dan tingkat tertinggi adalah intelek/rasio.

a.    Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)


Pada taraf ini, sintesis antara unsur-unsur a priori dan a posteriori sudah
terjadi. unsur a priori dalam taraf ini disebut dengan ruang dan waktu. Ruang
dan waktu dalam pengertian Kant tidak seperti pada pengertian Newton, yakni
ruang dan waktu yang bersifat transenden pada manusia, tetapi lebih kepada
pengertian ruang dan waktu yang bersifat imanen.
b.    Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pencerapan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan.
Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi,
sehingga menghasilkan putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan
bantuan daya fantasinya. Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi
sintesis antara pengalaman indrawi tadi dengan bentuk-bentuk a priori yang
dinamai Kant dengan “kategori” (kategorie), yakni ide-ide bawaan yang
mempunyai fungsi epistemologi dalam diri manusia.
c.    Tingkat Intelek/Rasio (Versnunft)
Terdapat tiga idea dalam idea transendental: idea psikis, idea
kosmologis, dan idea teologis. Idea psikis (jiwa) merupakan gagasan
mutlak yang mendasari segala gejala batiniah. Sementara idea
kosmologis (dunia) menyangkut segala gejala lahiriah. Sedangkan idea
teologis merupakan perpaduan antara gejala lahiriah dan batiniah yang
terdapat dalam pribadi mutlak, yakni Tuhan.
2.   Kritik atas Rasio Praktis
Apabila kritik rasio murni memberikan penjelasan tentang syarat-syarat umum dan
mutlak bagi pengetahuan manusia, maka dalam kritik atas rasio praktis yang dipersoalkan
adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi perbuatan susila. Kant mencoba
memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa bentuk (form) perbuatan dalam
kesadaran itu tampil dalam perintah (imperatif). Kesadaran demikian ini disebut dengan
otonomi “otonomi rasio praktis”. Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan
dua cara: subyektif dan obyektif. Aturan pokok (maxime) adalah pedoman subyektif bagi
perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperatif merupakan azas kesadaran
obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku
umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hepotetik) atau dapat
juga tanpa syarat (kategorik).
3.   Kritik atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari “kritik atas rasio murni” dan “kritik atas rasio praktis”
menimbulkan adanya dua kawasan tersendiri, yaitu kawasan keperluan mutlak
di bidang alam dan kawasan kebebasan di bidang tingkah laku manusia.
Adanya dua kawasan ini tidak berarti bertentangan atau berada dalam tingkat
“kritik atas daya pertimbangan”.
Yang dimaksud Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Caranya
dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subyektif
dan obyektif. Finalitas subyektif mengarahkan manusia pada obyek diri sendiri.
Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Sedangkan dengan
finalitas obyektif dimaksudkan adanya keselarasan satu sama lain dari benda-
benda alam.
Refrensi
http://abiquinsa.blogspot.com/2010/10/metode-kritik-
transendental-immanuel.html
01

02

THANK
03

04

YOU 05

06

Anda mungkin juga menyukai