Anda di halaman 1dari 9

1 Data Departemen Kav.

10 Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya

Jurnalisme Publik dan Jurnalisme Humanis (Mengkaji Pers Mahasiswa Sebagai Pers Alternatif)
Oleh: Dwidjo Utomo Maksum "Suatu masyarakat yang merdeka lahir atas dasar kebebasan untuk memilih serta kebebasan untuk menyatakan pendapat. Kita dapat mengenali suatu pemerintahan tirani, bukan hanya dari dilarangnya kebebasan memilih, tetapi juga dari dilarangnya pers yang bebas".

Alex Springer

I
Dalam paradigma eksistensial, Pers dapat dilihat dalam perspektif ganda. Hal ini berangkat dari pemikiran dasar mengenai hakekat keberadaan Pers sendiri. Yaitu, bahwa Pers memiliki banyak elemen dimana yang unsur membuat pelaku keberadaannya menjadi amat multi dimensional,

(jurnalis) merupakan salah satu elemen terpenting. Karena dari kerja jurnalistik inilah muncul sebuah karya yang kemudian disebut Pers. Selanjutnya dalam perkembangannya Pers sering juga disebut sebagai Institusi Sosial. Mengingat bahwa sebuah produk Pers selalu membawa makna-makna yang berkaitan dengan kehidupan sosial (didalamnya mengandung kaitan antara Pers dan Kekuasaan). Dengan keragaman elemen yang ada di dalamnya, Pers seakan mampu menjembatani segala polarisasi yang beredar dalam ruang lingkup kehidupan manusia. Namun benarkah bahwa Pers telah benar-benar mampu menjadi mediator sosial yang ideal. Bukankah dalam banyak kasus di berbagai negara, sistem kekuasaan banyak berpengaruh atas keberadan sistem Pers-nya. Dan tentunya Indonesia bukan termasuk negara yang terhindar dari kenyataan seperti itu.

2 Data Departemen Kav. 10 Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya

Mengenai adanya intervensi sistem kekuasaan

dalam kehidupan Pers

di Indonesia, indikasi yang paling jelas adalah adanya lembaga SIUPP. Meskipun kini SIUPP sudah almarhum, hal ini perlu dikupas sebagai referensi dasar dalam membicarakan Pers Alternatif. Peraturan Menteri Penerangan No. 01 tahun 1984 yang berbunyi:
SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan pers/penerbitan pers dapat dibatalkan oleh Menteri pertimbangan Dewan Pers,1 Penerangan setelah mendengar

membuktikan betapa kesetaraan sebagai institusi sosial antara negara dan Pers menjadi amat berbeda. Dimana dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah tersebut, jika SIUPP dicabut oleh pemerintah (Departemen Penerangan) akibat yang ditimbulkan adalah mekanisme kerja sebuah institusi Pers terhenti. Yang diakui atau tidak telah mengakibatkan adanya Pembredelan. Dalam hal ini logika hukum ternyata tidak mampu merasionalkan keberadaan lembaga SIUPP dengan segala eksesnya.2 'Kekuasaan', kalau kita bisa sebut demikian, untuk ikut menentukan keputusan yang tadinya fifty-fifty, berubah menjadi ada pihak yang dominan dan ada pihak memberikan saran.3 yang hanya punya kesempatan untuk sekedar

II
Dalam wacana Pers di Indonesia, Pers yang memiliki kaitan amat erat dengan sejarah perjuangan bangsa adalah Pers Mahasiswa. Hal ini bisa dilihat dari proses awal kemunculan Pers di Indonesia sejak era pra-merdeka yang diawali dengan munculnya Pers yang diterbitkan oleh kalangan mahasiswa. Dan tak salah jika dikatakan Pers Mahasiswa muncul secara bersamaan dengan bangkitnya pergerakan nasional.4 Dengan menggunakan wacana Pers Umum, secara empiris kondisi Pers Mahasiswa sempat juga mengalami banyak pelemahan, ketika harus berhadapan dengan kekuasaan. Terbukti dengan begitu banyaknya Pers Mahasiswa yang dibredel. Namun dalam batasan-batasan tertentu, Pers Mahasiswa ternyata lebih berdaya dalam mengantisipasi pembredelan tersebut. Banyak sekali contoh, ketika sebuah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) mengalami pembredelan,

3 Data Departemen Kav. 10 Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya

mereka mencoba tetap terbit meskipun dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Di sisi lain proses perlawanan mengenai kasus pembredelannya juga secara masif terus dijalankan. Karena bagaimanapun juga upaya menegakkan Kebebasan Pers merupakan sebuah sikap yang konstitusional seperti dijamin dalam pasal 28 UUD 1945. Dari sisi psikologi, sebenarnya Pers Mahasiswa lebih memiliki peluang menegakkan kemandirian pers sebagai Pers Perjuangan. Karena kekhawatiran akan dicabutnya SIUPP atau STT seperti yang selalu menjadi kendala bagi Pers Umum (pada era sebelum reformasi) barang kali telah menjadi sebuah imunitas bagi Pers Mahasiswa. Dan dalam hirarki perjuangannya, menegakkan kebebasan pers merupakan salah satu agenda perjuangan Pers Mahasiswa. meniadakan kondisi yang tidak

Karena bagaimanapun juga salah satu fungsi Pers adalah memperjuangkan kepentingan masyarakat dan membantu diinginkan.5

III
Dengan adanya kenyataan tentang pembredelan yang mendera Pers Mahasiswa, hal ini justru membuktikan bahwa kerangka dan nafas Pers Perjuangan di Indonesia masih hidup. Dengan tingkat represi yang begitu tinggi terhadap Pers Mahasiswa, ternyata Pers Mahasiswa tetap mencoba untuk eksis. Namun perjuangan ini tentunya harus senantiasa dilandasi dengan satu keyakinan tentang kekuatan moralitas dan etika yang bersumber dari kemapanan nilai-nilai humanisme dan berbasis pada nilai-nilai kerakyatan. Tanpa hal itu perjuangan Pers Mahasiswa akan bergeser menjadi sebuah aktivitas jurnalistik tanpa nilai (jurnalisme semu). Disamping Pers Mahasiswa senantiasa berhadapan dengan kekuasaan, pada sisi lain Pers Mahasiswa ternyata juga banyak mengalami kendala internal. Baik yang bersifat fasilitatif maupun kendala sumber daya manusia. Secara fasilitatif Pers Mahasiswa berdiri pada ambang batas dimana antara realitas dan idealisme harus terus berjalan. Sebuah posisi yang samasama memerlukan penguatan progressifitas. Namun hal itulah yang sebenarnya merupakan fundamen yang paling dasar bagi Pers Mahasiswa menuju kearah

4 Data Departemen Kav. 10 Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya

yang diidealkan. Sehingga wacana mengenai Pers Mahasiswa sebagai Pers Alternatif bukanlah merupakan keniscayaan lagi. Di saat Pers Umum semakin tergantung oleh sistem kekuasaan yang seringkali menimbulkan dehumanisasi, barangkali Pers Mahasiswalah sebagai sebuah jawaban.
IV Nah, mencermati berbagai fenomena mutakhir di negeri ini, tampaknya ada sejumlah pergeseran pada tataran kekuatan opini. Khususnya pada masa sekarang yang kerap juga disebut yang era reformasi. Pada masa oerde baru dulu, di banyak permasalahan menunjukkan membengkaknya 'paranoia'

kalangan masyarakat luas. Mungkin hal ini agak berlebihan jika dipandang dari sudut konstalasi global. Namun jika diteliti lebih lanjut lewat berbagai fragmentasi dan kondisi parsial di sekitar kita, banyak kasus yang bahwa kekuatan moral masyarakat kita dapat dipakai indikator pun juga telah terjangkit epidemi

ketakutan tersebut. Hal mana diakibatkan oleh kondisi semakin melemahnya lembaga-lembaga yang berkaitan dengan opini dan kebijakan publik. Meski dalam batasan-batasan praksis upaya yang bersifat aksioner telah banyak dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat untuk membuat nilai tawar terhadap proses pelemahan tersebut namun ternyata hal itu tidak banyak memberi arti. Bahkan cenderung mengarah ke sebuah 'submission point', titik kepasrahan, ketika wacana legal institutif yang coba dipakai ternyata mengalami kebuntuan juga. Seperti apa yang dikatakan Rosihan Anwar dalam Mahkamah Agung (MA) yang pencabutan SIUPP, "Kini dengan putusan MA itu, janganlah diharapkan prospek kemerdekaan pers cerah adanya, apalagi dengan keterangan Ketua MA bahwa pencabutan SIUPP tidak sama dengan pembredelan pers. Jadi segala itu tidak ada hubungannya dengan soal kemerdekaan pers. Jalan pikiran yang seperti diperlihatkan Ketua MA itu sulit sekali diikuti. Dimana logikanya, hanya Tuhan Yang Maha Tahu".6 V Dalam situasi dan kondisi seperti itu, Pers yang sebenarnya bisa menjadi salah satu alternatif bagi pemberdayaan moral masyarakat ternyata juga menanggapi putusan mengalahkan gugatan Tempo dalam kasus

5 Data Departemen Kav. 10 Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya mengalami pergeseran nilai. Meskipun menyangkut dalam wacana idealistik pers dan ada dalam membantu

semacam kredo memperjuangkan

penting

eksistensi

lingkaran kehidupan masyarakat.

Yakni, bahwa salah satu fungsi Pers adalah masyarakat

kepentingan

meniadakan kondisi yang tidak diinginkan. 7 Namun dengan merujuk pada kenyataan seperti apa yang dikatakan Rosihan dan barangkali juga sekian banyak anggota masyarakat yang lain tentang kemerdekaan pers, adalah merupakan hal yang ironis ketika harapan ditimpakan kepada institusi pers. Beberapa fakta dan realita yang kita dapatkan pada diri pers menyangkut proses pemberdayaan masyarakat ternyata justru amat jauh dari yang diharapkan. Bahkan cenderung mengarah pada proses dehumanisasi yang sebenarnya merupakan sebuah proses pendangkalan moralitas dan pengekangan sikap kedewasaan bernegara. Sidang pembaca sebagai elemen pokok dalam dunia pers ternyata harus dikalahkan publik dan dengan berbagai praktik rekayasa muatan menggantinya dengan berita seremonial redaksional. Pers tidak segan-segan menghilangkan sama sekali berita yang menyangkut pengguntingan opini pita tanda peresmian gedung perkantoran sekedar untuk

mengamankan urat nadinya (baca SIUPP). Fakta ini barangkali tidak sekeras apa yang pernah dikatakan oleh Prof. A. Muis menyangkut keprihatinannya terhadap pers Indonesia, karena terlalu mengutamakan tanggung jawab politik, sehingga banyak media mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal yang kurang memperlihatkan norma-norma moral Pancasila, seperti munculnya kecenderungan mengeksploitasi selera rendah.8 Dengan untuk menjaga merujuk sifat pada fakta yang menunjukkan Ketika telah adanya begitu proses banyak dehumanisasi dalam dunia Pers, elemen alternatif manakah yang bisa dipakai humanis masyarakat? makam demokrasi dihiasi oleh nisan-nisan korban pembredelan, media alternatif apa yang bisa dimanfaatkan untuk mengembalikan nilai humanitarianisme sebagai sebuah kekuatan dan kedewasaan sebuah bangsa? Mengingat bahwa ketika sebuah bangsa kehilangan nilai humanis-nya, apakah peradaban dan ketinggian budaya yang menyangkut etika dan moral bangsa tersebut masih layak dipakai untuk menjaaga soliditas kebangsaannya? Seuntai pertanyaan yang memang sangat sulit

6 Data Departemen Kav. 10 Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya dijawab, kecuali hanya dengan kekuatan moral yang ditempa dari penajaman visi humanisme keseharian, yang niscaya sanggup mematahkan lingkaran setan yang mengungkungi keberadaan Pers Indonesia. Indikasi adanya degradasi wacana humanitarianisme dalam konstruksi Pers sudah mendekati titik kritis. Dimana Pers Umum lewat berbagai muatannya telah mengarah pada penghindaran pembentukan opini publik. Karena disaat mencoba untuk menjaga nilai-nilai tersebut ternyata harus beresiko amat tinggi yakni mengalami pembredelan dari rejim pemerintah, yang eksesnya akan mepengaruhi stabilitas investasi dari institusi pers itu sendiri. Oleh karena itu betapa mencemaskan juga kalau yang memiliki konglomerasi pers tidak lain adalah pengusaha yang terkenal dekat dengan pusat kekuasaan. Kalau pengusaha pers merasa kepentingan mereka sejalan dengan kepentingan kelompok tertentu dalam pemerintah, sehingga mulai memakai media yang dimilikinya tangan negara dalam mempengaruhi ataupun mengarahkan masyarakat. 9 Hal ini dikarenakan amat bergantungnya Pers pada sistem ekonomi politik dan struktur sosial dari negara dimana Pers itu berada. 10 Yang mana dalam kondisi seperti negara Indonesia persoalan ini menjadi sesuatu hal yang tak dapat dielakkan juga, dan pada gilirannya menjadikan pers semakin 'vulnerable', rapuh. Dan pada tahap inilah sudah sewajarnya bila Pers Mahasiswa sebagai sebuah kekuatan Pers alternatif harus sanggup mencegah berlarutnya proses dehumanisasi yang kian transparan dapat kita lihat dalam media massa yang beragam dan banyak dipengaruhi unsur-unsur kapitalistik. Namun kini dengan terbukanya kran kebebasan pers yang seluas-luasnya, bagaimana konstalasinya. Benarkah ketakutan dan keterpasungan informasi tersebut telah sirna? Bagaimana pula posisi pers dalam era yang segalanya begitu meruyak, di mana bayang-bayang sensor dan represi nyaris sirna sama sekali? VI Dalam mencari formulasi strategis Pers Mahasiswa sesungguhnya tak ubahnya dengan memotret realitas sosial di masyarakat luas. Untuk itu salah satu pijakan mendasar yang bisa dipakai sebagai arah perjuangan adalah dengan menciptakan kolaborasi nilai dengan realitas sosial itu sendiri. Adalah sesuatu sebagai pendapat umum

7 Data Departemen Kav. 10 Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya yang mustahil ketika kita menempatkan Pers Mahasiswa sebagai media

Perjuangan namun kita sendiri teralienasi dari fenomena yang ada dalam wacana humanisme sosial. Hal ini barangkali amat berkaitan dengan konsep gerakan mahasiswa pada umumnya (dimana Pers Mahasiswa ada didalamnya), yang harus senantiasa berposisi pada nilai-nilai kerakyatan. Dan keberpihakan pada nilai moralitas dan etika merupakan sebuah keharusan dalam proses perjalanannya. Selanjutnya, tambang terbesar bagi berkembangnya humanitarianisme dalam Pers Mahasiswa adalah posisinya yang independen. Sifat-sifat khas yang dimiliki oleh Pers Mahasiswa amat memungkinkan terciptanya keberlangsungan tanpa adanya kekhawatiran terhadang oleh Pembredelan. Bukankah ketika sebuah Pers Mahasiswa dinyatakan dibredel, ternyata dia tetap berupaya untuk terbit dan akan tumbuh lagi. Hal ini berbeda dengan kondisi Pers Umum yang amat bergantung pada pemilik modal dan rejim yang sedang memerintah sehingga memungkinkan terjadinya intervensi didalamnya. Sehingga proses pemberdayaan yang diharapkan mampu diemban oleh Pers Mahasiswa bukan lagi menjadi sebuah keniscayaan. Pada tanggal 6 Desember 2001, dalam rapat kerja Komisi I DPR, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif melontarklan kritik keras terhadap pers. Menurutnya ada lima penyakit yang merusak pers Indonesia pada era reformasi. Yaitu: Pornografi, character assassination, berita bohong dan profokatif, iklan yang tidak lagi sesuai dengan dimensi yang sesungguhnya serta banyaknya wartawan liar yang tak jelas institusinya. Kelima penyakit tersebut diyakini telah memicu pola pemberitaan yang tidak lagi proporsional. Fakta seperti itu, diakui atau tidak memang bisa dirasakan kebenarannya. Pada situasi seperti itu, tampaknya Pers Mahasiswa tetap memiliki peran yang sangat siginifikan dalam menjembatani fenomena tersebut. Dalam hal ini selayaknya Pers Mahasiswa mengambil posisi sebagai pemihak kepentingan publik dengan mengusung kredo-kredo yang sarat dengan kekuatan humanistik. Jika posisi tersebut bisa diraih, niscaya Pers Mahasiswa tetap memiliki peran alternatif yang jauh lebih luhur. Yaitu menjadi penyebar perasaan damai nan jauh dari kecemasan dan rasa takut akibat dari tak terbendungnya kebebasan pers itu sendiri. Nah.

8 Data Departemen Kav. 10 Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya .....Memang sampai kini saya tidak mengerti bagaimana orang dapat merasa terhormat diatas penghinaan yang diderita oleh sesamanya11 Catatan :
1. Lihat PERATURAN MENTERI PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA No. 01/PER/MENPEN/1984

2. Lihat proses gugatan Tempo 3. Rustam F. Mandayun, "Siapakah yang Melindungi Wartawan ?" dalam "Pers,
Hukum dan Kekuasaan", Cetakan Pertama, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1994, Halaman xiii.

4. Amir Effendi Siregar, "Pers Mahasiswa Indonesia : Patah Tumbuh Hilang


Berganti", Karya Unipres, Jakarta, 1983.

5. Edwin

Emery, Philip H. Ault, Warren K. Agee,

"Introduction

to

Mass

Communication", Third Edition, New York, Dodd Medd & Company, Inc.

6. Rosihan Anwar, "Tempo dan Mahkamah" dalam Forum Keadilan : Edisi 6, Tahun
V, 1 Juli 1996.

7. Edwin Emery, Philip H. Ault, Warren K. Agee, "Introduction


Communication", Third Edition, New York ; Dodd Mead & Company, Inc.

to

Mass

8. Prof. A. Muis, Kompas No. 86 Tahun 27, 24 September 1991, hal 1 dalam Ana Nadya
Abror, "Berjuang Menghadapi Perkembangan Masa", Edisi Pertama, Liberty Yogyakarta, 1992.

9. David T. Hill dalam kata Pengantar buku "Pembredelan Pers di Indonesia Kasus
Koran Indonesia Raya".Ignatius Heryanto, "Pembredelan Pers Di Indonesia Kasus Koran Indonesia Raya", Cetakan Pertama, LSPP Jakarta, 1996.

10. E. Lioyd Sommerlad, "The Press in Developing Countries", 1996. 11. M. K. Gandhi, "Gandhi Sebuah Otobiografi", Cetakan Keempat,Sinar Harapan
Jakarta, 1985. Alih Bahasa : Gd. Bagoes Oka.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Disampaikan Dalam Forum Pendidikan dan Latihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional di Universitas Brawijaya Malang, Senin 13 Mei 2002

9 Data Departemen Kav. 10 Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya

-------------------------------------------------------------------------------

Anda mungkin juga menyukai