Anda di halaman 1dari 5

Peran dan Eksistensi Novelis Membebaskan Imajinasi sebagai Peran Profetis Oleh: R.

R. Toto Sugiharto INI kesempatan aku menulis untukmu. Aku bukanlah penulis hebat dan ternama. Aku hanya seorang lelaki yang memiliki sedikit bakat menulis dan kemauan melatih diri untuk dapat menulis lebih baik. Aku pun tidak tahu sampai kapan aku bersetia di jalan pena. Tapi, kurasakan intuisiku semakin mantap mendalami dunia kreatif. Setidaktidaknya setelah aku membaca sebuah cerita pendek yang ditulis Ana Blandiana, penyair dari Rumania. Aku lupa judul cerpen yang pernah kubaca di perpustakaan sekretariat sebuah LSM di Yogyakarta. Seingatku, cerita itu dimuat dalam karya yang tidak disensor. Tapi, aku tidak pernah melupakan isi ceritanya. Begini: Seorang narapidana menjalani hukuman di dalam tembok penjara. Ia kebetulan bisa melukis. Atau, aku tidak tahu pasti apakah cerita itu sengaja mengisahkan seorang pelukis yang dipenjara. Napi itu melukis sebuah jendela. Jendela itu terbuka. Sehingga, ruangan sel yang ditempati napi itu lebih terang karena mendapat sinar matahari dari luar tembok penjara. Sebaliknya, sipir penjara yang melihat ulah napi tertawa mengejek. Sipir menyindir apa yang dilakukan napi adalah kehendak untuk bebas yang tersembunyi di lubuk hati setiap napi. Sebaliknya, si napi menegaskan bahwa apa yang diimajinasikannya niscaya juga dapat diwujudkan dalam tindakan. Akhirnya sipir menantang napi untuk mewujudkan tindakannya itu, yaitu kabur dari sel penjara. Dan, ternyata apa yang dikatakan napi benar-benar dapat dilakukan. Napi itu meloncat ke luar melalu lubang dari lukisan jendela yang terbuka. KAWAN yang baik, Beberapa waktu kemudian aku melacak gerangan siapakah Ana Blandiana. Ana Blandiana adalah nama pena dari Otilia Valeria Coman Rusan kelahiran 1942, di Rumania. Ia adalah penyair antikomunis yang karya-karyanya termasuk dalam pengawasan penguasa di negaranya. Dari cerita itu kupetik sebuah rumusan: imajinasi tidak bisa dipenjara. Jadi, untuk memicu kreativitas, aku pun harus meyakini rumusan itu. Imajinasi harus dibebaskan dari segala bentuk kungkungan atau belenggu yang membatasinya. Karena, kreativitas membutuhkan keadaan yang bebas-bas, tanpa rambu-rambu yang membelenggu-gu. Lebih-lebih sekarang adalah era pembebasan. Setelah setiap kepala dibayangbayangi kecemasan sehingga mempengaruhi kreativitas hingga lebih dari 30 tahun lamanya, kini setiap kepala mendapat tantangan untuk mengekspresikan isi kepala masing-masing. Tetapi, ternyata tidak mudah menuangkan ide dari dalam batok kepala. Sebagian orang bisa dengan mudah menuangkannya ke dalam tulisan atau mungkin juga dalam bentuk karya seni lainnya.Tetapi, tidak sedikit kepala mengalami kesulitan dalam pengungkapannya.

disampaikan pada Workshop Penulisan Novel di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, 14-15 Mei 2005. wartawan Harian Pagi Bernas Jogja, novelis, tinggal di Yogyakarta.

Persoalannya ada pada seberapa kita mengenali cara kita berimajinasi. Selanjutnya, strategi pengelolaan imajinasi dengan kreativitas. Sebab, untuk penciptaan karya seni pada mulanya adalah imajinasi. Ya, kuncinya tetap pada rumusan tadi: imajinasi tidak bisa dipenjara. Proses pembebasan mutlak dimulai dari diri sendiri. Dimulai dari membebaskan imajinasi dari segala anasir yang mengekang. Sekali lagi, sekarang era bebas. Tapi, jauh sebelumnya, pada pertengahan abad ke-19, pujangga R. Ng. Ranggawarsita mengisyaratkan sebuah suasana kreatif yang dipengaruhi situasi sosial politik. Demikian beliau menulis dalam Serat Kalatidha: Mangkya darajating praja kawuryan wus sonya ruri rurah pangrehing ngukara karana tanpa palupi ponang parameng kawi kawileting tyas maladkung kungas kasudranira tidem tandaning dumadi ardayeng rat dening karoban rubeda Terjemahan bebasnya dapat dituliskan demikian: adapun martabat negara kini terlihat sunyi senyap aturan dan bahasa kacau sedangkan para penyair dibenam sesapan duka cinta habis sudah keberanian mereka padam sudah tanda-tanda kehidupan dunia terasa disesaki petaka ADA suatu masa tatkala kewibawaan penguasa merosot. Mungkin akibat kecenderungan hukum alam atau trend bahwa kekuasaan selalu korup. Tetapi, tentu akan menjadi lebih menyedihkan apabila di dunia kreatif pun tiada lagi ditemukan kreator yang berani. Sebab, keberanian dalam proses kreatif adalah bagian dari pemaknaan keberadaan sang kreator di jalan pena. Selain itu, fiksi selalu diremehkan oleh pekerja pers yang mengagung-agungkan fakta. Padahal, dalam setiap fakta yang mereka sajikan kepada pembaca, terkandung juga kemungkinan-kemungkinan fiksional. Masalahnya karena tiada kebenaran obyektif yang dapat direbut jurnalis dalam hitungan waktu yang dibatasi deadline. Bahwa setiap kepala yang menjadi sumber berita memiliki kebenaran masing-masing. Juga, terutama demi kepentingan yang mengatasnamakan stabilitas keamanan ataupun penyelamatan diri atau institusi media informasi. Lalu, bukankah fakta di koran merosot derajatnya lebih rendah ketimbang fiksi? Bukankah fiksi akan lebih berdaya gigit apabila dipetik dari realitas faktual? Kekuasaan tidak lagi mencampuri materi karya fiksi. Ini tentu harus dibuktikan.

Namun, akibat dari kekuatan otonomi yang diperluas, kekerasan potensial terjadi di mana-mana dan dilakukan oleh siapa saja. Seorang bupati bisa memperkarakan sebiji cerita pendek lantaran materinya patut diduga diilhami dari kisah aib dirinya. Maka, si tukang cerita dicoba dijerat dengan pasal perihal pencemaran nama baik. Dan, penyelesaiannya juga tergantung aparat penegak hukumnya. Apabila ia menghargai proses kreatif, ia akan memperlakukan cerpen itu sebagai fiktif, lepas dari kenyataan yang terjadi secara personal. Sesama penulis cerita pernah juga terlibat dalam sebuah konflik. Dan, ironisnya, sumber soal juga dari sebiji cerpen. Penulis cerita bernama Sutardjo tentu saja nama ini sudah disamarkan- merasa disindir oleh kawan seprofesinya, sebut saja namanya Sabdanya yang menulis kisah tentang penyair yang sok sufi (sufi beneran, nih.Bukan sufi akronim suka film). Sutardjo marah-marah lantaran merasa dirinya disindir oleh Sabdanya melalui cerpen. Padahal, semestinya Sutardjo bisa menahan emosinya. Ia toh bisa membalas perbuatan Sabdanya dengan menulis cerpen juga. Bukankah Sutardjo sudah lumayan banyak mereguk tinta? Padahal juga, kakek moyang kita mengajarkan: kata berbalas, gayung bersambut. Menyikapi persoalan secara proporsional. Apabila engkau diejek dengan kata-kata maka balaslah dengan kata-kata. Dan, jika engkau diserang dengan senjata, tangkislah pula dengan senjata. Eiji Yoshikawa juga mengajarkan bagaimana seseorang bersikap proporsional. Novelnya Musashi adalah sebagai tanggapan dan koreksi atas novel Shogun yang dianggap banyak melakukan kesalahan dalam menulis tentang dunia samurai. Apa artinya semua itu? Apa artinya kebebasan kreatif? Artinya sebuah wilayah yang masih luas untuk dieksplorasi. Sebab, imajinasi tidak bisa dipenjara. Maksudnya mungkin, bagaimana seorang kreator mampu menyajikan cerita dengan tingkat abstraksi dan deformasi bentuk semaksimal mungkin. Sehingga, orangorang yang gentayangan di dunia faktual tidak menghantui dan mengintimidasi tokohtokoh fiktif dalam karya fiksi dan memperkarakan sebiji cerita. Dan, ini bukan sekadar siasat menghindari serangan fisik dan mental. Sebab, bukankah menulis karya fiksi adalah proses pembebasan? Yeah! Pembebasan. Dan, kalau boleh aku sedikit serius, seorang kreator yang memperjuangkan gagasan melalui tulisan sebenarnya juga tengah memainkan peran profetis. Ia mentransendensikan segala dan semua anasir di sekelilingnya, yang dihayatinya sepanjang waktu. Sehingga, ia selalu mampu mengambil jarak karena ia akan selalu menghadapi tantangan: bagaimana ia bisa menuangkan gagasannya di dalam tulisan dengan kebaruan dan otentisitas. Mungkin tantangan itu tumbuh pada teknik bercerita, di lain kasus tantangan itu menyembul pada aspek struktur, dan kebanyakan di seputar tema. Tetapi, masih ada persoalan yang mendasar dalam proses kreatif. Dalam Serat Kalatidha sudah dipaparkan oleh sang pujangga pamungkas di tanah Jawa, para penyair keasyikan menyesap cinta sehingga padamlah semua tanda kehidupan. Sementara kecenderungan yang terjadi saat ini, penguasa tidak lagi bernafsu mencampuri dunia para kreator. Tetapi, bukan berarti karena mereka moderat. Bisa karena dari bejibunnya karya fiksi yang berserakan tiada satu pun yang patut diperhitungkan. Jadi, yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita mampu menulis sehingga karya kita diperhitungkan. Tantangan ini sekaligus sebagai pemenuhan atas jawaban

adakah guna menulis novel? Apa artinya menjadi novelis? Karena, apa artinya menulis novel kalau tiada seorang pun yang sudi membacanya? Apa artinya menjadi novelis, kalau diri kita sendiri pun tidak tahu dalih menulis novel? Untuk menjawab tanya itu mungkin dapat dicari melalui pertanyaan sebenarnya apakah hakikat novel? Bukankah ia hanya sebuah cerita? Siapakah sosok yang menjadi tokoh dalam cerita? Mengapa ia patut menjadi protagonis? Dan, mengapa yang lainnya menjadi antagonis? Bagaimana kalau kita menyisirnya melalui jawaban yang tidak terlalu mulukmuluk, yang berkaitan dengan gagasan-gagasan atau ideologi-ideologi besar. Ini bisa dikembalikan kepada spirit cerpen Ana Blandiana di atas: imajinasi tidak bisa dipenjara. Artinya, menulis novel seperti menyusun dan mengungkap keinginan kita, mimpi kita. Atau, dalam kasus cerpen Ana tadi, menulis cerita sebagai cara mengungkap keinginan untuk bebas dari belenggu, rezim represif. Sebab, niscaya ada banyak kesamaan yang tersimpan di lubuk hati orang Rumania waktu itu, yang memimpikan kebebasan kreatif. Seperti premis mayor Sigmund Freud1 perihal psikoanalisis, bahwa ada kesamaan di antara hasrat-hasrat tersembunyi setiap manusia. Kesamaan itu menemukan medianya dalam karya sastra karena sastra memberikan jalan keluar pada hasrat-hasrat rahasia tersebut. Seperti Hamlet karya William Shakespeare, yang menyusun cerita drama berkisah seorang raja tewas diracun oleh kerabatnya sendiri dan ia mengawini permaisurinya. Cerita itu diperoleh dari bisikan sesuatu yang mengaku sebagai roh mendiang ayahnya yang belum lama dikuburkan. Sewaktu cerita itu dipentaskan di istana dan disutradarainya, Pamannya yang menduduki tahta menggantikan ayah kandung Hamlet, naik pitam. Pertunjukan itu pun dibubarkan sebelum cerita berakhir. Dari respons itu Hamlet akhirnya meyakini kebenaran yang diperolehnya dari petunjuk atau ilham yang mengatasnamakan roh ayahnya. Sampai di sini mulai teraba lebih kongkret. Novel adalah media rekonstruksi realitas. Ia juga boleh saja dimaknai sebagai mendekonstruksi realitas. Nah, sudah ketemu jawabnya. Jadi, tunggu apa lagi? Silakan menulis. OH, maaf. Sebelum aku mengakhiri tulisan ini, ada baiknya aku menambahkan perihal kemungkinan seperti ini: setiap hipotesis yang berkaitan atau dikait-kaitkan dengan dunia fiksi boleh jadi selalu cocok. Semacam proses othak-athik gathuk. Namun, teori psikoanalisis barangkali juga salah satu teori yang paling mendasar berkaitan dengan persoalan private seorang kreator. Freud terutama memusatkan elaborasinya pada masalah mimpi atau terutama penceritaan mimpi. Sebab, sebenarnya mimpi lebih bersifat figuratif, berkaitan dengan gambar-gambar atau citraan. Bagi Freud, mimpi bagaikan tulisan, yakni sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda dengan tandatanda itu sendiri. Kemudian dari materi itu dapat diperdalam menjadi hubungan analogi antara tulisan mimpi dan tulisan yang sesungguhnya atau karya fiksi. Niscaya akan timbul kemungkinan-kemungkinan di antara hubungan keduanya. Tanda-tanda yang muncul dalam mimpi dapat ditafsirkan sesuai konvensinya. Juga, tanda-tanda yang muncul dalam cerita seringkali disikapi sebagai multitafsir.
1

Max Milner (terj. Apsanti Ds, Sri Widaningsih, dan Laksmi), 1992, Freud dan Interpretasi Sastra, Jakarta: Intermasa

Masih ada persoalan dalam proses kreatif, seperti mimpi yang dapat disensor, penulis dalam keadaan tertentu juga mengalami sensor. Upaya pembebasannya melalui alegori, sistem tanda seperti fabel atau cerita binatang dan mengukuhkan konvensi dunia fiksi sebagai pasemon. Yakni, dengan menyembunyikan atau membungkus hal-hal yang diperkirakan berdampak buruk terhadap dirinya. Tetapi, bukankah kita sebagai kreator bisa berbuat sebebas-bebasnya dengan menulis apa pun yang kita inginkan? Tentu saja boleh. Tapi, sebelum menutup tulisan ini aku ingin mengingatkan kawan-kawan dari pernyataan Freud: keadaan orang yang bermimpi adalah seperti penulis yang terpaksa menyembunyikan pikirannya. Yogyakarta, 11 Mei 2005

Anda mungkin juga menyukai