Ciri khas yang ada pada Ilmu Sejarah adalah sifat subyektivitas yang tercermin pada setiap
penulisan sejarah. Tanpa mengurangi hakekat kebenaran yang ingin dicapai dalam suatu
penulisan sejarah, ternyata unsur ini tetap melekat. Seperti halnya dalam istilah pergerakan
nasional yang selama ini kita temukan dalam tulisan sejarah sebenarnya juga menunjukan adanya
subyektivitas tersebut, karena setiap bangsa dalam memandang suatu peristiwa sejarah tentunya
memiliki kepentingan.
Subyektivitas ini termasuk di dalamnya terkait dengan kurun waktu dari masa pergerakan
nasional serta keterlibatan berbagai macam unsur dan golongan. Berkaitan dengan istilah
pergerakan nasional tidak banyak yang mengemukakan terminologi ini.
Seperti yang dikatakan oleh Koch bahwa kecuali dari buku De Nationalistiche Beweging in
Nederlans Indie yang ditulis oleh Petrus Th. Blumberger, belumlah ada suatu penerbitan yang
dalam bahasa Belanda yang memuat pandangan yang cukup tajam (DMG. Koch, 1951 : 6).
Dilihat dari munculnya istilah sejarah pergerakan nasional itu sebenarnya formulasi ini pada
mulanya diintrodusir oleh P. Th. Blumberger seperti yang dikutip di atas. Masalah pergerakan
nasional itu menjadi problem karena berkaitan dengan keterlibatan bangsa dalam arti secara
keseluruhan masih merupakan peristiwa langka saat itu.
Di pihak lain perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajah Belanda sebenarnya
telah berlangsung jauh sebelum abad XX. Karena itu masih perlu dijelaskan kriteria apa yang
harus dipakai untuk melihat suatu gerakan itu bersifat nasional. Haruskah gerakan itu
dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia (Hindia Belanda) atau kualitas gerakan
yang bagaimana yang dapat disebut sebagai gerakan nasional itu.
Jika dilihat dari kacamata sekarang tentu gerakan nasional itu adalah gerakan yang kita lakukan
sebagai bangsa Indonesia yang serentak, terencana dan memiliki tujuan yang telah dirumuskan
sebelumnya sehingga memiliki suatu arah dan kepastian dalam keinginan yang dituju.
Akan tetapi ukuran ini tentu tidak dapat diterapkan pada awal dekade abad XX. Pergerakan
nasional adalah pergerakan bangsa itu, walaupun yang bergerak itu sebagian rakyat atau
sebagian kecil sekalipun asalkan apa yang menjadi tujuan itu dapat menentukan nasib bangsa itu
secara keseluruhan, menuju tujuan yang tertentu yaitu kemerdekaan.
Dalam gerakan ini kesetiaan diletakkan pada bangsa itu sendiri. Pergerakan nasional pada
umumnya merupakan pergerakan dari bangsa yang terjajah melawan bangsa yang menjajah
untuk mendirikan suatu negara yang merdeka. Tujuan pergerakan nasional yang seutuhnya tidak
mungkin akan terwujud sejauh kemerdekaan dalam bidang politik belum dapat dicapai.
Pergerakan nasional dalam sejarah Indonesia merupakan salah satu momentum yang penting.
Memang setiap momentum, dalam sejarah, memiliki karakteristik tertentu yang membedakan
dengan peristiwa sebelum dan sesudahnya. Setiap momentum mengandung nilai-nilai tertentu,
yang jika kita hubungkan dengan sejarah sebagai alat pendidikan tentu mengandung makna.
Periode pergerakan nasional perlu mendapatkan tempat yang penting dalam kerangka
periodisasi sejarah Indonesia karena ada suatu ciri yang sangat berbeda pada momentum ini jika
dibandingkan dengan babakan sejarah sebelumnya. Ciri yang dimiliki inilah menjadikan
pergerakan nasional memiliki arti penting dalam sejarah Indonesia.
Pergerakan Indonesia meliputi berbagai gerakan atau aksi yang dilakukan dalam bentuk
organisasi secara modern menuju ke arah yang lebih baik terutama dalam kehidupan rakyat
Indonesia. Oleh karena itu dalam perkembangannya gerakan yang terjadi tidak hanya bersifat
radikal akan tetapi juga ada yang bersifat moderat.
Namun demikian bagi suatu organisasi taktik perjuangan dapat berbeda asalkan memiliki tujuan
yang sama. Oleh karena itu koperasi ataupun non koperasi bukan suatu tujuan melainkan
semata-mata sebuah taktik perjuangan. Di samping istilah pergerakan nasional kita juga
mengenal istilah perjuangan nasional.
Akan tetapi kata perjuangan sebenarnya memiliki cakupan waktu yang lebih luas (lama) karena
perjuangan bangsa itu sebenarnya sejak bangsa itu ada sampai mencapai tujuannya, sedang
pergerakan nasional hanyalah meliputi kurun waktu 1908-1945.
Seperti yang dikatakan oleh Susanto Tirtoprodjo, bahwa perjuangan mempunyai arti yang luas,
sehingga yang dilaksanakan oleh pahlawan-pahlawan kita seperti Diponegoro, Teuku Umar, Imam
Bonjol, Hasanudin dan sebagainya merupakan peristiwa-peristiwa dalam perjuangan nasional
Indonesia.
Di atas telah disinggung bahwa pergerakan nasional itu adalah gerakan yang memiliki tujuan
yang pasti, dalam hal ini adalah gerakan tersebut memiliki ciri-ciri tersendiri. Jika suatu gerakan
memiliki tujuan yang pasti, seharusnyalah gerakan itu teratur dalam arti memiliki suatu
perbedaan dengan gerakan yang pernah terjadi sebelumnya.
Perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan memang dilakukan dengan
berbagai macam cara. Sejak kedatangan bangsa asing ke Indonesia, bangsa Indonesia tidak
tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan bahu-membahu. Hal ini dapat kita lihat dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia seperti dalam perang-perang lokal antara lain serangan
Sultan Agung terhadap VOC, Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh, Perang Makasar dan
lain sebagainya.
Hanya saja apa yang mereka lakukan belum memperoleh hasil yang optimal, artinya belum
mampu mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Ketidakmampuan ini tidak harus ditafsirkan kalau
para pejuang kita kalah. Belum berhasilnya menembus benteng penjajahan itu banyak sekali
faktor yang mempengaruhi.
Dilihat dari strategi perjuangan, rupanya perang (perang fisik) banyak berbicara. Oleh karena
itu kita perlu mengenang keberanian para pejuang Indonesia dalam menghadapi penjajahan itu.
Mereka bersemboyan ''Merdeka atau Mati''. Hanya saja suatu hal yang kurang mendapat
perhatian adalah koordinasi dalam perjuangan belum dilaksanakan, komunikasi belum
terkoordinir.
Hal itu dapat kita lihat dalam Perang Diponegoro yang waktunya hampir bersamaan dengan
Perang Paderi. Jika saja ada koordinasi antara kedua peristiwa itu, tentulah jalannya sejarah akan
menjadi lain. Tetapi sayang komunikasi tidak ada/belum dapat terjalin sehingga penghentian
perang antara Belanda dengan kaum Paderi di Sumatera Barat justru menguntungkan pihak
Belanda sendiri karena kekuatannya dapat dipusatkan untuk menghadapi pasukan Pangeran
Diponegoro di Jawa.
Setelah pasukan Diponegoro dapat dilokalisir maka kekuatan selanjutnya dipergunakan untuk
menghadapi pasukan Paderi di Sumatera Barat. Kenyataan ini mengingatkan kita pada politik
Belanda yang memecah belah persatuan. Persatuan merupakan unsur vital dalam rangka
menghadapi penjajahan semacam Belanda.
Jika masalah ini ternyata sarana untuk mengkomunikasikan taktik dan strategi dalam
menghadapi Belanda belum terjadi pada periode sejarah Indonesia sebelum abad XX. A.K.
Pringgodigdo dalam bukunya ''Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia'', pada halaman 1 menyebut
dengan istilah organisasi ''modern''.
Contoh organisasi yang pertama memiliki ciri-ciri modern ini adalah Budi Utomo, yang didirikan
oleh Dr. Soetomo pada tahun 1908. Berdirinya organisasi yang mempunyai ciri dan watak berbeda
dengan apa yang ada dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum abad XX oleh bangsa
Indonesia diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Peringatan lahirnya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional didasarkan atas Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 316, tertanggal 16 Desember 1959. Jadi peringatan
Kebangkitan Nasional bertepatan dengan peringatan lahirnya Budi Utomo 20 Mei 1908, tentu ada
hal yang spesifik.
Yang kita maksud spesifik menurut A.K. Pringgodigdo adalah sebagai berikut :
1. Memiliki pengurus yang pasti;
2. Memiliki anggota yang terdaftar;
3. Memiliki tujuan;
4. Memiliki rancangan pekerjaan yang dalam hal ini program kerja;
5. Lain-lain didasarkan atas peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa disamping syarat-syarat yang dikemukakan oleh A.K.
Pringgodigdo di atas, tentu tekanan kita adalah bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah untuk
kepentingan nasional (kemerdekaan bangsa). Pembahasan tentang makna pergerakan nasional,
kita harus mengetahui terlebih dahulu bahwa makna itu apa.
Sidi Gazalba menyebutkan : Makna adalah Azas yang menentukan saling berhubungan antara
bagian-bagian dan antara bagian-bagian dengan keseluruhan. Jika kita telah pembahasan ini
ternyata makna itu dikaitkan dengan suatu pendekatan sistem. Berbicara tentang makna
pergerakan nasional, tentu tidak terlepas dari makna sejarah pada umumnya.
Hal ini karena pergerakan nasional merupakan salah satu bagian dari sejarah Indonesia.
Pentingnya sejarah bagi suatu bangsa, mengingat sejarah memiliki arti penting, karena ada
sesuatu yang dapat diberikan oleh sejarah pada kita. Orang sering mengatakan, kita hendaknya
belajar dari sejarah.
Sekarang, kalau kita berbicara tentang makna pergerakan nasional, tentu tidak dapat dipisahkan
dengan kedudukan pergerakan nasional dalam sejarah perjuangan nasional. Hal ini karena
perjuangan nasional memiliki makna yang luas. Sehubungan dengan hal itu, kita melihat sampai
sejauh mana pergerakan nasional itu menimbulkan dampak terhadap perjuangan selanjutnya.
Jawaban akan masalah ini memberikan petunjuk pada kita bahwa gebrakan Budi Utomo sebagai
pemula pergerakan nasional menimbulkan suatu kenyataan, dimana banyak partai politik berdiri
mengikutinya, seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, Partindo dan
sebagainya, baik yang bersifat politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Dari kenyataan tersebut
di atas, jelaslah bahwa pergerakan nasional yang muncul awal abad XX memberikan warna baru
dalam hubungannya dengan taktik dan strategi perjuangan bangsa Indonesia.
Sebagai akibat dari semua itu ternyata terdapat kemajuan serta suatu perubahan yang dapat
dilihat dalam hal desentralisasi, perubahan-perubahan pemerintahan, perbaikan kesehatan
rakyat, emigrasi, perbaikan pertanian dan peternakan, pembangunan irigasi dan lalu lintas.
Pertama-tama pemerintah Belanda mengusahakan desentralisasi, yang mendasarkan pada tiga
prinsip, yaitu pengalihan pemerintah dari Negeri Belanda ke Hindia Belanda, Batavia ke daerah
lain, Bangsa Eropa ke penduduk pribumi. Pada kenyataan peralihan pemerintahan dari negeri
Belanda ke Indonesia sulit dilaksanakan, namun demikian usaha-usaha ke arah desentralisasi
tetap dilaksanakan.
Pada tahun 1903 Staten General (Badan Legislatif Federal) menyetujui adanya Undang-Undang
Desentralisasi. Mulai tahun 1905 dibentuk dewan-dewan kota, yang tugasnya antara lain
membuat peraturan tentang pajak dan bangunan umum. Dari segi keanggotaan, dewan tersebut
lebih banyak didominasi oleh orang-orang Eropa.
Untuk mendukung pelaksanaan politik etis, pemerintah Belanda mencanangkan Politik Asosiasi
dengan semboyan unifikasi. Politik asosiasi berkaitan dengan sikap damai dan menciptakan
hubungan harmonis antara Barat (Belanda) dan Timur (Rakyat pribumi).
Dengan politik asosiasi dan semboyan unifikasi, akan terjadsi suatu proses pembelandaan
terhadap rakyat Indonesia. Namun demikian ternyata cara yang dilakukan Belanda ini tidak
memperoleh sambutan dari rakyat Indonesia sehingga kebijakan ini tidak membawa hasil.
Mereka berpandangan bahwa bangsa Belanda merasa superior, lebih kuat dan unggul, sehingga
politik asosiasi justru menimbulkan hubungan yang paternalistik. Belanda berperan sebagai bapak
dan Indonesia sebagai anak yang masih harus dibina. Oleh karena itu politik etis juga sering
disebut sebagai Paternalistik Politik (pater/father = ayah).
Dalam bidang kesehatan, pemerintah telah melaksanakan program pemberantasan penyakit
menular, seperti pes, cacar, kolera dan malaria, sehingga dapat menurunkan angka kematian
(salah satu faktor yang paling dirasakan sebagai penderitaan adalah tingkat kesehatan
masyarakat sangat rendah dan banyak terserang penyakit).
Hal ini tidak lepas dari peningkatan jumlah penduduk, kepadatan penduduk dan sehingga
kesempatan kerja di Jawa sangat terbatas mengakibatkan terjadinya pengangguran. Dalam
rangka mengatasi hal ini dilaksanakan emigrasi. Perpindahan penduduk terutama dilakukan dari
pulau Jawa ke luar Jawa, terutama Sumatera.
Program ini tidak banyak menolong keadaan rakyat, karena lebih banyak menjadi buruh yang
hidupnya menderita. Ternyata apa yang dilakukan Belanda bukan menyejahterakan rakyat akan
tetapi justru memindahkan kesengsaraan. Inilah secara kultural menjadi beban bagi rakyat
Indonesia ketika akan dilaksanakan transmigrasi ke luar Jawa.
Dalam bidang pendidikan (edukasi), tujuan semula Belanda adalah untuk mendapat tenaga
kerja atau pegawai murahan dan mandor-mandor atau pelayan-pelayan yang dapat membaca
dengan gaji yang murah. Untuk kepentingan tersebut, Belanda mendirikan sekolah-sekolahan
untuk rakyat pribumi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pelaksanaan politik etis tidak terlepas dari kepentingan
pemerintah kolonial Belanda. Karena itu politik etis sering disebut sebagai politik sarung tangan
sutra sebagai pengganti politik sarung tangan besi. Di atas dikatakan bahwa munculnya sistem
pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan politik etis.
Dari sinilah mulai adanya perhatian terhadap perkembangan pendidikan mengingat salah satu
dari Trilogi van Deventer secara eksplisit menyebutkan mengenai edukasi. Jika dilihat dari aspek
sejarahnya, sebenarnya sistem pendidikan sudah ada sejak zaman VOC.
Pada tahun 1617 di Jakarta telah didirikan sekolah Betawi (Batavische School). Pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Jakarta juga didirikan Seminarium Theologicum.
Pada tahun 1743 juga berdiri Akademi Pelayaran (Academie der Marine).
Dengan adanya perbedaan perlakuan sebagai akibat dari sistem sosial yang berlaku dalam
masyarakat kolonial khususnya terhadap golongan Timur Asing, maka pada tahun 1737 didirikan
sekolah khusus untuk orang Tionghoa.
Munculnya sistem pendidikan kolonial ketika itu, tidaklah berbanding lurus dengan kepentingan
mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini karena secara idiil sistem pendidikan lebih
banyak pada upaya untuk seberapa jauh pendidikan yang dirancang itu telah memenuhi
kebutuhan akan tenaga bagi Hindia Belanda.
Setelah dilaksanakannya Politik Etis sebagai salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda,
banyak lembaga pendidikan mulai berdiri. Namun demikian ternyata perbedaan warna kulit (color
line division), ternyata menjadi salah satu hambatan masuk sekolah. Sistem pendidikan ternyata
juga dikembangkan disesuaikan dengan status sosial masyarakat (Eropa, Timur Asing dan
Bumiputra).
Untuk kelompok bumiputra masih diwarnai oleh status keturunan yang terdiri dari kelompok
bangsawan kaum priyayi dan rakyat jelata. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka struktur
pendidikan terdiri dari pendidikan dasar yang di dalamnya ada ELS (Europese Legerschool) dan
HIS (Holandsch Inlandschool) untuk keturunan Indonesia asli yang berada pada golongan atas,
sedangkan untuk golongan Indonesia asli dari kelas bawah disediakan Sekolah Kelas Dua.
Dalam pendidikan tingkat menengah ada HBS (Hogere Burger School) MULO (Meer Uitegbreit
Ondewijs), AMS (Algemene Middelbarea Aschool). Di samping itu juga ada beberapa sekolah
kejuruan seperti Kweek School, Normaal School.
Untuk pendidikan tinggi, ada Pendidikan Tinggi Teknik (Koninklijk Institut voor Hoger Technisch
Ondewijs in Nederlandsch Indie), Sekolah Tinggi Hukum (Rechschool), dan Sekolah Tinggi
Kedokteran yang berkembang sejak dari SekolahDokter Jawa, STOVIA, NIAS dan GHS
(Geneeskundige Hogeschool).
Pendidikan kesehatan (kedokteran tersebut di atas) yang sejak 2 Januari 1849 semula lahir
sebagai Sekolah Dokter Jawa, kemudian pada tahun 1875 diubah menjadi Ahli Kesehatan
Bumiputra (Inlandsch Geneeskundige). Dalam perkembangannya pada tahun 1902 menjadi
dokter Bumiputra.
Sekolah ini di beri nama STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang kemudian
pada tahun 1913 diubah menjadi NIAS (Nederlandsch Indische Artsenschool). Jika kita kaitkan
dengan lahirnya pergerakan nasional, peranan para lulusan sekolah kedokteran ini memiliki posisi
yang sangat signifikan.
Hal ini terbukti dari kehadiran mereka ternyata menjadi pelopor dalam pergerakan nasional
dengan mendirikan organisasi seperti Studie Fond maupun Budi Utomo. Oleh karena itu dalam
kaitannya dengan lahirnya pergerakan nasional kita mengenal nama dr. Wahidin Sudirohusodo, dr.
Sutomo yang notabene sebagai bapak pergerakan nasional.
2 faktor pendorong lahirnya nasionalisme di indonesia Sejak abad ke-19 dan awal
abad ke-20 telah muncul benih-benih nasionalisme pada bangsa Indonesia. Nasionalisme berasal
dari kata nation yang berarti bangsa. Nasionalisme adalah paham yang mengajak setiap bangsa
untuk bersatu dan memiliki rasa kesetiaan mendalam terhadap bangsa dan negara.
Nasionalisme dapat diartikan sebagai semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air.
Timbulnya nasionalisme ini dikarenakan adanya persamaan nasib, budaya, wilayah, tujuan, dan
cita-cita. Nasionalisme di Asia dan Afrika merupakan gerakan yang menentang imperialisme dan
kolonialisme Barat.
Munculnya gerakan nasionalisme di Indonesia didorong oleh faktor dari dalam negeri (intern) dan
dari luar negeri (ekstern), yaitu sebagai berikut :
Faktor-faktor dari dalam negeri yang menyebabkan lahir dan berkembangnya nasionalisme
Indonesia adalah sebagai berikut :
Lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia juga didorong oleh faktor-faktor dari luar, yaitu
sebagai berikut :
Kemenangan Jepang dalam Perang Rusia-Jepang tahun 1904-1905 telah berhasil menyadarkan
bangsa-bangsa di dunia akan kemampuan diri. Bangsa-bangsa Eropa yang telah berabad-abad
dianggap sebagai bangsa yang tidak terkalahkan ternyata dapat dikalahkan. Kemenangan Jepang
tersebut berhasil menggugah kesadaran bangsa-bangsa Asia untuk melawan penjajah bangsa-
bangsa Eropa.
Gerakan ini dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha yang menuntut adanya pembaharuan dan
modernisasi di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Berikut sebab-sebab timbulnya
nasionalisme Turki.
Adanya kegiatan bangsa Barat yang semakin gencar untuk merebut daerah-daerah jajahan
Turki dan siap menghancurkan Turki.
Pemerintahan Manchu dianggap kolot dan bobrok dengan berbagai korupsi dan
pemborosan.
Gerakan nasionalisme di Cina dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen. Adapun dasar perjuangan yang
dikemukakan Dr. Sun Yat Sen adalah San Min Chu I, yang terdiri sebagai berikut :
Pemerintahan Cina disusun atas dasar demokrasi atau kedaulatan berada di tangan rakyat.
Dr. Sun Yat Sen berhasil menggulingkan pemerintahan dinasti Manchu dan menjadikan negeri
Cina kembali menjadi negara merdeka.
4. Pergerakan Nasionalisme Mesir
Kebangkitan nasionalisme Mesir ditandai dengan pemberontakan Arabi Pasha tahun 1881 1882.
Pada awalnya gerakan ini anti asing (Inggris, Prancis, dan Turki), namun akhirnya menjadi
gerakan untuk menuntut perubahan sistem pemerintahan. Sebab-sebab munculnya nasionalisme
Mesir adalah sebagai berikut :
Adanya gerakan Wahabi, semula merupakan gerakan agama yang kemudian membentuk
pemerintahan.
Adanya gerakan pan-Arab yang menganjurkan persatuan semua bangsa Arab untuk
mencapai kemerdekaan bangsanya.
Pergerakan nasional di India diwarnai oleh berbagai perkumpulan kaum terpelajar India.
Pergerakan tersebut seperti :
All Indian National Congres tahun 1885 merupakan majelis tempat para wakil rakyat India
berjuang mendapatkan kemerdekaan.
Santiniketan (daerah tempat sekolah filosofi dan cinta bangsa) yang didirikan oleh
Rabindranath Tagore.
Gerakan nasionalisme bidang keagamaan, seperti Brahma Samad dan Rama Krisna.
Mahandas Karamchad Gandi atau yang lebih dikenal dengan Mahatma Gandhi adalah Bapak
Kemerdekaan India. Mahatma Gandhi mencetuskan dasar perjuangan rakyat India, yang antara
lain sebagai berikut :
Hartal, merupakan suatu gerakan rakyat India dalam bentuk aksi yang tidak berbuat
apapun walau mereka tetap masuk kantor dan pabrik.
Swadesi, merupakan suatu gerakan rakyat India untuk memakai barang-barang buatan
negeri sendiri.
6. Nasionalisme di Filipina
Emilio Aquinaldo.
Nasionalisme yang muncul di Filipina ini memberikan inspirasi bagi pergerakan Nasional Indonesia
untuk melawan penjajah bangsa Barat.
Setelah terjadinya berbagai peristiwa penting di Eropa, muncul paham-paham baru seperti
liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme. Adanya hubungan antara Asia dan Eropa menyebabkan
paham-paham tersebut menyebar dari Eropa ke Asia, termasuk Indonesia. Paham baru tersebut
mengembangkan semangat nasionalisme bangsa-bangsa Asia termasuk Indonesia.
Liberalisme
Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu dalam segala
bidang. Paham ini pertama kali dikobarkan oleh kaum borjuis Prancis pada abad ke-18. Mereka
mengajak rakyat menentang kekuasaan raja dan kaum bangsawan untuk mendapatkan
kebebasan berpolitik, berusaha dan beragama.
Sosialisme
Sosialisme adalah paham yang menghendaki segala sesuatu diatur bersama dan hasilnya
dinikmati bersama-sama. Sosialisme menghendaki kemakmuran bersama. Sosialisme baru
muncul di Eropa pada abad ke-19 akibat revolusi industri. Ada dua macam sosialisme, yaitu :
a. Sosialisme utopis, masyarakat baru yang ideal. Tokoh-tokoh yang mengemukakannya adalah
Saint Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen yang tergugah oleh kesengsaraan rakyat terutama
kaum buruh akibat dari revolusi industri.
b. Sosialisme ilmiah, dicetuskan oleh Karl Marx dan dikenal dengan nama marxisme.
Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratien (pemerintahan). Demokrasi
berarti pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Pemerintahan demokrasi dianjurkan oleh Jean
Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social.
Sistem demokrasi pada masa pergerakan nasional tidak mungkin dilaksanakan. Hal ini disebabkan
karena bangsa Indonesia masih berada dibawah penjajahan Belanda. Belanda tidak mungkin
menerapkan sistem demokrasi di Indonesia, karena hal itu akan merugikan kekuasaan
pemerintahan kolonial Belanda.
Sistem demokrasi baru dapat dilaksanakan di Indonesia setelah Indonesia merdeka. Sistem ini
dilaksanakan di indonesia dengan nama Demokrasi Pancasila.