Anda di halaman 1dari 3

Mahasiswa dan Tradisi Berpikir Oleh: Rijal Asep Nugroho* Aku Berpikir, Karena itu aku ada (Descartes)

Saat pelajaran budi pekerti di SMP Pertiwi Majapura, Yuyun, gadis cantik yang duduk di kelas 2B ditanya Bu Yati, Apa yang membedakan manusia dengan binatang? Tentu ia kaget karena sedang melamun. Bu Yati tanggap, ia guru yang baik dan paham tabiat muridnya, ia sadar pelajaran budi pekerti bukanlah pelajaran yang menarik minat, bukan karena siswanya tak bermoral, namun lebih pada kurikulumnya yang dikemas sedemikian rupa menjadi moralitas yang semu. Bu yati menganggap wajar bila Yuyun lebih asyik melamun daripada menyimak, bahkan ia pun sebenarnya sudah muak jadi robot kepentingan pemerintah dan industri, namun ia tak mampu bersuara, Wah! Bisabisa dapurnya tak bisa ngebul. Sebagai Guru yang baik , ia tak boleh membiarkan kewibawaannya jatuh, didekatinya Yuyun, Semua muridku harus baik dan pintar, tak boleh melamun, apalagi saat pelajaran dikelas. Nah Yuyun, coba jawab pertanyaan Ibu, Apa yang membedakan manusia dengan binatang?. Ini bukan pertanyaan sulit bagi Yuyun, juga bagi teman-teman yang lain, Bu Yati sudah berulang kali mengatakannya, bahwa akal budi membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Ketika hendak menjawab, tiba-tiba ia teringat kakaknya yang kuliah di Unud. Kakaknya, Iin, seorang ketua senat di kampusnya, yang tentu saja sangat bangga dengan dunianya, dunia yang selalu mentradisikan budaya berpikir. Namun, kadang Yuyun melihat perilaku kakaknya justru tak manusiawi. Mungkin karena predikatnya sebagai mahasiswa, Mba Iin merasa bahwa ia berbeda dengan masyarakat lainnya. Bukankah mahasiswa kaum intelektual? Bukankah menurut Descartes keberadaan manusia ditentukan karena ia berpikir? Bukankah mahasiswa selalu mentradisikan budaya berpikir, berarti keberadaannya melebihi keberadaan komunitas lain? Tiba-tiba saja Yuyun merasa ngeri jadi mahasiswa, serentak Yuyun pun iba pada Mba Iin. Mba Iin dan kawan-kawanya sering merasa hebat dari lainnya, mereka merasa sebagai agent of change, merasa bahwa setiap perubahan hanya bisa ditentukan oleh mereka. Sungguh perasaan elitis telah tumbuh di dalam benak Mba Iin dan temantemannya, bahwa mahasiswa merupakan status yang jauh lebih hebat dari pada masyarakat lain seperti Tukang Becak, buruh, nelayan dan petani. Pernyataan itu sering terlontar ketika teman-teman Mba Iin berdiskusi. Pernah ketika Yuyun sedang belajar, teman-teman Mba Iin datang dan berbincang di teras samping mendiskusikan ospek penerimaan mahasiswa baru. Tampaknya kita perlu bikin acara kayak stadium general, deh In, Ujar Tia, teman Mba Iin yang berambut cepak, Tapi mungkin suasananya diubah, misalnya pembicaranya kita undang dari petani dan nelayan di desa-desa, mereka bisa menceritakan persoalan yang dihadapi sehingga kita bisa menyumbangkan pikiran intelektual kita untuk membantu mereka. Wah, kamu ini gimana sich!, terdengar suara yang ketus, Yuyun hapal, itu suara judes Mba Iin kalo lagi marah, Bagaimana mungkin kita undang orang-orang tak berpendidikan sebagai pembicara di stadium general? Ini tidak akan menarik bagi mahasiswa baru. Bukankah kita kemarin sudah sepakat untuk mengundang Mas Kiki dari LIPI?. Serentak teman-teman yang lain mengiyakan.

Yuyun ngeri dengan mahasiswa, baginya, Mba Tia menganggap masyarakat itu bodoh dan tak mampu menyelesaikan persoalan sehingga mahasiswa harus mengundang mereka sebagai orang-orang yang gagal untuk diberi sumbangan pikiran intelektual. Ya, tetap saja masyarakat diposisikan sebagai objek oleh Mba Tia. Mba Iin dan mayoritas teman-temannya lebih parah, seakan-akan dengan kekayaan intelektualnya, mereka sahsah saja menghina kemampuan masyarakat lain, memandang rendah kaum petani dan nelayan. Mahasiswa jadi elit, dan menjadikan kampus sebagai menara gading yang harus dijauhkan dari masyarakat. Apakah akibat dari kemampuan berpikir? Yuyun jadi takut untuk berpikir, yuyun tak mau kehilangan sifat manusiawinya, tak mau dijauhkan dari masyarakat. Keringat mulai menetes dari kening Yuyun, rupanya bayangan-bayangan menakutkan ini begitu nyata. Yuyun, Ada apa? Mengapa pertanyaan mudah seperti ini tak bisa kau jawab?, Suara wibawa Bu Yati menyadarkannya dari bayang-bayang menakutkan. Namun bibir Yuyun masih terkatup, badannya gemetar, keringatnya kian menetes. Apalagi ketika ia ingat keadaan mayoritas mahasiswa Indonesia yang ia baca di koran-koran. Kebanyakan mahasiswa ialah hedonis, gaul dan berhura-hura. Mahasiswa Indonesia tak pernah memikirkan masyarakat, namun berlomba-lomba berdandan ala mode terbaru sambil berharap setelah lulus nanti dapat bekerja di perusahaan bonafit, jadi budak kapitalis dan melupakan sumbang sihnya untuk masyarakat. Apa bedanya mahasiswa dengan elit politik yang tak pernah memikirkan rakyat, walaupun keduanya sama-sama disubsidi dan digaji dari pajak keringat rakyat? Apa bedanya mahasiswa dengan Megawati, Akbar Tanjung dan Amin Rais yang menghancurkan bangsa ini? Apakah ini akibat dari sistem pendidikan? Jika ia tak ingin seperti itu, apakah berarti ia tak usah bersekolah? Beribu-ribu pertanyaan berputar di benak Yuyun. Ia jadi takut bersekolah. Ia tak tahu harus menjawab apa pertanyaan Bu guru. Kini Yuyun sadar, jawaban dari pertanyaan Bu Yati tak segampang yang ia kira. Kini Yuyun tahu, ia tak mampu menjawab pertanyaan gurunya kali ini. Yuyun makin gemetar, ia malu karena ternyata untuk pertanyaan ini saja, ia tak mampu menjawabnya, ia malu dikatakan bodoh oleh teman-temannya. Dan yang lebih mengerikan, ia takut dimarahi Bu Yati; Bukankah selama ini Bu Yati menganggap dirinya murid terpintar? Tentu setelah ini Bu Yati akan memarahinya habis-habisan. Ketakutan membelenggu benak Yuyun, ia melihat ribuan kunang berputar, badannya kian gemetar, keringan dingin deras mengucur, lalu ia tak mampu melihat apapun, dunia terasa gelap dan ia tak lagi ingat apapun jua. Yuyun! Yuyun! Ada apa ini? Kau sakit?, terdengar suara cemas dari Bu Yati, Anto! Cepat telpun ambulans, Yuyun pingsan!. Serentak kelas jadi ribut, kepala sekolah dan guru-guru lain datang ke kelas, Yuyun di bawa ke rumah sakit, sementara Bu Yati segera menilpun orang tua Yuyun. Kini Yuyun terbaring di rumah sakit, bertalamkan sprei yang putih bersih. Wajahnya tampak lelah, Ia belum sadarkan diri juga. Namun dalam keletihannya itu, terlihat segurat senyum kecil di bibirnya yang mungil. Dalam mimpinya, Yuyun melihat hal yang berbeda. Dalam mimpinya, masyarakat menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang sangat mulia. Pendidikan dianggap sebagai investasi terbaik yang dapat diberikan kepada generasi penerus untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur. Hasil pendidikan ini membuahkan orang-orang yang berakhlak terpuji, mempunyai kemampuan bekerja sama dengan masyarakat yang baik karena bermoral tinggi. Dalam mimpinya, pendidikan lebih diarahkan untuk menciptakan anggota masyarakat yang sadar akan tujuan bersama dan mampu menempatkan diri dan menjadi

bermanfaat bagi yang lain. Anak-anak dididik agar siap menjadi anggota kelompok yang baik dan akan memperkuat masyarakat di kemudian hari. Mahasiswa dan dosen sadar, bahwa belajar haruslah sesuai dengan kebutuhan, lebih perlu dititikberatkan dalam hal pemahaman, keberaturan berpikir, dan pengarahan fokus yang jelas pada tujuan. Dalam mimpinya, ia melihat mahasiswa aktif bekerjasama dengan masyarakat, Masyarakat secara mandiri memutuskan solusi yang tepat buat dirinya, sementara mahasiswa sering berdiskusi dengan masyarakat petani, nelayan, buruh dan pedagang. Sungguh mahasiswa menempatkan masyarakat dalam tempat yang tinggi, dimana saat ini mereka sedang belajar agar nantinya mampu meneruskan membangun dan menguatkan masyarakat. Sejenak Yuyun tersadar, dalam ruangan berukuran 3X4 ini, ia menyapukan pandangan, begitu sederhana, tak ada hiasan bunga-bunga di gorden jendela. Dilihatnya seluruh keluarganya berkumpul. Bu Yati juga ada, wajahnya lembut, tak segarang ketika di kelas tadi, namun kemudian ia menerawang, Akankah mimpi-mimpi indahnya bakal terwujud? *Pemred Maestro, mahasiswa elektro. Nb: Apa kabar Yuyun? I Love You so much.

Anda mungkin juga menyukai