Tiap penggal epik perjuangan bangsa Indonesia terdapat satu fakta tak
terelakkan. Napak tilas sejarahnya terpancang kokoh tonggak-tonggak
peradaban yang ditancapkan oleh sekelompok pemuda. Sebut saja Boedi
Oetomo (1908) sebagai tanda kebangkitan nasional, Sumpah Pemuda (1928)
sebagai simbol kelahiran bangsa Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan (1945)
sebagai tonggak kelahiran Negara Indonesia, atau Gerakan Reformasi (1998)
sebagai upaya mengembalikan kehormatan bangsa dari otoriterisme. Semua itu
terkait erat dengan perjuangan pemuda. Mereka adalah para penggerak yang
selalu hadir membawa perubahan di setiap episode sejarah Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi pada HMI selaku organisasi mahasiswa Islam
tertua. Kata “perjuangan” menjadi pilihan sadar pergulatan organisasi ini
sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) Pasal 9. Sejak kelahirannya,
HMI telah mewakafkan dirinya untuk mengawal dan memerjuangkan
kehormatan agama dan negara. Fokus serta keterlibatannya dalam dua ranah ini
kemudian dikenal sebagai perjuangan ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
Page | 1
lain yang bersifat terbatas. Teks kebangsaan yang seharusnya juga jadi pegangan
utama HMI justru menyempil dan dimampatkan hanya ke dalam enam paragraf
pada Tafsir Tujuan HMI. Padahal, dalam sejarahnya, seperti halnya NDP, teks
Basic Demand Indonesia (BDI) seharusnya menjadi sebuah kumpulan keyakinan
yang utuh dan berwibawa untuk menjelaskan sikap perjuangan kebangsaan HMI.
Page | 2
Pengelompokan yang sebenarnya sudah tepat untuk sekaligus menjawab ke arah
mana organisasi digerakkan; politis atau tidak. Dengan adanya kategorisasi yang
sama maka pertanyaan mendasar sesungguhnya bukan terlibat politik atau tidak;
melainkan berbasis massa atau kader, solidarity maker atau problem solver?
Karena bagaimanapun juga, keduanya saling terkait dan masing-masing berjasa
pada tiap fase sejarah bangsa Indonesia.
a) Masa Penjajahan
Berangkat dari rasa tertindas yang sama, berbagai suku bangsa terjajah di
Nusantara memutuskan untuk berhimpun menjadi sebuah bangsa baru bernama
Bangsa Indonesia. Para pemuda bangsa menyadari bahwa penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
b) Masa Revolusi
Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorong oleh keinginan yang
luhur maka bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945. Tugas pemimpin solidarity maker tidak berhenti sampai di situ.
Masa Revolusi, periode di mana Indonesia telah merebut kemerdekaannya,
Indonesia tetap membutuhkan konsolidasi nasional. Kesadaran rakyat untuk
tetap fight against harus tetap berkobar mengingat Indonesia sebagai negara
baru masih rapuh untuk kembali ditumbangkan sebagai wilayah jajahan.
Page | 3
Para solidarity maker tetap menjalankan peran besar mengingat para
penjajah belum sepenuhnya mengakui kemerdekaan Indonesia. Pada fase ini,
bangsa Indonesia masih sangat membutuhkan persatuan solidaritas dalam
bentuk mobilitas kekuatan fisik guna melawan penjajah.
Sementara itu pada sisi lain, tipikal pemimpin problem solver mulai
semakin leluasa bergerak untuk segera membenahi berdirinya bangsa dan
negara Indonesia. Fokus utamanya ialah bagaimana menyiapkan diri untuk
memimpin perjuangan baru dalam rangka membentuk negara modern, yakni
fight for (berjuang untuk) Indonesia.
c) Masa Membangun
Namun, solidarity maker bukan berarti tak lagi dibutuhkan. Hanya saja
bersamaan dengan terbentuknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), pola perjuangan harus banyak dikonsentrasikan pada fight for
membangun Indonesia. Bukan fight against yang sejak dulu memang seharusnya
berada di bawah komando solidarity maker.
Page | 4
Banyak petinggi negeri ini yang seolah berpikir bahwa Pembukaan UUD 1945
menyampaikan cita-cita negara hanya sampai pada gerbang kemerdekaan
negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Padahal, pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945 para pendiri negara
menambatkan cita-cita kolektifnya, yaitu untuk membentuk suatu pemerintahan
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Lebih dari
sekedar rambu-rambu kemerdekaan, alenia itu menegaskan tentang cita-cita
luhur negara-bangsa Indonesia.
Lebih dari itu, kata “plural” sendiri bahkan seringkali menjadi awal
terjadinya konflik SARA, khususnya agama. Padahal, kata “plural” adalah nama
lain dari kata “majemuk” atau bhinneka yang sudah lama diterima dengan baik
sebagai bagian dari identitas bangsa.
Selain Bhinneka Tunggal Ika, hal mendasar yang juga perlu dikawal adalah
penegakan hukum. Aparat penegak hukum harus senantiasa melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan cara bersikap
tegas dan adil. Semua warga negara harus mendapat perlakuan sama tanpa
adanya diskriminasi terhadap kelompok atau golongan tertentu. Asas kesamaan
Page | 5
dan kepastian hukum terkait hak dan kewajiban harus benar-benar
dikedepankan. Asas ini merupakan prasyarat utama bagi terciptanya tatanan
yang adil dan harmonis.
Tingginya jumlah fakir miskin dan anak terlantar menunjukkan ada yang
salah dalam pelaksanaan roda pemerintahan. Bahkan, tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar benar-benar ‘dipelihara’ negara
sehingga akan terus ada. Kata “dipelihara” tidak lagi dilihat sebagai niat baik
dalam rangka menanggulangi kemisikinan. Pandangan bernada sindiran ini
seringkali muncul seiring fakta yang melatarbelakanginya. Oleh sebab itu,
Page | 6
pemerintah harus menunjukkan niat baik penanggulangan fakir miskin dan anak
terlantar sebagaimana dijanjikan negara.
Individu yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga kaya memiliki peluang
dan kesempatan besar untuk mengakses sumber-sumber kesejahteraan. Ia dapat
tumbuh sehat dan cerdas, mendapat perawatan kesehatan istimewa,
mengenyam pendidikan berkualitas, mengembangkan kemampuan usaha
dengan modal yang dimiliki, dan sebagainya. Sementara, individu yang terlahir
dalam keluarga miskin apalagi memiliki kekurangan fisik atau mental, peluang
dan kesempatannya sangat terbatas.
Terhadap kondisi itu, sikap dan posisi negara—dalam hal ini pemerintah
—tidak bisa memberlakukan kebijakan yang sama untuk semua individu.
Menerapkan prinsip persamaan hanya akan melahirkan dan mengabadikan
ketimpangan-ketimpangan sosial. Misalnya, kebijakan bahwa setiap warga
negara punya hak kebebasan untuk mendapat kekayaan serta hidup sesuai
keinginan. Bagi individu yang lahir dalam keadaan serba berkecukupan, kebijakan
ini sangat adil karena menyangkut hak dasar. Namun bagi individu yang lahir
serba kekurangan jelas tidak terlalu menguntungkan.
Meski memiliki hak yang sama, individu yang terlahir serba kekurangan
nyaris tidak dapat menggunakan haknya. Sebab, hak mendapat kekayaan serta
hidup sesuai keinginan terkait erat dengan peluang dan kesempatan yang ada.
Sedangkan peluang dan kesempatan tak bisa dilepaskan dari unsur penunjang
seperti ketersediaan modal, kecerdasan intelektual, kecakapan dan keterampilan
(skill), kemampuan teknis-operasional dan semacamnya. Maka bisa dipastikan
individu tersebut tidak dapat berbuat banyak dengan nasibnya.
Page | 9
Dari berbagai ideologi dunia, Liberalisme dan Sosialisme masih
mendominasi dan menyita perhatian. Tidak hanya berbeda, kedua ideologi itu
bahkan seringkali berbenturan dalam banyak hal. Liberalisme memperjuangkan
liberte sedangkan Sosialisme mengidealkan egalite. Padahal, jika ditilik dari
sejarah, keduanya pernah berjalan sejajar saat meletusnya revolusi sosial
Perancis yang memengaruhi segala bentuk sistem pemerintahan monarki.
Revolusi Perancis meletus dengan teriakan liberte (kebebasan), egalite
(kesetaraan), dan fraternite (persaudaraan).
Page | 10