Anda di halaman 1dari 6

URGENSI BASIC DEMAND INDONESIA

(Meluruskan Kembali Arah Perjuangan)


Oleh: Fakhruddin Muchtar S.Fil.I

HMI sebagai organisasi perjuangan sepintas telah menjalankan tugasnya


dalam mengawal misi kebangsaan. Di pusat dan di beberapa daerah, kebijakan-
kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak rakyat mendapat reaksi
kader HMI untuk segera diluruskan. Sikap-sikap tegas dalam tiap orasi secara
lantang disuarakan, setidaknya sebagai terguran keras kepada para pemegang
kebijakan. Tetapi, jika dirunut dari mana datangnya teriakan kebangsaan yang
yang diyakini itu, maka kita seringkali terjebak pada pertanyaan, “rumusan
tuntutan itu ada dalam bingkai apa?”

I. Landasan Filosofis

Sejak awal berdirinya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hadir sebagai


gerakan perjuangan. Lafran Pane selaku pendiri HMI bersama para kader
membaktikan diri untuk dua tujuan perjuangan:

1. Mempertahankan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia

2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam

Kedua hal inilah yang menjadi agenda perjuangan HMI, yang kemudian
dikenal sebagai agenda; Keislaman dan Keindonesiaan. Sampai saat ini, kedua
agenda tersebut tetap menjadi dimensi perjuangan kader HMI.

Peran keislaman mendapatkan tampak jelas pada nama organisasi yang


terang menyebutkan diri sebagai Himpunan Mahasiswa Islam. Bahkan HMI
secara khusus menempatkan sebuah teks yang dijadikan tafsir tunggal
perjuangan bernama Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang sesungguhnya
berdimensi keagamaan. Mengingat ia adalah perubahan dari teks yang semula
diniatkan berjudul Nilai-Nilai Dasar Islam.

Peran keindonesiaan sebagai agenda perjuangan tampak jelas pada


setiap gerak HMI dalam mengawal kebijakan yang dianggap merugikan bangsa
Indonesia. Tetapi sangat disayangkan, pegangan teks perjuangan keindonesiaan
HMI masih belum berdiri sendiri untuk bisa dijadikan rujukan utama
sebagaimana halnya NDP bagi keislaman.

Belum ditempatkannya peran perjuangan HMI pada tempat semestinya


melahirkan ketidakseimbangan pilihan hidup HMI dalam memperjuangan agenda
keislaman dan keindonesiaan, yang mestinya seiring seirama.
Page | 1
II. Landasan Historis

Dalam buku Pergolakan Pemikitan Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib,


Wahib bercerita bahwa semangat NDP lahir dari sebuah buku kecil yang dibawa
Sularso dari perjalanan studinya ke Jerman. Berjudul Basic Demand and
Fundamental Values of Socialist Democratic Party karya Willi Eichler.

Buku tersebut kemudian didiskusikan dalam Limited Group yang juga


dihadiri Nurcholish Madjid. Ia melihat banyak kesamaan prinsip di dalamnya
dengan beberapa ajaran Quran sehingga kemudian berpikir membuat teks
serupa. Maka dari buku tersebut, lahirlah rencana pembuatan naskah ideologis
serupa yang sesungguhnya tiga buah.

1. Basic Demand (tuntutan dasar) –yang diambil dari bagian judul buku–
kemudian dipasangkan dengan agenda perjuangan keindonesiaan
sehingga menjadi Basic Demand Indonesia. Sebuah tugas yang
diamanatkan kepada Djoko Prasodjo.

2. Fundamental Values (nilai-nilai dasar) –yang juga diambil dari judul


buku– dipasangkan dengan Islam dan menjadi Nilai-Nilai Dasar Islam.
Tetapi untuk menghindari kesan klaim Islam HMI yang paling benar, maka
kata Islam diganti dengan “perjuangan”. Sepenggal kata yang diambil dari
buku Perjuangan Kita karya Sutan Syahrir. Ini diamanatkan kepada
Nurcholish Madjid.

3. Teks ketiga adalah Rumusan gerakan Keislaman dan Keindonesiaan HMI,


yang diamanatkan kepada Sularso.

Sangat disayangkan, dari ketiga agenda di atas, hanya Fundamental


Values yang selesai, dan menjadi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan seperti dikenal
sekarang. Ia lalu menjadi fenomenal sebagai kumpulan teks yang berwibawa di
hati kader. Sementara Basic Demand Indonesia (BDI) terbentuk hanya dalam
enam paragraf –bernama Basic Demand Bangsa Indonesia– yang nyaris tak
pernah digubris. Itupun bukan menjadi teks tersendiri, melainkan menjadi bagian
dari teks; Tafsir Tujuan HMI.

Karena itu, selengkap dan sesempurna apapun NDP, ia sebenarnya hanya


mengantarkan prinsip-prinsip dasar keislaman tanpa berkaitan langsung dengan
keindonesiaan. Jika diperhatikan, bahkan tak ada satupun kata Indonesia
termuat di dalam tubuh NDP. Memang sudah seharusnya demikian, mengingat
sejarah telah memagarinya pada wilayah “Islam” yang lalu diganti dengan kata
“perjuangan”.

Page | 2
III. Landasan Sosiologis

Oleh karena itu sangat wajar jika dalam perjuangan HMI sesungguhnya
terjadi ketidakseimbangan. Pada agenda keislaman, keyakinan keagamaan kader
HMI dengan sangat baik bisa merujuk pada NDP yang memuat dasar-dasar nilai
keislaman. Pertama, NDP tidak saja berdiri sendiri sebagai sebuah teks penjabar
rumusan peran perjuangan, tetapi bahkan menjadi rumusan tunggal. Sehigga
selama ini ada kesan bahwa perjuangan satu-satunya HMI adalah yang terdapat
pada NDP.

Kedua, karena memiliki ruang yang besar, maka isi nilai-nilai yang
termuat di dalamnya terbilang komprehensif. Dia mewakili dimensi-dimensi
keyakinan hidup manusia, baik sebagai hamba, individu, maupun makhluk sosial.
Karena itu tidak sulit menemukan rumusan kehidupan sosal keagamaan HMI.

Hal ini berbeda jauh dengan agenda keindonesiaan HMI. Pertama, Basic
Demand Indonesia (BDI) yang seharusnya menjadi pegangan kehidupan
kebangsaan HMI adalah sebuah teks yang belum selesai. Ia hanya tersusun ke
dalam enam paragraf singkat yang memang secara nilai sesungguhnya sudah
sangat memadai.

Kedua, Basic Demand Indonesia bahkan tidak menjadi sebuah teks yang
berdiri sendiri. Ia hanya menjadi bagian dari Tafsir Tujuan HMI, yang difungsikan
sebagai penjelas tujuan HMI. Bukan penjelas peran perjuangan HMI. Dengan
demikian, Basic Demand Indonesia tidak berada pada tempat yang seharusnya.

Anomali ini diperburuk oleh kenyataan, terkait hubungan teks dan


gerakan HMI. Bisa dikatakan, meski HMI mengawal betul keyakinan
keislamannya, HMI tidak banyak turun ke jalan dan berdemonstrasi tentang
keislaman. Melainkan jauh lebih banyak tentang kebangsaan.

Bukan berarti ini menunjukkan HMI pada gerakannya ternyata lebih


menitikberatkan keindonesiaan ketimbang kebangsaan, melainkan bahwa isu-isu
kebangsaan memang jauh lebih banyak ketimbang keagamaan.

Demonstrasi keislaman tentu saja sebatas wilayah keagamaan.


Sementara konflik kebangsaan meliputi politik, ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan, dan lain sebagainya. Karena itu, memang sedikit aneh jika keislaman
yang notabene jarang memiliki gerakan massif, bisa memiliki sebuah dasar teks
yang memadai. Sementara isu kebangsaan yang hampir setiap saat dikawal
justeru tidak memiliki teks independen, yang mengejawantahkan kumpulan
keyakinan dasar yang diteriakkan di jalan-jalan.

Page | 3
IV. Landasan Konstitusional

Seperti ditegaskan di awal, Anggaran Dasar (AD) Pasal 9 memuat


penjelasan eksplisit bahwa “HMI berperan sebagai organisasi perjuangan”. Tafsir
atas rumusan peran perjuangan ini kemudian juga dirumuskan pada pasal lain di
Anggaran Dasa, yakni pasal 18 point (f) telah dinyatakan bahwa “Penjabaran
pasal 9 tentang peran organisasi dirumuskan dalam Nilai Dasar Pejuangan HMI”.
Dan di sinilah kekeliruan besar bermula.

Kata perjuangan dalam NDP terkesan telah mewakili seluruh poin


perjuangan HMI. HMI hanyut pada pikiran term “perjuangan” di NDP yang seolah
hadir sebagai wujud keseluruhan peran HMI. Pasal 18 point (f) telah mendaulat
“perjuangan” dalam tubuh NDP pemegang otoritas mutlak menentukan sasaran
gerak himpunan ini. Padahal tidak seharusnya demikian.

Kata perjuangan dalam NDP sekali lagi belum mewakili seluruh target
perjuangan HMI, tetapi hanya mewakili semangat juang Islam. Mengulangi
sejarah di atas, kata perjuangan tersebut dipilih Nurcholsh Madjid bukan untuk
menggambarkan seluruh agenda perjuangan HMI, melainkan hanya pada
wilayah Islam yang rumusannya diamanatkan padanya. Tujuannya untuk
menghilangkan kesan klaim Islam HMI-lah yang paling benar, dan bukan untuk
membatasi ruang gerak perjuangan HMI hanya pada NDP.

Untuk itu, perlu ada pembenahan perjuangan yang dimulai dari


meluruskan konsep arah perjuangan dan isi penjabaran perjuangan dalam
Anggaran Dasar. Pasal 18 point (f) “Penjabaran pasal 9 tentang peran organisasi
dirumuskan dalam Nilai Dasar Pejuangan HMI” perlu dikoreksi.

Pertama, penulisan NDP yang benar secara historis bukan Nilai Dasar
Perjuangan (singular), melainkan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (plural). Karena
frase awalnya adalah fundamental values (nilai-nilai dasar), bukan fundamental
value (nilai dasar). Kedua, selain NDP sebagai penerjemah perjuangan keislaman,
pada pasal ini juga semestinya memuat BDI sebagai rumusan perjuangan
keindonesiaan. Sehingga pasal tersebut akan berubah menjadi, “Penjabaran
pasal 9 tentang peran organisasi dirumuskan dalam Nilai-Nilai Dasar Pejuangan
dan Basic Demand Indonesia HMI”

VI. Pesoalan Basic Demand Indonesia

Secara konseptual Basic Demand Indonesia –dalam Tafsir Tujuan HMI


bernama Basic Demand Bangsa Indonesia– sebenarnya sudah berada di
kerangka bangunan pemikiran yang tepat. Dengan kategorisasi sejarah serta
peran penting tipikal kepemimpinan di setiap periodisasinya menunjukkan
semangat kepemimpinan yang ingin dibangun HMI pada tiap kadernya.
Page | 4
Dengan format narasi historis yang dimulai dengan penegasan posisi, BDI
memiliki beberapa poin lebih, antara lain:

a. BDI sebagai bagian dari Tafsir Tujuan HMI sudah benar dibuat dengan
tujuan untuk menjabarkan salah satu prinsip dasar yang termuat dalam
Anggaran Dasar HMI.

b. Masa Penjajahan: BDI menjelaskan bahwa tipikal pemipin yang paling


dibutuhkan adalah yang mampu menyadarkan hilangnya kemerdekaan
dan hak asasi manusia Indonesia. Ini sudah sangat tepat di masa
penjajahan, karena hanya dengan kehadiran mereka rakyat akan bangkit
melawan.

c. Masa Revolusi: Solidarity maker (pembangun solidaritas) sudah sangat


tepat menduduki peran setral di masa ini. Tipikal kepemimpinan ini
berperan besar membangun rasa senasib sehingga bisa menghimpun
massa yang lebih besar untuk merapatkan barisan melawan penjajah.

d. Masa Membangun: dalam masa pengisian kemerdekaan sebagai


peralihan dari masa revolusi memang seharusnya diamanatkan pada
problem solver. Pascakemerdekaan, pola perjuangan tentu tidak lagi
dengan angkat senjata, melainkan pembenahan pembangunan Indonesia
sebagai sebuah negara bangsa baru.

e. Prinsip ideal kebangsaan yang ditekankan BDI adalah Pembukaan UUD


1945. Pilihan Pembukaan UUD 1945 memang sangat layak menjadi
prinsip dasar kebangsaan, karena meski beberapa kali terjadi
amandemen, Pembukaan UUD 1945 tetap dipertahankan karena
dianggap sebagai bagian historis bangsa. Ia adalah saksi sejarah yang ikut
mencatat perjuangan bangsa dalam “…mengantarkan rakyat Indonesia ke
depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka
bersatu berdaulat, adil dan makmur.”

Sangat disayangkan teks kebangsaan ini belum sepenuhnya mendapat


perlakuan yang layak di ranah wacana HMI. Seperti telah disinggung sebelumnya,
setidaknya tiga persoalan BDI adalah karena:

1. BDI tidak ditempatkan sebagai sebuah teks sendiri sebagaimana


halnya NDP.

2. BDI ditempatkan menjadi bagian Tafsir Tujuan HMI menjadikan fungsi


idealnya sebagai penjelas perjuangan, tidak pada tempatnya.

3. BDI hanya disusun di dalam enam pargraf.

Page | 5
Di samping persoalan tersebut, di tubuh BDI secara konseptual juga
membutuhkan sedikit perbaikan. Berangkat dari beberapa poin plus yang
disebutkan di atas, terdapat beberapa ketidaktepatan yang perlu diluruskan,
antara lain:

a. Meski sudah tepat sebagai penjelas untuk menjabarkan salah satu


prinsip dasar yang termuat dalam Anggaran Dasar HMI, sebagai teks
keindonesiaan, yang BDI jabarkan seharusnya bukan untuk Pasal 4
(Tujuan). Melainkan Pasal 9 (Peran) seperti halnya perjuangan
keislaman pada Nilai-Nilai Dasar Perjuangan.

b. Masa Penjajahan: Kemampuan penyadaran memang sangat


dibutuhkan, tetapi jenis kepemipinan ini secara teoretis tidak dikenal
sebagai satu jenis kepemimpinan sendiri, khususnya dalam
kategorisasi Herbeth Feith tentang solidarity maker dan problem
solver yang digunakan dalam BDI.

c. Masa Revolusi: sekalipun tidak setenar solidarity maker, tipikal


problem solver –atau Hattaism– sebenarnya juga sudah hadir.
Sebagaimana halnya Soekarno, Muhammad Hatta juga telah berperan
besar merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

d. Masa Membangun: Di masa ini memang sudah tepat peran besar


dipegang oleh problem solver, tetapi juga harus diakui solidarity
maker tetap ada dan dibutuhkan meski tidak sebesar di masa
perebutan kemerdekaan pada periode sebelumnya

e. Rujukan Pendahuluan UUD 1945, khususnya alenia kedua –merdeka,


bersatu, berdaulat, adil dan makmur– memang ideal, tetapi itu hanya
sampai pada gerbang kemerdekaan. Pintu kemerdekaan telah dilalui
dan untuk mengisinya perlu melihat lebih jauh apa yang tertuang
pada alenia selanjutnya, khususnya terkait format ideal pemerintahan
negara Indonesia, yang “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga ketertiban dunia
yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Menimbang semua hal di atas, maka jelas BDI perlu mendapatkan


perhatian lebih serius. Sudah semestinya HMI kembali menegaskan arah
perjuangannya. Seperti halnya akidah keislaman yang terakomodir dengan baik
dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, nasionalisme kebangsaan HMI harus
ditampung dalam sebuah teks yang utuh, berwibawa, dan berdiri sendiri ke
dalam Basic Demand Bangsa Indonesia. Karena bagi sebentuk perjuangan,
sebuah teks adalah prasasti kata-kata penegas keyakinan.

Page | 6

Anda mungkin juga menyukai