Anda di halaman 1dari 2

Jihad dan Pandangan Orientalis

Pengertian Orientalisme
Orientalisme adalah sebuah istilah yang berasal dari kata “orient” bahasa Perancis yang secara
harfiah berarti “timur”. Sedangkan secara geografis berarti “dunia belahan timur” dan secara
etnologis berarti “bangsa-bangsa di timur”.
Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti “hal-hal yang bersifat timur” yang cakupannya
amat luas. Sedangkan “isme” (bahasa Belanda) atau “ism” (bahsa Inggris” menunjukkan
pengertian tentang suatu faham. Jadi orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang
berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur dan
lingkungannya.
Adapun orientalis adalah ilmuan Barat yang mendalami masalah-masalah ketimuran, yang
tercakup di dalamnya tentang bahasa-bahasa, kesusasteraan, peradaban, dan agama-agama.

Jihad kerapkali disalahpahami, di kalangan orientalis. Jihad dianggap sebagai “perang suci” atau
“perang senjata” (jihad fisik-militer). Makna jihad semakin menyempit ketika direduksi sebagai
suatu sikap mengangkat senjata lalu diarahkan kepada setiap orang yang dianggap “kafir”.
Bahkan tidak sedikit masyarakat Barat yang kerap mengasosiasikan jihad dengan ekstremisme,
radikalisme dan terorisme belaka.

Secara etimologis, kata Jihad berasal dari Jahada yang artinya “mengerahkan upaya”, “berusaha
dengan sungguh-sungguh”, dan “berjuang keras”. Dalam makna yang lebih luas,
kata Jihad kerap digunakan untuk melukiskan sebuah usaha maksimal untuk melawan suatu hal
yang bathil. Misalkan, bersungguh-sungguh dalam perjuangan menimba ilmu di pesantren atau
Perguruan Tinggi merupakan sikap jihad itu sendiri, atau bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan keluarga hakikitnya adalah jihad. Dari pemahaman ini sebenarnya tidak ada sangkut
pautnya antara jihad dengan kekerasan. Sangatlah jelas terlihat garis yang membatasi makna
jihad dan bentuk terorisme, keduannya saling bertolak belakang bagaikan siang dan malam serta
hitam dan putih.

Sayangnya, bagi kalangan fundamentalis, jihad sering digunakan untuk melegitimasi


perjuangannya atas nama agama. Jihad dimaknai sebagai aktifitas politik dari suatu dakwah
melalui jalan kekerasan. Ibnu Taymiyah misalnya berbicara mengenai jihad dalam kaitan politik
Islam dan supremasi syariah, di mana substansi agama adalah shalat dan jihad (perang). Menurut
Ibnu Taymiyah, jihad identik dengan kekuasaan politik. Karenanya, untuk bisa menegakkan
jihad dan syariat Islam, dalam pandangan Ibnu Taymiyah, harus ditempuh melalui kekuasaan
politik.

Lebih lanjut Hasan al-Banna pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin dan muridnya Sayyid Quthb,
memahami jihad sebagai perjuangan politik revolusioner, yang dirancang untuk melucuti musuh-
musuh Islam (hegemoni Barat). Bahkan Al-Maududi lebih radikal dengan mensejajarkan Islam
dan jihad sebagai “gerakan politik revolusioner”. Semua pemikiran ini bermuara pada kekuasaan
politik sebagai tujuan sentral dari jihad yang rentan menimbulkan konflik berupa peperangan.
Pemaknaan atas jihad tersebut membawa pada pemahaman bahwa jihad adalah perang. Atas
dasar itulah, bisa dipahami kalau masyarakat luas, terutama Barat, tetap menganggap jihad dalam
Islam adalah ajaran perang, ajaran tentang kekerasan, bahkan terorisme. Dari kenyataan ini kita
bisa melihat bahwa pemahaman negatif (kesalahpahaman) masyarakat, terutama orang Barat
terhadap Islam sudah sedemikian parah dan menyedihkan.

Pertanyaannya adalah mengapa tuduhan negatif itu terus menerus diproduksi melalui konsep
jihad, meskipun (sebagian) umat Islam sudah berupaya memberikan penjelasan secara clear?
Tentu “tidak ada asap jika tidak ada api”, mungkin pepatah ini tepat untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Bahwa tak bisa dimungkiri, massifnya penyebaran konten-konten negatif di media
sosial tentang jihad turut memengaruhi mindset masyarakat akan makna buruk jihad itu sendiri.

Padahal dalam bahasa Arab, tidak ada kata yang memiliki istilah yang benar-benar cocok untuk
menunjukkan jihad sebagai “perang suci”. Kata “Perang” dalam bahasa Arab
adalah harb, sedangkan “suci” adalah muqoddas. Jadi, pemaknaan jihad dengan perang suci
sangat jauh dari makna yang sebenarnya. Ironisnya, kalangan fundamentalis justru menyamakan
jihad dengan “perang suci” padahal makna jihad sebagaimana dijelaskan di atas tidak sedikitpun
mengandung anjuran untuk berbuat kekerasan.

Dan akhirnya Tak bisa dimungkiri, kesalahpahaman akan makna Jihad, terutama mutakhir ini,
bersumber dari gerakan fundamentalisme yang kerap menggunakan jihad sebagai maskot
gerakannya. Kelompok ekstremis senantiasa menjadikan jihad sebagai spirit perjuangannya. Di
Indonesia,banyak kelompok yang kerap menampilkan jihad sebagai tema gerakannya dengan
semangat membangun negara Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah.

Akibat dari itu, timbullah salah paham yang fatal tentang makna jihad. Dan tentu saja itu
menciderai kesucian nama Islam sendiri. Karena itulah, Jihad lebih tepat dipahami dalam
pengertian moral dan spiritual, dan bukan semata-mata dalam pengertian perang. Tugas kita
adalah menghadirkan Islam yang ramah, damai dan menebar rahmat bagi seluruh alam
(rahmatan lil’alamin), dan bukan menggelorakan spirit jihad dengan jalan kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai