Anda di halaman 1dari 23

Angkatan Bersenjata dan

Penyesuaian Kekuasaan
Negara dengan Tugas-tugas
Revolusi (PKI dan Angkatan
Darat - SESKOAD II)
D.N. Aidit (1964)

Sumber: Angkatan Bersenjata dan Penyesuaian Kekuasaan Negara dengan Tugas-tugas


Revolusi, Yayasan "Pembaruan", Jakarta, 1964. Scan PDF Booklet

Sekedar Pengantar 

Pada tanggal 1 Juli 1964, Menko Wakil Ketua MPRS dan Ketua CCPKI D.N. Aidit, untuk
kedua kalinya telah memberikan ceramah di depan SESKOAD, Bandung. Kali ini temanya ialah
“Sistem Penyelenggaraan Dukungan Masyarakat (Social Support) dan Pengawasan Masyarakat
(Social Control) bagi Republik Indonesia”.

Dengan persetujuan penulisnya, singkatan terjemahan buku itu kami bukukan dengan judul
Angkatan Bersenjata dan Penyesuaian Kekuasaan Negara dengan Tugas-Tugas Revolusi.
Mudah-mudahan penerbitan ini bisa sekedar memberi sumbangan pada melahirkan pengertian
yang tepat mengenai pokok-pokok tema yang dibahas yaitu “social control”, “social support”,
“social participation”, kekuasaan negara dan revolusi Indonesia, baik di kalangan Angkatan
Bersenjata khususnya maupun di kalangan Rakyat pada umumnya, sehingga akan
memperkembangkan lebih lanjut Dwitungkal Rakyat dan Angkatan Bersenjata guna
menyelesaikan revolusi nasional-demokratis dalam menuju ke Sosialisme Indonesia.

Penerbit

Jakarta, Juli 1964.

-----------------------------------------------

Saudara-saudara Jenderal, para perwira pimpinan, dan dosen SESKOAD, para perwira siswa
SESKOAD.
Ini adalah untuk kedua kalinya, bahwa saya sebagai Ketua Comite Central Partai Komunis
Indonesia dan sebagai Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS, diminta untuk memberikan
ceramah di muka SESKOAD. Sewaktu saya memberikan ceramah untuk pertama kalinya di
muka SESKOAD, yaitu pada tanggal 29 Juni 1963, saya mengatakan bahwa adanya ceramah
pemimpin kaum Komunis Indonesia di muka anggota Angkatan Bersenjata RI “menandakan ciri
khusus daripada keadaan politik di negeri kita” dan bahwa ciri yang khusus ini “membedakan
kita, misalnya, dengan negeri-negeri SEATO”.

Selama masa satu tahun sejak ceramah itu, ciri yang khusus daripada keadaan politik di
negeri kita telah semakin berkembang. Selama satu tahun itu berbagai tradisi yang baik
daripada perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia telah berkembang terus-menerus, yaitu
tradisi berjuang dan berkonfrontasi dengan imperialisme, tradisi mempererat solidariter Asia-
Afrika dalam melawan musuh bersama rakyat-rakyat sedunia, yaitu imperialisme AS, tradisi
menggalang persatuan nasional revolusioner antara seluruh kekuatan Rakyat Indonesia, tradisi
anti-feodalisme, tradisi kerjasama yang erat antara Angkatan Bersenjata RI dengan Rakyat
Indonesia, juga tradisi pemimpin-pemimpin Komunis berceramah di muka perwira-perwira
anggota Angkatan Bersenjata. Selama satu tahun ini saya juga telah memberikan ceramah-
ceramah di hadapan perwira-perwira ALRI dan AURI.

Dengan semakin berkembang cincin khusus daripada perkembangan maju politik negeri kita,
maka Indonesia menjadi semakin berbeda dengan negeri-negeri SEATO sehingga kedudukan
kaum Imperialis, terutama imperialis AS menjadi makin goyah, bukan hanya di Indonesia tetapi
juga di seluruh Asia Tenggara. Keadaan politik di Indonesia memang baik sekali, dan ini tidak
hanya membedakan Indonesia dari negeri-negeri SEATO tetapi juga ikut menggoncangkan
SEATO itu sendiri. Indonesia telah membikin “horek” Asia Tenggara sehingga kaum imperialis di
daerah ini makin goncang kedudukannya.

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada pimpinan SESKOAD yang telah sekali lagi
mengundang saya untuk berceramah di sini. Ini sekali lagi merupakan sumbangan dalam
memperkuat kerjasama antara Angkatan Bersenjata RI, khususnya Angkatan Darat, dengan
Rakyat Indonesia, khususnya dengan PKI. Mengapa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
bisa bekerjasama dengan Rakyat Indonesia, dengan kaum Komunis Indonesia? Hal ini
dijelaskan dalam satu kesimpulan daripada ceramah saya di muka SESKOAD pada tanggal 29
Juni tahun yang lalu, yaitu mengenai ciri Angkatan Bersenjata RI, di mana saya jelaskan ciri
yang pertama sebagai berikut: “Angkatan Bersenjata RI adalah anti-fasis, demokratis, anti-
imperialis, dan bercita-cita Sosialisme Indonesia. Ia adalah alat untuk mengabdi Revolusi
Indonesia, untuk mengubah masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi masyarakat Indonesia
yang merdeka penuh dengan demokratis sebagai landasan untuk menuju ke Sosialisme. Maka
itu, ia mengabdi pada Rakyat, berjuang untuk Rakyat, dan terdiri dari Rakyat. Untuk dapat
melaksanakan tugas-tugasnya, Angkatan Bersenjata RI “yang juga anggota Front Nasional
berporoskan Nasakom, semestinya dipimpin oleh Program Bersama dari Revolusi Indonesia,
yaitu Manipol dan pedoman-pedoman pelaksanaannya. Manipol adalah juga doktrin Angkatan
Bersenjata kita” (lihat D.N. Aidit, PKI dan Angkatan Darat, Yayasan “Pembaruan”, Jakarta,
1963, hal. 41).

Saya telah diminta oleh pimpinan SESKOAD untuk membahas suatu tema yang saya anggap
sangat menarik dan berguna, yaitu “Sistem Penyelenggaraan Dukungan Masyarakat (Social
Support) dan Pengawasan Masyarakat (Social Control) bagi Negara RI”. Tema ini adalah
berguna untuk dibahas terutama karena, seperti halnya dengan berbagai istilah yang sudah
menjadi sebagian daripada bahasa kita sehari-hari, istilah-istilah “Social Support” dan “Social
Control” sering sekali dipakai tetapi begitu sering tidak dimengerti. Mudah-mudahan melalui
pembahasan yang saya ajukan dalam ceramah ini, kita akan mencapai bersama-sama suatu
pengertian yang tepat sebagai pegangan selanjutnya.

Adalah tepat pula apabila tema ini dibahas juga oleh pemimpin-pemimpin partai-parta politik
lainnya, seperti yang sedang dilakukan di dalam SESKOAD angkatan ini. Seperti akan saya
jelaskan dalam ceramah ini, masalah “Social Support” dan “Social Control” justru adalah
masalah partai-partai politik yang merupakan saluran-saluran yang paling wajar bagi kedua
kegiatan ini.

Saya anggap bahwa membahas tema semacam ini di muka salah satu sekolah daripada
Angkatan Bersenjata adalah sangat berguna dan menarik. Mengapa? Karena “Social Support”
dan “Social Control” menyangkut satu hal yang sungguh vital, yaitu hubungan antara Rakyat
dengan Pemerintah, hubungan antara Rakyat dengan alat-alat negara, sedangkan Angkatan
Bersenjata merupakan salah satu bagian terpenting daripada alat-alat negara. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dengan membahas masalah ini, kita sekaligus membahas pula
syarat-syarat untuk mengembangkan Dwitunggal Rakyat dan Angkatan Bersenjata. Pengertian
yang tepat di dalam Angkatan Bersenjata tentang “Social Support” dan “Social Control”
merupakan salah satu syarat terpenting bagi Angkatan Bersenjata tersebut untuk dapat
melakukan pengabdiannya kepada Rakyat dan Revolusi. Sebaliknya, pengertian yang keliru
tentang hal-hal ini bisa merugikan kelanjutan Revolusi kita karena bisa menimbulkan kontradiksi-
kontradiksi antara Rakyat dan Angkatan Bersenjata RI. Mengingat ciri-ciri dari ABRI seperti telah
saya kemukakan di atas, dan mengingat ciri-ciri Angkatan Bersenjata kita sebagai kaum tanni
bersenjata, maka seandainya kontradiksi-kontradiksi tersebut timbul, ini adalah sama halnya
dengan timbulnya kontradiksi-kontradiksi di dalam kalangan Rakyat sendiri, karena ABRI
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Rakyat Indonesia.

Kaum imperialis asing dan agen-agennya di dalam negeri selalu berusaha keras untuk
mengadu-domba Rakyat Indonesia dengan ABRI dan ABRI dengan Rakyat. Mereka selalu
menggambarkan seakan-akan terdapat permusuhan antara kaum Komunis Indonesia dengan
ABRI karena kepentingan-kepentingan kaum imperialis memang membutuhkan adanya
permusuhan yang demikian. Mereka tahu benar, bahwa dengan menimbulkan permusuhan yang
demikian, mereka akan bisa mengalihkan perjuangan Rakyat Indonesia dari sasaran yang tepat,
yaitu kaum imperialis. Karena inilah kaum Komunis selalu menjunjung tinggi semboyan
“Dwitunggal Rakyat dan Angkatan Bersenjata”. Biarlah kaum imperialis berilusi tentang
perseteruan antara ABRI dengan PKI, asal kita sendiri tidak mempunyai pikiran yang demikian.
Ada baiknya musuh-musuh kita berpikiran keliru tentang kita.

Pimpinan SESKOAD telah meminta saya supaya membahas lima aspek masalah “Social
Support” dan “Social Control”, yaitu (a) faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam
menentukan “Social Support” dan “Social Control”, (b) bagaimana tentang filsafat, struktur, dan
pelaksanaannya, (c) hal-hal yang diperlukan untuk menyukseskan pelaksanaannya, (d)
pengaruhnya terhadap kelancaran dan kehidupan negara kita, dan (e) bagaimana tentang
perkambangannya dalam waktu dekat ini. Dalam usaha untuk memenuhi permintaan ini, saya
akan memberi ceramah ini dalam tiga bagian pokok, yaitu: pertama, masalah revolusi dan
kekuasaan negara dalam hubungannya dengan “Social Support” serta “Social Control”, kedua,
kekuasaan negara RI sekarang dan tugas-tugas khusus “Social Support” serta “Social Control”
dewasa ini, ketiga,  syarat-syarat pelaksanaan “Social Support” dan “Social Control”, dan
keempat, semboyan PKI “Tripanji Bangsa untuk Demokrasi, Persatuan, dan Mobilisasi”.

Masalah Revolusi dan Kekuasaan Negara Dalam Hubungannya dengan “Social


Support” dan “Social Control”

Seperti sudah saya katakan dalam kata pengantar saya tadi, masalah “social support” dan
“social control” menyangkut masalah hubungan antara Rakyat dengan negara, antara Rakyat
dengan Pemerintah yang memimpin negara. Oleh karena itu pembahasan ini perlu di mulai
dengan uraian tentang masalah negara itu sendiri. Dan karena masalah negara tak mungkin
dibahas secara abstrak tetapi harus dibahas secara konkret, artinya dalam keadaan konkret di
Indonesia dan dalam hubungannya dengan Revolusi Indonesia, maka pembahasan masalah
negara harus dipadukan dengan pembahasan soal-soal pokok Revolusi Indonesia.

Pertama-tama kita harus menjawab pertanyaan, apakah negara itu? Pertanyaan ini telah
dibahas dalam salah satu kuliah Presiden Soekarno tentang “Pancasila sebagai Dasar Negara”,
yaitu kuliah yang kedua yang diucapkan oleh Bung Karno dalam kursus yang diberikan oleh
beliau di Istana Negara dalam tahun 1958. Oleh Bung Karno,  pertanyaan itu dijawab dengan
mengutip Karl Marx, bahwa “Negara adalah satu machtsorganitie... bahkan...satu
machtsorganisatie daripada sesuatu kelas untuk mempertahankan dirinya terhadap lain kelas”.
(Lihat Presiden Soekarno, Tjamkan Pantja Sila! Dikeluarkan oleh Panitia Nasional Peringatan
Lahirnja Pantja Sila, hal. 71).

Selanjutnya dalam kuliah Presiden Soekarno yang ketiga tentang “Pancasila sebagai Dasar
Negara” dijelaskan lebih lanjut bahwa “kita mempergunakan negara ini sebagai alat untuk
mengubah susunan masyarakat, untuk merealisasi satu masyarakat yang adil dan makmur”.
Juga dikatakan oleh Bung Karno dalam kuliah itu: “Negara adalah satu machtsorganisatie,
negara adalah satu alat. Nah, alat ini kita gerakkan. Ke luar, untuk menentang musuh yang
hendak menyerang kita, menentang intervensi, menentang peperangan, menentang apa saja
dari luar. Ke dalam, negara ini juga kita pakai untuk memberantas segala penyakit-penyakit di
dalam pagar, tetapi juga merealisasi cita-cita kita akan masyarakat adil dan makmur”. (Lihat
Presiden Soekarno, Tjamkan Pantja Sila!, hal. 115 dan 116).

Penggunaan ajaran Marx oleh Bung Karno sebagai dasar untuk menerangkan masalah
negara adalah wajar, karena ajaran-ajaran Marx memang merupakan sumber daripada teori
revolusioner tentang negara, kekuasaan negara dan hubungannya dengan masalah revolusi.

Pembahasan tentang ajaran Marx mengenai masalah Negara telah dilakukan oleh W.I. Lenin
secara mendalam dalam bukunya Negara dan Revolusi di mana oleh Lenin disimpulkan bahwa
negara “adalah sesuatu kekuasaan represif yang khsus” suatu “kekuasaan khusus untuk
menghantam kelas yang ditindas” (lihat State and Revolution, Foreign Languages Publishing
House, Moscow, hal. 29 dan 31).

Selanjutnya dalam buku ini, yang ditulis dalam bulan Agustus 1917, Lenin membahas masalah
negara dalam hubungannya dengan revolusi proletar yang berlangsung di Rusia dalam tahun
1917, dan melanjutkan pembahasannya dengan pertanyaan sebagai berikut: “Kelas mana yang
harus dihantam oleh kaum proletar?”. Bagi Indonesia, pertanyaan yang amat penting ini bisa
diterjemahkan sebagai berikut: “Kelas-kelas mana yang harus dihantam oleh Rakyat Indonesia?”
Bagi Indonesia yang sedang melangsungkan revolusi anti-imperialis, maka Bung Karno setelah
dengan tepat mengatakan bahwa “suatu revolusi ditentukan oleh keadaan objektif daripada apa
yang menghantam” (lihat Tjamkan Pantja Sila!, hal. 41), kemudian menunjukkan bahwa revolusi
di Indonesia berarti “menumbangkan imperialisme” dan bahwa: “Revolusioner adalah tiap-tiap
orang yang menentang imperialisme” (Tjamkan Pantja Sila!, hal. 63). Jadi jelaslah bahwa dalam
Revolusi Indonesia, negara sebagai alat harus dipergunakan untuk menghantam kelas-kelas
yang mewakili dan membela kepentingan-kepentingan kaum imperialis.

Dalam salah satu dokumen resmi Republik kita, yaitu di dalam Deklarasi Ekonomi (Dekon),
kita memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang tugas represif revolusi Indonesia pada
dewasa ini, yaitu kewajiban untuk “mengikis habis sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa
feodalisme” dan karena ini merupakan “apa yang dihantam” oleh revolusi Indonesia, maka sifat
revolusi kita pada tahap sekarang adalah “revolusi nasional dan demokratis”, nasional karena
anti-imperialis, dan demokratis karena anti-feodal. Anti-feodal di sini janganlah diartikan anti-
ningrat atau anti-Radi Mas, tetapi anti sistem politik dan ekonomi yang berlandaskan pemilikan
tuan tanah atas tanah.

Semuanya ini berarti, bahwa dalam Revolusi Indonesia, negara sebagai “kekuatan represif
yang khusus” atau “machtsorganisatie” mempunyai tugas untuk menghantam imperialisme dan
feodalisme dan dengan demikian negara menjadi alat daripada semua golongan Rakyat yang
anti-imperialis dan anti-feodal, atau seperti dikatakan dalam Manipol “konsentrasi kekuatan
nasional”, yaitu “kekuatan seluruh Rakyat Indonesia, kekuatan seluruh bahsa yang menentang
imperialisme-kolonialisme”. Menentang imperialisme-kolonialisme tidak bisa berarti lain bahwa
juga harus menentang feodalisme, karena feodalisme adalah dasar sosial daripada
imperialisme, dan kolonialisme adalah perpaduan daripada sistem politik dan ekonomi
imperialisme dengan sistem politik dan ekonomi feodal. Dan kalau kita berbicara tentang
kekuatan revolusi Indonesia menurut Manipol, tak boleh kita lupakan apa yang dikatakan oleh
Manipol mengenai kaum buruh dan kaum tani sebagai “kekuatan pokok dalam Revolusi” dan
sebagai “soko-guru” revolusi (Tubapi, hal. 83).

Mengingat hal-hal ini dapat disimpulkan, bahwa tugas Revolusi Indonesia ialah mendirikan
negara yang merupakan alat dalam tangan “seluruh Rakyat Indonesia...... yang menentang
imperialisme-kolonialisme”. Sifat negara yang demikian tentunya sangat berbeda dengan negara
kolonial dan feodal atau setengah-feodal yang justru merupakan alat dalam tangan kaum
imperialis dan kaum feodal dan kelas-kelas yang meladeni kepentingan-kepentingannya, yang
merupakan alat untuk menindas atau menghantam seluruh Rakyat. Di sinilah bedanya antara
apa yang dikatakan oleh Lenin sebagai sesuatu negara tipe lama, yaitu “sesuatu mesin negara,
aparat dan organ administrasi...... (dengan) tentara tetap, polisi tetap dan birokrasi tetap yang
...... punya hak istimewa dan berdiri di atas Rakyat” dengan suatu negara tipe baru di mana
“Rakyat...... atas kemauan mereka sendiri sedang menciptakan demokrasi menurut cara
mereka sendiri”.

Revolusi dalam zaman manapun selalu membawa perubahan dalam kekuasaan negara.
Justru perubahan kekuasaan negara itulah yang menentukan sifat sesuatu revolusi, karena
seperti dikatakan oleh Bung Karno “kita mempergunakan negara ini sebagai alat untuk
mengubah susunan masyarakat”, sedangkan kalau kekuasaan negara belum diubah sehingga
sepenuhnya mewakili kelas-kelas yang revolusioner, tak mungkinlah untuk menggunakan
negara sebagai alat untuk melakukan tugasnya yang revolusioner itu, yaitu “mengubah susunan
masyarakat”.

Tetapi revolusi-revolusi dalam sejarah manusia sampai kepada revolusi borjuis melawan
feodalisme hanya menggantikan bentuk-bentuk penghisapan, misalnya dari penghisapan secara
feodal menjadi secara kapitalis. Revolusi-revolusi itu tidak melenyapkan penghisapan dan hanya
menggantikan kekuasaan suatu kelas minoritas yang satu dengan minoritas yang lain, yang
tetap menggunakan negara sebagai alat untuk “menghantam” mayoritas Rakyat yang ditindas.

Revolusi Indonesia merupakan revolusi anti-imperialis dan anti-feodal dan berperspektif


Sosialisme. Artinya, bahwa revolusi Indonesia, setelah melaksanakan tugas-tugas anti-imperialis
dan anti-feodalnya, harus dilanjutkan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur,
masyarakat yang bebas dari “l’exploitation de l’homme par l’homme” atau masyarakat Sosialis
Indonesia. Maka revolusi Indonesia tidak boleh mendirikan kekuasaan dari kelas minoritas,
tetapi mempunyai tugas untuk mendirikan kekuasaan darn mayoritas penduduk, atau yang
menurut kata-kata Manipol “seluruh Rakyat yang menentang imperialisme-kolonialisme” untuk
mengikis habis kelas-kelas yang hanya meliputi minoritas, yaitu kelas-kelas yang mewakili atau
membela kepentingan-kepentingan imperialis dan feodal, atau secara konkret, kaum imperialis,
kaum feodal, kaum kapitalis komprador dan kaum kapitalis birokrat. Dalam pidato Bung Karno
“Lahirnja Pantjasila” pada tanggal 1 Juni 1945, tentang ini dikatakan bahwa Rakyat Indonesia
harus mendirikan “negara Gotong royong”.

Dalam negara-negara yang mewakili kelas-kelas minoritas untuk menindas Rakyat banyak,
tetap terdapat pertentangan hebat antara kekuasaan negara dengan Rakyat banyak. Tetapi
tugas Revolusi Indonesia ialah untuk mendirikan negara yang mewakili dan mencerminkan
kepentingan-kepentingan Rakyat banyak. Dalam rangka inilah dapat kita membicarakan
masalah “social support” (dukungan masyarakat) dan “social control” (pengawasan masyarakat)
bahkan perlu dilengkapi dengan “social participation” (pengikutsertaan masyarakat). Memang
dukungan masyarakat, pengawasan masyarakat dan pengikutsertaan masyarakat dalam arti
dukungan, pengawasan dan pengikutsertaan mayoritas Rakyat, hanya mungkin dicapai dalam
rangka mendirikan negara yang mewakili kepentingan-kepentingan Rakyat banyak, dalam
rangka pelaksanaan revolusi dari Rakyat banyak. Dan harus dinyatakan pula bahwa mendirikan
negara yang mewakili Rakyat banyak hanyalah mungkin dengan adanya dukungan,
pengawasan dan pengikutsertaan masyarakat.

Dengan penjelasan ini, dapatlah dipahami bahwa “social support” dan “social control” tidak
mempunyai arti apapun jika tidak dibahas dalam hubungannya dengan sesuatu revolusi
semacam Revolusi Indonesia. Dalam negara yang bersifat kolonial atau pun yang bersifat
imperialis dan kapitalis, istilah “social support” dan “social control” tidak mempunyai arti apapun
kecuali sebagai hiasan untuk tipuan belaka. Kekuasaan negara yang demikian tak mungkin
memperoleh “social support” yang sungguh-sungguh, karena ia hanya mewakili kepentingan-
kepentingan kelas minoritas. Juga fungsi pengawasan hanya dilakukan oleh kelas yang diwakili
kepentingannya untuk menjaga supaya kekuasaan negara atau pemerintah selalu berbuat
sesuai dengan kepentingan-kepentingan kelas tersebut. Bagi Rakyat banyak dalam negeri
semacam itu tentu tidak masalah “social support”, pun “social control”. Yang ada ialah “social
opposition” atau “perlawanan masyarakat” yang akhirnya akan mencetus dalam revolusi untuk
menggantikan kekuasaan yang ada dan mendirikan kekuasaan dari mayoritas.
Dengan penjelasan ini dapat kita lihat pula, bahwa fungsi-fungsi dukungan dan pengawasan
kedua-duanya merupakan fungsi yang dilakukan oleh kelas-kelas yang kepentingan-
kepentingannya diwakili oleh negara yang bersangkutan, dan oleh karena itu, dua fungsi
tersebut merupakan suatu kesatuan yang bulat, yang tak terpisah-pisahkan satu dengan yang
lain. Yang didukung harus bisa diawasi, karena jika tidak, dukungan tak akan bisa
dimobilisasi, sedangkan pengawasan merupakan sikap yang positif yang hanya mungkin
dilakukan terhadap sesuatu yang didukung. Jika yang didukung tidak bisa diawasi dapat
terjadi bahwa dukungan akan disalah gunakan, ditipu dan dikhianati, akan merupakan
penipuan dan pengkhianatan. Di sinilah letaknya kebohongan daripada dalih-dalih sementara
orang yang takut akan pengawasan Rakyat dan oleh karenanya suka mengaakan bahwa yang
harus diutamakan ialah “social support” bukan “social control”. Ini tidak lain merupakan akal
bulus untuk memaksa Rakyat memberikan dukungannya tanpa melakukan pengawasannya.
Tidaklah mengherankan jika justru kaum kapitalis birokrat yang mengajak Rakyat untuk
“mengutamakan dukungan”, apalagi dalam keadaan seperti dewasa ini di mana Rakyat semakin
tajam melakukan pengawasannya, terutama dalam menuntut rituling semua oknum-oknum
kontra-revolusioner, termasuk kaum kapitalis birokrat sendiri.

Satu hal yang penting ditekankan dalam rangka membahas ““social support” dan “social
control” ialah, bahwa karena revolusi Indonesia merupakan revolusi daripada Rakyat banyak,
revolusi seluruh kekuatan nasional, maka persatuan nasional merupakan kebutuhan mutlak
dalam perjuangan Rakyat Indonesia untuk memenangkan revolusinya. “Social support” dan
“social control” mempunyai peranan yang penting sekali bukan hanya dalam mendukung dan
mengawasi kekuasaan negara, tetapi juga dalam terus-menerus memupuk persatuan nasional.
Kaum Komunis sepenuhnya berdiri di belakang bung Karno yang sejak dahulu selalu
mencurahkan segenap tenaganya pada tugas yang mulia dalam memupuk dan memperkuat
persatuan nasional. Kaum Komunis Indonesia menyetujui dan menyambut hangat seruan Bung
Karno tahun yang lalu di Purwokerto agar setiap golongan dan partai politik berlomba-lomba
dalam memperjuangkan pelaksanaan konsekuen daripada program bersama Rakyat Indonesia,
yaitu Manipol. PKI tidak hanya menyetujui, tetapi ikut secara aktif dalam kompetisi ini.

Hal ini perlu dipahami secara mendalam, karena “social support” dan “social control” perlu
dilaksanakan secara bekerjasama dan secara berlomba atau berkompetisi Manipolis, dan tidak
secara bermusuh-musuhan antara kekuatan-kekuatan revolusioner. Perlombaan Manipolis
berarti perlombaan antara partai-partai politik untuk paling banyak memobilisasi “social support”
dan “social control”, semuanya dengan satu tujuan, yaitu pelaksanaan Manipol, program
bersama seluruh Rakyat Indonesia. Kekuatan-kekuatan Rakyat Indonesia, yaitu semua kelas
revolusioner, yang diwakili oleh partai-partai politik mereka masing-masing, harus berbuat apa
saja untuk menggalang persatuan nasional guna menyelesaikan revolusi Indonesia. Dalam
pengertian inilah, kelas buruh Indonesia dengan partainya, PKI, bersedia meletakkan
kepentingan nasional di atas kepentingan kelas.

Mengenai hal persatuan nasional dalam hubungannya dengan teori tentang revolusi
Indonesia, kaum Komunis Indonesia telah berhasil menyusun suatu rumusan yang sederhana,
dengan maksud untuk memperkokoh pengertian tentang mutlak perlunya persatuan nasional
sambil menunjukkan dengan jelas komposisi kelas dan hubungan masing-masing kelas dalam
persatuan nasional itu. Rumusan ini dinyatakan dalam lima kata saja, dalam lima kata yang
gampang sekali diingat oleh siapa pun, yaitu: do,do,  re, mi, fa (1, 1, 2, 3, 4).
Do (1) yang pertama berarti satu kekuatan pelopor revolusi Indonesia, yaitu kelas proletar.
Kelas ini menjadi pelopor karena ia paling konsekuen dalam menentang imperialisme dan
feodalisme, karena ia kelaas yang paling revolusioner, kelas yang paling berkepentingan akan
tercapainya Sosialisme, kelas yang paling mampu dalam memperjuangkan teori revolusioner
untuk terus-menerus membimbing revolusi. Dalam tulisannya “Marhaen dan Proletar” Bung
Karno juga berkata bahwa “barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya
kaum proletar” (Di bawah Bendera Revolusi, hal. 256).

Do (1) yang kedua berarti satu kekuatan pokok, yaitu kaum tani. Kaum tani merupakan
kekuatan pokok revolusi karena hakekat revolusi Indonesia ialah revolusi agraria yang
mempunyai tugas melaksanakan perubahan-perubahan agraria dan menghapuskan penindasan
serta penghisapan feodal. Kaum tani meliputi bagian terbesar daripada penduduk Indonesia dan
selama bagian yang terbesar itu belum bangkit dan ikut dalam revolusi, tidaklah mungkin untuk
memenangkan revolusi kita.

Re (2) berarti dua kekuatan yang menjadi basis persatuan nasional, yaitu persekutuan kaum
buruh dan kaum tani. Persatuan nasional Rakyat Indonesia hanya bisa kokoh jika persekutuan
antara dua kekuatan ini adalah kuat dan tak-tergoyahkan.

Mi (3) berarti tiga kekuatan pendorong revolusi, yaitu kaum buruh, kaum tani, dan borjuasi
kecil yang semuanya itu adalah Rakyat pekerja, Rakyat yang tidak melakukan penghisapan
terhadap orang lain dan yang oleh karenanya bisa menjadi pendorong terus menerus bagi
revolusi yang perspektifnya ialah penghapusan penghisapan atas manusia oleh manusia.

Fa (4) berarti empat kekuatan front nasional, yaitu kaum buruh, kaum tani, borjuasi kecil, dan
borjuasi nasional. Empat kekuatan nasional ini mempunyai kepentingan yang sama, yaitu
menumpas imperialisme dan feodalisme karena mereka semua menderita karena penindasan
dan penghisapan imperialisme dan feodalisme. Merekalah “seluruh Rakyat Indonesia ...... yang
menentang imperialisme-kolonialisme” atau yang harus merupakan “samenbundeling van alle
revolutionaire krachten”.

Di samping rumusan itu, yang menjelaskan komposisi kelas daripada kekuatan revolusi
Indonesia dan saling hubungannya dalam front persatuan nasional, perlu juga dikemukakan
peranan gagasan Nasakom dalam menggalang front persatuan nasional di negeri kita. Gagasan
Nasakom merumuskan aliran-aliran terpenting dalam masyarakat Indonesia yang perlu
dihimpun, yaitu aliran nasionalis, aliran agama, dan aliran komunis sebagai kenyataan-
kenyataan yang hidup di kalangan Rakyat Indonesia. Gagasan Nasakom telah lahir sejak tahun
1926, yaitu dengan adanya tulisan Bung Karno yang sudah terkenal, yaitu “Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme” yang untuk pertama kalinya mencetuskan ide kerjasama antara
aliran-aliran tersebut. Sejak saat itu semua tulisan Bung Karno, semua pidatonya dan juga
semua kegiatan-kegiatannya ditujukan kepada tugas besar kita bersama, yaitu menggalang dan
terus menerus memperkuat persatuan nasional.

Adalah menjadi keyakinan kaum Komunis Indonesia bahwa gagasan persatuan Nasakom
yang dikembangkan oleh Bung Karno sejak tahun 1926 itu bukan hanya mempunyai arti
nasional tetapi juga mempunyai arti internasional, terutama bagi nasion-nasion tertindas yang
sedang melakukan perjuangan revolusioner melawan imperialisme, karena salah satu jimat bagi
setiap nasion tertindas untuk melawan imperialisme ialah persatuan nasional revolusioner.
Di dalam tulisan Bung Karno yang terkenal itu, dikatakan sebagai berikut: “Mempelajari,
mencahari hubungan antara ketiga sifat itu (Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, DNA),
membuktikan, bahwa tiga haluan ini dalam satu negeri dijadikan tak guna berseteruan satu
sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama
menjadi satu gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak-topan yang tak
dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.” (Di bawah
Bendera Revolusi, hal. 2)

Demikian tugas yang dipikul oleh Bung Karno sejak tahun 1926, yaitu hampir 40 tahun yang
lalu, tugas yang dilakukan beliau sampai saat ini. Salah satu usaha terpenting dari Bung Karno
dalam memperkokoh gagasan Nasakom sebagai poros daripada persatuan nasional ialah pidato
“Lahirnja Pantjasila” dalam bulan Juni 1945 yang menegaskan bahwa jika Pancasila diperas
menjadi satu maka hasilnya ialah gotong royong, sedangkan hakikat daripada gotong royong
telah ditegaskan oleh Bung Karno dalam pidatonya tentang Konsepsi Presiden dalam bulan
Februari 1957 di mana gotong royong dijelaskan sebagai “samenbundeling van alle
revolutionaire krachten”.

Gagasan Bung Karno yang ditulis hampir 40 tahun yang lalu tetap menjadi gagasan yang
segar, yang cocok, yang harus menjadi pedoman untuk setiap patriot Indonesia dalam
menggalang front persatuan nasional. Melakukan tugas “social support” dan “social control”
harus berarti sekaligus melaksanakan tugas seperti dirumuskan hampir 40 tahun yang lalu oleh
Bung Karno, karena hanya dengan melaksanakan tugas itu, kita dapat memajukan dan
merealisasi fungsi-fungsi “social support” dan “social control” dan “social participation”.

Kekuasaan Negara di Indonesia Sekarang dan Tugas-Tugas Khusus “social


support” dan “social control” Dewasa ini.

Setelah menjelaskan masalah kekuasaan negara dalam sesuatu revolusi pada umumnya dan
masalah kekuasaan negara dalam revolusi Indonesia khususnya, saya ingin sekarang
mengemukakan pandangan kaum Komunis tentang kekuasaan negara di negeri kita pada
dewasa ini dan tugas-tugas khusus “social support” dan “social control” dalam hubungan
dengan masalah ini.

Sudah menjadi suatu pengertian umum bahwa revolusi Indonesia belum selesai, tetapi
mengenai rumusan ini pun dibutuhkan suatu pembahasan yang lebih mendalam untuk benar-
benar bisa memahami maknanya. Kalau revolusi Indonesia belum selesai, maka adalah wajar
bila kita menanyakan: “Jadi, kita sudah sampai di mana dalam menyelesaikan Revolusi kita itu?”
Dalam menjawab pertanyaan itu, kita harus pertama-tama menekankan kepada hal yang sangat
penting, yaitu bahwa Revolusi Indonesia terdiri dari dua tahap. Manipol menegaskan tentang
adanya dua tahap revolusi kita. Deklarasi Ekonomi juga menegaskan tentang adanya dua tahap
sebagai berikut: “...... dalam tahap pertama kita harus menciptakan susunan ekonomi yang
bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-
sisa feodalisme. Tahap pertama adalah persiapan untuk tahap kedua, yaitu tahap ekonomi
Sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia, tanpa ‘l’exploitation de
l’homme par l’homme’.” (Dekon, fasal 3). Selanjutnya dikatakan: “Kita sekarang sedang berada
dalam tahap pertama Revolusi kita. Kewajiban kita di bidang ekonomi dalam tahap ini ialah
mengikis habis sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di bidang ekonomi,
menggerakkan semua potensi nasional untuk meletakkan dasar dan mempertumbuhkan suatu
ekonomi nasional yang bebas dari imperialisme dan feodalisme sebagai landasan menuju ke
masyarakat Sosialis Indonesia”. (Dekon, fasal 4)

Dalam pidato Gesuni, tanggal 17 Agustus 1963, Presiden Soekarno dengan lebih tegas lagi
mengatakan bahwa “Dengan adanya Dekon, orang tidak diperkenankan lagi mengisruhkan dua
tahap revolusi. ...... Di satu pihak tidak ditolerir pendapat yang menyangkal, bahwa hari depan
kita adalah sosialisme...... Di pihak lain, tidak ditolerir pendapat bahwa sosialisme bisa
diselenggarakan ‘satu kali pukul’...... tanpa menyelesaikan lebih dulu   perjuangan nasionalis-
demokratis, ‘yaitu tanpa menghabis-tamatkan lebih dahulu sisa-sisa imperialisme dan
feodalisme. Dekon mengatakan hal ini dengan jelas dan tegas! Karena itu saya pun sering sekali
menandaskan bahwa kita sekarang belum berada dalam alam sosialisme”. (Lihat Gesari,
penerbitan khusus Departemen Penerangan no. 280, hal. 32 dan 33).

Kutipan-kutipan ini menegaskan dengan jelas, bahwa bukan hanya revolusi kita yang harus
melalui dua tahap itu belum selesai, tetapi malahan tahap pertama pun belum selesai.
Penegasan ini sungguh penting sekali untuk dapat menentukan taktik perjuangan kita, untuk
mengetahui dan menetapkan dengan jelas musuh-musuh revolusi kita pada saat ini. Prajurit di
mana pun akan dapat memahami bahwa pertempuran tak dapat dilakukan jika sebelumnya tidak
jelas siapa-siapa musuh-musuhnya. Sama juga halnya dengan suatu revolusi. Yang harus jelas
lebih dahulu ialah siapa-siapa musuh-musuhnya “siapa yang harus dihantam” untuk
menggunakan kata-kata Bung Karno. Di sini antara lain letaknya sifat ilmiah daripada Manipol
serta Dekon yang lebih memperinci persoalannya, yaitu menegaskan dengan tidak ragu-ragu
bahwa musuh-musuh Revolusi Indonesia pada tahap sekarang yang belum selesai itu ialah
imperialisme dan feodalisme.

Kalau Dekon sampai kepada kesimpulan yang demikian, yaitu bahwa pun tahap pertama
revolusi belum selesai, ini membutuhkan dari kita suatu pengertian tentang mengapa sampai
sekarang tahap ini belum bisa diselesaikan? Seperti sudah saya kutip di atas, Bung Karno telah
menjelaskan negara sebagai alat untuk menghantam apa yang harus dihantam oleh revolusi dan
untuk menyusun masyarakat baru. Kenyataan bahwa tugas ini belum selesai menunjukkan
bahwa negara kita sendiri, atau lebih tepatnya kekuasaan negara, belum sepenuhnya sesuai
dengan tugas yang harus dilakukannya dalam tahap pertama ini, tahap anti-imperialis dan anti-
feodal, tahap nasional dan demokratis. Jadi, persoalannya ialah: penyesuaian kekuasaan
negara dengan tugas-tugas revolusi, penyesuaian tugas dan tujuan dengan alat.

Kenyataan menunjukkan bahwa pada kekuasaan negara di negeri kita masih terdapat dua
segi, segi yang pro-Rakyat dan segi yang anti-Rakyat. Segi pro-Rakyatnya melakukan
perjuangan sesuai dengan tugas-tugas revolusi kita pada tahap sekarang, yaitu mengganyang
musuh-musuh revolusi kita sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam Manipol dan Dekon.
Tetapi segi anti-Rakyatnya menentang perjuangan ini dan dengan berbagai dalih serta kegiatan
selalu menghambat penyelesaian tugas-tugas revolusi kita. Adanya dua segi berarti bahwa
negara belum bisa digunakan sepenuhnya sebagai alat untuk menghantam musuh-musuh
revolusi. Analisa ini membantu kita untuk mengerti mengapa revolusi kita belum selesai, dan ia
juga membantu kita dalam memahami mengapa masalah kekuasaan negara adalah sedemikian
penting dalam menyelesaikan suatu revolusi. Pengalaman revolusi Indonesia sendiri
membuktikan bahwa selama kekuasaan negara belum sepenuhnya sesuai dengan tugas
dan tujuan revolusi, memang tak mungkin negara akan bisa dipakai sebagai “alat untuk
mengubah susunan masyarakat”.

Dalam keadaan yang demikian, maka “social support” dan “social control” yang dilakukan
oleh Rakyat Indonesia dewasa ini mempunyai suatu tugas yang khusus, yaitu untuk memberikan
dukungan dan dorongan penuh kepada segi pro-Rakyat, dan untuk menunjuk, mengawasi, dan
mengakhiri segi anti-Rakyat. Hal ini mutlak perlu dilakukan jika tahap pertama revolusi kita mau
diselesaikan. Karena itu, bisa dikatakan, bahwa melalui “social support” dan “social control”
Rakyat Indonesia berjuang untuk menyelesaikan revolusinya.

Mengapa bisa dikatakan bahwa pada kekuasaan negara di negeri kita terdapat dua segi? Mari
kita mengambil beberapa contoh yang sederhana.

Salah satu tugas pokok revolusi kita ialah menghantam atau mengikis habis sisa-sisa
feodalisme. Di negeri kita sisa-sisa feodalisme berbentuk pemilikan tanah oleh tuan tanah-tuan
tanah yang menggunakan tanah itu sebagai alat penghisapan melalui sewa tanah, di samping
berbagai bentuk penghisapan lain, seperti ijon, lintah darat, tengkulak-tengkulak yang
memonopoli hasil bumi kaum tani, dan sebagainya. Sisa-sisa feodalisme ini hanya dapat diakhiri
melalui landreform yang radikal.

Tentang hal ini, oleh Presiden Soekarno dikatakan dalam pidato Jarek, 17 Agustus 1960
sebagai berikut: “Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa
alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi.
Melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi
Indonesia, ...... tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan ...... Tanah untuk Tani! Tanah untuk
mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk
ongkang-ongkang menjadi gemuk-gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang
disuruh menggarap tanah itu!” (lihat Tubapi, hal. 223-224). Dari uraian Presiden Soekarno ini
menjadi gamblang definisi daripada tuan tanah, yaitu orang yang ongkong-ongkong tidak
bekerja, hidup dari menghisap keringat orang-orang yang disuruh menggarap tanahnya.

Apa yang telah dibuat mengenai tugas ini? Berkat adanya segi pro-Rakyat, yang dengan kuat
didukung oleh kekuatan-kekuatan progresif, terutama oleh gerakan tani yang meningkat dan
wakil-wakil gerakan tani dan Rakyat pekerja lainnya dalam Parlemen, maka telah
diundangkanlah suatu undang-undang, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-
Undang ini belum bisa dikatakan mengikis habis sisa-sisa feodal karena masih memungkinkan
adanya pemilikan tanah oleh tuan tanah-tuan tanah. Di beberapa daerah UUPA malahan bisa
melegalkan dan menambah jumlah tuan tanah seperti di tanah-tanah bekas pemilikan komunal.
Bung Karno pernah mengatakan secara tepat bahwa landreform berdasarkan UUPA merupakan
tindakan dalam rangka usaha-usaha “mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur”.
(“Jarek”, lihat Tubapi, hal. 224). Disamping UUPA, juga sudah diadakan Undang-Undang
Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) yang sedikit membatasi penghisapan feodal dengan menetapkan
bahwa bagian daripada hasil tanah yang diserahkan oleh penggarap kepada pemilik tanah tidak
lebih daripada 50 persen hasil bersih, artinya setelah dipotong ongkos-ongkos produksi yang
dikeluarkan oleh penggarap. Tentang Undang-Undang ini, Bung Karno pernah mengatakan
dengan tepat bahwa ia “agak menguntungkan kaum tani” (Takem, Departemen Penerangan,
Penerbitan Khusus no. 225, hal. 39).

Kedua Undang-Undang ini dengan demikian dapat mengurangi sisa-sisa feodalisme atau
mengurangi penghisapan dan kekuatan tuan tanah dan oleh karenanya bisa dikatakan progresif.
Tetapi Undang-Undang yang meskipun masih bersifat terbatas ini ternyata pelaksanaannya
berjalan “seperti keong”, untuk meminjam kata-kata Bung Karno. Bahkan seperti keong punn
tidak, karena betapapun perlahan-lahannya, keong toh bisa berjalan maju, sedangkan
pelaksanaan UUPA macet sama sekali atau malahan mundur dalam arti dilaksanakan
menyeleweng. Jadi keong masih mendingan!

Baru-baru ini, selama bulan Februari, Maret, April, dan Mei, saya sendiri telah memimpin
suatu gerakan riset yang meliputi seluruh pulau Jawa, dan dalam riset itu telah diselidiki keadaan
di dalam desa-desa di 124 kecamatan di Jawa, yaitu 24 kecamatan di Jawa Barat, 30
kecamatan di Jawa Tengah, dan 70 kecamatan di Jawa Timur. Kalau saya tidak salah, ini
merupakan pekerjaan riset yang paling luas yang pernah dilakukan di negeri kita. Di mana-mana
saya telah menemukan fakta-fakta yang sepenuhnya membenarkan kritik tajam yang pernah
dikeluarkan oleh Bung Karno mengenai pelaksanaan kedua Undang-Undang itu.

Walaupun pemerintah telah menyusun berbagai rencana, walaupun berbagai keputusan,


instruksi, dan macam-macam lagi telah dikeluarkan dan dikirimkan kepada instansi-instansi di
daerah-daerah, namun kenyataannya masih tetap sama, pelaksanaan kedua Undang-Undang
itu masih belum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga perlu diadakan Peraturan Menteri
Pertanian dan Agraria no. 4/1964, yang memuat sanksi-sanksi terhadap tuan tanah yang tidak
melaksanakan UUPBH. Sekalipun sudah demikian, juga belum berjalan pelaksanaan Undang-
Undang tersebut. Bukankah ini membuktikan tentang adanya dua segi dalam kekuasaan
negara? Yaitu segi pro-Rakyat yang bisa menggolkan Undang-Undang yang agak progresif,
tetapi segi anti-Rakyat yang menghalang-halangi pelaksanaannya.

Di dalam riset yang telah saya pimpin itu, saya telah memperoleh banyak sekali fakta-fakta
yang menunjukkan, bahwa kaum tani Jawa sudan mengambil sikap yang sangat tepat, yaitu
sikap yang sepenuhnya sesuai dengan sifat mereka sebagai “soko guru revolusi” seperti
dikatakan dalam Manipol, sebagai kekuatan pokok revolusi, dan dengan bertekad melakukan
aksi-aksi sepihak untuk melaksanakan Undang-Undang itu. Aksi-aksi sepihak adalah
sepenuhnya sah karena tujuannya ialah untuk melaksanakan Undang-Undang yang telah dibuat
oleh Parlemen dan untuk berlakunya ditanda tangani oleh Presiden yang menurut ketentuan
Menteri Pertanian dan Agraria sendiri harus sudah selesai di Jawa dalam tahun 1963. Sekarang
sudah tahun 1964, dan kalau kaum tani tidak melakukan aksi sepihak tidak akan ada realisasi
daripada Undang-Undang tersebut. Aksi-aksi sepihak itu adalah sepenuhnya sesuai dengan
tujuan revolusi kita karena dilakukan dengan menjunjung tinggi semboyan “tiga untung” yaitu
untung bagi Pemerintah, untung bagi kaum tani, untung bagi revolusi. Untung bagi Pemerintah,
karena kaum tani sudah tidak lagi mau setor sebagian daripada hasil tanah lebih yang belum di
UUPA-kan kepada tuan tanah tetapi hanya mau setor kepada Pemerintah, sedangkan mengenai
tanah garapan di bawah batas maksimum di mana tuan tanah belum mau mengadakan
perjanjian dengan penggarap sesuai dengan UUPBH, kaum tani telah memutuskan untuk
mengambil 6 bagian, dan 4 bagian selebihnya dibagi: 2 bagian untuk Pemerintah, dan 2 bagian
lagi untuk tuan tanah. Jadi, Pemerintah memperoleh bagian daripada hasil bumi langsung dari
penggarap dan dengan demikian dibantu dalam usaha-usahanya untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan pangan. Untuk bagi kaum tani, karena bisa sedikit mengurangi penghisapan yang
mereka alami turun-temurun selama berabad-abad, untuk sedikit memperbaiki taraf hidup
mereka serta memperkuat daya produksi mereka. Untung bagi revolusi, karena mempercepat
penyelesaian tugas dalam tahap pertama ini, yaitu untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme.
Aksi-aksi sepihak itu merupakan perwujudan yang jelas sekali daripada tugas “social support”
dan “social control”, yaitu dukungan terhadap Undang-Undang negara dan dukungan terhadap
sinyalemen yang berulang kali diucapkan oleh Presiden tentang pelaksanaan Undang-Undang
yang seret, pengawasan terhadap alat-alat negara yang tidak mau melaksanakannya dan
pengikutsertaan kaum tani sendiri yang mau melaksanakan Undang-Undang tersebut. Dan
sesuai dengan itu, kaum tani sudah semakin tajam dalam melakukan pengawasan terhadap
alat-alat negara sendiri, yaitu dalam menuntut rituling terhadap penguasa-penguasa yang
menentang, menghambat ataupun tidak mau membantu pelaksanaan kedua Undang-Undang
itu.

Di sini kita melihat suatu perpaduan antara apa yang sering dikatakan oleh Bung Karno
tentang perlu adanya “revolusi dari atas dan dari bawah ...... Dari atas, dengan adanya rituling
terhadap aparat dan sistem, dari bawah, karena rituling aparat dan sistem itu dilakukan sesuai
dengan desakan Rakyat dan didukung pula oleh Rakyat” (“Jarek”, lihat Tubapi, hal. 241).

Demikian contoh dari adanya dua segi dalam kekuasaan negara dalam hal pelaksanaan tugas
demokratis revolusi kita, yaitu tugas anti-feodalisme. Bisa disimpulkan bahwa, berdasarkan
pengalaman-pengalaman kaum tani sendiri, segi pro-Rakyat sejauh mengenai pelaksanaan
tugas anti-feodalisme ini masih lemah sekali, artinya masih terlalu sedikit pengertian di kalangan
alat-alat negara tentang landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi kita.

Bagaimana halnya dengan pelaksanaan tugas-tugas anti-imperialisme revolusi kita? Dalam


hal ini, saya rasa bahwa segi pro-Rakyat semakin lama semakin berdominasi. Berkat adanya
pimpinan yang konsekuen dan anti-imperialisme dari Bung Karno sendiri berdasarkan desakan
yang terus-menerus dari Rakyat sendiri untuk maju terus, pantang mundur dalam melakukan
politik konfrontasi terhadap imperialisme, kolonialisme dan neo-kolonialisme, maka seluruh
negara kita semakin mengarahkan sepak terjangnya kepada musuh pokok dari revolusi kita,
imperialisme dunia, terutama imperialisme AS.

Dalam hal ini pun, kita dapat merasa betapa penting peranan “social support” dan “social
control” yang dilakukan secara tekun dan terus menerus dalam bidang politik luar negeri kita.
Gerakan Rakyat terus menerus memegang peranan yang menentukan dalam menuntut supaya
jalan yang diambil dalam menyelesaikan masalah “Malaysia” ialah jalan revolusioner, menolak
jalan likuidasionis, baik yang avonturis maupun yang oportunis.

Tanpa adanya “social support” dan “social control” dan kesadaran politik Rakyat yang
sedemikian tingginya, dapat dipastikan bahwa negeri kita sudah sejak lama terjerumus ke dalam
jalan oportunis yang mau menyerah kepada pihak musuh dengan dalih “membereskan ekonomi
dahulu” atau ke dalam jalan avonturis yang secara sembrono mau “membebaskan” Rakyat
Kalimantan Utara tanpa mengakui bahwa peranan Indonesia dalam hal perjuangan ini, betapa
pun pentingnya, tak mungkin lebih daripada membantu Rakyat Kalimantan Utara dalam
membebaskan diri.

Dwikora yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei yang lalu benar-benar
mencerminkan jalan revolusioner, jalan Rakyat. Komando yang pertama menekankan kepada
memperhebat ketahanan revolusi, artinya ketahanan nasional dalam menghadapi pergolakan
dan konfrontasi dengan proyek neo-kolonialisme “Malaysia”. Rumusan ini menunjukkan bahwa
membereskan hal-hal nasional seperti misalnya ekonomi harus merupakan bagian yang tak
terpisahkan daripada konfrontasi itu sendiri. Maka gugurlah keinginan-keinginan mereka yang
mau “membereskan ekonomi dahulu”. Hubungan yang tepat telah diletakkan, yaitu ekonomi
nasional harus dibereskan dalam rangka perjuangan melawan imperialisme dan untuk
memperkuat ketahanan negeri kita dalam menghadapi perjuangan itu. Bukan “ekonomi
sekarang, anti-imperialisme nanti saja”, yang berarti ekonomi tidak akan beres dan anti-
imperialisme tidak akan dilakukan, melainkan “ekonomi sekarang, anti-imperialisme juga
sekarang” sebagai jaminan ekonomi akan bisa beres dan anti-imperialisme bisa jalan terus.
Ekonomi kita belum beres sekarang ini bukannya karena kita terlalu banyak mengganyang
imperialisme, tetapi justru karena kita belum cukup banyak mengganyang imperialisme,
khususnya di bidang ekonomi.

Komando kedua daripada Dwikora dengan tepat menyatakan peranan Rakyat Indonesia, yaitu
“membantu perjuangan revolusioner Rakyat-rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan
Brunei”, sedangkan tujuan perjuangan kita sudah dinyatakan tanpa tedeng aling-aling, yaitu
“untuk membubarkan negara boneka ‘Malaysia’”. Perincian tentang tindakan-tindakan yang
dibutuhkan dalam melaksanakan komando kedua ini telah disusun oleh DPA dalam sidangnya
dari tanggal 6 – 9 Mei yang lalu, yaitu pertama, bahwa perundingan-perundingan hanya dapat
diadakan jika benar-benar bersih dari pengaruh-pengaruh imperialis Inggris dan AS, artinya,
antara lain jika tentara Inggris ditarik mundur dari Kaltara, Malaya dan Singapura; kedua,
memobilisasi sokongan seluruh Nefo kepada perjuangan untuk membubarkan “Malaysia”; dan
ketiga, menyokong Pemerintah Azahari, mengakuinya dan membantu tentaranya dengan
sukarelawan-sukarelawan.

Dwikora sepenuhnya menggariskan jalan revolusioner dalam menghadapi “Malaysia” karena


mementingkan masalah ketahanan kita sendiri yang terutama mengharuskan kita untuk
memperkuat persatuan nasional, mementingkan perjuangan dan persatuan Rakyat-rakyat di
daerah “Malaysia” sendiri, serta mementingkan sokongan dan persatuan seluruh Nefo terhadap
perjuangan melawan “Malaysia” ini.

Dilihat dari segi Dwikora, tidak berhasilnya KTT Tokyo mencapai persetujuan dalam bulan Juni
yang bulan lalu adalah wajar, karena pihak Indonesia bertujuan membubarkan “Malaysia”
sedangkan Tengku Abdulrachman sesuai dengan politik majikannya Inggris, bertujuan
membubarkan pasukan-pasukan gerilya di Kalimantan Utara. Ini bukan kegagalan bagi
Indonesia, tetapi penegasan lebih lanjut tentang jalan revolusioner yang ditempuh Pemerintah
dan Rakyat Indonesia.\

Saya menegaskan masalah Dwikora dalam rangka ceramah ini karena ia sungguh merupakan
contoh terbaik selama ini daripada hasil perjuangan Rakyat melalui “social support” dan “social
control” dengan mengalahkan macam-macam jalan lain yang selalu mau dipaksakan oleh unsur-
unsur anti-Rakyat dalam kekuasaan negara kita.

Tetapi walaupun kita bisa menyambut gembira hasil perjuangan ini, namun perlu dicatat pula
bahwa adanya dua segi dalam kekuasaan negara tentu masih mendapatkan refleksinya dalam
perkembangan politik luar negeri kita. Sudah diketahui umum bahwa prinsip terpenting dalam
politik luar negeri RI ialah anti-imperialisme. Ini sudah jelas dari berbagai dokumen resmi,
terutama tiga kerangka Manipol, dan sudah berulang-ulang ditekankan dalam pidato-pidato
Presiden Soekarno sendiri.

Dalam menjalankan politik anti-imperialis, yang harus jelas ialah siapa kawan dan siapa
lawan, pertama-tama tentang siapa lawan, karena seperti Bung Karno pernah mengatakan,
karena itulah yang menentukan “apa yang harus dihantam”. Masalah siapa lawan dan siapa
kawan adalah segi terpenting dalam melakukan politik luar negeri anti-imperialis secara efektif.
Ada pihak-pihak yang suka banyak berbicara tentang anti-imperialis, tetapi tak pernah tegas
tentang siapa-siapa imperialis yang harus dilawan itu. Rakyat Indonesia sudah berpuluh-puluh
tahun terlatih dalam melakukan perjuangan melawan imperialisme, terutama melawan
imperialisme Belanda dan akhir-akhir ini melawan imperialisme Inggris. Pengalaman perjuangan
yang lama ini memberikan satu pelajaran yang perlu sekali kita pahami, yaitu tak pernah
perjuangan kita baik melawan imperialisme Belanda maupun Inggris, bisa berlangsung tanpa
sekaligus menghadapi campur tangan kaum imperialis Amerika Serikat. Campur tangan itu
mengambil berbagai bentuk seperti misalnya desakan-desakan kepada kita untuk menyerah
kepada kaum kolonialis, seperti berulang-ulang dilakukan selama Revolusi 1945 dan seperti
akhir-akhir ini mereka usahakan mengenai konfrontasi yang kita lakukan dengan “Malaysia”;
intervensi tertutup atau terbuka dalam urusan dalam negeri kita, seperti misalnya selama
pemberontakan “PRRI-Permesta” dengan serangan-serangan udara oleh serdadu bayaran
imperialis AS, Pope; intimidasi kaum imperialis AS dengan Armada ke-7nya pada waktu ini:
usaha-usaha kaum imperialis AS untuk bertindak sebagai “perantara” antara RI dengan
kolonialisme yang sedang dihadapinya yang selalu ditujukan kepada mematahkan semangat
berjuang Rakyat kita, dan sebagainya.

Maka dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa baik dahulu maupun sekarang, perjuangan anti-
imperialis Rakyat Indonesia walaupun umumnya menghadapi suatu imperialisme tertentu,
namun musuhnya yang paling tetapi, paling licik dan paling berbahaya ialah imperialisme AS.
Kenyataan ini lebih-lebih dirasakan akhir-akhir ini di mana kaum imperialis AS sekaligus
melakukan berbagai usaha terhadap kita. Paksaan secara “halus” melalui “bantuan luar negeri”,
paksaan secara kasar melalui Armada ke-7, usaha-usaha melalui saluran duta besar AS di
Jakarta, Howard P.Jones, untuk mendesak kepada pimpinan kita supaya mau berunding dengan
“Malaysia” dan sebagainya. Adalah tepat sekali ketika DPA menekankan dalam keputusan
sidangnya yang terakhir sebagai jawaban tegas terhadap kaum imperalis AS itu, bahwa satu-
satunya perundingan dengan “Malaysia” yang bisa dipertimbangkan ialah “perundingan-
perundingan tanpa prasyarat dan yang betul-betul bersih dari pengaruh Inggris dan Amerika”.

Akhir-akhir ini, seluruh Rakyat Indonesia dengan aktif melakukan peranan “social support” dan
“social control” di bidang politik luar negeri dengan melalui berbagai gerakan, terutama gerakan
menolak Armada ke-7 yang mengambil bentuk boikot terhadap film-film AS, aksi-aksi melawan
“peace corps” dan aksi-aksi yang menuntut supaya duta besar AS Jones dinyatakan sebagai
“pesona non-grata”.

Tetapi harus diingat bahwa imperialisme AS yang kita hadapi di negeri kita tidak lagi
mengambil bentuk kolonialisme klasik, melainkan mengambil bentuk kolonialisme baru atau neo-
kolonialisme artinya  daya upaya kaum imperialis untuk menundukkan negeri kita secara politis,
ekonomis, dan militer dilakukan tidak melalui pendudukan langsung melainkan melalui “bantuan
ekonomi”, infiltrasi di bidang kebudayaan, campur tangan dalam urusan dalam negeri, dan
sebagainya.

Oleh karena itu semua, tak cukup kalau pollitik anti-imperialis dinyatakan secara umum
sebagai “menentang imperialisme dan kolonialisme”. Rumusan itu harus ditambahkan dengan
dua unsur yang justru memberikan kepadanya makna yang efektif, yaitu perlawanan terhadap
neo-koloniaalisme dan terutama perlawanan terhadap imperialisme AS. Dengan perumusan
ini menjadi jelas siapa lawan revolusi Indonesia. Kalau mau disingkat, misalnya, tak cukup
berbicara tentang anti-kolim atau anti-imkol, tetapi harus berbicara tentang anti-imkolneo, dan
lebih-lebih dari itu “anti-imkolneo terutama imkolneo AS”. Baru dengan demikian bisa dikatakan
bahwa rumusan itu mengandung secara lengkap musuh-musuh revolusi kita yang harus kita
ganyang terus-menerus. Hal ini diperkuat lagi oleh berita kemarin tentang 240.000 serdadu
Amerika Serikat yang sudah siap untuk beroperasi di Asia Tenggara, dengan tulang
punggungnya di Armada ke-7 AS dan perlengkapannya akan dibongkar di Muang Thai. Kaum
imperialis AS mengira bahwa dengan ini Rakyat akan menjadi takut. Tidak, yang benar ialah
Rakyat makin meluap kebenciannya pada imperialisme AS.

Kalau masalah siapa lawannya Revolusi Indonesia sudah jelas, sekarang timbul masalah
siapa kawannya. Masalah ini sebenarnya sudah terang sekali, tetapi sayang hal-hal yang
sebegitu terang masih juga ternyata “gelap” bagi sementara orang. Kawan kita dalam
perjuangan anti-imperialis ialah “the new emerging foces” atau Nefo, tetapi masih saja ada
orang-orang yang menutup mata terhadap kenyataan bahwa Nefo itu merupakan suatu
tritunggal, yaitu negeri-negeri baru merdeka yang anti-imperialis, negeri-negeri sosialis dan
kekuatan-kekuatan progresif di dalam negeri kapitalis. Ada saja orang dalam tahun 1964 ini yang
menggambarkan Nefo sebagai negeri-negeri AA saja, atau negeri-negeri AAA saja, sedangkan
negeri-negeri sosialis ditempatkan di luar barisan Nefo, dinyatakan sebagai barisan yang
merupakan salah satu pihak dalam apa yang dinamakan “cold war”, yang digambarkan sama
jeleknya bahkan lebih jelek daripada pihak kaum imperialis AS. Orang-orang ini mengatakan
bahwa “pihak Soviet” mau “menjalankan revolusi dunia” sedangkan Amerika Serikat hanya mau
“membela diri terhadap bahaya Komunis”. Kalau hanya untuk membela diri mengapa AS
mengirimkan begitu banyak serdadu ke Asia Tenggara yang begitu jauh letaknya dari wilayah
AS?

Analisa yang menempatkan Nefo sebagai kelompok tambahan di samping pihak Barat dan
pihak Timur justru sama dengan analisa “blok ketiga” yang sudah sejak Konferensi Beograd
dalam tahun 1961 dikritik tanpa ampun oleh Bung Karno. Nefo meliputi negara-negara sosialis
merupakan kekuatan pendukung yang sangat penting dalam perjuangan anti-imperialis dari
Rakyat-rakyat sedunia. Tak boleh diabaikan bahwa negara-negara sosialis merupakan salah
satu sumber dukungan terpenting dalam perjuangan anti-imperialis. Tak perlu saya mengutip
pidato Bung Karno ini atau pidato Bung Karno itu tentang komposisi Nefo Cukup kalau saya
sebut saja Ganefo yang nyata-nyata meliputi juga negara-negara sosialis, dan bahkan negara-
negara sosialis Asia seperti RRT dan Korea mencapai prestasi-prestasi yang sungguh
mengagumkan dalam Ganefo itu. Tetapi ada saja orang-orang, termasuk orang-orang dalam
aparat negara, yang tidak mengerti atau mungkin tidak mau mengerti bahwa komposisi Nefo
meliputi juga negeri-negeri sosialis.

Di sinilah terasa peranan penting daripada “social support” dan “social control” dalam bidang
politik luar negeri; oleh karena itu selalu dibutuhkan perjuangan terus menerus untuk
memenangkan pengertian tepat tentang siapa lawan dan siapa kawan Revolusi Indonesia dalam
melakukan perjuangan anti-imperialisme. Selama soal ini belum jelas bagi semua alat negara,
Rakyat akan harus terus berjuang dengan melakukan gerakan-gerakan yang konkret untuk
membikin masalah ini menjadi sejelas-jelasnya.

Satu contoh lagi mengenai adanya segi anti-Rakyat dan segi pro-Rakyat dalam kekuasaan
negara ialah tindakan-tindakan teror ekonomi 26 Mei 1963 yang terkenal itu. Peraturan-
peraturan itu ternyata tidak dapat hidup lebih dari sepuluh bulan karena perlawanan keras dari
seluruh Rakyat yang sudah cukup berpengalaman dalam menghadapi berbagai serangan
terhadap ekonomi negerinya dan terhadap taraf hidup mereka sendiri.
Tindakan-tindakan 26 Mei itu dilakukan baru dua bulan setelah diumumkannya Deklarasi
Ekonomi. Seperti kita semua mengetahui, Dekon itu disambut hangat oleh seluruh Rakyat,
sedangkan tindakan-tindakan 26 Mei baru 2 bulan kemudian diprotes keras sehingga akhirnya
ditarik kembali oleh Pemerintah. Bukankah ini suatu contoh yang sangat jelas tentang adanya
segi pro-Rakyat yang bisa menghasilkan suatu dokumen yang revolusioner seperti Dekon dan
yang mendapatkan “social support” dan “social control”, di samping segi anti-Rakyat yang bisa
menghasilkan peraturan-peraturan 26 Meni yang begitu memukul Rakyat sehingga diprotes
melalui “social control”?

Perjuangan yang dilakukan untuk menuntut pembatalan peraturan-peraturan 26 Mei telah


membawa hasil pertama yaitu pembatalan peraturan-peraturan pokok yang diadakan pada
tanggal 26 Mei itu. Tetapi peraturan-peraturan baru yang dikeluarkan pada tanggal 17 April 1964
masih terlalu sedikit menggambarkan keinginan Rakyat seperti yang diwakili dalam usul-usul
yang diajukan kepada Pemerintah oleh DPRGR, walaupun usul-usul itu hanya bersifat minimal.

Kenaikan harga sama sekali belum dapat distop dengan adanya peraturan-peraturan 17 April,
sebaliknya terus meningkat, dan belum ada tanda bahwa kemacetan produksi dalam negeri
akan bisa didobrak. Kenyataan ini jelas menunjukkan bahwa perjuangan Rakyat masih harus
dilanjutkan untuk memenangkan konsepsi-konsepsi yang sesuai dengan Dekon dan yang bisa
mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi yang masih kita hadapi.

Perjuangan untuk memenangkan konsepsi-konsepsi Rakyat dalam bidang ekonomi adalah


penting sekali karena sudah cukup banyak bukti bahwa kaum reaksioner dalam negeri yang
telah menyatukan diri dengan kaum imperialis dan khususnya dengan proyek neo-kolonialisme.
“Malaysia” sangat bernafsu dalam keinginan mereka agar ekonomi Indonesia dibiarkan menjadi
semakin bobrok sehingga akhirnya ahli-ahli merekalah yang akan ditawari untuk
“menyelamatkan” Indonesia dari keambrukan ekonomi. Perjuangan untuk menanggulangi
kesulitan-kesulitan ekonomi merupakan bagian integral daripada perjuangan melawan
imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme. Pengalaman-pengalaman 26 Mei
mengajarkan kepada kita, bahwa hanya prinsip berdiri di atas kaki kita sendiri, prinsip
patriotisme ekonomi seperti ditekankan oleh Presiden Soekarno dalam Gesuri, bisa membuka
kemungkinan bagi kita untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dan sekaligus mengakhiri
campur tangan kaum imperialis dalam urusan ekonomi negeri kita. Dengan demikian jelaslah
bahwa perjuangan Rakyat Indonesia menuntut penghapusan peraturan-peraturan ekonomi 26
Mei 1963 merupakan bagian integral daripada perjuangan untuk melawan intervensi imperialis.

Sebagai akhir kata dalam membahas tugas-tugas khusus “social support” dan “social control”
dalam revolusi Indonesia dewasa ini, perlu ditekankan bahwa ada “social control” yang efektif
dan ada yang kurang efektif. “social control” yang seratus persen efektif dan sebagai hasilnya
memperkuat “social support” hanyalah bisa terjadi di dalam sistem masyarakat Sosialis. “Social
control” yang efektif pada pokoknya bisa terjadi jika di antara pemerintah atau negara tidak
terdapat kontradiksi yang tajam dengan Rakyat banyak. Ini berarti juga bahwa pemerintah atau
mewakili keinginan dan kepentingan Rakyat banyak. Jadi, meskipun pemerintah atau negara itu
benar-benar sudah satu haluan politiknya dengan yang dikehendaki oleh Rakyat banyak, tetapi
“social control” itu tetap diperlukan.

Oleh karena itu adalah mutlak perlu dilakukan dan malahan dilakukan dengan seluas mungkin
“social control” terhadap pemerintah dan segala aparat negara Republik Indonesia oleh Rakyat
banyak, justru karena Pemerintah dan segala aparatnya mempunyai garis dan pedoman politik
yang satu seperti yang dimiliki oleh Rakyat banyak, ialah Manipol dengan segala pedoman
pelaksanaannya. Jadi, “social control” ini mutlak diperlukan, karena ia justru merupakan jaminan
yang terpercaya bagi pelaksanaan garis-garis besar haluan negara, yaitu Manipol, yaitu jaminan
bahwa pemerintah dan segala aparatnya benar-benar berbicara dan bertindak sesuai dengan isi
dan semangat Manipol. Hanya dengan berbuat demikian Republik kita serta segenap aparatnya
akan mendapat “social support” yang diperlukan.

Syarat-syarat Pelaksanaan “Social Support” dan “Social Control”

Di atas telah saya jelaskan bahwa “social support” dan “social control” mempunyai hubungan
erat dengan tugas untuk menyelesaikan revolusi Indonesia, bahkan hal yang mutlak perlu kalau
mau menyelesaikan tuntutan-tuntutan revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya. Problem
yang terakhir yang saya anggap perlu diajukan ialah tentang syarat-syarat pelaksanaannya.
Masalah syarat-syarat ini memang juga diajukan dalam pokok yang diminta dari saya oleh
pimpinan SESKOAD di mana ditanyakan: “Apa masalah-masalah untuk menyukseskan Sistem
Penyelenggaraan Social Support dan Social Control tersebut?” Pertanyaan itu saya anggap
tepat karena apa saja yang baik tak mungkin terselenggara jika tidak tersedia syarat-syaratnya.

Masalah ini membawakan kita langsung kepada masalah kedudukan partai-partai politik,
karena partai-partai itu memang merupakan saluran terpenting bagi “social support” dan “social
control”. Sudah dari dulu, terdengar suara-suara beracun yang menyebarkan ide bahwa sistem
kepartaian tak punya hak hidup lagi dalam alam demokrasi terpimpin. Usaha-usaha untuk
mematikan peranan partai-partai politik telah mengambil berbagai bentuk. Mula-mula ada yang
menganjurkan supaya partai-partai politik dibubarkan saja, kemudian pada waktu Front Nasional
sedang dalam proses pembentukannya ada yang mau menjadikan Front Nasional itu sebagai
satu-satunya Partai. Dan akhir-akhir ini ada kalangan yang menggembar-gemborkan tentang
perlu adanya satu partai saja, dengan menyalahgunakan ucapan-ucapan Presiden Soekarno
tentang “suatu partai pelopor”.

Pengertian-pengertian ini adalah keliru sekali dan berlawanan dengan tujuan revolusi kita.
Bukankah suatu kenyataan yang tak bisa disangkal bahwa lahirnya gerakan nasional di negeri
kita justru dimulai dengan lahirnya partai-partai politik, bahwa sejarah gerakan nasional kita
adalah sejarah berkembangnya partai-partai politik, malahan lahir dan berkembangnya nasion
Indonesia sendiri tak mungkin dipisah-pisahkan dari lahir dan berkembangnya partai-partai
politik di negeri kita.

Partai-partai politik merupakan alat-alat kelas untuk memperjuangkan kepentingan-


kepentingan kelas. Revolusi Indonesia pada tahap sekarang merupakan revolusi di mana semua
kelas anti-imperialis ikut serta di dalamnya dengan tujuan melawan imperialisme, musuh pokok
Rakyat Indonesia. Dengan demikian, partai-partai politik revolusioner tidak hanya alat kelas atau
golongan tertentu tetapi juga alat nasion untuk memenangkan revolusi nasional. Partai-partai
politik revolusioner sudah merupakan alat revolusi sejak sebelum Revolusi Agustus 1945.
Karena revolusi Indonesia dewasa ini adalah revolusinya berbagai kelas, maka tidaklah
mengherankan kalau ada berbagai partai. Bahkan justru seandainya hanya terdapat satu partai
seperti  apa yang dianjurkan sementara orang, adalah sama sekali tidak sesuai karena tak bisa
membuka kemungkinan bagi setiap kelas untuk memberi sumbangannya sebesar-besarnya
dalam perjuangan anti-imperialis.

Di samping itu, ada juga kalangan yang berusaha menyebarkan ide bahwa kegiatan-kegiatan
partai seperti misalnya kegiatan-kegiatannya melalui berbagai media termasuk pers, gerakan-
gerakan massa, aksi-aksi yang digerakkan dari bawah untuk menuntut rituling merupakan
“gejala-gejala liberalisme”. Tentu kesimpulannya ialah bahwa kegiatan-kegiatan “liberal” itu dus
harus diberantas.

Apakah benar sangkaan sementara orang bahwa kegiatan-kegiatan partai, tuntutan-tuntutan


tentang rituling, aksi-aksi massa untuk menuntut ini atau itu dari Pemerintah, dan sebagainya,
perlu dicela sebagai “gejala-gejala liberalisme” yang harus diberantas? Tentu hal ini adalah sama
sekali tidak benar! Cobalah baca Tubapi, yang terdiri dari lebih 800 halaman. Tidak satu kata pun
di situ yang sedikit mengancam hak-hak partai-partai politik untuk hidup dan bergerak. Bahkan
sebaliknya. Dalam “Jarek”, Presiden berkata bahwa program revolusi, yaitu Manipol, harus
menjadi program setiap partai yang juga harus ambil bagian dalam melaksanakan program
tersebut. Dengan mengutip Manipol, Presiden berkata dalam “Jarek”: “Sudah tentu tiap partai,
organisasi, dan perseorangan boleh mempunyai keyakinan politiknya sendiri, boleh mempunyai
program sendiri......” (Tubapi, hal. 208).

Berbicara tentang rituling sistem kepartaian, Presiden dengan tegas menyatakan bahwa
Penetapan Presiden No. 7, 1959 dan Peraturan Presiden No. 13, 1960 “pada pokoknya tegas-
tegas memberi hak hidup kepada partai-partai yang ber-USDEK” (Tubapi, hal. 211). Dan lebih
tegas lagi dikatakan oleh Presiden selanjutnya dalam pidato Jarek itu sebagai berikut: “Dengan
tegas saya katakan di sini bahwa partai itu, dengan memenuhi semua syarat-syarat perundang-
undangan kepartaian, diberi hak hidup, diberi hak bergerak, diberi hak perwakilan—sudah
barang tentu dalam rangka Demokrasi Terpimpin. Partai yang demikian itu dapat memberi
sumbangan besar kepada terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat”.

Perlu ditekankan dalam hubungan ini, bahwa kritik-kritik terhadap partai-partai sungguh tak
beralasan, apalagi mengingat bahwa justru partai-partai itu yang sudah mengalami rituling
seperlunya sehingga partai-partai yang ada umumnya berpegang kepada Manipol dan
Nasakom. Bidang-bidang lain malahan bisa mengambil contoh dari rituling dan perkembangan
dalam sistem kepartaian. Kalau semua bidang telah melaksanakan rituling sampai taraf yang
telah dilaksanakan dalam bidang kepartaian, kita sungguh-sungguh akan bisa makin mendekati
tujuan revolusi kita dalam tahap pertama ini. Sistem kepartaian di Indonesia adalah pelopor
dalam rituling.

Liberalisme yang dihantam berulangkali oleh Bung Karno dalam berbagai pidato bukanlah
kegiatan-kegiatan partai-partai politik melainkan politik-politik reaksioner, sikap yang membiarkan
kegiatan-kegiatan kaum reaksioner sampai kepada membiarkan pemberontakan dan subversi
asing, semuanya atasnama “demokrasi”. Dalam Manipol, Presiden Soekarno dengan jelas sekali
menerangkan tentang apa liberalisme itu. Di situ dikatakan sebagai berikut: “Bapakisme,
daerahisme, politik teritorial sendiri-sendiri, dewan-dewanan, PRRI, Permesta, dan lain-lain
borok dan koreng semcam itu, pada hakekatnya semua ber-ibu kepada liberalisme yang
membolehkan setiap orang sakersa-kersanya sendiri, ketambahan lagi dengan kipasannya dan
bantuannya subversi  asing. Stop keadaan yang demikian itu!” (Lihat pidato Manipol, dalam
Tubapi, hal. 121). Nyata sekali bahwa apa yang dimaksudkan dengan liberalisme oleh Bung
Karno bukanlah kegiatan-kegiatan partai, aksi-aksi, dan sebagainya, melainkan kegiatan-
kegiatan kaum reaksioner dalam menghambat dan menggerowoti penyusunan kekuatan revolusi
kita.

Demokrasi Terpimpin secara hakikat berbeda dengan itu justru karena tidak membiarkan
kaum reaksi untuk menggerowoti dasar-dasar negara kita. Demokrasi Terpimpin adalah tetap
demokrasi, tetapi demokrasi yang tidak sudi memberikan hak-hidup kepada kaum reaksioner
karena kaum reaksioner itu justru bermaksud untuk mematikan demokrasi itu dan menjual negeri
kita kepada kaum imperialis. Demokrasi liberal membiarkan kaum reaksioner untuk
menggunakan demokrasi sebagai selimut dalam melakukan kegiatan-kegiatan anti-demokratis
mereka. Demokrasi terpimpin memastikan Manipol sebagai kosepsi yang harus memimpin
semua, dan secara wajar hanya memberi hak hidup kepada mereka yang demokratis. Ini
bedanya antara demokrasi palsu dan demokrasi sejati.

Bung Karno sendiri sudah berulangkali berbicara tentang peranan partai-partai politik. Bahkan
dalam bukunya Mencapai Indonesia Merdeka yang ditulis dalam tahun 1933, dimuat satu bab
khusus yang berjudul “Gunanya Ada Partai”. Dalam bab itu, Bung Karno dengan gamblang
menjelaskan peranan aksi-massa sebagai peranan revolusioner dan bukan peranan reformis,
yaitu peranan “sebagai penghantar pada saat masyarakat tua melangkah ke dalam masyarakat
baru” (Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 281). Dan siapa menurut Bung Karno yang harus
memimpin aksi massa itu? Partai-partai politik, demikian jawabnya. “Partailah yang memimpin
massa itu di dalam perjuangannya merebahkan musuh, partailah yang memimpin komando
daripada barisan massa”. (Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 282). Demikian tugas revolusioner
yang diletakkan oleh Bung Karno atas pundak partai-partai. Bahkan peranannya bersifat mutlak
bagi tercapainya kemenangan. Tentang ini Bung Karno berkata: “Kemenangan sudah bisa
datang, bila mana ada satu partai yang gagah berani dan bewust menjadi pelopor sejati
daripada massa” (Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 283).

Tetapi kalau Bung Karno berbicara tentang “satu partai”, maksudnya sama sekali bukan “satu-
satunya partai”. Yang dimaksudkan ialah satu partai pelopor, yaitu partai “yang paling baik dan
paling sempurna”. Selanjutnya dikatakan: “Bisa ada partai lain-lain...... yang...... ikut berjuang,
ikut memimpin, tetapi tidak sebagai komandan seluruh tentaranya massa, melainkan hanya
sebagai sersan-sersan atau kopral-kopral saja”. (Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 284).

Anjuran Bung Karno di muka Kongres PNI di Purwokerto tahun yang lalu kepada semua partai
untuk berlomba-lomba atau berkompetisi dalam memperjuangkan Manipol adalah sepenuhnya
sesuai dengan konsepsi tentang partai pelopor itu. Anjuran itu menyerukan kepada partai-partai
supaya mereka menjadi giat terus-menerus demi terlaksananya program revolusi kita, yaitu
Manipol. Perlombaan ini mengharuskan kepada semua partai untuk memperhebat amalnya
kepada Rakyat demi menyukseskan Manipol. Dan walaupun perlombaan itu pasti akhirnya akan
menghasilkan ssatu partai pelopor, ini sama sekali tidak berarti bahwa partai itu “menang” dan
yang lain-lainya “kalah”. Dalam perlombaan yang demikian, kemenangan ada di pihak Rakyat
seluruhnya, karena kemenangan berarti kemenangan program kita bersama, yaitu Manipol.
Yang kalah hanya imperialisme dan feodalisme. Jadi, silahkan semua partai berjuang untuk
menjadi partai pelopor. PKI juga sudah dan akan terus berjuang untuk itu.

Melakukan “social support” dan “social control” yang tujuannya ialah menyelesaikan revolusi,
bukan hanya menjadi hak daripada partai-partai tetapi malahan menjadi kewajibannya karena,
seperti dijelaskan oleh Bung Karno, kemenangan revolusi memang tergantung daripada
perjuangan massa yang dipimpin oleh partai-partai.
Dari ini semua dapat kita simpulkan, bahwa adanya partai-partai yang Manipolis merupakan
syarat pertama bagi terselenggaranya “social support” dan “social control”.

Di samping partai, juga harus ada organisasi-organisasi massa (ormas-ormas) yang


mempunyai fungsi yang khusus dalam menggerakkan massa untuk memenangkan tuntutan-
tuntutan khusus menurut bidangnya. Ormas-ormas memegang peranan yang penting sekali
karena mereka dapat memperhatikan secara lebih spesifik kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-
tuntutan kaum tani, kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan kaum buruh, kebutuhan-
kebutuhan dan tuntutan-tuntutan pemuda, pelajar, mahasiswa, kebutuhan-kebutuhan dan
tuntutan-tuntutan kaum wanita, dan sebagainya.

Selanjutnya, syarat yang sangat penting bagi terselenggaranya “social support” dan “social
control” ialah adanya kebebasan demokratis bagi partai-partai politik dan ormas-ormas dalam
melakukan kegiatan-kegiatannya. Sungguh suatu keanehan jika partai-partai dan organisasi-
organisasi diakui mempunyai hak hidup, seperti dikatakan dengan jelas oleh Bung Karno dalam
Manipol, Jarek, dan lain-lain, tetapi di pihak lain ada orang-orang berkuasa yang mau
mengekang partai-partai dan ormas-ormas dengan melaran ini dan melarang itu, dengan
menahan pemimpin-pemimpin mereka yang sedang memimpin aksi massa, yang sedang
mengambil alih perusahaan-perusahaan Inggris sesuai dengan politik konfrontasi di semua
bidan dan sebagainya, dan sebagainya.

Salah satu alat penting lainnya untuk melakukan “social support” dan “social control” ialah
Dewan-Dewan Perusahaan yang dapat merupakan saluran efektif terutama dalam
mengikutsertakan semua pihak yang bersangkutan dalam usaha-usaha melanjutkan jalannya
perusahaan. Juga pers Manipolis merupakan saluran “social support” dan “social control” yang
amat penting.

Semboyan PKI “Tripanji Bangsa untuk Demokrasi, Persatuan, Mobilisasi!”

Dalam Kongres ke-VII (Luar biasa) CC PKI yang diadakan dalam bulan April tahun 1962, PKI
telah mengajukan suatu semboyan baru, yaitu Tripanji Bangsa: Panji Demokrasi, Panji
Persatuan dan Panji Mobilisasi. Semboyan itu diserukan untuk menyukseskan perjuangan
membebaskan Irian Barat dan selanjutnya telah dikembangkan terus untuk menghadapi tugas-
tugas urgen yang harus dilaksanakan oleh Rakyat Indonesia. Semboyan itu berarti, bahwa
perjuangan revolusioner tak mungkin mencapai sukses kalau tidak ada demokrasi. Demokrasi
adalah syarat mutlak untuk memperkuat persatuan nasional, untuk dapat memobilisasi segenap
potensi nasional. Harus senantiasa diingat, bahwa bagaimana pun Demokrasi Terpimpin adalah
demokrasi; jika tidak, tentu namanya akan lain.

Kegiatan-kegiatan “social support” dan “social control” berarti memobilisasi segenap potensi
nasional untuk mengawasi dan memberi dukungan kepada pelaksanaan program Pemerintah
dan pelaksanaan program revolusi. Syarat mutlak dalam menyukseskan mobilisasi itu ialah
adanya demokrasi—tentunya, demokrasi untuk Rakyat dan bukan demokrasi untuk musuh-
musuh Rakyat. Oleh karena itu, perjuangan yang dilakukan oleh segenap Rakyat untuk
mempertahankan kebebasan-kebebasan demokratis dan untuk memperluas kebebasan-
kebebasan itu merupakan bagian integral daripada perjuangan untuk menyelesaikan tuntutan-
tuntutan revolusi sampai ke akar-akarnya.
Selama beberapa tahun terakhir ini, Rakyat Indonesia telah melakukan perjuangan sengit
untuk kebebasan-kebebasan demokratis dengan dijiwai oleh kesadaran politik yang tinggi.
Berkat perjuangan sengit itu pada pokoknya telah dapat digagalkan usaha-usaha untuk
mengadakan “SOB tanpa SOB” walaupun masih ada saja tindakan-tindakan untuk
mempertahankan keadaan “SOB” dalam alam tertibsivil yang sekarang berlaku. Sejak
berakhirnya SOB pada tanggal 1 Mei 1963, telah terjadi suatu perluasan sedikit demi sedikit
dalam kebebasan-kebebasan demokratis, misalnya dalam bidang penerbitan surat kabar-surat
kabar, brosur-brosur, majalah-majalah, dan sebagainya, dalam hal mengadakan rapat-rapat, dan
dalam melakukan kegiatan-kegiatan politik pada umumnya. Semuanya ini sangat penting baik
bagi pengganyangan “Malaysia” maupun bagi pengganyangan kontra-revolusi dalam negeri,
peningkatan produksi, dan sebagainya, pendeknya bagi perjuangan anti-imperialisme dan anti-
feodalisme pada umumnya.

Dalam keadaan demikian, telah terjadi suatu gelombang naik dalam perjuangan Rakyat
Indonesia untuk melakukan “social support” dan “social control”. Ini dapat dibuktikan dengan
berbagai aksi yang sudah atau sedang dilakukan untuk menuntut rituling orang-orang anti-
Manipolis dan menuntut nasakomisasi semua sektor kehidupan, terutama kehidupan politik dan
ekonomi. Bahkan tuntutan-tuntutan supaya PARAN diritul dan diganti dengan aparat rituling yang
berporoskan Nasakom di bawah pimpinan Presiden Soekarno sendiri, sesuai dengan DEKON,
telah mulai berhasil dengan pembubaran PARAN dan pembentukan KOTRAR. Kejadian ini telah
lebih membangkitkan lagi kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi massa revolusioner untuk
menuntut rituling seperti telah kita lihat, misalnya, dalam aksi-aksi yang sedang dilancarkan
dalam menuntut supaya perguruan tinggi dimanipolkan, terutama sesudah Manikebu dilarang
oleh Presiden Soekarno.

Semua perkembangan ini menandakan bahwa perkembangan politik di negeri kita sedang
berkembang dengan baik sekali, artinya baik untuk Rakyat termasuk TNI, dan hanya tidak baik
untuk musuh-musuh rakyat, artinya baik untuk revolusi dan tidak baik untuk kontra-revolusi.
Dengan semakin berkembangnya hak-hak demokrasi dan dengan semakin berkembangnya
“social support” dan “social control”, dapat dipastikan bahwa kemenangan revolusi semakin
dekat. Tetapi optimisme ini tidak boleh membikin kita lupa, bahwa musuh-musuh Rakyat tidak
tinggal diam dan malahan akan menjadi semakin nekad, dan akan berusaha dengan sega daya
upaya untuk membendung kemajuan lebih lanjut. Usaha-usaha yang terutama dilakukan oleh
kaum imperialis ialah memecah-belah: memecah belah persatuan antara Bung Karno dengan
Rakyat, antara Bung Karno dengan PKI, memecah belah persatuan Nasakom, mengadu domba
TNI dengan PKI dan Kepolisian Negara dengan PKI dan sebagainya. Oleh karena itu, lebih-lebih
daripada sebelumnya diperlakukan persatuan nasional yang harus terus menerus dikonsolidasi.
Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan “social support” dan “social control” harus dilakukan dengan
cara-cara yang sekaligus mengkonsolidasi persatuan nasional, persatuan segenap potensi
nasional, termasuk pula Angkatan Bersenjata. Seperti digariskan oleh Manipol: Konsentrasi
semua kekuatan nasional—inilah tugas, senjata dan jaminan kemenangan kita.

Mudah-mudahan semboyan “Dwitunggal Rakyat dan Angkatan Bersenjata” akan terus


berkembang sebagai salah satu syarat mutlak bagi tercapainya tujuan seluruh Rakyat Indonesia,
yaitu penyelesaian revolusi nasional demokratis sebagai tahap yang mutlak harus dilalui
sebelum memulai tugas revolusioner kita selanjutnya, yaitu pembangunan masyarakat sosialis
Indonesia.
Sejarah Marxisme di Indonesia | Seksi Bahasa Indonesia M.I.A.

Anda mungkin juga menyukai