Anda di halaman 1dari 5

Missing Link Gerakan Mahasiswa Indonesia Agung Sedayu*

Kini, gerakan mahasiswa diantarkan pada kondisi dilematis dan serba abu-abu. Abu-abu dalam artian tidak memiliki kejelasan mana kawan dan mana lawan. Kondisi ini makin rumit ketika ternyata masih banyak letupan-letupan konflik horisontal yang merebak dalam tubuh sesama organ gerakan. Pun dalam hubungan antara persma dan organ gerakan lain. Gerakan mahasiswa 98 lalu satu sisi berhasil menuai pujian dari banyak pihak. karena bisa memaksa Soeharto lengser dari kursi kepresidenan yang dikukuhi selama 32 tahun. Tapi bila dicermati, tidak sedikit kegagalan yang kemudian diciptakan. Gagal dalam arti gerakan mahasiswa yang terakhir ini hanya mampu memotong sebuah batang tua rapuh, sedangkan akarakarnya dibiarkan menancap kokoh. Akar-akar yang saya maksudkan tak lain barisan teknokrat yang menjadi tulang punggung penompang rezim orba. Mereka tetap punya kesempatan untuk hidup dan berkembang. Hingga akibatnya dalam waktu singkat mereka beradaptasi dan melakukan metamorfosis menjadi bentuk-bentuk tubuh baru dengan jiwa lama. Konyolnya, bentuk baru ini ternyata lebih resisten dan kuat terhadap terjangan aksi gerakan mahasiswa yang masih sering kali muncul, meski dalam skala kecil. Resistensi dan kekuatan ini berangkat dari perpaduan pengalaman menghadapi gerakan mahasiswa masa lalu serta memanfaatkan jalur prosedural demokrasi. Harus diakui kelemahan sistem demokrasi yang dijalankan di negeri ini dihanya menitikberatkan pada prosedural belaka. Hingga tak heran peluang tersebut yang kemudian mereka manfaatkan dengan baik untuk mendapat legitimasi rakyat atas kedudukan mereka. Salah satu contohnya, pemilu langsung yang belum tentu rahasia-- dilaksanakan. Partai politik boleh beragam dan banyak, rakyat boleh berkampanye keliling kota atau berkumpul di lapangan untuk sejenak mendengarkan bualan para jurkam kemudian bereforia dengan dangdutan. Tepat pada waktu yang sudah ditentukan rakyat dimobilisir untuk mencoblos dan kemudian dipersilahkan pulang kembali ke rumah sekedar menjadi penonton atraksi dagelan politik tanpa satu kepastian apakah mereka bisa berdaya ketika ternyata janji yang terlontar tidak satupun yang diwujudkan. Karena tidak satupun kandidat presiden yang telah melakukan kontrak sosial dengan rakyatnya. Sempurnalah restorasi para elit golongan lama ini menjadi wujud baru, berkulit baru dan berbaju demokrasi tapi, sekali lagi, isinya tetap seperti tempo doeloe. Keadaan inilah ini memposisikan gerakan mahasiswa pada situasi yang dilematis. Ketika dibiarkan mereka mulai meraja lela, namun jika dilawan

mahasiswa akan mendapat label anti demokrasi. Ujung-ujungnya rakyat sendiri yang harus dihadapi. Sayangnya sebagian organ gerakan mahasiswa justru hanyut dalam carut-marutnya bias pelaksanaan demokrasi. Perlahan namun pasti, gerakan mahasiswa mulai terbawa arus siklus politik elit serta dukung-mendukung partai atau golongan tertentu. Mungkin inilah yang disebut syclis atau ulangan sejarah gerakan mahasiswa Indonesia era 66. Pasca mencapai puncak perjuangannya untuk meruntuhkan kekuasaan sebuah rezim, gerakan mahasiswa seolah-olah makin jauh dari basis kekuatan rakyat. Ironisnya mereka kemudian hanyut menjadi alat kekuasan elit politik yang sedang bersaing. Kondisi ini tampak dari issue-issue gerakan yang makin jauh dari konteks permasalahan dan kebutuhan rakyat. Issue yang diusung akhir-akhir ini lebih ditekankan pada dukung-mendukung golongan/ politik tertentu, tanpa ada sebuah pengkorelasian secara kongkrit dengan permasalahan yang dihadapi rakyat. Sepertinya euforia kemenangan semu gerakan mahasiswa tahun 98 itulah yang mempengaruhi psychologis mahasiswa dalam pemilihan dan penggalian issue. Mereka lebih tertarik mengangkat issue-issue politik elit dan fenomena-fenomena politik nasional. Hingga tercipta kesan jika gerakan mahasiswa tidak bicara tentang issue politik elit, ngomong tentang masalah nasional yang juga identik dengan politik-- atau topik-topik yang muncul di Jakarta tidak akan ngetren. Padahal disekitar lokalitas mahasiswa sendiri masih banyak setumpuk permasalaan kerakyatan yang perlu disingkapi. (kayaknya lebih manarikkalo ini dikasih contoh) Akhirnya tidak bisa disalahkan jika kemudian rakyat makin menjauh dari gerakan mahasiswa. Aksi turun jalan tidak lagi populis dan strategis unuk mengundang simpati dukungan rakyat. Jangankan untuk ikut terlibat, menyaksikan saja sudah enggan. Bahkan kini aparat tidak perlu lagi berteriak dan mengeluarkan undang-undang anti demonstrasi. Karena masyarakat sendiri ternyata sudah antipati dan dengan senang hati melontarkan tudingan bahwa gerakan mahasiswa itu menggangu ketertiban publik. Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari model gerakan mahasiswa era 80-an sampai awal 90-an, dimana gerakan mahasiswa lebih banyak turun ke basis rakyat. Tampak dalam ramainya keterlibatan mahasiswa dalam advoksi maupun pembelaan kasus buruh dan tani serta pengangkatan kasus-kasus lokal kepermukaan yang memang kurang mendapat perhatian. Memang konsekuensi logis dari model gerakan ini, gerakan mahasiswa tidak akan memiliki citra booming dan hebat seperti gerakan mahasiswa era 66. Namun terbukti, dalam realita gerakan mahasiswa era 80-an sampai awal 90-an berhasil mencapai titik dasar dari kerangka penguatan masyarakat. Mahasiswa era tersebut berhasil meruntuhkan menara gading kampus dan

mahasiswa itu sendiri --satu model gerakan yang penting untuk ditelaah kembali. Lantas bagaimana dengan pers mahasiswa yang notabene merupakan salah satu organ gerakan mahasiswa? Dari gambaran kondisi obyektif dan subyektif gerakan mahasiswa saat ini serta kerangka pemikiran di atas, penting kiranya kita menyadari potensi strategis pers mahasiswa dalam pengembangan pemikiran alternatif bagi penyadaran masyarakat maupun mahasiswa sendiri. Pers mahasiswa memiliki potensi strategis di jalur-jalur komunikasi untuk melakukan penyadaran dan propaganda. Sehingga memungkinkan proses penyempitan jurang pemahaman antara organ gerakan mahasiswa dan masyarakat. Namun yang sangat disayangkan, hingga saat ini, kita masih belum bisa menghilangkan dikotomi antara pers mahasiswa dengan organ gerakan lainnya (terutama ekstra). Gerakan mahasiswa ekstra seringkali memberi label pers mahasiswa sebagai golongan yang elitis dan tidak sejalan dengan gerakan mahasiswa yang lain. Claim ini berangkat dari jarangnya intensitas organ pers mahsiswa ikut serta dalam aksi turun jalan. Sikap organ pers mahasiswa ini bukanya tanpa alasan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi pengambilan sikap tersebut. Pertama, pers mahasiswa sebagai salah satu organ gerakan mahaiswa yang berada diwilayah jurnalistik memiliki sebuah karakter yang berbeda dengan organ gerakan lain. Kekuatan terbesar pers mahasiswa adalah pada wilayah pemikiran serta media jurnalistik. Potensi pers mahasiswa ada dijalur komunikasi, penyebaran isu, propaganda dan konsolidasi yang mempunyai titik tekan pada penyadaran kolektif, bukan pada basis massa. Siklus sederhana dari sebuah gerakan adalah konsolidasi aksirefleksi. Di wilayah konsolidasi inilah potensi terbesar pers mahasiswa. Sayangnya gerakan mahasiswa kini mengalami bias pemaknaan. Sebuah gerakan seringkali hanya dimaknai secara parsial sebagai aksi turun ke jalan saja. Padahal aksi tersebut hanya merupakan salah satu bagian dari strategi gerakan. Realitas karakter, yang berpengaruh pada munculnya bahasa peran pers mahasiswa yang berbeda dengan organ lain ini ternyata belum bisa diterima dengan arif. Hingga akhirnya muncul ego paling benar dan memilih berjalan sendiri-sendiri. Kedua, adalah perbedaan orientasi dan strategi gerak. Dalam perjalanannya pers mahasiswa yang menyadari posisi mereka sebagai pengemban idealisme persma memilih berada di luar siklus tarikan politik elit. Dan pada perkembangan terakhir ini, dari keempat fungsi pers, -informasi, hiburan, pendidikan, dan kontrol sosial pers mahasiswa telah memilih untuk menitiktekankan pada dua fungsi terakhir, yaitu pendidikan dan terutama kontrol sosial. Hanya dengan titik keberpihakan yang jelas dan independensi yang besar lah yang memungkinkan fungsi kontrol sosial dapat dijalankan secara maksimal. Layaknya organ gerakan lain, keperpihakan pers mahasiswa tak bergeser dari kaum marjinal di masyarakat. Meski demikian di

sisi lain pers mahasiswa harus tetap memiliki independesi yang jelas, karena di titik inilah sebenarnya konsistensi keberpihakan pers mahasiswa dipertaruhkan. Tak heran jika pers mahasiswa memilih jalur untuk setia berkonsentrasi pada pengangkatan permasalahan kerakyatan tanpa harus terbawa arus dalam siklus tarikan politik elit maupun dukung mendukung golongan tertentu. Sedangkan gerakan mahasiswa ekstra, seperti layaknya background organisasinya yang lebih condong ke arah politik, yang secara historis menjadi turunan golongan politik tertentu, lebih sering mengusung issue-issue berbau politik kekuasaan. Hal ini wajar, karena karakter dasar mereka yang telah terbentuk sejak tahun 1955, ketika partai politik beramai-ramai mencari kader dan membentuk underbaound partai di basis mahasiswa. Seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi ke PNI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berafiliasi ke Masyumi, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) berafiliasi ke PKI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ke NU, serta Germasos ke PSI. Pembentukan organ gerakan mahasiswa ekstra yang berafiliasi ke partai/ golongan politik tertentu ini, waktu itu, telah menjadi budaya. Hampir tidak ada organisasi ekstra yang independen (dalam artian terlepas dari underbaund golongan tertentu) tanpa punya afiliasi dengan golongan tertentu. Latar belakang keberadaan organ gerakan mahasiswa inilah yang menjadi dasar keengganan pers mahasiswa untuk secara langsung terlibat dalam aksi gerakan mahasiswa ekstra. Karena kondisi ini ternyata sampai saat ini-- berpengaruh besar terhadap kecenderungan issue yang diangkat organ gerakan ini. Selayaknya jika kita mengharapkan munculnya gerakan mahasiswa yang lebih baik, titik pemahaman bersama sebuah gerakan ditemukan dan dikotomi dihapuskan. Karena bukan saja melemahkan gerakan mahasiswa itu sendiri tetapi juga berpotensi besar memicu munculnya konflik horisontal. Jawaban awal yang memungkinkan untuk melahirkan pemahaman bersama ini adalah menghidupkan forum-forum bersama sebagai ajang gesekan pemikiran untuk penyamaan persepsi dan saling pengertian antar organ gerakan mahasiswa. Untuk kemudian mampu bersama-sama mendobrak kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi obyektif ekonomi-politik yang negatif bagi pendewasaan demokrasi serta keadilan sosial. Bersama-sama melakukan penggodokan issue-issue gerakan mahasiswa yang lebih merakyat kental lokalitasnya sebagai penguatan bargain politik mahasiswa sekaligus pembumian gerakan mahasiswa di basis rakyat. Jika ini dilakukan bukan mustahil dukungan rakyat terhadap gerakan mahasiswa segera terwujud. Karena akhir-akhir ini gerakan mahasiswa Indonesia tidak lagi memadu dengan sektor-sektor gerakan masyarakat. Pertemuan atau konsolidasi gerakan mahasiswa dengan organ gerakan

masyarakat hanya pada tingkatan issue semata. Padahal harusnya gerakan mahasiswa bisa meningkatkan konsolidasi ini sampai tahap aksi. Di sinilah diperlukan pemaksimalan potensi peran masing-masing organ. Memang perjuangan ini bukalah hal yang mudah diwujudkan. Perlu banyak tenaga, pikiran, dana dan waktu. Tapi bukankah keberhasilan sebuah perjuangan membutuhkan kristalisasi tetesan keringat? Nah Kediri, 20 Juli 2004 * Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia 2004-2005

Anda mungkin juga menyukai